Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, June 20, 2007

Harus Di Baca (2)

Nasihati “Si Entong”, Yuk!
Oleh O Solihin

Sobat muda muslim, yang suka nemenin adiknya (kalo saya nemenin anak) nonton tivi kayaknya agak-agak apal, atau bahkan apal banget ama sinetron yang tayang di TPI, yakni Si Entong (Abunawas dari Betawi). Sebagai hiburan, sinetron yang skenarionya ditulis oleh Ayesha Adam, Imam Salimy, dan Zainal Radar T memang oke banget. Lucu dan tokoh-tokohnya sangat berkarakter, sehingga pemirsa yang sering nonton sinetron ini mengenal betul karakter khas para tokohnya.

Sinetron bergenre drama komedi religi ini dibintangi oleh Fachri (Entong), Adi Bing Slamet (Ustad Somad), Rheina Ipeh (Fatimah), Hafiz API (Salim) Ana Shierly (Mpok Lela) dan pemeran lainnya. Sinetron ini mengisahkan kehidupan Entong, anak lelaki berusia 12 tahun, anak semata wayang Fatimah. Ayahnya sih udah meninggal dunia. Penampilan Entong yang suka berpeci merah dan mengenakan kain sarung yang dikalungkan di lehernya ini punya guru ngaji, namanya Ustad Somad.

Layaknya anak-anak yang lain, Entong juga punya teman sekaligus ‘musuh’ bebuyutannya, yakni Memet, Udin, Ucup, dan Siti. Meski kalo dilihat sebenarnya yang dominan nakal tuh Memet, ketiga kawannya sih cenderung ngikutin aja apa maunya Memet. Apalagi Siti, meski banyak nge-gank ama Memet, tapi suka curi-curi kesempatan biar bisa ketemuan ama Entong. Maklum Siti nih suka ama Entong.

Banyak kejadian kocak khas Betawi dalam sinetron ini. Berbagai peristiwa dikemas dengan menarik meski sebenarnya kejadian yang biasa terjadi sehari-hari. Barangkali di sinilah kekuatan sinetron Si Entong ini.

Meski demikian, bukan berarti sinetron ini adalah tontonan yang aman buat anak-anak dan bahkan untuk orangtua. Lho kok?

Tanya kenapa?
Pertama, sinetron ini kerap mengeksploitasi hal-hal yang nggak masuk akal. Dari judul per episodenya aja bisa ketahuan, misalnya Pancing Ajaib, Gelang Laba-laba Ajaib, Baju Ajaib, Tongkat Ajaib dan lainnya. Ada sih judul yang nggak pake kata ajaib, tapi umumnya cerita itu ya seputar keajaiban juga. Pada episode Senter Wasiat misalnya, senter yang dimiliki Entong, kalo disorotkan ke wajah orang, maka tuh orang wajahnya langsung jadi cantik atau ganteng. Kalo disorotkan ke makanan, maka makanan tiba-tiba jadi banyak.

Hmm… juga dalam episode Memet Jadi Dua, Ustad Somad menjelaskan ketika ngisi pengajiannya Entong Cs, bahwa manusia itu punya teman dalam dirinya, yang disebut hati nurani atau hati kecil. Memet yang penasaran pas nyampe rumah langsung bercermin dan mencari-cari teman dalam dirinya. Tapi nggak nemu. Eh, pas Memet pergi malah bayangannya di cermin nggak mau pergi. Tetap ada di cermin, bahkan bisa keluar kemudian main layaknya Memet yang asli. Nah, bayangannya itu disebut Mumut. Hihi.. lucu dan kreatif, plus menghibur. Yup, memang sinetron ini sifatnya hiburan, tapi kenapa harus melanggar logika?

Ya, mungkin manusia memang menyukai hal-hal yang ajaib dan segala hal yang berkaitan dengan kekuatan atau kelebihan ideal yang diinginkannya dari diri atau sebuah benda. ‘Kebiasaan’ menyukai hal yang ajaib ini memang bukan milik orang-orang sini aja, di Amerika pun udah ada sejak dulu. Misalnya cerita Superman, Batman, Catwoman, Hulk, X-Men, Fantastic Four, Spiderman, Captain America dan cerita superhero fiksi lainnya.

Jangankan anak-anak, orang dewasa aja suka. Apalagi setelah diangkat ke layar lebar, gambaran kekuatan tokoh superhero yang ada di komik jadi lebih terasa nyata dengan bantuan teknologi. Misalnya saja film X-Men (yang diangkat dari komik karya Stan Lee dan Jack Kirby), tokoh Wolverine/Logan yang memiliki cakar besi di tangannya jadi kelihatan gagah. Juga Ororo Munroe/Storm yang punya kekuatan menghadirkan badai petir, nampak lebih keren dengan bantuan efek. Scott Summers/Cyclops bisa nyemburin api dari matanya. Wah, kalo mo dipreteli satu-satu bakalan banyak dan nggak cukup halamannya di buletin ini.

Kedua, sinetron Si Entong ini sering nampilin adegan pergaulan antara laki-perempuan yang longgar, khususnya tokoh yang dewasa. Misalnya, adegan tentang Ustad Somad yang kerap mampir ke warungnya Fatimah yang janda itu. Kalo ketemuan, duduknya juga suka deketan. Apalagi Fatimah naksir berat sama Ustad Somad. Begitu juga Ustad Somad dengan Jamilah. Jamilah diajarin ngaji sama Ustad Somad. Lha, apa nggak ada ustazah tuh buat ngajarin kaum Hawa?

Oke, mungkin bagi sebagian orang hal ini dianggap wajar. Toh, dalam kehidupan sehari-hari juga banyak yang begitu. Cuma persoalannya nih, apakah realita yang ada di tengah kehidupan itu nggak bisa kita nilai? Hanya dibiarkan apa adanya dan bahkan dijadikan inspirasi tanpa ada penilaian dari si penulis cerita untuk menjelaskan bahwa hal itu sebenarnya nggak boleh?

Ketiga, obrolan yang ditampilkan kerap kasar dan tidak mendidik anak-anak. Apalagi kalo tokoh Salim dan Samin bertemu, pasti banyak ungkapan, obrolan, sindiran, dan adegan yang nggak pantes ditonton. Setali tiga uang dengan Salim-Samin adalah tokoh Mpok Lela dan Mamake Memet, yakni Mpok Zaenab. Dua orang ini kerap mengumbar ungkapan dan istilah yang juga nggak pantes untuk diteladani.

Sekadar hiburan?
Mungkin aja ada yang bertanya, emangnya nggak boleh kalo bikin cerita tentang khayalan kayak X-Men dan sejenisnya, termasuk Si Entong, kan yang penting menghibur?

Sobat muda muslim, saya malah khawatir dengan pernyataan orang-orang yang menganggap bahwa hiburan ya hiburan dan itu bebas nilai. Hiburan dipercaya sebagai bagian dari kesenian dan ekspresi berkesenian. Mereka beralasan bahwa namanya juga hiburan, yang penting kan bisa mengobati kepenatan, kejenuhan dan membuat kita rileks.

Oke, penulis juga nggak anti kok sama hiburan, toh sinetron ini penulis tonton juga untuk mendampingi anak yang memang hobi nonton sinetron ini sambil harus rajin ngasih tahu mana yang benar-salah, mana yang baik-buruk, dan yang nggak boleh dan boleh dilakukan. Namun, jujur aja bahwa kita juga nggak bisa memantau setiap hari tontonan anak-anak. So, yang diperlukan adalah kerjasama dari pihak lain, khususnya yang bergelut di media massa televisi supaya nggak menampilkan film atau sinetron yang nggak mendidik. Baik aspek kognitif maupun afektifnya. Mungkin kalo orang dewasa sih nggak mudah dibohongi dengan cerita semacam itu. Tapi anak-anak? Nggak ada jaminan kan kalo kemudian nggak terpengaruh dengan melakukan adegan yang berhasil ditiru dari tokoh cerita tersebut?

Waktu kecil dulu, saya dan temen-temen main sering mengekspresikan diri dengan tokoh-tokoh superhero fiksi yang dilihat di televisi: Superman, Batman, Flash Gordon, Gundala dan sejenisnya.

Jadi, kalo pun ingin menampilkan cerita tersebut, harus ada penjelasan di akhir cerita bahwa itu sekadar khayalan belaka. Tapi menurut saya lebih baik bikin cerita yang masuk akal dan pendidikan yang sesuai dengan kenyataan kehidupan manusia pada umumnya.

Begitu pula apakah kita kembali berlindung dengan pernyataan: “Ini kan hiburan. Nggak usah diributkan. Nikmati aja. Repot amat!”
Well, apakah kemudian kita berdalih pula ketika adik atau anak kita yang terpengaruh sebuah adegan atau obrolan dan ungkapan dari sebuah tayangan yang nggak mendidik, bahwa hal itu sekadar efek biasa dari sebuah hiburan? Sesederhana itukah berpikirnya? Padahal, kebiasaan akan berubah menjadi karakter. Bayangkan jika ada tokoh yang ditontonnya itu sering berkata tidak baik, kemudian ia mencontohnya dalam kehidupan nyata dan berlaku kasar kepada temen-temennya. Sudah saatnya kita menerapkan prinsip bahwa hiburan yang kadang disebut sebagai hasil ekspresi dari sebuah estetika, tetap harus berdampingan dengan etika. Nggak cuma menampilkan estetika (keindahan seni menghibur), tapi sekaligus selaras dengan etika. Utamanya, etika dalam ajaran agama kita, yakni Islam. Setuju kan? Yes! (backsound: harusnya ini jawabannya ya!)

Hiburan yang mendidik
Sobat, betul banget kalo dikatakan bahwa kita sangat butuh hiburan. Tapi kan masalahnya nggak semua hiburan bisa kita nikmati begitu saja. Ada ukuran dan nilai yang harus dimiliki sebuah hiburan sehingga kita nggak sembarang menikmati. Sebagai seorang muslim, tentu saja hiburan harus disesuaikan dengan standar ajaran Islam. Bukan ajaran yang lain. Itu sebabnya, meski kita butuh hiburan, tapi nggak melampiaskannya dengan dugem, kumpul bareng teman (campur-baur cowok-cewek) di diskotik dan menikmati irama musik yang hingar-bingar. Ya, bagi seorang muslim/muslimah, menikmati hiburan jenis itu jelas nggak sesuai ajaran Islam.

So, berarti kita kudu pandai-pandai memilih dan memilah jenis hiburan. Lebih bagus lagi jika kita bisa menikmati hiburan yang mendidik dan sekaligus sangat bermanfaat bagi perkembangan kognitif (ilmu pengetahuan), afektif (perasaan atau emosional), dan psikomotorik (keterampilan) yang sesuai dengan gaya hidup kita sebagai seorang muslim. Tul nggak sih?

Sobat, sebenarnya bisa saja hiburan kemudian dijadikan sarana untuk menyampaikan informasi yang benar dan mendidik. Sangat bisa dan sangat mungkin untuk digarap. Sehingga nggak sekadar hiburan an sich. Tapi ada nilai yang bisa membentuk kepribadian kita: baik pola pikir maupun pola sikap kita. Nilai yang benar dan baik tentunya. Bukan ukuran nilai universal atau humanisme, tapi nilai berdasarkan Islam. Malu dong, ngakunya muslim, tapi kelakuan sekuler abis, hedonis en permisif. Sungguh terlalu! (silakan nyebutin kalimat ini pake gaya Samin di sinetron Si Entong kalo mau hehehe..)

Insya Allah nggak ada ruginya ngajarin dan nyampein kebaikan. Hiburan yang baik dan bermanfaat dalam mendidik insya Allah selain membantu orang untuk menjadi benar dan baik, kita juga dapat pahala. Sebaliknya, kalo ngajarin keburukan tentu aja kita dapet bagiannya juga, yakni dosa. Rasulullah saw. bersabda:

“Siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang baik kemudian beramal dengannya, maka ia mendapat balasannya (pahala) dan balasan serupa dari orang yang beramal dengannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang buruk kemudian ia berbuat dengannya, maka ia mendapat balasannya dan balasan orang yang mengikutinya tanpa mengurangi balasan mereka sedikit pun,” (HR Ibnu Majah)

Oke deh, ini aja sekadar nasihat kecil buat “Si Entong”, yakni bagi penulis ceritanya, produsernya, sutradaranya dan seluruh kru yang terlibat di sana. Ini nasihat karena Entong mengusung genre drama komedi religi (dalam hal ini nilai-nilai ajaran agama Islam). Jadi, ini sekadar tanda cinta dari saya untuk saling menasihati dan mengingatkan sesama muslim. Iya nggak sih? Gejlig! Tewewew! [solihin: www.osolihin.wordpress.com]

*Penulis Pengelola Wibsite www.studia-online.com

Harus Dibaca (1)

Proposal Nikah
Oleh Dudung Abdussomad Toha*

Latar Belakang

Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati, saya cintai dan sayangi, semoga Allah selalu memberkahi langkah-langkah kita dan tidak putus-putus memberikan nikmatNya kepada kita. Amin

Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati..sebagai hamba Allah, saya telah diberi berbagai nikmat. Maha Benar Allah yang telah berfirman : "Kami akan perlihatkan tanda-tanda kebesaran kami di ufuk-ufuk dan dalam diri mereka, sehingga mereka dapat mengetahui dengan jelas bahwa Allah itu benar dan Maha Melihat segala sesuatu".


Nikmat tersebut diantaranya ialah fitrah kebutuhan biologis, saling membutuhkan terhadap lawan jenis.. yaitu: Menikah ! Fitrah pemberian Allah yang telah lekat pada kehidupan manusia, dan jika manusia melanggar fitrah pemberian Allah, hanyalah kehancuran yang didapatkannya..Na'udzubillah ! Dan Allah telah berfirman : "Janganlah kalian mendekati zina, karena zina adalah perbuatan yang buruk lagi kotor" (Qs. Al Israa' : 32).

Ibunda dan Ayahanda tercinta..melihat pergaulan anak muda dewasa itu sungguh amat memprihatinkan, mereka seolah tanpa sadar melakukan perbuatan-perbuatan maksiat kepada Allah. Seolah-olah, dikepala mereka yang ada hanya pikiran-pikiran yang mengarah kepada kebahagiaan semu dan sesaat. Belum lagi kalau ditanyakan kepada mereka tentang menikah.

"Saya nggak sempat mikirin kawin, sibuk kerja, lagipula saya masih ngumpulin barang dulu," ataupun Kerja belum mapan , belum cukup siap untuk berumah tangga��, begitu kata mereka, padahal kurang apa sih mereka. Mudah-mudahan saya bisa bertahan dan bersabar agar tak berbuat maksiat. Wallahu a'lam.

Ibunda dan Ayahanda tersayang..bercerita tentang pergaulan anak muda yang cenderung bebas pada umumnya, rasanya tidak cukup tinta ini untuk saya torehkan. Setiap saya menulis peristiwa anak muda di majalah Islam, pada saat yang sama terjadi pula peristiwa baru yang menuntut perhatian kita..Astaghfirullah.. Ibunda dan Ayahanda..inilah antara lain yang melatar belakangi saya ingin menyegerakan menikah.

Dasar Pemikiran
Dari Al Qur��an dan Al Hadits :

1. "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui." (QS. An Nuur (24) : 32).

2. "Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah." (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).

3. �Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui�� (Qs. Yaa Siin (36) : 36).

4. Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik (Qs. An Nahl (16) : 72).

5. Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).

6. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).

7. Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali. (Qs. An Nisaa (4) : 1).

8. Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu : Surga) (Qs. An Nuur (24) : 26).

9. ..Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..(Qs. An Nisaa' (4) : 3).

10. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah berbuat kesesatan yang nyata. (Qs. Al Ahzaab (33) : 36).

11. Anjuran-anjuran Rasulullah untuk Menikah : Rasulullah SAW bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).

12. Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).

13. Dari Aisyah, "Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu�� (HR. Hakim dan Abu Dawud).

14. Jika ada manusia belum hidup bersama pasangannya, berarti hidupnya akan timpang dan tidak berjalan sesuai dengan ketetapan Allah SWT dan orang yang menikah berarti melengkapi agamanya, sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya." (HR. Baihaqi).

15. Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihat.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).

16. "Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim) : a. Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram."

17. "Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud).

18. Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak (HR. Abu Dawud).

19. Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain (HR. Abdurrazak dan Baihaqi).

20. Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan) (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).

21. Rasulullah SAW. bersabda : "Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah" (HR. Bukhari).

22. Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang (HR. Abu Ya��la dan Thabrani).

23. Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda : Barang siapa mau bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih lagi suci, maka kawinkanlah dengan perempuan terhormat. (HR. Ibnu Majah,dhaif).

24. Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka (Al Hadits).

Tujuan Pernikahan
1. Melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul.
2. Melanjutkan generasi muslim sebagai pengemban risalah Islam.
3. Mewujudkan keluarga Muslim menuju masyarakat Muslim.
4. Mendapatkan cinta dan kasih sayang.
5. Ketenangan Jiwa dengan memelihara kehormatan diri (menghindarkan diri dari perbuatan maksiat / perilaku hina lainnya).
6. Agar kaya (sebaik-baik kekayaan adalah isteri yang shalihat).
7. Meluaskan kekerabatan (menyambung tali silaturahmi / menguatkan ikatan kekeluargaan)

Kesiapan Pribadi
1. Kondisi Qalb yang sudah mantap dan makin bertambah yakin setelah istikharah. Rasulullah SAW. bersabda : ��Man Jadda Wa Jadda�� (Siapa yang bersungguh-sungguh pasti ia akan berhasil melewati rintangan itu).
2. Termasuk wajib nikah (sulit untuk shaum).
3. Termasuk tathhir (mensucikan diri).
4. Secara materi, Insya Allah siap. ��Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya�� (Qs. At Thalaq (65) : 7)
Akibat Menunda atau Mempersulit Pernikahan
§ Kerusakan dan kehancuran moral akibat pacaran dan free sex.
§ Tertunda lahirnya generasi penerus risalah.
§ Tidak tenangnya Ruhani dan perasaan, karena Allah baru memberi ketenangan dan kasih sayang bagi orang yang menikah.
§ Menanggung dosa di akhirat kelak, karena tidak dikerjakannya kewajiban menikah saat syarat yang Allah dan RasulNya tetapkan terpenuhi.
§ Apalagi sampai bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya, karena yang menjadi pihak ketiganya adalah syaitan." (HR. Ahmad) dan "Sungguh kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik, daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" (HR. Thabrani dan Baihaqi).. Astaghfirullahaladzim.. Na'udzubillahi min dzalik
Namun, umumnya yang terjadi di masyarakat di seputar pernikahan adalah sebagai berikut ini :
· Status yang mulia bukan lagi yang taqwa, melainkan gelar yang disandang:Ir, DR, SE, SH, ST, dsb
· Pesta pernikahan yang wah / mahar yang tinggi, sebab merupakan kebanggaan tersendiri, bukan di selenggarakan penuh ketawadhu'an sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. (Pernikahan hendaklah dilandasi semata-mata hanya mencari ridha Allah dan RasulNya. Bukan di campuri dengan harapan ridha dari manusia (sanjungan, tidak enak kata orang). Saya yakin sekali.. bila Allah ridha pada apa yang kita kerjakan, maka kita akan selamat di dunia dan di akhirat kelak.)
· Pernikahan dianggap penghalang untuk menyenangkan orang tua.
· Masyarakat menganggap pernikahan akan merepotkan Studi, padahal justru dengan menikah penglihatan lebih terjaga dari hal-hal yang haram, dan semakin semangat menyelesaikan kuliah.

Memperbaiki Niat :
Innamal a'malu binniyat....... Niat adalah kebangkitan jiwa dan kecenderungan pada apa-apa yang muncul padanya berupa tujuan yang dituntut yang penting baginya, baik secara segera maupun ditangguhkan.

Niat Ketika Memilih Pendamping
Rasulullah bersabda "Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya."(HR. Thabrani).
"Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama". (HR. Ibnu Majah).

Nabi SAW. bersabda : Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab (akibatnya) dapat melahirkan anak yang lemah (baik akal dan fisiknya) (Al Hadits).

Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda, ��Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama." (HR. Muslim dan Tirmidzi). Niat dalam Proses Pernikahan
Masalah niat tak berhenti sampai memilih pendamping. Niat masih terus menyertai berbagai urusan yang berkenaan dengan terjadinya pernikahan. Mulai dari memberi mahar, menebar undangan walimah, menyelenggarakan walimah. Walimah lebih dari dua hari lebih dekat pada mudharat, sedang walimah hari ketiga termasuk riya'. "Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan."(Qs. An Nisaa (4) : 4).

Rasulullah SAW bersabda : "Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya" (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih). Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW. telah bersabda, "Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang sederhana belanjanya (maharnya)" (HR. Ahmad). Nabi SAW pernah berjanji : "Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya." (HR. Ashhabus Sunan). Dari Anas, dia berkata : " Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya" (Ditakhrij dari An Nasa'i)..Subhanallah..

Proses pernikahan mempengaruhi niat. Proses pernikahan yang sederhana dan mudah insya Allah akan mendekatkan kepada bersihnya niat, memudahkan proses pernikahan bisa menjernihkan niat. Sedangkan mempersulit proses pernikahan akan mengkotori niat. "Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing." (HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan haruslah memenuhi kriteria Lillah, Billah, dan Ilallah. Yang dimaksud Lillah, ialah niat nikah itu harus karena Allah. Proses dan caranya harus Billah, sesuai dengan ketentuan dari Allah.. Termasuk didalamnya dalam pemilihan calon, dan proses menuju jenjang pernikahan (bersih dari pacaran / nafsu atau tidak). Terakhir Ilallah, tujuannya dalam rangka menggapai keridhoan Allah.

Sehingga dalam penyelenggaraan nikah tidak bermaksiat pada Allah ; misalnya : adanya pemisahan antara tamu lelaki dan wanita, tidak berlebih-lebihan, tidak makan sambil berdiri (adab makanan dimasyarakat biasanya standing party-ini yang harus di hindari, padahal tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang demikian), Pengantin tidak disandingkan, adab mendo'akan pengantin dengan do'a : Barokallahu laka wa baroka 'alaikum wa jama'a baynakuma fii khoir.. (Semoga Allah membarakahi kalian dan melimpahkan barakah kepada kalian), tidak bersalaman dengan lawan jenis, Tidak berhias secara berlebihan ("Dan janganlah bertabarruj (berhias) seperti tabarrujnya jahiliyah yang pertama" - Qs. Al Ahzab (33),

Meraih Pernikahan Ruhani
Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Allah, maka ia akan berusaha mencari seseorang yang sama dengannya. Secara psikologis, seseorang akan merasa tenang dan tentram jika berdampingan dengan orang yang sama dengannya, baik dalam perasaan, pandangan hidup dan lain sebagainya. Karena itu, berbahagialah seseorang yang dapat merasakan cinta Allah dari pasangan hidupnya, yakni orang yang dalam hatinya Allah hadir secara penuh. Mereka saling mencintai bukan atas nama diri mereka, melainkan atas nama Allah dan untuk Allah.

Betapa indahnya pertemuan dua insan yang saling mencintai dan merindukan Allah. Pernikahan mereka bukanlah semata-mata pertemuan dua insan yang berlainan jenis, melainkan pertemuan dua ruhani yang sedang meniti perjalanan menuju Allah, kekasih yang mereka cintai. Itulah yang dimaksud dengan pernikahan ruhani. KALO KITA BERKUALITAS DI SISI ALLAH, PASTI YANG AKAN DATANG JUGA SEORANG (JODOH UNTUK KITA) YANG BERKUALITAS PULA (Al Izzah 18 / Th. 2)

Penutup

"Hai, orang-orang beriman !! Janganlah kamu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah kepada kamu dan jangan kamu melampaui batas, karena Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas." (Qs. Al Maidaah (5) : 87).

Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Dan sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Qs. Alam Nasyrah (94) : 5- 6 ).

Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati, saya sayangi dan saya cintai atas nama Allah.. demikanlah proposal ini (secara fitrah) saya tuliskan. Saya sangat berharap Ibunda dan Ayahanda.. memahami keinginan saya. Atas restu dan doa dari Ibunda serta Ayahanda..saya ucapkan "Jazakumullah Khairan katsiira". "Ya Allah, jadikanlah aku ridho terhadap apa-apa yang Engkau tetapkan dan jadikan barokah apa-apa yang telah Engkau takdirkan, sehingga tidak ingin aku menyegerakan apa-apa yang engkau tunda dan menunda apa-apa yang Engkau segerakan.. YA ALLAH BERILAH PAHALA DALAM MUSIBAHKU KALI INI DAN GANTIKAN UNTUKKU YANG LEBIH BAIK DARINYA.. Amiin"
====================================
Dedicated to : My inspiration .... yang pernah singgah dan menghuni "hati" ...Astaghfirullah !! Saat langkah ada didunia maya, tak menapak di bumi-Nya..Lalu, kucoba atur gelombang asa..Robbi kudengar panggilanMu tuk meniti jalan RidhoMu.. Kuharap ada penolong dari hambaMu meneguhkan tapak kakiku di jalan-Mu dan menemani panjangnya jalan dakwah yang harus aku titi.. " Saat Cinta dan Rindu tuk gapai Syurga dan Syahid di jalanNya makin membuncah.."
====================================
Maraji / Referensi :
1. Majalah Ishlah, Edisi Awal Tahun 1995.
2. Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasyid, 1994, Cet. 27, Bandung, Sinar Baru Algesindo.
3. Fikih Sunnah 6, Sayyid Sabiq, 1980, cet. 15, Bandung, Pt. Al Ma'arif.
4. Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Muhammad Faudzil Adhim, 1998, Yogyakarta, Mitra Pustaka.
5. Indahnya Pernikahan Dini, Muhammad Faudzil Adhim, 2002, Cet. 1, Jakarta, Gema Insani Press.
6. Rintangan Pernikahan dan Pemecahannya, Abdullah Nashih Ulwan, 1997, Cet. 1, Jakarta, Studia Press.
7. Perkawinan Masalah Orang muda, Orang Tua dan Negara, Abdullah Nashih Ulwan, 1996, Cet. 5, Jakarta, Gema Insani Press.
8. Kebebasan Wanita, jilid 1, 5, 6, A.H.A. Syuqqah, 1998, Cet.1, Jakarta, Gema Insani Press
9. Sulitnya Berumah Tangga, Muhammad Utsman Al Khasyt, 1999, Cet. 18, Jakarta, Gema Insani Press.
10. Majalah Cerdas Pemuda Islam Al Izzah, Wahai Pemuda, Menikahlah, No. 17/Th. 2 31 Mei 2001, Jakarta, YPDS Al Mukhtar. (sumber http://pernikahan.dudung.net/artikel_detail.php?id=10)

*Pengelola website Dudung Net (www.dudung.net)

Monday, June 18, 2007

Gender

"Kelamin" Yang Berkesadaran Gender

Oleh te. Ditaufiqrahman

/1/
Perempuan. Apa yang ada dalam benak bagi kita kaum laki-laki manakala kata “perempuan” diucapkan? Jorok, bingung, linglung, perusak umat, surga yang ada di telapak kakinya, penyembuh bangsa, pemuas seks!? Atau malahan mungkin, tak ada bayangan dan gambaran apapun dalam benak kita manakala kata “perempuan” disebutkan? Itu lebih gila! Dan gawat. Bukankah ibu kita seorang perempuan.

Isu perempuan, atau tema diskusi perihal perempuan sudah kaprah dalam dunia akademisi bukan hal yang tabu lagi. Hal ini di mulai dengan pemublikasian isu tentang gender, gerakan feminis dan lainnya. Tetapi benarkah kita sudah awas terhadap persoalan ini. Jangan-jangan hanya permainan kata dan argumentasi yang melulu sebagai ornamentasi untuk memenuhi tuntutan pasar atau sekedar mencari popularitas.

Seperti teman saya, ketika hanya ada kasus yang rame membicarakan tentang poligami saja ia menjadi avantgarde yang meneriakkan dengan lantang tentang ketidakadilan gender. Mulutnya seolah menjadi kokang senjata yang terus memuntahkan peluru "tolak poligami! Tolak poligami!" tetapi setelah nggak rame mulutnya terkatup, "ketidakadilan gender? Sudah lupa tuh!?".

Rupa-rupanya, di sekeliling kita banyak penjilat wacana, pemerkosa ideology, pelacur gagasan, dengan berbagai macam kilah; "sekarang 'kan poligami sudah tidak rame lagi, sudah nggak up to date!" emang urusan moral hanya terbatas pada lingkaran out of date atau up to date? Apakah membela kaum tertindas sudah ketinggalan zaman?
Ternyata kita para pesorak buku yang berusaha militan terserang juga penyakit; sebentar ribut membicarakannya, lalu segera melupakannya dengan berbagai macam alasan rasional (atau sengaja dirasionalisasi). Tidak sampai disana, hebatnya kita adalah, ketika kita melupakannya kita sudah siap dengan alasan untuk melupakannya. Kita harus bangun dan kenyataan harus dikabarkan, begitulah seru bang Iwan. Dan kenyataan tidak ada yang ketinggalan zaman.

Poligami adalah seketil persoalan yang sering dibahas dalam isu gender dan masih seabreg permasalahan lain lagi yang gegas untuk dibahas. Pada kesempatan ini, saya ingin menyegarkan kembali pembicaraan bahwa pembahasan gender itu penting sepenting adanya perempuan.
/2/
Gender secara sederhana diartikan dengan kesetaraan. Kenapa isu gender ini begitu penting, sebab bertolak pada kenyataan ada ketidaksetaraan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Misalnya perkara yang luput dari perhatian kita; kenapa perempuan selalu di posisikan menjadi sekretaris, kenapa kebanyakan perempuan menjadi bendahara?

Mari saya ceritakan sebuah contoh yang paling sarkas, yang pernah saya temui, muncul dari penulis De Beauvoir yang mengesankan adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. De Beauvoir menyebutkan adalah seorang Giacometti, seorang seniman, dengan gaya hidupnya yang luar biasa. Ia tinggal di dalam sejenis gubuk yang atapnya bocor, ia menangkap air hujan dalam mangkuk-mangkuk yang bocor juga; lantainya tergenang, tetapi ia tidak peduli.

Ia mempunyai studio kecil yang sangat tidak menyenangkan, tempat ia bekerja sepanjang malam; ia tidur semaunya, seutas benang dijadikan ikat pinggang untuk menyangga celananya; kedua tangannya belepotan plaster. Ia tidak peduli sama sekali dengan penampilan, dan semua orang menganggapnya biasa bahwa ia memilih hidup seperti itu; sebab ia seniman.

Segala sesuatu diperbolehkan dan khususnya istrinya menerima jenis kehidupan dia ini. Jadi mutlak ia tidak bersalah, tidak ada yang perlu dipikirkan selain patung-patungnya. Tidak banyak dibutuhkan banyak imajinasi untuk menebak apa yang akan terjadi pada seorang seniman perempuan yang mengikuti contoh gaya hidup Giacometti.

Ia akan dikurung, atau setidaknya diperlakukan sebagai seorang gila. Tidak mungkin membayangkan seorang suami menyesuaikan diri dengan jenis gaya hidup seperti ini untuk istrinya, ia pasti akan dikucilkan! Tetapi ironinya lagi, dalam kenyataan perempuan sendiri akan menolak menjalani kehidupan semacam itu (De Beauvoir; 2000)
Sadar tidak disadari memang ada kesenjangan antara perempuan dan laki-laki; apapun itu bentuk dan kondisinya. Maka pembahasan tentang gender ini menjadi mendesak dan penting untuk dibahas sebab pada dasarnya perempuan dan laki-laki adalah sama dan setara dalam posisinya masing-masing.

Mari saya sebutkan beberapa ayat al qur'an yang mengindikasikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara; "ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi… "(al Baqarah; 30). Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa sesungguhnya tujuan/misi Tuhan menciptakan manusia adalah untuk menjadi khalifah. Bukan laki-laki bukan perempuan melainkan manusia.

Manusia melingkupi perempuan dan laki-laki. Dalam teks ayat tersebut tidak dikhususkan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki menjadi khalifah dan perempuan tidak. Kesetaraan yang sangat jelas dan tegas bahwa posisi manusia sama, entah itu laki-laki maupun perempuan adalah sama; menjadi khalifah.

Maka tesis yang saya ajukan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sama, tugas yang sama yaitu menjadi khalifah. Kesetaraan yang terkandung dalam ayat ini dijelaskan lebih lanjut lagi oleh ayat "hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"(al Hujurat; 13)
Demikianlah, perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab sosial yang sama. Hal ini sangat masuk akal karena tugas kekhalifahan tidak hanya dibebankan al Qur'an ke pundak laki-laki tetapi juga ke perempuan (Musdah Mulia, 2005; 32), sebagaimana Allah berfirman "orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (at Taubah; 71).

Sebagai khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil âlamîn). Satu hal yang paling penting untuk menuju kesana adalah adanya kesadaran untuk menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar (amar ma'rûf nahi munkar).

Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara jenis yang lain melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh tuhan untuk saling bekerja sama, bahu membahu dan mendukun dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik dan indah.

/3/
Kesadaran mengenai kesetaraan gender ini mesti ada di kedua belah pihak; tidak hanya perempuan saja dan tidak laki-laki saja. Ketimpangan kesadaran inilah, yang menurut hemat saya, menyebabkan adanya perlakuan yang tidak adil kepada salah satu jenis kelamin. Misalnya, dikarenakan kesadaran masyarakat tentang beban khalifah ini hanya dipupuk kepada laki-laki saja maka timbullah sikap arogansi-primordialitas kelamin; merasa diri paling kuatlah, merasa diri paling benarlah, merasa diri paling pintarlah, merasa diri paling hebatlah, dan merasa "kelamin" diri lebihlah.

Dari arogansi-primordialitas kelamin ini bisa memunculkan sikap kesewenang-wenangan yang salah satu bentuknya adalah kekerasan. Hal ini memang tidak bisa disalahkan kepada pihak laki-laki saja melainkan perempuan juga mesti memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah khalifah. Pernyataan yang mesti segera terus didengungkan kepada laki-laki adalah bahwa ada orang lain yang sama-sama memikul beban kekhalifahan yaitu perempuan.

Dan sebaliknya dengan perempuan, mesti segera dihentakkan dalam kesadaran benaknya bahwa dia adalah khalifah yang memiliki tugas dan peran yang sama dengan laki-laki. Lantas persoalannya; kenapa perempuan nggak banyak yang nyadar bahwa dirinya khalifah? Begitu juga sebaliknya, kenapa laki-laki juga nggak sadar bahwa bukan dirinya saja yang menjadi khalifah.

Dengan ini bisa disimpulkan bahwa pendidikan tentang gender mesti lebih diprioritaskan kepada pihak laki-laki, karena pihak laki-lakilah yang ternyata banyak yang tidak memiliki kesadaran gender. Bahwa perempuan memiliki kesadaran gender itu sudah wajar dan memang seharusnya demikian tetapi laki-laki memiliki kesadaran gender itu masih jarang. Makanya banyak kekerasan yang terjadi itu dikarenakan laki-laki tidak berkesadaran gender.

Yang jelas, menurut saya untuk mengawali kajian tentang gender ini, laki-laki yang memiliki kesadaran gender lebih baik daripada perempuan yang memiliki kesadaran gender. Sebagaimana dikatakan; orang yang dimintai maaf lebih mulia daripada orang yang meminta maaf. Wallahu 'alam bish showab.

Bandung 4 March 2007

Ustadz.?

“USTADZ DALAM PENELANJANGAN”
-dekonstruksi sosiologis pemahaman tentang ustad-

Oleh Faisal El Amir

perkembangan selanjutnya kata ustadz selalu berkonotasi kepada agama Islam an sich haL ini wajar sebab secara genealogis kata ustadz berasal dari bahasa arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kristen mempunyai istilahnya sendiri untuk penyebutan orang yang paham tentang agama yaitu pastor tidak ustadz, budha menyebut bikhu, yahudi menamai rabbi dan sebutan-sebutan khas lain dari agamanya masing-masing.

Maka bisa disimpulkan bahwa orang yang memiliki pemahaman lebih atau mendalam terhadap agama Islam sudah bisa disebutkan dengan ustadz, namun yang perlu diingat juga, bahwa pemahaman term ustad di Indonesia dan title ustadz di timur tengah [sedikit] berbeda. Di wilayah Timteng (Timur Tengah) seseorang yang disebut ustadz biasanya sudah hafal qur’an, minimal lebih dari dua puluh juz (red.tentunya tidak lebih dari tiga puluh juz, sebab Tuhan belum ada niat buat nurunin wahyu lagi).

Lain Timteng lain juga di Indonesia, di Indonesia orang sudah bisa disebut ustadz manakala hanya mengajar Iqra (a ba ta tsa) kepada anak-anak, anggapan ini juga diperparah lagi dengan anggapan bahwa orang yang pake peci, baju koko atau sarung tak peduli apakah dia paham atau tidak tentang ajaran Islam disebut juga ustad. Dari dua kasus ini maka bisa ditarik kesimpulan ada dua cara dalam memahami term ustadz ini; pertama secara substansiil dan formil.

[b]
Tentu saja secara definitif kita tak akan bisa merujuk istilah ustad dalam pengertian yang dipakai di timur tengah, namun saya akan jadikan hal itu sebagai acuan saja dengan kata lain; idealnya seperti itu sebab biasanya untuk ajaran Islam selalu mengkiblat ke timur tengah. Maka untuk konteks keindonesiaan pemahaman yang saya pakai adalah realnya di Indonesia, secara deskriptif-sosiologis saya akan memaparkan bagaimana istilah ustadz dipakai di Indonesia, bagaimana pengertiannya dan implikasinya.

Dilihat dari sisi epistemologis, pengertian ustadz mengacu kepada orang yang paham secara mendalam tentang agama Islam, mengamalkan dan mengajarkannya kepada yang lain. Dari asumsi ini semua orang bisa menjadi ustadz, semua orang bebas menjadi ustadz, siapapun; tukang beca, tukang roti bakar, petani, tukang ojeg, dosen, seniman, tukang VCD bajakan sekalipun.

Sebab, ajaran Islam luas semua manusia yang beragama Islam bisa mengamalkan dan mengajarkan ajarannya kepada yang lain. Kita bisa menjadi ustadz bagi yang lain begitu sebaliknya, orang lain adalah ustadz bagi kita. Pada titik ini, pengertian ustadz hanya dimahkotai dengan atribut sosial semisal jujur, penjilat, pintar, bejat dan sebagainya. Semua orang bisa belajar tentang agama Islam dan semua mengajar.

Namun ketika proses belajar-mengajar agama Islam (selanjutnya saya akan menyebut dengan ‘ajaran Islam’ untuk mengganti kata ‘agama Islam’) diinstitusikan dalam sebuah lembaga yang sering dinamakan pesantren maka lamat-lamat istilah ustadz mulai menyempit. Pada dasarnya pelembagaan proses belajar-mengajar ini untuk memudahkan orang-orang dalam mensistematisir materi ajaran Islam tapi ternyata sebuah implikasi adalah sebuah keniscayaan dalam setiap perubahan.

Dalam sebuah pesantren ini selalu ada orang yang dijadikan panutan, tokoh, ageman dalam penafsiran ajaran Islam yang lazim dikenal dengan kiyai, ajeungan. Setiap pesantren selalu ada satu ‘ustadz’(guru)-nya. Sistem yang berlaku di pesantren memang sangat terkesan feodal, monarkhi akan tetapi hal ini sangat wajar sebab waktu dulu mempelajari ajaran Islam adalah sesuatu hal yang sangat mewah, tidak sembarang orang bisa belajar mesti ada jampi-jampi dan mantranya, sangat sacral oleh karena itu [ketidaklogisan yang tidak] logis bagi sebagian santri di pesantren mengganggap kiyai laksana dewa atau wali. Nggak sembarang orang bisa menafsirkan ajaran-ajaran Islam, qur’an dan hadist. “Doraka!” Begitu kata orang tua dulu.

Mau tidak mau ajaran Islam terpusat di pesantren, karena setiap orang yang mendalami ajaran Islam kemudian mendirikan pesantren. Orang yang mau belajar ajaran Islam maka masuklah pesantren. Pesantren adalah locus agama Islam. Maka orang berebut masuk pesantren dan menjadi santri untuk mendalami ajaran Islam.

Santri diartikan sebagai murid atau siswa yang mendalami ajaran Islam di pesantren dari kiayi, ajengan atau dari ustadz besarnya. Ustadz adalah guru besar di pesantren, semisal professor di perguruan tinggi. Santri ini nantinya juga akan menjadi ustadz. Dari pengertian ustadz sebagai atribut sosial lambat laun berubah menjadi sebuah peran dan status dalam masyarakat.

Karena pelembagaan ini, salah satunya, orang mulai tidak sembarang memberikan label ustadz kepada setiap orang. Predikat ustadz hanya diberikan kepada orang pesantrenan. Hal ini berimplikasi kepada pemberian otoritas yang berhak berbicara tentang ajaran Islam; hanya ustadz saja, hanya orang pesantrenan saja, dilain itu lain belum tentu benar.

Akibatnya, masyarakat hanya menunggu para ustadz untuk mendulang pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam. Maka seringlah para ustadz keluar ‘kandang’ dari pesantren untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat awam dan umum.

Pertumbuhan semakin pesat, banyak masyarakat yang memasukan anak-anaknya untuk belajar di pesantren. Di satu sisi hal ini sangat positif, dikarenakan makin banyak anak-anak yang paham tentang ajaran Islam dimungkinkan masyarakat makin baik juga karena ajaran Islam menyuruh kepada kebaikan, tetapi di sisi lain patut diketahui tanpa disadari pesantren juga mulai ikut-ikutan berubah menjadi pabrik yang memproduksi ustad-ustad secara massal.

Kalau dahulu orang belajar di pesantren memang benar-benar dalam artian yang sebenarnya; untuk menyebarkan ajaran Islam tapi sekarang lain, menjadi aktivitas rutinitas sosial seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren tak ada bedanya dengan lembaga pendidikan lainnya. Hal ini sangat berimplikasi terhadap sosok santri itu sendiri yang nantinya akan menjadi ustadz.

[c]
Penyempitan istilah ustadz ini sangat tidak terasa dan tanpa disadari, sekarang kita menerima pengertian ustad sebagaimana adanya, “ustad? Ya … itu, orang yang sering ceramah, pake peci atau sorban… dan beristri banyak.. (eh..!)”.

Pandangan seperti ini memang bukan tanpa sebab, mungkin kita kurang menaruh perhatian terhadap hal ini... ya karena kita menganggap nggak penting. Tapi untuk sekarang ini melihat sosok, image dan citra ustadz yang beredar di masyarakat kiranya, selaku umat Islam keterlaluan deh kayaknya kalau tidak menaruh perhatian.

Masyarakat luas akan mengenal Islam dari para penyerunya dan umatnya. “Kembali ke laptop!!” begitu teriak Tukul. Ustadz, yang kita pahami sekarang, adalah seorang guru [agama Islam] di pesantren, orang yang sering ceramah, orang yang paham tentang ajaran Islam. Untuk melanjutkan tulisan ini, saya ingin mengajukan sebuah tesis; uatad dewasa ini adalah sejenis profesi.

Perdebatan ustadz sebagai profesi memang sudah basi, tetapi orang jarang membicarakan apa implikasi-implikasi dari sebuah profesi itu, sekedar contoh; seorang aktris berani tampil telanjang tanpa takut masuk angin karena profesinya menuntut demikian, seseorang bisa melakukan apa saja karena tuntutan profesi. Singkatnya, kadang kala karena tuntutan profesionalitas orang berani melanggar apa saja termasuk norma-norma agama.

Profesi adalah sejenis pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; sandang, pangan, papan. Profesi harus setia pada tuntutan pasar, pada logika pasar, kalau pasar menuntut beda maka kita pun mesti beda sebab kalau tidak kita tidak akan laku. Seorang penyanyi karena tuntutan pasar berani memodifikasi penampilan dan lainnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar; “ idealis sih idealis, tapi lihat pasar dong, komersil nggak? Laku nggak di pasaran.”

Hasilnya kita tak bisa membedakan mana ustadz mana selebritis, mana kiyai mana artis, mana fatwa agama mana gossip, mana penafsiran mana isu. Ustad tak ada bedanya dengan artis. “ya sekarang ustad sudah saatnya go public” begitu kilah salah satu ustad kenamaan “masuk tv supaya dalam penyebaran agama Islam dapat diterima masyarakat luas, kalau dalam mimbar di mesjid-mesjid terbatas orang yang tahu” . Penyebaran ajaran Islam atau malah memenuhi tuntutan pasar?

“ajaran Islam itu harus disederhanakan” ungkap salah satu ‘ustad gaul’ “agar anak-anak muda familiar dengan ajaran Islam, makanya saya lebih menyukai penampilan gaul and santai” . Penyederhanaan ajaran Islam supaya lebih bisa diterima remaja atau kehilangan pangsa pasar? Entalah, sepertinya ustad yang belum masuk tv dan terkenal belum dikatakan sukes dalam penyebaran agama Islam. Imannya itu “dakwah” atau “popularitas” susah dibedakan.

Memang, kita bisa menerima alasan bahwa dakwah mesti memasuki segala elemen kehidupan dan salah satu jalannya dengan tv, tetapi rasanya keterlaluan juga kalau ustad termasuk pemburuan gossip dalam acara infotainment, akan terasa sangat recehan. Tapi “ustad juga manusia” , siapa bilang kalau ustad malaikat? Itulah, kita juga sering mempunyai anggapan bahwa sosok ustad adalah orang yang suci, padahal ustad bukan nabi.

Kalau nabi adalah “ustad” seluruh umat manusia; kenapa nabi memilih menjadi seorang yang ‘miskin’ padahal nabi bisa saja lebih kaya dari siapapun di dunia ini? Sebab yang paling merasakan toleransi, tenggang rasa, setia kawan, jujur, dan kebersihan hati rata-rata dimiliki oleh orang yang kurang berada secara materi yaitu orang miskin. Hal ini sangat logis sebab tak ada beban dalam hidupnya selain memenuhi kebutuhan tubuh dan eksistensinya, apa yang mesti ditakuti dari orang lain.

Sebab nabi tidak menjadikan ustad sebagai profesi, ladang pencarian penghidupan melainkan menjadi kebutuhan eksistensi, visi dan misi selama hidupnya.

Profesionalisme terkait dengan citra, semakin hebat citranya maka akan dianggap semakin professional, sedangkan citra didapatkan dari performance maka kadang kala orang melupakan hal lain hanya untuk sebuah “performance”. Karena televisi adalah permainan tumpukan dan gundukan performance. Dalam profesi juga tersimpan nilai-nilai pragmatisme sedangkan ustad bukan untuk memperdagangkan ayat-ayat Tuhan melainkan mengamalkan dan menyeru. Akhirnya, ustad tak memikirkan perubahan dalam umatnya bertambah baik atau tidak, sebab ceramah dan mengajar adalah sebuah rutinitas seperti halnya kencing, tidur, makan setelah dilakukan kemudian gegas dilupakan.

[d]
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyitir kasus poligami aa gym, dalam bingkai kerangka ustadz yang telah saya paparkan. Kasus poligami aa gym adalah sebuah kasus yang bukan membicarakan poligami it self boleh atau tidak, diskursus poligami dari ayat-ayat al quran beserta pemahaman fiqh empat madzhab yang terkenal saya anggap sudah beres.

Tapi kenapa persoalannya menjadi beda ketika aa gym yang poligami? Bukankah tidak aa gym saja ustad yang poligami? Inilah, yang dituntut dalam diri seorang ustadz adalah kewajiban moralnya bukan kewajiban formal sosialnya saja. Sebab profesi ustadz adalah bisa dianggap profesi paling moralis diantara pekerjaan lainnya.

Sedangkan pasar tidak melihat moral kalau moral rame maka bisa saja pasar bermoral kalau menguntungkan kalau tidak mending jadi a moral sajalah daripada rugi. Maka jangan aneh kadang kala ustad juga nggak bermoral. Sebab ustadz juga manusia bukan? Maka sudah pasti ustad juga bisa nggak bermoral.

Mau dapat izin atau tidak dari istri tetap saja poligami jelek dan jelek adalah stigma tendesi moral negatif, kalau kita lihat sekarang aa gym jarang melakukan ceramah di tv-tv sebab untuk masyarakat umum dan awam “aa gym sudah nggak laku lagi”, maka untuk mensiasatinya pasar mengangkat teh Ninih, karena teh Ninih adalah tokoh protagonis dalam peristiwa ini aa gym tetap antagonis sekalipun ustadz. Untuk kepentingan pasar aa gym didomestifikasikan dulu deh, menunggu pamornya naik lagi. Beginilah nasibnya kalau ustad besar oleh pasar jangan-jangan nanti agama juga tergantung pada pasar ‘kan gawat?!

Pengertian ustad menjadi demikian sangat sempit, ustad bukan lagi orang yang paham mendalam tentang agama Islam tetapi mesti juga diperkuat dengan penampilan yang menunjukkan bahwa dia ustadz, secara sosiologis, hal ini sangat dramaturgis. Actor mesti memiliki property untuk menguatkan peran yang dimainkannya “masa ustadz tidak pake peci, masa ustadz tidak pake baju koko, masa ustad tidak pake jenggot (…wah! Itu makin parah!)”

Memang anggapan-anggapan ini muncul dari kebiasaan, biasanya yang pake peci itu ustadz, biasanya yang pake jenggot itu ustadz. Tetapi hidup bukan hanya sebatas pengulangan kebiasaan, sekarang banyak yang pake jenggot personil band misalnya, vokalis Sistem Of Down saja pake jenggot, apakah dia juga disebut ustadz. Nico siahaan, artis yang beragama Kristen, sering juga pake peci kalau syuting, apakah dia juga ustadz.

Anggapan-anggapan seperti ini pada dasarnya akan menimbulkan pemahaman yang jauh dari inti yang sebenarnya, mengantarkan kepada pengertian yang banal, dangkal dan hanya mementingkan formalitas dan ritualitas sedangkan semangat dan substansi telah kehilangan jatah.

Pemahaman yang kurang ngena ini bakalan menghancurkan norma ustadz itu sendiri, lalu yang seperti bagaimana ustadz itu. Yang jelas tidak selamanya yang pake sorban itu ustad, meski orang-orang menyebut ustad. Tidak menjamin yang pake peci itu ustadz meski dia sendiri mengaku ustad. Ustadz itu bukan yang punya jenggot panjang hingga sedada misalnya, mungkin saja dia tak punya uang buat dicukur.

Ustadz itu adalah, sesuai dengan pengertian yang ada dalam kamus, orang yang paham tentang agama Islam. Orang yang paham tentang agama Islam bisa jadi dia tidak pake peci, tidak berjanggut, tidak pake baju koko. Mungkin rambutnya gondrong, mungkin merokok dan yang paling penting mungkin dia tidak mengaku bahwa dirinya adalah ustadz!

Akhirnya, ustadz tentunya bukan nabi meski sedikit mirip secara fungsionalitasnya, kesamaannya hanya terletak pada tugasnya dalam menyiarkan ajaran Islam. Kalaulah benar kita mau menggolongkan ustadz kepada kriterium ulama maka secara otomatis ustad adalah pewaris para nabi. Ilmunya terlebih lagi adalah pribadinya.

Sikap altruistic tidak perlu menjadi senjata untuk menumpas kemunafikan id. Ustadz adalah sebuah profesi adalah sebuah fakta yang harus kita terima tetapi kita juga mesti siap untuk menerima fakta yang lainnya lagi. Sebuah fakta yang menyebutkan bahwa profesi mesti mengikuti selera pasar kalau nggak mau ketinggalan, bangkar, gulung tikar dan rugi. Begitulah sikap dalam sebuah profesi karena inti dari profesi adalah berdagang.

Dengan diterimanya prinsip perdagangan ini maka muncul pengkonfirmasian misi-misi idealitas dengan kebutuhan pasar, bahkan terkadang nilai-nilai idealisme mesti turut diredam. Kalau begini keadaannya ustadz tak ubahnya dengan pelacur! Perbedaannya kalau pelacur menjual tubuh, kalau ustad menjual ayat-ayat suci, lebih jelek mana? Lebih jelek HP teman saya he.he

Ini adalah sebuah prawacana untuk diskursus yang lebih baik lagi.Wallahu ‘alam bish showab

Penulis adalah Sekretaris Umum LPIK UIN Bandung (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman)

Pasca Bencana

Sosiologi Masyarakat Pascabencana

Cian Ibnu Sinna AS*

Pada tanggal 8 Juni 2006 Pikiran Rakyat memuat tulisan Darsono Supriadi: “Psykologi Masyarakat Pascabencana”. Tulisan ini sangat menarik bukan untuk dibaca saja, melainkan dilengkapi. Sebab masyarakat pascabencana tidak hanya dikhawatirkan memiliki kerentanan secara kejiwaan individual (psikologis), melainkan juga kejiwaan secara sosial (sosiologis). Demikian diketahui bahwa potret jiwa seseorang begitu populer secara psikologis, namun tidak demikian terkenal secara sosiologis. Padahal jiwa sosial tak kalah pentingnya, ia sebenarnya yang lebih realissimum (yang paling nyata) dari pada jiwa individual. Tulisan ini ingin menunjukan pentingnya kontribusi penjelasan sosiologis bagi masalah sosial masyarakat pascabencana.

Tidak ada perdebatan dibenak kita kalau tragedi gempa bumi yang telah menelan ribuan korban jiwa di seantero Nusantara ini, sangat memukul perasaan masyarakat Pangandaran. Kini kita setuju bahwa secarik takdir memang tak mungkin dipungkiri. Ia begitu saja mampir tanpa janji, datang tanpa diundang. Pergi tanpa pamit kembali lagi tanpa ciri-ciri. Bencana alam tak mau berembuk dengan penduduk setempat. Ia tidak mengajak bantuan siapa pun, ia begitu saja menimpa kita tanpa basa basi. Sungguh bencana tak kenal sakral, alam tidak sering panca kaki dengan penghuninya. Demikian untuk setiap bencana alam tidak ada jawaban yang indah selain menunduk sujud pasrah terhadap keputusan-Nya, sedahsyat apa pun bencana itu.

Selain jawaban teologis, tentu saja ada banyak jawaban lagi. Antara lain bencana alam dapat dijawab secara sosiologis. Isyarat Allah Swt melalui kalam-Nya menegaskan kalau kerusakan di darat dan di laut adalah karena tangan manusia sendiri. Maka persoalan bencana alam menjadi sepenuhnya persoalan (sosial) kemanusiaan. Lebih bijak kita menyimulkan setiap bencana adalah suatu peringatan untuk kebaikan penghuninya. Maka wajar saja kalau bencana mengingatkan manusia (kita) yang lupa. Setiap lupa ada obatnya, yaitu peng-ingat. Sebelum lupa itu (kita) larut menjadi ingatan yang mapan, maka peringatan datang ketika lupa menjadi benar-benar sangat ingat. Tentu saja peringatan bukan hanya untuk korban, melainkan untuk kita yang “selamat” dari bencana gempa atau tsunami ini.
Masalah Bencana Sebagai Masalah Sosial
Tak pelak lagi sebagian masyarakat Pangandaran memendam perasaan yang sangat mendalam dan sangat luar biasa (di luar kebiasaannya) pasca dilanda musibah bencana alam tsunami. Betapa tidak, semula mereka memilki rumah, sekarang hilang begitu saja (tanpa alasan apapun dan tidak bisa menyalahkan siapapun). Dalam waktu sekejap saja, mereka kehilangan kondisi sosial yang telah mapan. Mereka harus rela kehilangan anggota keluarga; ayah, adik, dan kakak. Tidak hanya itu, mereka juga dituntut harus memulai kehidupan baru lagi, setelah sekian lama mereka jalin. Sekarang mereka harus memulai kembali dari nol. Kini lingkungan sosial tidak seperti dahulu, mereka harus menenun kembali kenyataan sosial yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya.
Dalam perspektif sosiologi terdapat Life Change Unite (Unit Perubahan Kehidupan). Setiap orang mengalami LCU ini, baik secara sosial maupun individual. Secara kuantitatif, semakin sering LCU menimpa seseorang maka semakin terancam orang itu. Akibatnya depresi berat hingga mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Demikian semakin jarang LCU menimpa seseorang maka semakin nyaman orang itu. Penelitian sosial menunjukan semakin sering dan berbobotnya LCU seseorang semakin kompleks sistem sosial yang tengah berlangsung, sehingga bisa melahirkan patologi sosial. Teori ini dikembangkan oleh sosiolog Hans Selye dalam bukunya The Stress of Life sejak tahun 1956.

Selain itu, LCU juga memiliki daya kualitatif. Di sini perubahan tidak sering tapi berbobot (mutu atau kualitas), bahkan di luar dugaan sekali pun. Seseorang akan berubah drastis misalnya, jika tiba-tiba ditinggal kekasihnya tanpa sebab yang dapat dimengerti. LCU kualitatif seperti ini sangat memungkinkan depresi yang akut. Seorang anak ditinggal ayah hanya karena bercerai (tanpa si anak tahu sebabnya), si anak bukan hanya mendapat gangguan psikologis yang berat. Tapi justru goncangan sosiologis yang memungkinkan anak itu menjadi sosiopat (kelaian sosial) karena terasing dan kehilangan kasih sayang orang tuanya. Bahkan bisa lari ke patologi sosial.
Begitulah seorang wanita menjadi pelacur, bukan hanya disakiti kekasihnya secara psikologis. Tapi lebih disakiti secara sosiologis, sehingga ia memasuki dunia baru (memilih menjadi pelacur) dan meninggalkan dunia lama (kembali tanpa kekasih). Beberapa penelitian dalam ilmu sosial membuktikan bahwa berpindahnya word view (pandangan terhadap dunia) dalam diri seseorang lebih dikarenakan oleh hentakan sosiologis dari pada psikologis. Sebab dimensi psikologis adalah ruang pribadi, lingkungan dalam. Sedangkan dimensi sosiologis adalah dimensi ruang publik, lingkungan luar. Demikian orang sakit jiwa bukan saja melemah kejiwaannya secara pribadi, tetapi lebih karena kehilangan kondisi sosialnya. Ia terasing dari lingkungan sosial di mana kenyamanan kemudian memudar dan asing.
Bagaimana dengan masyarakat Pangandaran, apalagi. Gempa bumi dan tsunami telah mengubah kedaan mereka. Bukan hanya pisik, melainkan juga non fisik. Dahulu Aceh ditimpa gempa tsunami, sekarang belum pulih secara sosiologis. Kini gempa bumi menimpa daerah pantai selatan, sekarang masyarakat menunggu uluran tangan kondisi sosial nyata dari kita. Demikian secara sosiologi, maka masyarakat setelah bencana akan mengalami beberapa kerentanan.

Pertama, masyarakat kehilangan sistem sosial lama yang telah mapan, sekaligus dituntut harus mengulanginya kembali. Bila ini tanpa dampingan, masyarakat bisa jatuh sakit. Jelas di sini bukan sakit secara medis-biologis, tapi sakit sosial yang hanya dapat terobati oleh proses sosial lagi. Kondisi stress sosial masyarakat dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan sosial yang baru.

Kedua, masyarakat kehilangan solidaritas sosial yang telah mapan. Dalam waktu relatif singkat, masyarakat harus memulihkan kembali tatanan solidaritas yang telah runtuh akibat hebatnya bencana. Kata sosiolog Emile Durkheim, ancaman solidaritas bisa mendorong orang berbuat jahat. Solidaritas adalah sebuah nomos (keteraturan) bagi masyarakat, ketika solidaritas hancur maka nomos berubah menjadi anomie (terasing secara sosial). Karena anomie bunuh diri bisa menjadi solusi, misalnya harakiri di Jepang. Semakin tinggi tingkat anomie semakin banyak orang melakukan bunuh diri.

Ketiga, terkurasnya mobilitas sosial hingga kekurangan, dapat membuat anggota masyarakat kehilangan kebiasaan. Ancaman ini berakibat pada lenyapnya kesempatan pencaharian kebutuhan hidup. Dampaknya orang gampang memilih jalan pintas mencuri atau menjual diri. Diterangkan secara sosial, setelah Putus Harapan Kerja (PHK) orang tidak menjadi salah melakukan pencurian demi sesuap nasi. Apalagi PHK oleh bencana alam, maka kejahatan bisa saja semakin beralasan. Memerlukan Kerja Sama

Dalam menghadapi masyarakat pascabencana ini tidak lah mungkin dilakukan secara sepihak. Tetapi dibutuhkan kerja sama yang menyeluruh dengan berbagai pihak yang terkait agar dapat dicapai hasil yang optimal. Terutama bagi dinas sosial sendiri. Sebab dinas sosial merupakan satu-satunya yang berwenang menanganinya, wakil pemerintah. Demikian pula pihak LSM diharapkan dapat memberi cinta dan kasih sayang sesuai hak mereka. Karena kecelakan mereka hanya karena mereka terlahir dan mendiami Pangandaran. Unsur lain yang teramat penting adalah masyarakat setempat terutama mereka yang paling dekat. Sebab mereka sebenarrnya tidak hanya butuh dikasihani tapi juga ditemani.

Maka tanpa adanya pertemanan dengan mereka tidak lah mungkin pemecahan masalah korban bencana dapat berlangsung secara optimal. Para tokoh agama diharapkan dapat bersikap proaktif terhadap warga sekitar. Sedangkan kerja sama pemerintah dengan seluruh unsur masyarakat merupakan muara proses sosial bagi masalah bencana ini. Karena permasalahan bencana juga permasalahan pemerintah. Begitu pun posko-posko sukarelawan sebaiknya melihat korban sebagai teman bukan sebagai korban bencana alam. Sebab mereka telah banyak kehilangan teman sepanjang hidupnya.

Sebagai antisipasi dari kerentanan sosial tersebut, Negara memberikan dana konpensasi. Tentu saja belum tentu memadai. Maka wajarlah bila segenap aktivis, banyak mahasiswa, dan sebagaian besar ormas-ormas Islam menggalang dana sebagai rasa integritas sosial sesama masyarakat. Boleh jadi selama perawatan, masyarakat pascabencana seakan terhibur kekalutan sosialnya. Namun, setelah posko-posko bantuan selesai, mereka kembali terusik oleh ingatan sosial yang terkubur bersama bangunan hancur.

Sungguh dapat dipastikan sumbangan dana sosial itu tidak akan selamanya mengalir, maka siapa kah gerangan yang akan sanggup menggantikan stabilitas sosial mereka yang dalam sekejap telah hilang oleh tsunami. Siapa lagi yang sudi memberi ketentraman sosial yang nyata setelah hancur luluh ? Dengan siapa lagi masyarakat pascabencana bersenda gurau menyusun mahligai sosial yang telah ambruk, menenun solidaritas sosial yang telah hanyut terbawa gempa ?. Ini tentu saja tantangan besar bagi pemerintah untuk menanggulangi kekhawatiran-kekhawatiran sosial masyarakat pascabencana. Juga bagi kita untuk membuka mata lebar-lebar. Kini banyak anak yatim, janda-janda, anak putus sekolah, dan banyak lagi.

Atas dasar prinsip kemanusiaa teramat tidak wajar bila terdapat beberapa gelintir oknum menyelewengkan dana hibah sosial bantuan dari luar negeri. Ini tentu saja harus segera ditindak tegas oleh pemerintah berdasarkan prinsip kemanusiaan pula. Dan yang paling penting, kini masyarakat pascabencana bukan hanya mereka yang mendapat musibah, melainkan juga kita. Yang sedang diingatkan oleh kasih sayang-Nya, karena mungkin lupa kita telah benar-benar sangat ingat. Kalau kita bisa menerima kasih sayang-Nya. Maka sebuah bencana adalah sebuah pelajaran yang teramat agung bagi kita. Wallahu A’lam Bissawwab ][

* Penulis Pemerhati Masalah Sosial-Budaya, tinggal di Bandung

Menggugat Bolotisme

MENGGUGAT [lagi] yang Menggugat;
dalam rangka mengembalikan tradisi diskursus

oleh; te. Ditaufiqrahman

"Sebab nalar adalah sampar yang menular"
(te. Ditaufiqrahman; 2007)

Muqaddimah

Pada waktu dulu, makmum diperbolehkan untuk bertanya kepada khatib jum'at tentang apa yang telah disampaikannya dalam khutbah jum'at. Hal ini sangat beralasan kalau kita mau sejenak melirik apa hikmah dari khutbah jum'at ini, menurut al Jazairi, salah satu hikmah diadakannya shalat jum'at adalah kerana harus ada khutbahnya itu, kalau nggak ada khutbah? Apa bedanya dengan shalat dzuhur biasa.

Dalam khutbah jum'at khatib dianjurkan untuk memberikan dorongan untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama islam, memberikan penjelasan bagaimana tuntunannya, atau memberikan penjelasan atas problematika masyarakat pada waktu itu sebagai targib atau tarhib untuk terus menjalankan syariat islam.

Maka disitulah letak pentingnya khutbah jum'at, sebagai introspeksi formal ritual selama seminggu dalam menjalankan ibadah lebihnya sebagai forum dialog dalam rangka meningkatkan keimanan. Namun pada saat sekarang ini, tradisi seperti itu seakan-akan jarang untuk kita jumpai. Malahan kalaupun ada, kita akan merasa sangat asing untuk melihatnya bahkan tak jarang orang akan menggunjingkan dan berprasangka yang macam-macam.

Hemat saya, tradisi saling bertanya ini atau lebih khususnya tradisi diskusi, dialog, curah gagasan, lontar pendapat, lempar kritik-konstruktif sudah mulai redup (untuk menghindari kata; padam). Entah apa alasannya sehingga tradisi klasik ini mulai menghilang. Kalaupun ada, seperti yang saya ungkapkan di muka, akan kelihatan aneh.

Mungkin kita mesti merenungkan sejenak ungkapan sinis Coelho untuk hal yang satu ini, bahwa mungkin kejahatan adalah wajah lain dari kebaikan. Bisa jadi sesuatu yang kita anggap jahat pada dasarnya adalah baik, bisa jadi sesuatu yang kita anggap aneh pada mulanya adalah hal yang kaprah. Contohnya tradisi jum'atan yang saya terangkan di awal, kalau pada waktu sekarang ada yang 'nanya sewaktu jum'atan (khatib ceramah) bisa dianggap agama baru. Tetapi ironisnya, ngobrol ketika khatib menyampaikan khutbahnya sudah jelas-jelas nggak ada dari sono-nya bahkan hukumnya dengan tegas dalam hadits dikatakan tidak boleh dan bisa membatalkan ibadah shalat jum'at, malah kita kerjakan.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Entahlah, mungkin karena kita sudah terbiasa lama melihat kegelapan dan tidak menemukan keterangan (cahaya) maka lamat-lamat kita mengganggap kegelapan adalah cahaya itu sendiri. Sudah lama kita bergaul dengan kejahatan sehingga tak kenal mana kebaikan lambat laun menganggap bahwa kejahatan adalah kebaikan itu sendiri dan ketika ada kebaikan yang sebenarnya kita langsung curiga bahwa itulah kejahatan yang mesti kita perangi, yang mesti diberesi. Kita seperti orang-orang gua dalam ceritanya Plato, menjadi seperti masyarakat dalam ceritanya putu wijaya, menjadi bukan diri kita sendiri. Tetapi yang jelas satu yang mesti kita sadari bahwa perubahan ini berjalan tanpa kita sadari.

Maka untuk memperkenalkan kembali kebaikan yang pernah dianggap jahat, atau menegaskan bahwa yang kita anggap baik adalah jahat, saya secara pribadi ingin menanggapi tulisan saudara Ridwan Faridz yang berjudul "Menggugat Budaya Bolotisme Mahasiswa" pada kersa edisi 10 bulan November 2006.

Pada mulanya adalah kelakar nalar…


Sebelum membahas tulisan saudara saya, Ridwan Faridz, terlebih dahulu saya ingin kemukakan beberapa hal penting sebagai iftitah; kenapa saya sampai tergerak untuk menanggapi tulisan saudara saya itu sekaligus untuk menepis anggapan-anggapan miring yang berbau subjektivitas-negatif.

Singkatnya, tradisi DISKURSUS kita sudah sekarat! Terus terang saja kondisi nalar diskusi kita sedang koma dan kalau tidak disembuhkan bakalan benar-benar mati! Dan untuk menerima kematian nalar jenis ini terus terang saya belum sanggup! Kembang kempis nasib, katakanlah, tradisi diskursus (baca, tulis, diskusi) ini bisa disebabkan oleh beberapa factor. Bisa jadi salah satu dari tradisi diskursus ini tidak dijalankan. Ada yang baca tapi tidak nulis, ada yang nulis namun jarang baca, eh ada juga yang rajin diskusi tapi nggak pernah baca apalagi nulis… gawat! Bisa-bisa jadi tukang obat! Karena saya nggak mau disebut tukang obat, pada demagog, kaum sophis makanya saya nulis.

Maka untuk menghidupkan kembali tradisi diskursus yang sedang mati koma ini caranya beragam bisa baca, bisa merefleksikan hasil bacaan kita, bisa mencoba "mengadukan" gagasan lewat tulisan maupun lisan dengan begitu tradisi diskursus akan terpelihara dan mengabadi sebab apatah tugas kita sebagai mahasiswa selain menjalankan dan menghidupkan tradisi diskursus ini.

Tetapi mungkin ada hal lain yang menutupi tradisi diskursus selain terhentinya salah satu aktivitas diskursus (baca, tulis, diskusi). Pada kesempatan ini saya akan memfokuskan pembicaraan kepada aktivitas ketiga yaitu diskusi.

Diskusi, discourse, apapun itu bentuknya bisa dialog, debat, sharing pengalaman lewat tulisan maupun lisan, baik verbal ataupun non verbal kadang kala terhenti manakala seseorang tidak membaca atau kurang membaca. Sekali lagi apapun itu bentuknya aktivitas yang terkait dengan discourse membaca adalah hal yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan sebagai nyawanya tradisi diskursus. Singkatnya begini saja, kalau kita nggak pernah baca apa yang akan kita diskusikan? Kalau kita nggak baca apa yang hendak kita tulis? Kalau kepala kita kosong, yang akan dibicarakan juga omong kosong? Kalau kita saja nggak ngerti apa yang dibicarakan/ditulis apalagi orang lain? Bagaimana bisa memahamkan orang lain kalau diri sendiri saja enggak paham.

Membaca dapat diartikan beragam macam bentuknya, bisa membaca buku, membaca realitas atau memadukan keduanya membaca realitas dulu kemudian disandingkan dengan teori atau sebaliknya membaca teori dulu kemudian dilihat apakah cocok nggak dengan kenyataan saat ini. Pembacaan dialektis ini penting, supaya kebermanfaatan teori bisa dirasakan dalam hidup keseharian.

Alasan lain yang menyebabkan diskusi ini terhenti adalah karena adanya diskusi yang tidak sehat, tidak nyaman, uncomportable discourse. Ada beberapa factor yang menyebabkan diskusi ini tidak sehat salah satunya adalah karena tidak mengertinya para pastisipan terhadap aturan main dari diskusi itu sendiri, nggak paham rule of the game-nya.

Pada kesempatan kali ini saya sependapat dengan Bagus Takwin yang menyatakan bahwa dalam diskusi verbal maupun non verbal, a) manusia berhadap-hadapan sebagai pihak yang sejajar dan berdaulat sehingga komunikasi tidak menciptakan situasi subjek-subjek yang bersubordinasi satu sama lain, b) komunikasi menyediakan ruang kebebasan untuk menangkap maksud orang lain dan tidak ada pemaksaan agar satu pendapat diterima dan yang lainya disampahkan.

Maka dengan adanya tulisan ini saya tak mempunyai niat untuk menjelekkan, menyalahkan atau mau menunjukkan tulisan dan pendapat saya yang benar, baik dan bagus sebab sebagaimana yang dikatakan Richard Rorty bahwa setiap gagasan, pendapat mempunyai kemungkinan menjadi kebenaran-kebenaran kecil diantara kebenaran-kebenaran lainnya. Imam syafi'I mengatakan dalam pendapatku mungkin terdapat kebenaran tetapi bukan berarti tidak salah dan dalam pendapat orang lain mungkin terdapat kesalahan namun tidak lantas menjadi salah.

Setiap tulisan, gagasan pada mulanya adalah kelakar nalar yang nakal sebagai upacara respon terhadap realitas yang ada, namun persoalannya ketika nalar berkelakar tidak sama dengan kelakarnya si Bolot. Si Bolot berkelakar tak akan memunculkan revolusi tapi ketika marx berkelakar maka dimungkinkan revolusi terjadi. Itulah bedanya nalar dan bukan nalar. Maka ketika nalar berkelakar mesti penuh dan siap dengan pertimbangan dan pertanggung jawaban. Sebab nalar adalah sampar yang menular.

Mentitik bukan mengkritik
Setelah mengemukakan genealogis tulisan ini, sudah saatnya saya mulai menukikkan pembahasan kepada tulisan saudara Ridwan Faridz. Pada dasarnya saya sangat setuju dengan asumsi dasar yang disebutkan oleh saudara Ridwan, singkatnya saya memahaminya seperti ini; bahwa dia mengkritik budaya yang menjangkiti pada diri mahasiswa yaitu budaya bolotisme.

Budaya bolotisme ini, kurang lebih diartikan oleh Ridwan, sebagai budaya mahasiswa yang "hanya akan mendengar" urusan uang, perempuan dan gaya. Budaya bolotisme ini berimplikasi kepada pemalingan perhatian eksistensial mahasiswa yang sebenarnya yaitu agent sosial of change. Begitulah, kalau bisa saya simpulkan isi, substansi atau esensi material dari tulisan Ridwan ini.

Gagasan ini memang benar adanya, secara sadar tidak disadari memang kita mahasiswa sebenarnya sudah kecolongan pribadi yang mengalihkan perhatian kita dari tujuan yang sebenarnya. Namun ada beberapa yang menjadi catatan bagi saya untuk isi material sebuah tulisan.

Formal tulisan tidak perlu dibicarakan sebab setiap orang bebas menentukan gayanya masing-masing, sesuai seleranya masing-masing pula. Tak perlu dipaksakan. Tak usah diperdebatkan, karena itu menyangkut style penulisan dan saya juga tak berhak menghakimi. Tetapi untuk isi material tulisan, ini penting. Sebab itulah inti dari sebuah tulisan. Gagasannya. Dari pembahasan gagasan ini akan menyangkut bagaimana cara dia mendapatkan gagasan itu, ini lah yang saya ingin konfirmasikan lebih lanjut selain sedikit isi.

Kalau kita jeli, dalam sudut pandang feminis, tulisan Ridwan Faridz ini sangatlah bias gender. Kalau saya jadi wanita saya sudah pasti marah. Kalau saya pacarnya sudah saya putusin ketika membaca tulisannya itu (itu juga kalau pacarnya paham) untung saya bukan, dan tak ada niat untuk pacarannya dengannya.

Apanya yang bias gender? Sangat kentara, jelas, eskplisit, clear and distinct! Baik mari kita bahas, Ridwan dalam beberapa paragraph akhir tulisannya mengatakan "… bagaimana merubah kondisi mahasiswa yang telah terjerat dalam budaya bolotisme? (baca: gaya, uang dan wanita) Jawabannya, rubahlah paradigma berfikirnya. Diakui atau tdak, mahasiswa hari ini telah terjerat dalam budaya tersebut, imbasnya pikiran mahasiswa hanya dijejali dengan uang untuk bergaya dan sibuk mencari wanita" (kersa, edisi 10 November 2006, hal 18)

Kita pakai logika sederhana saja untuk menunjukkan bias gender ini, tesis awal Ridwan adalah; budaya bolotisme telah merusak (paradigma berpikir) mahasiswa, apakah budaya bolotisme itu? Budaya bolotisme adalah gaya, uang dan wanita. Jadi uang, gaya dan wanita merusak mahasiswa. Benarkah uang, gaya dan wanita telah merusak pikiran mahasiswa? Sebelum melanjutkan ke tesis selanjutnya saja, bias gender sudah kelihatan dengan gamblang bukan?

Kita akhirnya mesti mengakui bahwa pendidikan gender yang seharusnya gencar dilakukan adalah terhadap laki-laki bukan perempuan saja. Sebab, sama perlunya memahamkan pengertian bahwa salahnya menindas bukan kepada yang tertindas tetapi si penindas. Yang lebih mulia adalah orang yang memberi maaf, sebab dalam kondisi yang menguntungkan itu dia bisa memaafkan. Seperti halnya dalam konteks ini, lelaki yang berkesadaran gender lebih baik daripada perempuan yang memahami gender.

Ridwan mungkin mendasarkan asumsinya ini kepada pengalaman-pengalaman yang mengisahkan bahwa mahasiswa yang kalau sudah kalut dengan persoalan perempuan akan mengeruhkan bahkan "merusak", begitu kata Ridwan, geraknya dalam menjalankan tugas sebagai agent sosial of change.

Hemat saya, asumsi ini kurang beralasan sebab terlalu mengeneralisir kasus-kasus yang bersifat particular, seolah-olah seluruh mahasiswa di dunia mengalaminya. Memang, ada yang mengatakan bahwa kejadian satu manusia adalah kejadian seluruh manusia. Tetapi hal itu tidak lantas mengijinkan sebuah generalisasi yang jor-joran. Hal ini tidak bisa dihukumi dengan pengandaian eksak, misalnya tembaga bila dipanaskan memuai, maka jam juga kalau dipanaskan akan memuai karena jam adalah tembaga.

Sepertinya kita sepakat bahwa mahasiswa adalah manusia bukan tembaga apalagi jam, pikiran tentang wanita bagi seorang mahasiswa mungkin akan merusak tetapi ini tidak serta merta memberi hukum yang sama bagi mahasiswa lainnya. Kendati pada kenyataanya secara kaprah bisa diterima, namun Faridz dalam tulisannya tidak memberikan penjelasan yang demikian.

Saya curiga ini adalah pengalaman pribadi yang terpaksa dibenarkan lewat rasionalisasi liar tanpa alasan. Kalau alasan yang saya ungkapkan ini benar, tak mengapa, karena hidup adalah pencarian legitimasi. Semua orang mencari legitimasi. Kita selalu mencari legitimasi atas setiap tingkah langkah laku yang akan/telah dan sedang diperbuat. Persoalannya alasannya bener nggak? Jangan hanya di bener-benerin padahal tidak bener, 'kan repot?

Kemudian saya ingin mengkomparasikannya lagi permasalahan ini dengan pendapat Faridz yang menyebutkan "Kalau kita sudah menyadari bahwa pikiran adalah ornamen penting penggerak hidup manusia, maka untuk merubah kondisi hidup manusia jalannya adalah dengan merubah cara bepikirnya…" (kersa, edisi 10 November 2006, hal 18)

Kenapa tidak kepikiran sama Faridz ya? Sebenarnya untuk menyelamatkan mahasiswa dari budaya bolotisme yang merusak itu tinggal balik saja pola pikirnya bahwa perempuan itu tidak merusak mahasiswa dalam menjalankan aktivitasnya sebagai agent sosial of change, malah membantu sebagai penyemangat gerak, misalnya. Bahwa uang tidak mengeruhkan pikiran melainkan sebagai sarana pendukung, begitu pula dengan gaya. Bisa 'kan merubah sosial dengan gaya? Misalnya trend baju, rambut, sepatu tinggal disisipi saja nilai-nilai luhur.

Dari alur berpikir seperti ini, saya menemukan adanya inkonsistensi dalam gagasannya, argumentasi yang dikemukakan seyogianya mendukung kekuatan tesis, ini malah lamat-lamat meruntuhkan dan bertolak belakang dengan tesis awal.

Mungkin inkonsistensi dan generalisir ini tidak disadari oleh Faridz sendiri. Dalam Ilmu Mantiq, al Ghazali pernah mengatakan فمن طق فقد ثزندق barang siapa orang yang tidak memakai aturan-aturan mantiq (logika) dalam pembicaraannya maka dia adalah zindiq. Inkonsistensi dan generalisir adalah salah satu aturan dalam mantiq (logika).
Selanjutnya saya ingin mengulas perihal rumusan argumentasi-argumentasi yang dibangun dalam mendukung gagasannya. Faridz memulai tulisannya dengan mengutip pernyataan Dick Hebdige aku berbicara lewat pakainku. Entah apa alasannya ia mengutip itu dan menyimpannya di awal tulisan, karena dalam badan tulisan tak ada pembahasan mengenai apa yang dikutipnya dari awal.

Yang saya takutkan ini adalah salah satu eufhoria kata-kata, kita terbius ketika mendapatkan kata-kata yang sangat menonjok pikiran kita. Dan berkata "gua banget nih kalimat" Imbasnya kita selalu pengen menggunakan kata itu yang seolah menjadi tema dunia pada saat ini dan ketika ada persoalan kita selalu menyambung-nyambungkannya. Entah dengan Faridz, tetapi ini yang saya rasakan ketika mendapatkan kata-kata baru dan biasanya sih seperti itu.

Dick Hebdige mulai tersambung lagi dengan wacana yang dihembuskan oleh Yasraf kalau memang itu ide utamanya mengapa pembahasannya kurang gereget ya? Tidak mendapatkan pembahasan dengan porsi yang besar. Selanjutnya saya dibingungkan dengan beberapa repihan-repihan konsep misalnya; konsep hegemoni Gramsci, role dan statusnya (mungkin dari Parsons), unconsciuosness nya Marx, konsep masyarakatnya ali Shariati, egonya Descartes.

Hemat saya konsep-konsep yang disebutkan oleh Faridz tidak mendapatkan menjelasannya yang utuh sehingga, bagi saya, susah untuk menyambungkannya antara konsep-konsep itu, disebelah mana mau disambungkannya? Pada hal benang merah setiap konsep tidak kelihatan sehingga yang ada hanya mengaburkan dan merusak konsep yang ada.

Maka diakhir tulisan pun, Faridz mengutip sajak Wiji Thukul, hemat saya kurang pas menyimpan sajak wiji disana dengan ketakutan mencerabut makna dari sajak itu. Tetapi kalau hanya sekedar untuk mencari spirit perlawanan dan bangkit, bebas saja, namun untuk kepentingan argumentasi sajak itu tak berpengaruh apa-apa. Karena dengan ada atau tidaknya sajak itu dalam tulisan tak memberi penguatan secara argumentatif.
Ditambah komparasi budaya bolotisme dengan tokoh bolot sebagai selebritis tidak digubris sedikitpun padahal itu adalah tema utama dari tulisan. Hal ini penting sebab budaya bolotisme adalah istilah yang baru hanya segelintir orang yang memahaminya, bahkan mungkin Faridz sendiri yang mengenalnya sedangkan orang lain tidak. Maka kebutuhan dalam penganalogian menjadi mendesak karena tidak bisa dibebaskan kepada pembaca secara liar untuk menafsir, memang sekarang zaman the death of the author tetapi apa salah toh memberikan pemahaman kepada orang lain.
Hamdalah

Akhirnya, saya curiga tulisan faridz ini belum beres dan saya harap Faridz bisa membuat tulisannya lagi yang lebih "beres" supaya bisa memberikan pencerahan kepada orang lain, terutama kepada diri sendiri. Karena mungkin itu adalah salah satu tugas mahasiswa sebagai perubah sosial. Jangan sampai tulisan hanya sekedar tulisan. Tidak melaku dalam kenyataan.

Contohnya kita menggugat mahasiswa yang gawennya hanya mencari uang, gaya dan wanita padahal dirinya sendiri bertingkah seperti itu. Wacana hanya sekedar gaya buat cari uang, buat cari wanita, buat cari pesona. Sebetulnya kita sedang menggugat diri kita sendiri dan itu baik kalau sadar! Celakanya, kita sering menggugat orang lain padahal yang pantas digugat adalah diri kita sendiri. Jari kita menunjuk kepada orang lain tak pernah kepada diri kita. Kapan sih kita akan nyadar? Tabik! Buat teman saya ini. Wallahu 'alam bish showab.

Penulis adalah anggota Jarik (Jaringan Islam Kampus Bandung)

Bolotisme

Menggugat Budaya Bolotisme Mahasiswa
Oleh Ridwanfaridz*

"Aku berbicara lewat akaianku"
-Dick Hebdige-


Keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi atau sekarang lebih populer dengan sebutan universitas, tentunya diiringi dengan kesadaran. Kalaupun tidak, minimal sadar akan statusnya sebagai mahasiswa setingkat lebih tinggi dari siswa. Kenapa? karena kesadaran akan status setidaknya menetukan bagaimana keberadaan (eksistensi) seseorang. Dalam hal ini mungkin tepat juga apa yang pernah diungkapkan oleh Marx bahwa keadaan sosial sesorang menetukan kesadarannya. Tapi itu sebatas kemungkinan, karena faktanya tidak sedikit yang berbicara sebaliknya.


Keberadaan mahasiswa, di sadari atau tidak, adalah bagian integral yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Masyarakat menurut Ali Syariati, ibarat sebuah kerucut. Dimana terdiri dari lapisan bawah yang dihuni oleh masyarakat kebanyakan (baca:biasa) dan lapisan atas yang dimukimi masyarakat elit yang salah satunya adalah golongan intelektual. Bila berkaca dari pemikiran sosiolog islam tersebut, maka mahasiswa menempati lapisan atas dalam masyarakat. Hal ini logis, karena mahasiswa dipandang oleh khalayak ramai, sebagai golongan yang terpelajar.

Konsekuensi logis dari sebuah status adalah adanya peran dan tugas yang diemban. Dalam teori sosiologi lazimnya disebut role and status. Teori ini menjelaskan bahwa setiap status senantiasa dibarengi dengan kewajiban peran dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.Dalam hal ini, mahasiswa yang statusnya dalam lingkungan sosial sebagai kaum cerdik pandai, tentu keberdaan mengenai peran menjadi suatu keniscayaan. Salah satu peran mahsiswa yang paling urgen adalah sebagai agen perubahan sosial (Agent of social change).

Melihat realitas mahasiswa hari ini, wabil khusus mahasiswa kampus gersang (baca: UIN SGD) meminjam isttilah para aktivis kampus. Dimana mahasiswa lebih disibukan dengan gaya hampa makna, berkutat wanita miskin wacana, gemar menggosip anti mengkritik, kuliah hanya dengan konsep D2P (datang, duduk pulang) dan segenap persoalan miris lainnya. Apakah mungkin, peran sebagai agen perubahan sosial itu akan terwujud?

Jawaban persoalan tersebut mungkin bisa mungkin juga tidak. Bagi seorang pesimis mungkin menanggapinya dengan sinis dan jawabannya tidak mungkin karena budaya mahasiswa hari ini meminjam istilah Antonio Gramsci telah di hegemoni oleh budaya konsumerisme sebagai anak emas kapitalisme. Menurut Yasraf Amir Pilliang, dalam bukunya Sebuah Dunia yang Dilipat, ia berpendapat bahwa dalam budaya konsumerisme konsumsi tidak lagi diartikan semata sebagai lalu lintas kebudayaan benda, tetapi akan menjadi panggung sosial yang di dalamnya makna-makna sosial diperebutkan. Lebih lanjut ia berujar bahwa budaya ini menjadi suatu medium untuk pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup dan cara differnsiasi status sosial yang berbeda.

Bercermin dari pemikiran Yasraf tersebut, tidaklah mengherankan bila realitas hari ini menunjukan bahwa mahasiswa yang telah terjerumus dalam budaya tersebut telah lupa akan perannya karena terninabobokan oleh budaya bujuk rayu yang berimbas pada aktivitas mahasiswa yang hanya disibukan mengurusi hand phone yang harus diganti dengan model baru atau gaya pakaian yang sedang ngetrend serta segenap persoalan lain yang dangkal makna. Hal tersebut menjadi akut dalam diri mahasiswa. sehingga untuk merubah kondisi tersebut adalah nonsens belaka.

Sebaliknya dari jawaban diatas, bagi orang optimis akan berpikir kenapa tidak, toh tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau berusaha. Persoalannya kita yang sadar dengan kondisi tersebut berani tidak merubahnya? Untuk merubah kondisi tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan.

Dalam hidup ini, kita sebagai manusia harus menyadari bahwa kita diberikan keistimewaan oleh Tuhan untuk mencerna problem dunia yaitu dengan di berikannya potensi berpikir sebagai konsekuensi logis adanya akal pikiran. Karena manusia hidup tergantung pikirannya. Tuhan pun pernah mengatakan bahwa Aku seperti apa yang kamu pikirkan. Jika kita memandang hidup dengan optimis, maka hidup akan semangat begitu juga sebaliknya. Bahkan jauh-jauh hari Descartes pernah bergumam bahwa berpikr adalah sebuah proses bagi manusia untuk menentukan eksistensinya, dengan jargon yang terkenal yaitu cogito ergo sum.

Kalau kita sudah menyadari bahwa pikiran adalah onramen penting penggerak hidup manusia, maka untuk merubah kondisi hidup manusia jalannya adalah dengan merubah cara bepikirnya atau bahasa kerennya paradigmanya.

Kembali kepersoalan pokok, yaitu bagaimana merubah kondisi mahasiswa yang telah terjerat dalam budaya bolotisme? (baca: gaya, uang dan wanita) Jawabannya, rubahlah paradigma berfikirnya. Diakui atau tdak, mahasiswa hari ini telah terjerat dalam budaya tersebut, imbasnya pikiran mahasiswa hanya dijejali dengan uang untuk bergaya dan sibuk mencari wanita. Kalau pun tidak, mereka berusaha untuk kuliah secepat mungkin beres. Tidak peduli dapat ilmu atau tidak yang penting cepat dapat ijazah kemudian kerja, ujung-ujungnya duit juga.

Sangat ironis kalau kondisi seperti ini dibiarkan akut karena pada endingnya mahasiswa akan terjerembab dalam jurang keterasingan teralienasi dengan dirinya sendiri. Imbasnya mahasiswa akan tuli dengan keadaan-keadaan sekitar dan lupa akan perannya sebagai agent perubahan sosial. sehingga alih-alih menjadi agent of sosial change malahan menjadi agent of sosial problem. Naudzubillahhi mindalik.

Untuk memberangus budaya tersebut, maka paradigma berfikir mahasiswa harus di kembalikan kepada khitahya, yaitu sebagai agen perubahan sosial. Untuk itu mari kita bulatkan tekad untuk pencerahan pikiran kita dengan sebuah kalimat yang di gaungkan Wiji Tukhul kepalkan tangan maju kemuka; lawan !!!

Wallahu'alam bis shawwab.
Pojok Pena 290906.0100.
*PenulisadalahmahsiswaSosiologiSemester V dan Sekarang nyantri di LPIK UIN Bandung.

Pluralis

Meretas Pluralitas
Oleh te. Ditaufiqrahan


Pada awal abad ke 21 ini terdapat tiga gejala umum yang mendominasi kehidupan manusia, pertama, akibat dari perkembangan teknologi informasi, setiap saat manusia selalu berhadapan dengan jutaan informasi yang muncul begitu saja, tak terduga, tak dapat ditolak, tak tertebak, menghenyak-desak tampil dalam segala aspek kehidupan.

Media massa-cetak maupun elektronik-tersebar di segala penjuru dunia mengirimkan informasi-informasi terbaru setiap detik yang menciptakan pula keusangan, kebasian informasi setiap menit-detiknya. Dunia seolah berlari tak terkejar oleh derapan kaki manusia, manusia terengah-engah membuntuti dunia yang tak pernah berhenti berubah, bahkan dalam hitungan satuan waktu terkecil sekalipun, sehingga informasi tentang perubahan pun muncul terus menerus seperti tembakan sinar laser yang tak putus-putusnya.


Sementara manusia harus mengambil pelbagai keputusan bagi hidupnya, dan keputusan tersebut didasarkan oleh informasi yang didapatkannya. Pertanyaannya, informasi mana yang harus diikuti?

Kedua, maraknya pelbagai pertikaian antar golongan primordialisme, baik pertikaian antara agama, ideology, suku, ras, munculnya kelompok kepercayaan (cult), pelbagai kerusuhan akibat bentrokan dua kelompok yang mengklaim mewakili suatu kepercayaan tertentu dan pelbagai bentrokan primordial lainnya, merupakan contoh umum dari gejala ini.

Di lingkungan kampus sering organisasi mahasiswa tak terlalu hirau terhadap pendapat-pendapat, opini-opini, gagasan-gagasan dari pihak lain karena telah menganggap pendapat dirinyalah yang benar, gagasan kelompoknyalah yang betul sementara yang lain adalah salah.

Pertikaian itu sering kali seolah tak berujung. Tiap pihak memaksakan kepercayaan dan kehendak mereka kepada pihak lain. Pemaksaan itu pada akhirnya melibatkan kekerasan baik fisik maupun psikis dan memakan korban yang tak kecil jumlahnya, namun tetap saja tak ada jawaban kepercayaan mana yang benar atau paling benar karena yang ada hanya pihak mana yang lebih kuat, pihak mana yang lemah atau pihak mana yang jatuh korbannya sedikit dan pihak mana yang jatuh korbannya lebih banyak.
Ketiga, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang mengarah kepada pluralisme paradigma, ditolaknya homologi pandangan tentang tidak adanya realitas objektif, kegagalan emasipasi manusia, serta hilangnya kebenaran sejati, telah menyebabkan munculnya keserbabolehan dan keserbabenaran.

Filsafat dan ilmu pengetahuan, yang sempat dianggap sebagai tolak ukur kebenaran, kehilangan legitimasinya dalam penetuan apa yang benar dan apa yang salah. Di sisi lain, agama dan etika pun kehilangan legitimasinya untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.

Munculnya ketiga gejala tersebut mengakibat manusia dalam kebingungan, linglung, kehilangan peta dan arah tujuan hidup. Agama yang dianggap sebagai pegangan sudah diombrak-abrik oleh segelintir kelompok yang menentukan dirinyalah yang paling benar dan berhak menentukan bahwa yang lain salah.

Sementara manusia tak bisa hidup tanpa pegangan dan pedoman, tetapi di sisi lain pedoman yang mana akan diambil juga masih tak tentu juntrungannya. Yang ada hanyalah saling klaim pendapat, opini, gagasan dan memperanjingkan asumsi bahwa agama datang untuk kemaslahatan umat manusia di dunia bukan hanya sekedar untuk mengagungkan nama Tuhan.

Lpik; Candradimuka Pluralitas

Dalam menyemai pertikaian, percekcokan, persinggungan dan perselisihan pendapat, opini dan gagasan jalan keluar yang sering ditawarkan adalah tindakan persuasi yaitu dialog. Dialog bukannya monolog. Sayangnya, sekarang ini banyak orang ataupun kelompok lebih banyak lihai dan pintar melakukan monolog tanpa disertai dengan kemampuan dialog.

Sederhananya dialog adalah kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Dalam pandangan ini, ada dua tokoh yang menyuarakan akan pentingnya dialog untuk menyelesaikan perbedaan. Menurut Habbermas dalam rangka menyelesaikan perbedaan yang diperlukan hanyalah membicarakan apa yang beda-beda itu.

Dialog perlu sebab setiap individu dimungkinkan memiliki kebenarannya masing-masing, jadi setiap orang atau kelompok tidak perlu mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan yang lain salah. Nah, dengan jalan dialog ini setiap pendapat diadukan, dipertempurkan, dikomparasikan kebenarannya di ruang public dengan tindakan persuasi yang sering kita sebut dengan diskusi. Dimana argumentasi kebenaran yang paling bertahan dan kuat itulah yang paling benar dan disepakati sebagai kebenaran yang baru.

Sedikit berbeda dengan Habbermas, Rorty menandaskan asumsinya bahwa pada dasarnya setiap orang dan kelompok itu berbeda apapun itu argumentasinya, yang jadi persoalan adalah ketidaksiapan seseorang atau kelompok untuk menerima perbedaan. Jadi menurut Rorty tidak ada konsesus dan kesepakatan, yang ada hanya kesiapan dari setiap individu untuk menerima dengan terbuka setiap perbedaan.

Apapun itu konsepsinya mengenai perbedaan dan solusi untuk keluar dari perbedaan. Lpik hadir ditengah-tengah perbedaan bukan sebagai pembeda melainkan sebagai sebuah lembaga yang memegang berprinsip pluralitas yang secara otomatis mengakui pluralitas kelompok ataupun individu.

Oleh karena salah satu prinsip Lpik pluralitas maka bisa dirumuskan bahwa kesadaran pluralitas yang dibangun dalam tradisi Lpik adalah; a) kritik ideology, b) dekonstruksi, c) analogi permainan, d) imajinasi dan fantasi, e) membiasakan untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan.

Kritik ideology dilakukan untuk membantu manusia untuk membiasakan individu bersikap kritis terhadap bias-bias keyakinan atau pengaruh-pengaruh non rasional lainnya. Dengan kritik ideology, tindakan social dipahami sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Di dalam tindakan, ada faktor-faktor lingkungan dan kepercayaan-kepercayaan individu yang ikut menentukan jenis-jenis dan tujuan-tujuan tindakan.

Dekonstruksi atau pembongkaran dilakukan untuk membantu manusia memahami mana yang alamiah dan mana yang histories. Lebih jauh lagi, dekonstruksi membantu manusia untuk selalu awas dan hati-hati terhadap pembakuan makan dan realitas. Dengan dekonstruksi, manusia dibantu melenturkan skema-skema kognitifnya sehingga mampu menyerap hal-hal baru.

Analogi permainan merujuk pada aktivitas membandingkan pelbagai tindakan dan keyakinan manusia dengan permainan. Setiap permainan memiliki aturan main yang ditentukan oleh pencipta para pemainnya. Dengan analogi permainan dapat dipahami bahwa tindakan dan keyakinan manusia merupakan sebuah kreasi manusia untuk menimbulkan efek-efek tertentu yang memuaskannya. Bahwa tiap individu atau kelompok akan bertahan dengan aturan permainannya masing-masing, tidak berarti orang atau pihak lain harus ikut serta terkena aturan itu.

Imajinasi dan fantasi membantu manusia melampaui apa yang dianggapnya nyata untuk dapat membayangkan apa yang mungkin. Dengan membayangkan apa yang mungkin, kesadaran manusia dapat mengarahkan tindakan pada pencapaian hal-hal yang baru. Imajinasi dan fantasi membantu manusia meningkatkan kreativitasnya sesuai dengan kehendak bebasnya.
Pembiasaan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan akan membantu manusia untuk melenturkan skema kognitif, sehingga siap menerima pelbagai kemungkinan baru yang saat ini masih dianggap sebagai hal yang tidak nyata. Dengan pembiasan ini, manusia dapat mengarahkan tindakannya untuk mengeksplorasi pelbagai kemungkinan baru.

Dengan rumusan yang diuraikan diatas diharapkan setiap individu-individu Lpik khususnya bisa memiliki kemampuan kritik ideology dan dekonstruksi sebagai ajang muhasabatun nafs sedangkan analogi pemainan, imajinasi dan pembiasaan hal yang jarang dilakukan sebagai iman dari setiap amal shaleh.

Kelima formulasi itu tidak akan didapatkan nggetihnya manakala tradisi diskursus (baca, nulis, diskusi) jarang dilakukan secara individual dan lebih-lebih akan mendapatkan legitimasi dan ruhnya dalam komunal.

Wallahu ‘alam bissowab

Pasca TGB

Setelah TGB Kami Mau Dibawa Kemana?
Oleh Endang Suhendang


LPIK sebagai salah satu UKM yang ada di UIN Bandung yang salah satu aktivis organiasinya adalah melakukan kajian keilmuan lintas disiplin. Senantiasa melakukan inovasi dan selalu mencari pormat-pormat agenda kegiatan dalam meningkatkan ketajaman analisa dan metodelogi keilmuan. Tak aneh jika dalam perekrutan anggota baru atau yang dikenal dengan TGB (Taaruf Generasi Baru) bentuk dan nuansanya berbeda dengan perekrutan anggota organisasi yang lain.

Dalam melakukan perekrutan anggta baru LPIK tidak membebankan biaya terhadap anggota baru. Artinya jika calon anggota atau yang tertarik dengan LPIK tapi terbentur dengan biaya hal itu bukan masalah dan sesuatu yang jadi kendala.

TGB tahun sekarang LPIK memilih Tanjungsari sebagai tempat untuk menggodog calon anggotanya dengan terror-teror wacana dan mental yang membuat orang yang punya penyakit jantung bisa mendadak masuk rumah sakit karena suasana yang tegang. “ aing kakara ayeuna manggihan opab siga kieu” ungkap Akong salah satu peserta TGB yang berasal dari jurusan Jurnalistik.

Hal yang senada diungkapkan nano salah seorang mahasiswa sosiologi yang ikut TGB. Sebetulnya ini bukan tanpa alasan atau hanya main-main saja, kata Tedi selaku ketua LPIK periode 2006-2007 ini adalah bentuk pembinaan kader LPIK yang memiliki karakter yang kuat dan keilmuan yang bisa diandalkan. Karena tradisi LPIK yaitu mengutamakan ketiga bidang kajian yaitu membaca, menulis dan berdiskusi. Ketiga hal tersebut mutlak harus menjadi tradi untuk menguatkan ketajaman pikiran dan analisa.

Jika dilihat dari kuantitas anggota LPIK memang tidak terlalu banyak. Dan saat ini penghuninya kebanyakan mahasiswa di fakultas Ushuludin. dan ini memberikan warna yang lain terlebih lagi bahwa Mahasiswa ushuluddin adalah mencetak mahasiswa yang memiliki keilmuan yang dalam dan diharapkan menjadi calon-calon ilmuwan dalam berbagai disiplin

Perjalanan LPIK dari tahun ketahun tidak terlepas dari berbagai gelombang dan ombak yang menghantam perahu LPIK yang sedang berlayar menuju pulau bernama kebenaran. Yang senatiasa ditelisik dari berbagai sudut pandang dan berbagai kajian keilmuan. Maka tak aneh jika LPIK dicap sebagai Corong JIL atau Islam liberal karena dalam melakukan analisanya tidak menggunakan doktrin-doktrin yang kaku dan linier.

Karena senantiasa mencari pormat-pormatan kajian dan kekhasan LPIK tidak memuja satu kajian atau terpaku pada satu metode saja. Maka sekarang LPIK mau membawa anggotanya kearah kajian yang seperti apa dan menyuguhkan wacana apa?kita liahat saja nanti dan ini kembali lagi sepertinya kepada anggaota sendiri sebagai motor penggeraknya. Berbagai kajian keilmuan dipelajari seperti filsafat sampai masalah-masalah social keagamaan. Sebagai sebuah harapan dari anggota baru diharapkan kedepan LPIK lebih giat dan senatiasa menyuguhkan pemahaman-pemahaman keagamaan yang baru. Sehingga keberagamaan kita terasa segar dan senatiasa dinamis dan Up to date.