Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, July 19, 2007

Matabat Bangsa

Mencoreng Martabat Bangsa
Oleh Sukron Abdillah*

Martabat manusia terletak dalam kenyataan bahwa ia memiliki suara hati dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Inilah yang dikatakan manusia itu adalah makhluk persona yang membedakannya dengan makhluk lain. Itu pula yang menyebabkan mengapa manusia jadi satu-satunya makhluk yang terbuka pada transendensi yang tidak boleh dipersaldokan dengan pelbagai kepentingan (Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, 1999: 191).

Hendak kemanakah martabat manusia kita bawa pergi? Ke arah etika utilitarian ataukah hanya berkutat di sekitar proyeksi dorongan destruktif? Atau juga dijabarkan jadi perilaku yang mencoreng wajah martabat kemanusiaan kita yang memantulkan kesucian diri, dengan melakukan tindak kekerasan?

Hidup tak terperiksa

Berita kekerasan fisik di negeri ini juga menggambarkan suara hati nurani yang terhujam di kedalaman hati hanya untuk diri sendiri. Manusia selain dirinya dipandang sebagai “yang lain” dan tidak patut dihargai. Maka penderitaan pun menjadi sebuah kondisi psikologis yang (hanya) pantas diberikan kepada selain dirinya.

Dalam konteks inilah, kekerasan atas dalih kepentingan, kepuasan dan keserakahan diri menggejala. Militer tidak lagi segan memukul dan menembaki rakyat. Teroris berani merancang peledakan bom hanya untuk menderitakan nasib orang lain atas dalih agama.

Kekerasan fisik yang dilakukan mahasiswa dan Pembina IPDN atas alasan senioritas juga adalah potret buram dari etika moral kepemimpinan bangsa kita. Pun demikian, kekerasan berbalut diskriminasi keadilan sosial (khususnya ketimpangan ekonomi) mengundang “tuntutan” dari pelbagai daerah di Indonesia untuk mengibarkan “bendera lokal”.

Peristiwa itu menampar kita dari belakang. Mencekik rasa kemanusiaan kita dari arah yang tak disangka-sangka, bahkan menghancurkan martabat kita yang mestinya menebarkan kasih-sayang. Kekerasan juga merupakan cermin bergambar dari pantulan hidup yang tak terperiksa atau tidak diisi dengan refleksi kritis atas eksistensi diri. Tak salah jika Socrates pernah berujar “Hidup yang tak terperiksa, tidak layak untuk diteruskan”.

Sebab jiwa para pejabat kita tumpul dari kepekaan, mati suri dari rasa kepedulian sosial dan direcoki bisikan nekrofilia yang destruktif. Nilai-nilai kemanusiaan sebagai ciri keotonoman serta tanda dari eksisnya jasad dan spiritualitas kita di mata orang lain, jika tak terperiksa secara kritis akan terseret arus kekerasan dalam pelbagai bentuk.

Kekerasan Vs kebersamaan

Kekerasan adalah sebentuk pelanggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang mengakibatkan bertebarannya penderitaan hingga pada ambang batas yang mengkhawatirkan. Kekerasan juga dapat berproduksi jadi dua stigma yang bertentangan – meminjam istilah J Galtung – yakni kekerasan “dapat diwujudkan” dan “dapat dielakkan”. Kekerasan juga kerap muncul ke permukaan dibumbui doktrinasi Agama, politik kekuasaan, dan perbedaan etnis (Hagen Berndt, 2006).

Berkaitan dengan merebaknya isu kekerasan di tubuh bangsa ini, penting untuk mengembalikan landasan bern egara, berbangsa dan bermasyarakat pada nilai-nilai etika moral berbalut kebersamaan. Tanpa kehadiran soliditas di dalam tubuh bangsa, boleh jadi aneka bentuk kekerasan akan meramaikan jagad keindonesiaan. Dengan persatuan dan kerja bersama-sama atau “sama-sama kerja” menanggulangi “benang kusut” persoalan bangsa, maka semangat gotong royong ini akan menyingkirkan duri di tubuh bangsa.

Dalam teks buku lawas tanpa tahun terbit, yang bertajuk: Pancasila dan Religi, Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ menulis: “Menurut strukturnya ada kita itu baru ada bersama. Bahwa ada berarti ada bersama. Manusia tidak hanya meng-Aku, dia juga meng-Kita. Aku selalu memuat engkau. Hanya dengan dan dalam pertemuan dengan engkaulah; aku menjadi aku.” (hlm 12).

Artinya, hubungan berlandaskan cinta-kasih-sayang antarsesama ialah keniscayaan yang tak pernah nisbi dimakan usia yang meruang dan mewaktu. Ia akan terus-menerus dibutuhkan bangsa ini. Maka, kita mestinya terus mempertanyakan apa dan bagaimana fungsi kita (manusia) di dunia profan ini. Mengutip bahasa Max Scheler “Was ist der Mensch, und was ist seine Stellung in Sein”, Apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realita penampakkan?

Apabila kita merasai bersama bahwa manusia atau bangsa ini, secara eksistensial mesti menampakkan apa dan bagaimana fungsi kemanusiaannya. Maka, yang nampak ialah bahwa manusia bukanlah “monade” atau barang yang tidak memiliki relasi dengan apa pun juga. Namun, sebaliknya. Ia (manusia atau warga bangsa) selalu memiliki keterangan yang jelas tentang dirinya dan menunjukkan kesalinghubungan bersama melalui cara hidup dalam ruang sosial tanpa kekerasan.

*Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM) Bandung. Kini, tinggal di Garut.

Saturday, July 14, 2007

Sukses Ya..!!

Selamat Dan Sukses

Kami atas nama Keluarga Besar LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) dan Post LPIK Turut Mengucapkan Selamat dan Sukses atas terpilihnya Muhammad Alzybilla sebagai Ketua Umum LPIK Periode 2007-2008 pada acara Musyag Ke-XII (14/07) di Pelataran UIN SGD Bandung dengan menyisihkan Naufal M. Nuhal Abrar Hafidz.

Kendati dalam bursa Ketua terdapat tiga calon; Muhammad Alzybilla, Naufal M. Nuhal Abrar Hafidz dan Muhammad Dhian Hariyadi. Saat penjaringan ketiga kanditad itu mendapatkan suara; Alzy (5), Fardi (2), Oval (5) dan abstain (1).

Namun, diputaran terakhir Alzy dapat mengungulinya dengan memperoleh suara 6 (enam) dan Oval 5 (lima) serta abstain 2 (dua).

Semoga dapat membawa LPIK ke arah yang lebih baik dan kami tunggu karyanya.


Bandung, 14 Juli 2007; 19.06 wib



Te.Ditaufiqrahman (Ketum LPIK Demosioner)

Ibn Ghifarie (Koord Post LPIK)

Khutbah Terakhir

Senandika “Sorpus Ipse” Di Akhir Pejalanan
-great refusal-

Oleh te. Ditaufiqrahman

-setiap kata berhak hidup dalam diri seseorang-

[1]

Permenungan atas kompleksitas, paradoksitas serta validitas renik-renik semesta belum jua berakhir malah gegas jadi mula dari titik nadir dijemput dengan untaian kosakata, senandung alfabeta dan nyanyian pikir; dari cogito ergo sum Rene Descartes, sapere aude Kant sampai senjakala gott ist tot! Nietzsche tak bersahut simpul tentang ringkasan. Setiap nyanyian pikir berbuah tanya dan jawaban adalah sebuah prolog untuk menyambut pertanyaan baru.. begitu seterusnya.

Upaya manusia dalam memaknai, memahami dan menelikung kepelikan, kerumitan, kerunyaman tersebut sampai sekarang pun urung menyua ujung tak menyapa singgung. Alih-alih menguasai, memahami, untuk menemukan secercah kepastian tentang realitas, sebongkah pemahaman tentang fe[nomena]. Ke sekian kali manusia hanya harus bercanda dengan temporalitas putusan, jumpalitan dengan semua warna justifikasi, guyon dengan argumentasi yang premateur dan barikade apologi-apologi lainnya yang segera akan menyusul.

Sesaat jawaban. Sehentak pertanyaan.
Namun, tokh [d]ia tak pernah puas. Sebagai manifestasi kosmos yang dianugerahi kemampuan untuk merelung dan menilik, manusia rupanya harus hidup, berjalan dalam aras takdir mitis yang tak lebih mengungkapkan peristiwa-peristiwa puitis dan tragis bahkan sadis. Mewajahkan hasrat untuk melahap nikmatnya erangan akan ‘kata-kata’ menari pada kegamangan, mencebur pada laut yang tak akan surut akan takut. Selintas hanya mampu meleburkan “baham” dengan merangkum semua dalam ungkapan: “ternyata kaulah sumber prahara itu?! Angkat dulu kemudian ceburkan!”.

Sejarah pengetahuan, nalar, filsafat, sains bahkan agama adalah tamsil retak atas kebuntungan dan keloyoan bagaimana kedigjayaan serta kecongkakkan fikir bisa merenjiskan keangkuhan, yang dulu sempat terenyuk dalam kebodohan. Nafas peradaban, kentut teknologi, peluh kuantum, denyut statistika hingga radang kemajuan merupakan isyarat jauh akan lebatnya semangat manusia mengartikan hadirnya. Akan tetapi, lagi-lagi semua itu hanya sekejap. Sekilas pandang yang kembali mererehkan benak kita dalam kesunyian. Segalanya gagu dan bisu. Apa yang dulu terpahat di atas binarnya konsep tiba-tiba berbalik dalam kenyataan. Pelbagai penyakit pun renjis; nihilisme, sophisme, ambiguitas, fantasmagoria, heterorealitas, despritrualitas dan mantra post lainnya yang dengan biadab melunturkan kepercayaan luruh dalam senyap.

Hidup memang mesti dipercaya, hanya entah pada kata yang mana. Seseorang yang mengetahui takdirnya maka dia harus menjalaninya, sengat Gaarder. Bajingan! Siapa yang mau menjalani kehidupan yang kita sendiri sudah mengetahui apa yang harus kita jalani? Maka maha benar Tuhan yang telah mendiamkan takdir dan nasib menjadi-seperti yang dikatakan Chairil- kesunyian masing-masing. Namun kita tak mau menyadari hal itu, sebab kita terlampau rakus akan semua pengetahuan.

[2]

Kalaulah satu peristiwa dengan peristiwa lainnya berjarak hanya sebatas titik zenith yang berada di angkasa kemudian dibelah-belah menjadi dua, tiga, lima, tujuh, sembilan dan seterusnya maka aku berada diantara titik-titik itu yang kemudian memilih tak bernama, tak memiliki identitas yang jelas karena aku berada di angkasa yang hanya dihuni oleh diriku sendiri.

Kalaulah benak ini mengetahui apa yang diinginkan seperti dahulu kala akan kukeluarkan ingin itu dalam ribuan untaian alfabeta, hujanan harap beribu paragraph bahkan umpatan dalam jutaan kalimat cacian, makian dan laknat. Namun sayang, benak kini membatu tak memberitahu apa yang dimau, gagu, kelu dan membisu meski diri tetap meragu terhadap segala sesuatu.

Andaikan Rumi mengenal dan memahami siksaku maka ia akan terjemahkan dengan lekukan putaran tarian Sawa, hamburan prosa cinta dan kidung nyanyian sendu. Andai Nabi berkenan menjamah lukaku dan melupakan sejenak bahwa ia nabi kujamin ia akan menyabdakan hadits-hadits paradoksal, dogma-dogma ambiguitas, aporisma-aporisma yang sedikit vandal yang semuanya terangkum dalam Sunnah Kebalikan.

Andai Tuhan sudi singgah ke bumi menanggalkan jubah ketuhanannya kemudian menyapa lunaku maka ia akan merasakan jantungku yang remuk, otakku yang kusuk dan teman-temanku yang busuk kujamin pula ia akan memfirmankan ayat-ayat brutal, mukjizat-mukjizat binal, membanalkan yang sakral kemudian menawarkan Agama Kesepakatan.

Andaikan aku masih bisa berandai-andai .. Kalaulah aku masih mampu berkalau-kalau.. maka akan kuciptakan semesta imajinasi, lanskap fatamorgana, oase perumpamaan, horizon permisalan yang lebih banyak. Namun apa daya benak sudah lantak dan jasad beranjak berantak.

Air mata kini tak lagi mengabarkan apa-apa, mulut tak mampu menerjemahkan rasa mau, teriak tak mampu lagi mewajahkan seluruh ungkap dan decak, pikiran tersendat untuk mendedah sepenuh gagasan dan opini semua gegas pergi kemudian henti dalam sebentuk sepi dan sunyi. Malam meranggas membentuk dirinya menjadi sebuah terror, tak lagi menawarkan keheningan dan kedamaian.

Semesta remuk.
Angkasa ambruk.

[3]

Berakhirkah hikayat tersebut? Tidak. Oleh sisa-sisa keletihan pada akal dan warisan semangat tualang atas alam raya. Aku mendapatkan diriku ada pada dunia Don Juan yang dikisahkan oleh Bernard Shaw atau cerita seorang Joker dalam dunia Hans Thomas (dan cerita Milan Kundera yang belum kubaca). Mungkin dalam proses kematian Caligula atau entah disaujana mana aku berada tetapi sudah saatnya aku kembali menggumamkan selaksa kata Amir Hamzah “.. lalu waktu, bukan giliranku..”

Aku adalah Coelho yang kehilangan kekasih hingga memaksanya untuk mencari ke titian masa lalu atau ayah Hans Thomas yang mesti pergi ke Athena. Bedanya, kekasihku adalah diriku sendiri dan aku tak perlu jauh-jauh mencari diriku sendiri ke Athena.

Syhadan, setelah pertanggung jawaban “Sang Nabi” (Badru Tamam Mifka beliau menamakannya demikian dalam Lembar LPJ-nya, ketua umum LPIK 2005-2006) aku didaulat dengan satu buah “sendal jepit” menjadi ketua umum selanjutnya menggantikan Sang Nabi ini.
Setelah pembaptisan itu saya merancang beberapa rancangan kerja dengan lima wadah; divisi internal, divisi eksternal, divisi seni dan budaya, divisi pers dan jurnalistik, dan divisi nalar intelektual.

Dalam rentang waktu kurang lebih satu tahun saya telah berbuat;
Kegiatan Taaruf Generasi Baru dilaksanakan di Sumedang yang allhamdullilah bisa “menipu” lebih banyak peserta ketimbang dengan kepengurusan sebelumnya. Dan beberapa acara Pra TGB yang dilaksakan di DPR; Diskusi mantan ketua LPIK yang menghadirkan Yosep, Badru dan Ahmad. Diskusi antar presma perwakilan tiap fakultas, Fakultas Tarbiyah diwakili oleh Presma PAI, Fakultas Dakwah diwakili Presma Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin diwakili oleh Presma Aqidah Filsafat dan Fakultas Adab diwakili oleh Presma BSA

Masih dalam rangkaian acara Pra TGB, yaitu diskusi dengan tema Bebalitikum dengan pembicara Nandang Gawe, Bambang Q Anees dan salah satu mahasiswa Matematika. Beberapa waktu setelah acara TGB sebagai salah satu kegiatan follow up, kita mengadakan perfomance art di DPR.

Lateral pada masa kepengurusan saya terbit dua kali, kemudian propaganda publik yang bisa dilakukan hanya dua kali yaitu Fatwa Balangah dalam rangka menyambut Idul Fitri dan menyikapi kekerasan di IPDN.

Milad ke II LPIK dimeriahkan dengan seminar nasional yang menghadirkan Kautsar Azhari Noer, Afif Muhammad dan Iqbal Hasanuddin bekerja sama dengan JarIk, dan diskusi di DPR yang menghadirkan Ucog (Homicide), Edi (Forgotten) dan Farid Yusuf (LPIK).

[4]

Semua pertanggung jawaban dan dalam setiap organisasi selalu bernada sama yaitu sebuah pengelakkan. Perayaan elak dari setiap kesalahan dengan semburan berbagai macam dalih rasionalitas. Namun demikian, apa yang terhikayatkan bukanlah akhir. Sebab, meskipun setelah sukses menjajaki pelayaran dan menemukan pulau idaman, manusia kemudian dalam perjalanan pulangnya, mau tidak mau kembali bertatapan dengan persoalan yang tidak sedikit.
Telas sapa: ‘solilokui’ ini, dalam kerancuannya hanya ingin menegaskan bahwa suatu upaya pertanggung jawaban adalah keriuhan yang selalu berujung pada kesunyian. pertanggung jawaban dari seorang sorpus ipse yang menggumamkan nada lirih ipse-ipse yang sejatinya mau dipahami oleh relung yang merenjiskan simfoni sorpus-sorpus baru. Kejelasan yang berakhir pada ketidakjelasan. Ia juga merupakan sebongkah dan noktah upaya yang membenamkan pelakunya dalam keyakinan: kelak ia ‘kan retak apa yang tertinggal hanyalah apa yang kita sematkan pada memori benak.

gumpal darah di buku itu, mengkilau.
dan engkau bertanya “mengapa mengerbuk sesuatu?”
"aku tiba" kata ajal menyapa.
“kenapa wajahmu durja?” lanjutnya
langit meletakkan pena, tak kembali mengukir pelangi,
"panggil aku melankoli…” katanya
asap mengepul bersuara
ruang dan waktu menuntut bicara…
matahari letih gontai pulang ke peraduan,
membawa buku di ketiak
mengulum mata merah menangis darah
menagih janji sang purnama
bulan meranggas dalam peluk
aku tertidur dalam alfabeta

dalam mimpi aku berkata;
“kita memang telah membangunkan orang-orang gua seperti yang telah dikabarkan oleh Plato tetapi ternyata kita telah melakukan apa yang telah diramalkan oleh Hokheimer. Kita meluluh-lantakkan semua yang kita anggap mitos tetapi lamat-lamat kita membangun berhala-berhala baru kemudian dengannya kita menggambarkan mitos-mitos baru dengan nama rasionalitas, semangat dialog dengan pelbagai macam terror lainnya sehingga kita telah menyekap orang-orang gua baru, kali ini yang telah mengetahui rasionalitas”.

Bandung, 14, Juni 2007

Thursday, July 12, 2007

Sukseskan

Kami atas nama panitia Musyag (Musyawarah Anggota) Ke-XII LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung mengundang kepada Keluarga Besar LPIK untuk menghadiri acara tersebut. Insya allah akan dilaksanakan pada:

Hari/tanggal : Sabtu, 14 Juli 2006
Pukul : 16.00 - selesai
Tempat : Pelataran Gedung Rektorat UIN SGD Bandung

Kehadiran pengurus, baik anggota, alumni maupun undangan menjadi satu bukti keterlibatan kawan-kawan dalam membangun masyarakat berwawasan religius.

Terimakasih

Duka Mendalam

Turut Berduka Cita

Kami atas nama Keluarga Besar LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) dan Post LPIK Turut Berduka Cita atas meninggalnya Euis Rohaeni (Ibunda Ahmad Sahinin, Mantan Ketum LPIK periode 2002-2003) Selssa (10/09) siang dengan tertabrak oleh truk di Leuwipanjang Bandung.

Semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan tetap tabah dan merelakanya atas kejadian tersebut.

Te.Ditaufiqrahman (Ketum LPIK)

Ibn Ghifarie (Koord Post LPIK)

Wednesday, July 11, 2007

Lagi Menggugat Bolotisme

EVOLUSI “budaya” BOLOTISME; dalam rangka mengembalikan agen of change

Oleh M Alzibilla

Hidup sesungguhnya adalah dinamis (bergerak)., gerak itu sendiri adalah perubahan. Dan perubahan yang di kehendaki tentu saja adalah perubahan ke jalur yang baik. Oleh karena itu ada sebuah falsafah hidup yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang statis tapi dinamis.

Ada perubahan yang bersifat revolusi dan ada pula yang bersifat evolusi. Perubahan revolusi adalah perubahan yang menyeluruh secara besar – besaran yang bersifat mendadak dan mendasar. Perubahan secara revolusi seringkali berimplikasi negative dan tidak sistematis. Kita lihat saja tragedy reformasi yang di lakukan oleh para mahasiswa yang terjadi di Jakarta, sesungguhnya adalah gerakan yang sangat prontal. Sehingga menimbulkan korban yang cukup banyak, seperti harta, mental dan jiwa. Karena belum adanya kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan yang sangat cepat dan mencengangkan hati itu.


Sedangkan evolusi adalah perubahan yang bersifat berlahan tapi pasti. Perubahan yang di dasarkan kepada planning ( perencanaan yang matang), sistematis, gradual ( bertahap ) dan berlanjut. Sehingga geraknya menimbulkan hal positif dan konstruktif. Tetapi dalam menggapainya perlu waktu dan kesabarannya yang kuat.

Perubahan yang bersifat evolusi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan mahasiswa hari ini telah terjerat dalam budaya bolotisme , efeknya pikiran mahasiswa hanya dijejali dengan uang untuk bergaya dan sibuk mencari wanita. Kalau pun tidak, mereka berusaha untuk kuliah secepat mungkin beres. Tidak peduli dapat ilmu atau tidak yang penting cepat dapat ijazah kemudian kerja, ujung-ujungnya duit juga. Ternyata tidak seperti yang di ungkapkan di atas penilaian mahasiswa khususnya mahasiswa UIN saat ini telah kehilangan misi yang di embannya sebagai agen of change, kalau kita raba realitas mahasiswa hari ini, mengcopy perkataan kang farid meminjam istilah para aktivis kampus bahwa mahasiswa kampus gersang (baca: UIN SGD). Dimana mahasiswa lebih disibukan dengan gaya hampa makna, berkutat wanita miskin wacana, gemar menggosip anti mengkritik, berlomba – lomba mengikuti trend, gengsi di sebut ketinggalan zaman (dibaca ; gaptek),kuliah hanya dengan konsep D2P (datang, duduk pulang) dan segenap persoalan miris lainnya. Apakah seperti ini mahasiswa sekarang khususnya mahasiswa UIN yang di percayai oleh masyarakat sebagai agen of change untuk masa depan negeri?

Pertanyaan inilah yang tidak di akomudir oleh mahasiswa sekarang yang sedang menikmati budayanya (dibaca ; bolotisme).

Oleh karena itu, mahasiswa sekarang,di anggap perlu membuat susunan konsep, strategi dan target yang jelas. Target yang hendak di capai ini harus bersifat logis dan realistis supaya mudah dievaluasinya. Untuk keperluan ini mahasiswa harus mempersiapkan konsep diri yang baik supaya terhindar dari budaya bolotisme yang telah merambah ke pelosok kampus. Karena itu, menurut aa gym, untuk perubahan mulailah dari diri sendiri, dari hal – hal yang kecil sebelum melangkah ke arah yang lebih besar mulailah sekarang juga.

Akhirnya kita berkesimpulan, bahwa hidup ini harus berubah. Tentu perubahan yang di inginkan sesuai dengan cita – cita ideal, yakni menuju ke arah yang lebih baik yang di harapkan oleh masyarakat banyak sebagai agen of change yang menjanjikan. Perubahan seperti ini harus di upayakan terus menerus dan di perjuangkan tanpa mengenal lelah. Karena kita tidak ingin perubahan itu bersifat temporer yang bersifat sesaat. Tetapi perubahan yang bersifat permanent dan grafiknya terus meningkat.

Sehingga nantinya hal itu akan menjadi tangga – tangga yang menghantarkan kita untuk mencapai perubahan signifikan yang di harapkan oleh halayak orang banyak. Dan kembali kepada misi yang di emban oleh mahasiswa sebagai AGEN OF CHANGE sebagai perubah kampus ini. Kita memiliki potensi untuk berubah. Juga di beri anugerah kemampuan dan pengetahuan untuk memberdayakan potensi tersebut, sehingga perubahan yang terjadi sesuai dengan yang di inginkan. Sampai sejauh mana kita mampu memberdayakannya, sejauh itu pula perubahan yang di inginkan.

Marilah kita Melangkah ke depan kepalkan tangan bulatkan tekad gaungkan lagu peterpan
Lawan dunia
Kita adalah hati yang tertindas, kitalah langkah yang berhenti berjalan
Kitalah mimpi yang tak terwujudkan
kita memahami yang sesungguhnya
Kita harus menjelaskan semua, tak peduli kata mereka
Kita berjalan melawan dunia
Kita hanya bicara mereka tak beri jawaban
Tak perlu dengar kata mereka teruslah berjalan
Tak perlu kata mereka teruslah berjalan

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan seseorang sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d [13] : 11)

Tuesday, July 10, 2007

Saritem

Eks-Saritem dan Catatan untuk Kita
Oleh ENDANG SUHENDAR

SIKAP Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, dalam memberantas segala bentuk penyakit masyarakat rupanya bukan hanya sebatas tertuang dalam peraturan daerah (perda). Itu terbukti pada beberapa hari lalu, petugas gabungan dari Satpol PP, TNI AD, Polri serta sejumlah petugas dari dinas terkait dan tokoh masyarakat melakukan aksi penertiban terhadap lokalisari prostitusi di kawasan Saritem ("PR"/18/4).

Sikap Pemkot Bandung ini dilakukan guna mewujudkan kota ini sebagai Kota Bermartabat (bersih, makmur, taat, dan bersahabat). Salah satu sasarannya, yaitu mewujudkan Kota Bandung yang bersih dari berbagai praktik penyakit masyarakat, yang berdasarkan pada Perda K3 (ketertiban, kebersihan dan keindahan). Kita sebagai warga Kota Bandung berharap, tidak hanya prostitusi yang diberantas, akan tetapi segala bentuk kegiatan yang dapat mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat. Seperti praktik perjudian, premanisme, serta penanganan para gepeng (gelandangan pengemis) bisa segera diselesaikan.

Kebijakan yang diambil pemkot ini mungkin bisa dicontoh oleh pemerintah daerah yang lain. Karena praktik prostitusi yang ada di lokalisasi-lokalisasi tidak hanya terdapat di Kota Bandung saja, tetapi hampir setiap kota-kota besar di Indonesia "dilengkapi" dengan lokalisasi prostitusi. Hal itu seolah kurang sempurna jika sebuah kota tidak melengkapinya dengan tempat bisnis birahi ini. Bahkan, praktik prostitusi yang ada di lokalisasi maupun yang tersebar di berbagai tempat, sudah merambah ke kota kabupaten bahkan ke kota kecamatan.

Namun, satu hal yang ingin penulis sampaikan, bahwa praktik prostitusi tidak bisa diberantas hanya dengan menutup tempat-tempat lokalisasi saja. Dengan ditutupnya lokalisasi Saritem apakah bisa menjamin praktik mesum ini bisa hilang dari Kota Bandung? Jika jawabannya tidak, maka Pemkot Bandung harus siap-siap melakukan hal yang sama (penutupan) di tempat-tempat lain, atau bahkan di tempat yang sama di kemudian hari. Karena tidak mustahil, warga Saritem akan melakukan pembukaan tanpa "gunting pita" dengan segala macam dalihnya.

Upayakan penyadaran
Seperti diberitakan media, bahwa penutupan Saritem bukan dilakukan kali ini saja, tetapi sudah dilakukan ketika Wali Kota Bandung dijabat oleh Otje Djundjunan pada tahun 1975, lalu tahun 1999, dan tahun 2006 (PR/18). Tetapi apa hasilnya? Saritem tetap menjadi salah satu daya tarik wisatawan lokal --terutama kaum adam yang datang dan ngaso di Kota Bandung sambil menikmati hawa dinginnya.

Dengan demikian, penutupan lokalisasi pelacuran di Saritem harus dibarengi dengan upaya penyadaran para PSK, juga para warga yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan bisnis ini. Karena bukan hanya PSK yang menggantungkan hidup di Saritem, tetapi di sana ada berbagai jenis penghidupan manusia yang hilang seiring dengan ditutupnya lokalisasi.

Pendekatan yang bersifat persuasif dirasa akan lebih efektif dalam tataran kesadaran, dari pada dengan cara-cara pemaksaan yang mungkin akibatnya akan sangat berbeda.

Penulis tidak ingin terlibat dalam pro ataupun kontra terhadap kebijakan Pemerintah Kota Bandung ini, sebagai warga masyarakat yang beragama Islam penutupan tempat ini selain sebagai bentuk kebijakan pemerintah, tapi lebih dari itu tindakan ini dalam agama Islam sebagai upaya amar ma'ruf nahyi munkar dan ini merupakan kewajiban setiap orang Muslim. Tetapi, sebagai seorang Muslim yang sedang berusaha menjadi orang Muslim yang baik, tentunya ada hal lain yang mengganjal pikiran terkait dengan keputusan pemkot ini, sebagai berikut:

Pertama, seharusnya Pemkot Bandung menyiapkan berbagai macam program dan kebijakan terhadap eks-Saritem pascapenutupan, yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Bukan merumuskan langkah-langkah setelah dilakukan penutupan, yang sasaran utamanya yaitu sebagian (mungkin seluruh PSK) sudah meninggalkan Saritem sebelum penertiban dilakukan. Sementara yang tersisa hanya penduduk asli Saritem. Sedangkan para PSK yang sudah telanjur "pulang" bagaimana nasibnya?

Kedua, jika keputusan Pemkot Bandung dengan ditutupnya lokalisasi Saritem sebagai upaya pembersihan Kota Bandung dari praktik prostitusi, maka hal yang sama harus dilakukan Pemkot Bandung terhadap tempat-tempat yang disinyalir dijadikan ajang prostitusi yang selama ini luput dari pengawasan dan penertiban. Ataupun kalau dilakukan razia, itu hanya sebatas kegiatan rutin aparat tanpa tindakan yang lebih lanjut. Misalnya terhadap praktik prostitusi yang terdapat di hotel-hotel berbintang dan klub-klub malam yang tidak kalah jumlah pengunjung dan penghuninya, jika dibandingkan dengan jumlah penghuni dan pengunjung di Saritem.

Ketiga, para PSK eks-Saritem tidak semua pulang kampung halamannya masing-masing dan menjalani kehidupan yang layak seperti sebelum mereka menceburkan diri dalam lembah kehinaan (untuk kebanyakan orang), tetapi mereka mencari tempat lain yang bisa dijadikan sebagai ladang baru untuk mencari rezeki. Mereka ada yang ke Jakarta, Batam, bahkan di antaranya ada yang akan bertahan di Bandung, ("PR"/20/4). Ini membuktikan bahwa penutupan lokalisasi Saritem tidak mengakibatkan mereka jadi sadar dan mau mengubah dunia yang selama ini mereka jalani yang menurut kita itu adalah perbuatan hina. Menurut mereka (para PSK), sikap pemkot ini tidak lebih dari sekadar pengusiran dari lahan kerja mereka.

Tentunya kita berharap, penutupan Saritem bukan hanya sebatas mengusir mereka (PSK) untuk keluar dari Kota Bandung dan mencari lahan baru yang masih belum ditutup. Tetapi, dengan ditutupnya Saritem akan melahirkan efek kesadaran bagi para pelaku bisnis ini, bahwa kehidupan yang selama ini mereka jalankan telah melanggar berbagai aturan dan norma, baik norma hukum, kesusilaan, dan juga norma agama. Masalah ini juga bukan hanya menjadi tanggung jawab dan menjadi beban Pemkot Bandung saja, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat yang peduli dengan kemanusiaan dan harkat martabat manusia yang selama ini kita junjung tinggi. Wallaah hu alam bisawab***

Monday, July 2, 2007

Panggil Aku Pelacur

Aku Bilang, Aku Seorang Pelacur
Oleh Badru Tamam Mifka

Catatan Seorang Pelacur
Ayah saya punya isteri empat. Dan saya, tentu saja, hanya punya satu ibu. Eliastri Pantri, isteri pertama ayah saya, adalah ibu saya (ketika masih muda ibu sangat cantik). Lantas ayah menghamili ibu dan lahirlah saya.

Nama saya Maya Dwiraya. Catat, saya seorang pelacur. Saya punya satu anak, namanya Perempuan. Dia kini masih berusia sepuluh tahun. Jangan bertanya siapa suami saya, karena anak saya pun tak pernah saya ajari untuk bertanya siapa ayahnya. Lelaki saya banyak. Anak saya satu. Tapi saya hanya ingin mengatakan, bahwa lelaki-lelaki saya adalah puluhan Karun yang lenyap ditelan bumi. Lelaki-lelaki saya adalah puluhan Firaun yang hilang ditelan lautan—mereka tak benar-benar mau menjadi suami saya, tak benar-benar mau menjadi bapak bagi anak saya. Setelah ibu saya meninggal, saya kini sendiri, maaf, maksud saya kini berdua, tentu dengan anak perempuan saya. Dia anak yang sangat pendiam. Dia tak pernah bertanya apa pekerjaan saya. Dia tak pernah bertanya siapa ayahnya. Dia anak bisu. Tak bisa bicara.

Konon, ayah saya menikahi Santi Dipyati ketika dua tahun sebelumnya menikahi ibu saya. Lalu satu tahun kemudian ayah saya menikahi Lorena Purna. Lalu Tina Nana. Setelah itu, ayah tak menikah lagi. Mungkin sudah tua. Saya tak paham pikiran ibu seperti apa ketika ia dengan mudah memberi ijin pada ayah untuk menikah lagi. Mungkin ibu takut ayah marah dan dicerai. Atau takut miskin. Atau takut dicap sebagai isteri yang tak patuh alias durhaka pada suami. Entahlah.

“Aku sangat mencintainya.” Ucap ibu masygul suatu ketika. Tapi saya pikir, ayah tak mencintai ibu. Tapi ibu tak suka dulu saya bicara begitu tentang ayah. Dia tersinggung. Dia menangis. Dulu, ibu seperti mencoba memahami ayah dengan hati-hati.

Bicara tentang menangis, saya sering mendapati anak perempuan saya menangis diam-diam di kamarnya, bila hari menjelang larut malam. Barangkali dia ingin bermain di luar rumah seperti anak lainnya, tapi saya tak mengijinkannya. Alasannya memang picik, saya kasihan padanya karena dia seringkali diejek anak-anak kampung: ibumu pelacur! Ibumu pelacur! Atau mungkin karena ia ingin sekolah dan saya tak pernah memberinya kesempatan untuk itu. Alasannya memang klise: tak punya biaya, titik! (Tapi saya selalu menyuruhnya datang ke rumah Maemunah, anak tetangga. Saya menggajinya. Biarlah Perempuan belajar menulis dan membaca padanya.) Atau mungkin ia menangis karena mendapati dirinya adalah seorang perempuan yang lahir sebagai manusia yang tak bisa bicara?

Dulu, ibu saya pernah berani menangis dihadapan ayah. Dia protes. Saya rasa ia terlambat ketika sudah beberapa tahun akhirnya mulai bicara tentang isteri paling tua, cemburu, sakit hati dan sebagainya dan sebagainya. Pada mulanya saya menduga, di usia yang setua itu, ayah akan menyikapi keluhan ibu dengan bijak dan baik. Tapi dugaan saya tak benar. Ayah malah menampar ibu di hadapan ketiga isterinya yang lain. Hati ibu bulat, akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah, dari ayah. Ibu pindah ke kota lain membawa serta saya (ketika itu saya masih berusia sembilan tahun). Sekolah saya tak bisa dilanjutkan lagi. Setelah itu, ibu bekerja jadi pembantu rumah tangga, dan saya—diam-diam—membersihkan kaca jendela mobil di perempatan lampu merah. Tentu, tanpa sepengetahuan ibu.

Dari sanalah, jalanan melahirkan saya menjadi seorang pelacur. Beberapa bulan menjadi seorang pelacur, mendadak saya pun hamil. Entah benih siapa yang membengkakkan perut saya. Saya lupa. Ketika itu ibu marah besar mengetahui saya jadi pelacur dan hamil. Saya menangis dan takut. “Menjual harga diri untuk bertahan hidup adalah sebuah kesalahan.” Kata ibu kala itu. Tapi perut yang kian membesar tentu bukan sebuah kesalahan. Biarkanlah anak saya lahir, meski tanpa kehadiran seorang bapak, meski tanpa pengakuan dari neneknya.

Ketika anak saya menginjak umur satu tahun, ibu meninggal dunia (saya bersumpah, saya tak membunuhnya. Dia wafat karena sudah tua dan sakit-sakitan). Kemudian saya sering ziarah ke makamnya. Tapi saya kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa setelah ziarah ke makam ibu, saya masih kembali di ziarahi puluhan lelaki di malam-malam yang dingin. Hari-hari yang belakangan membuat saya muak. Engkau harus tahu, bagi saya acapkali hidup butuh uang lebih, dan saya harus belajar menerima pekerjaan saya.

***
Usia saya kini 29 tahun. Barangkali. Dan anak saya hari ini—seharusnya dia tahu berapa umurnya. Anak saya berusia tujuh belas tahun, atau mungkin lebih. Dia tumbuh menjadi perempuan yang cantik, tapi sayang, bisu. Mungkin dia mulai yakin dia kesepian. Tapi saya suka puisi-puisinya. Meski di tulis dengan tulisan-tangan yang jelek, tapi saya dapat membacanya (saya tak jarang mengkhayal dia membacakannya untuk saya). Setiap malam dia tampak menulis puisi. Sendirian. Bahkan saya senang dalam beberapa puisinya, dia jatuh cinta pada seorang lelaki. Dia sudah percaya diri dengan perasaannya sendiri. Saya tak tahu siapa lelaki itu, toh dia tak pernah bicara pada saya. Sudah saya bilang, dia bisu. Barangkali diapun tak tahu siapa nama lelaki itu, atau mungkin dia hanya melihat lelaki itu lewat depan rumah, dan Perempuan melihatnya diam-diam dari jendela. Entahlah.

Saya sadar, saya telah cukup tua. Akhir-akhir ini saya seperti merasa tubuh saya menabung penyakit yang sewaktu-waktu siap meledak. Belakangan ini, saya punya niat berhenti jadi pelacur. Kalau saya jujur, ternyata menjadi seorang pelacur banyak menerima resiko buruk. Saya ingin sehat jasmani dan rohani, baik-baik saja. Hidup ternyata tak cukup utuh dibeli dengan uang. Saya enggan Perempuan merasa kesepian, dengan keadaan saya yang akan membuatnya tak nyaman. Atau setidaknya, keadaan sehat dan baik-baik saja lebih beruntung ketimbang merasa ngeri harus menerima usia yang mulai menua, dengan jiwa yang lepuh, pikiran yang rapuh.

Tapi saya terkadang merasa tak yakin sudah tua ketika suatu hari seorang lelaki, yang baru saya kenal disebuah bis kota, sering datang ke rumah (dia lebih muda dari saya) dan akhirnya mengajak saya menikah.

“Saya benar-benar ingin menikahimu, Maya.” Ucapnya berwibawa. Tapi saya bilang, saya seorang pelacur. Mendengar itu, dia sejenak terlihat sedikit resah.

“Sekarang pulanglah,” ucap saya dingin, “kalau kamu benar-benar ingin menikahi saya dengan keadaan mantan pelacur dan punya anak satu, datanglah besok.” Keesokan harinya, dia tak muncul. Saya tebak pasti dia merasa tertipu. Saya senang.

Tapi kejadian itu, dalam beberapa hari kemudian, sempat mengganggu pikiran saya. Benarkah saya akan terus sendiri, tanpa suami? Masihkah saya dalam usia setua ini dapat menarik hati lelaki? Atau adakah lelaki yang mau punya isteri mantan seorang pelacur?

Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran dalam ruang benak saya. Pertanyaan-pertanyaan itupun sekaligus menghukum diri saya ketika saya tak kuasa menolak impian tentang seorang lelaki yang mau menikahi saya, dengan melupakan pengalaman buruk saya yang sudah-sudah, mengajak saya mengisi rumah yang sederhana, dan menyayangi anak saya, Perempuan. Ya, apakah saya tak ingin hidup normal?

Bicara tentang hidup normal, saya ingin cerita tentang Perempuan hari ini. Di umurnya yang ke 20 (tak terasa), anak saya itu sudah mulai hidup normal, maksud saya, dia sudah punya gairah pergaulan. Saya senang dia sudah pandai merawat diri, berdandan dan tersenyum sendiri di depan cermin. Bahkan sesekali dia sudah mulai menulis keinginannya dalam sehelai kertas dan menyerahkannya pada saya. Saya tahu dia ingin main ke rumah. Saya tahu dia ingin sendirian di dalam kamarnya. Saya kini jadi mudah membaca keinginan-keinginannya. Dia sudah pintar menulis. Tapi dia lebih dekat dengan Maemunah anak tetangga ketimbang ibunya. Itu berarti Maemunah lebih tahu perihal persoalan pribadi Perempuan ketimabang saya, ibunya.

Maklumlah, dulu saya terlalu keras padanya. Mungkin dia masih takut pada saya. Tapi kata Maemunah, Perempuan kini tengah dekat dengan seorang lelaki. Lelaki itu seorang mahasiswa yang rumahnya di ujung jalan dekat mesjid agung alun-alun. Saya tak tahu, apakah mereka pacaran atau tidak.

Tapi saya bahagia mendengar kabar terakhir itu; Perempuan sudah punya gairah hidup, gairah bergaul…

***

Tiga minggu berlalu. Malam ini, saya melihat Perempuan menangis lagi. Saya menghampirinya perlahan. Saya berharap perempuan dapat memberitahu saya kenapa dia menangis. Selalu saja, Perempuan masih tak terbuka pada saya. Selalu saja, Perempuan enggan sekedar berkesah pada saya tentang air matanya. Dia kini hanya menangis, tak lebih dari itu. Tapi saya yakin, Maemunah dapat memberitahu saya apa yang membuat Perempuan belakangan ini menangis. Maemunah bilang, Perempuan kehilangan cinta seorang lelaki—saya tak tahu, apa kata “kehilangan” itu bearti Perempuan putus cinta atau cinta yang tak sampai. Entahlah, Maemunah juga tak tahu persis. Tapi saya hanya sedikit tertawa mendengar kabar dari Maemunah itu. “Kegagalan cinta itu hal yang biasa, sayang.” Ucap saya pada Perempuan keesokan harinya.
Beberapa hari kemudian, kondisi fisik saya ternyata lebih baik dibanding ketika saya masih menjadi seorang pelacur. Saya jadi merasa sehat, dan cukup tidur. Perempuan juga sudah mendingan kadar sakit hatinya karena asmara. Dengar, menurut kabar terbaru dari Maryam, anak saya sudah mulai banyak teman, ah, meski saya tahu dia tak bersekolah dan bisu sekalipun—mungkin karena dia cantik (saya selalu gembira dengan ucapan itu). Lihat Perempuan lebih riang dalam beberapa hari ini. Saya berharap kehidupan kami akan berjalan baik dan normal. Saya juga harus mulai belajar bersikap lembut pada anak saya.

Untuk itu, diam-diam saya terkadang menyelinap ke dalam kamarnya. Tentu saja, ketika dia tak ada di rumah. Kupelajari puisi-puisinya. Kubuka buku hariannya. Kupahami keinginan-keinginannya. Saya ingin tahu sifat-sifatnya—Wah! Saya suka puisi anak saya yang satu ini:

Berabad aku diam dalam bisu-sepi malam
Disinilah gemetarku mencinta kata-kata
Ibuku, ibuku, gema rahasia yang melambat
di kelu lidahku.

Saya membaca puisi itu berulang-ulang. Saya masih tak mengerti apa maknanya. Tapi saya senang dan yakin puisi itu bercerita tentang saya. Lalu buku hariannya itu lebih bercerita tentang catatan kesepian, kebisuan, cinta, terutama laki-laki…Hm, catatan tanggal ini yang beberapa hari yang lewat sempat membuat Perempuan menangis.

10 Mei
Dari banyak laki-laki yang kukenal, aku jatuh cinta pada Dima Luma. Sungguh tak kuduga, diapun mencintaiku. Dia terus mengejarku, ingin mendapatkan cintaku. Tapi karena cintaku ini, aku ingin jujur. Lalu kukatakan padanya lewat surat bahwa aku bisu, dia bilang: biarin. Lantas dalam surat kedua, aku bilang, aku seorang pelacur. Dia mendadak tak ingin dekat denganku lagi…

Dada saya tiba-tiba terasa remuk membaca usai catatan itu. Perempuan, anak saya yang bisu itu, seorang pelacur…? []

Vijaya Kusuma, 2004

Ekstrimsme

Khawarij dan Ekstrimisme Islam

Oleh AHMAD SAHIDIN


Pagi itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap berjejer rapih. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah. Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. Kembali ia memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian berperang? Bukankah sama-sama Muslim?”

Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris dengan barisan keturunan Rasulullah SAW. Ia berdiri dan bertanya, “Ya Amirul Mukminin Ali karamallohu wajhah, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang? Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?”

Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir , atas perintah Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di sana. Dahulu, bersama Rasulullah SAW, aku memerangi bendera itu untuk tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita”.

Dalam peperangan, pihak Muawiyah terdesak. Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Quran dan melakukan tahkim (damai-musyawarah).

“Tuanku Muawiyah, jika mereka menyetujui, kita atur dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran Amr . Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali memilih Malik al-Asytar. Tapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa al-Asyari—yang lebih tua dan zuhud serta tak berambisi politik—mewakili Ali bin Abu Thalib.

Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan memilih secara bersama-sama di antara keduanya yang berhak menjadi pemimpin umat Islam. Karena Musa lebih senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya sebagai pimpinan.

Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku, Musa al-Asyari, karena Ali bin Abu Thalib telah turun sebagai khalifah, maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua”.

Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri dengan aturan hukum yang harfiah. Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum Allah SWT. Karena itu mereka semua, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus bertobat. Namun ajakan tobat itu tak digubris. Sebab, Ali bin Abu Thalib membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”.

Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang. Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat.

Hanya satu orang yang berhasil dibunuh, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah, di Masjid Kufah saat shalat subuih. Menatu Rasululllah SAW ini wafat ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam, yang mengayunkan pedangnya hingga melukai kepala Imam Ali bin Abu Thalib.

Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, “Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan; dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya” (Nahjul Balaghah—khutbah 59).

Ia juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya. Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melepasi kerongkong mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat (HR.Muslim).

Ghuluw sebagai ektrimisme agama
Dalam khazanah ilmu kalam, almarhum Ayatullah Murtadha Muthahhari menyebut Khawarij sebagai model firqah ghuluw (ekstrim). Muthahhari mengaitkannya dengan surat Al-Maidah ayat 77, “ …janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tak benar dalam menjalankan agamamu…” ; dan surat Annisa ayat 171, “…janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…”.

Dalam istilah Quran, ghuluw bermakna mereka yang tidak mengenal hakikat nash; sehingga serampangan dalam menerapkannya. Jadi, arti ghuluw adalah mereka yang mencari kebenaran, tapi belum menemukannya dan sehingga terjerumus dalam ekstrimisme agama. Contoh gerakan ini adalah Khawarij. Mereka dalam sejarah melakukan kedzaliman terhadap umat Islam yang pahamnya berbeda dengan cara membunuhnya. Mereka juga membuat standar aturan agama secara harfiah. Pernah diceritakan, kaum Khawarij yang rata-rata berdiam di padang pasir dan gurun-gurun, melakukan investigasi akidah terhadap orang-orang yang ditemuinya. Jika ada orang yang mengaku Muslim ditanyakan perihal keimanan Ali bi abu Thalib. Jika mengatakan beriman, maka berakhirlah hidupnya di tempat itu. Jika mengatakan tidak tahu, maka selamat. Mereka juga berbeda dalam memperlakukan orang. Jika seorang Muslim, akan selalu dicurigai. Tapi bila non-muslim, amanlah dari kedzalimannya. Di masa berkembangnya Khawarij, orang-orang Islam selalu menghindar dari mereka dengan mengatakan dirinya bukan muslim.

Namun keberadaan mereka tidak lama. Sebab penguasa yang berkuasa, Dinasti Umayyah, tak menghendaki keberadaannya. Begitu juga keluarga dan pengikut Rasulullah SAW memadamkan pengaruh mereka dengan mengikis habis konsep ekstrim tersebut melalui bantahan dan peperangan. Karena corak dan perilaku yang ekstrim, Khawarij kian hari tak mendapatkan tempat di masyarakat. Sedikit demi sedikit punahlah mereka.

Selain Khawarij, gerakan yang se-model terlihat pada Wahabiyah di Arab Saudi—yang memberangus, membid`ahkan dan mengkafirkan tharekat-tharekat dan aliran Islam yang bercorak sufistik; gerakan reformasi Kemal Atturk di Turki—yang mengubah bacaan shalat, adzan, dan ucapan salam dengan bahasa lokal serta larangan keras untuk mengenakan busana muslimah yang berjilbab; rezim Thaliban di Afghanistan—yang mewajibkan laki-laki berjanggut, mengenakan ujung celana di atas mata kaki dan keharusan memakai cadar atau burdah serta larangan bekerja di luar rumah bagi kaum perempuan. Jika tidak mematuhi, maka hukuman keraslah yang diterima warga Afghanistan; dan beberapa aksi bom di Tanah Air serta pencekalan terhadap beberapa organisasi Islam, juga termasuk kategori ekstrimisme agama.

Namun sebenarnya, tidak hanya mereka yang menfasirkan nash-nash agama secara harfiah yang dianggap ekstrimisme agama, juga kalangan liberalisme dan sufisme yang yang bepegangteguh dalam pemahannya dan menganggap salah terhadap yang lain pun bisa dikategorikan ekstrimis.

Penyebab lahirnya ekstrimisme agama
Ayatullah Murtadha Muthahhari, dalam buku Islam dan Tantangan Zaman (diterbitkan Pustaka Hidayah, Bandung, 1996) setidaknya menyebutkan dua hal yang menyebabkan seseorang atau firqah terjerumus dalam ekstrimisme agama. Pertama adalah dikarenakan menafsirkan nash-nash Islam secara harfiah dan tak mau menggali khazanah ilmu-ilmu Islam yang lebih luas. Kedua, dikarenakan kebodohan (jahl) dan kejumudan (tafrith) pola pikir .

Sehingga mereka yang bercenderungan ekstrim, menurut Dr.Yusuf Qardhawi, ulama Ahlussunah di Mesir, dalam buku Membedah Islam Ekstrim (diterbitkan Mizan, Bandung, 2001), biasanya dicirikan dengan selalu fanatik pada satu pendapat dan tak mengakui pendapat yang lainnya. Tak bisa membedakan antara nilai-nilai agama dan cenderung bersikap keras dan kasar. Juga cenderung buruk sangka dan mudah mengkafirkan orang yang berbeda dengan pahamnya.

Ekstrimisme agama beda dengan Kafir
Seperti yang dijelaskan Imam Ali pada kedua putranya, orang yang bersikap ekstrim dalam beragama berbeda dengan orang yang berbuat bathil. Orang bathil bisa dikategorikan yang tidak tunduk atau menolak kebenaran dan melawan yang haqq secara terang-terangan. Mereka ini bisa disebut kafir atau kufur, yang bisa diartikan menolak kebenaran atau yang benar-benar secara kasat mata melawan dan merongrong Islam dan menindas umat manusia.

Menurut Ustadz Jalaluddin Rakhmat, konsep tentang kafir ada di dalam Al-Quran dan Sunnah. Kata kafir di dalam Al-Quran selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Orang non- muslim yang berakhlak baik tidak masuk kategori kafir. Ia mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al-Quran, bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih (syukur)– “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih).

“Di sini (dalam ayat-ayat di atas—penulis) kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan,” kata Cendekiawan Muslim dari Yayasan Muthahhari, Bandung, yang biasa disapa Kang Jalal dalam wawancara dengan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla beberapa tahun lalu.

Menurut Kang Jalal, dalam Al-Quran konsep kafir dihubungkan dengan kata pengkhianat atau kemaksiatan yang berulang-ulang—atsîman aw kafûrâ. Karena itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn–Bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya”. “Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg tak bisa diingetin pantas disebut kafir. Nabi SAW sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan,” kelakar Kang Jalal.

Islam bukan agama teroris
Harus kita akui bahwa islam bukan agama teroris. Sebagaimana yang sering dilayangkan penguasa Adi-kuasa dunia, Amerka dan konco-konconya. Tapi meski begitu, Islam memang punya landasan untuk bersikap keras dan juga bersikap lembut. Seperti yang dikemukakan Ayatullah Muthahhari dari Iran, dalam kitab Asyna’i ba Qu’an (Mengenal al-Quran) menyatakan bahwa dalam Islam terdapat cinta dan benci. Namun cinta dan benci yang bersifat rasional, bukan bersifat emosional atau tanpa dasar dan tanpa tolok ukur.

Beliau menambahkan: “Islam adalah agama pedang dan cinta. Ia adalah agama kekerasan dan kelembutan. Hanya kekerasan yang pada tempatnya saja yang diperbolehkan oleh Islam. Sebagaimana kelembutan yang pada tempatnya yang diperbolehkan oleh Islam. Justru dari sinilah letak keagungan dan keutamaan Islam. Jika Islam tidak menyatakan hal ini di mana kekerasan tidak dijawab dengan kekerasan pula atau logika harus dijawab dengan logika, niscaya kita tiada akan menerimanya. Islam tidak pernah mengatakan, jika salah satu dari pipi anda ditempeleng, maka berikanlah pipi Anda yang lain. Namun Islam mengatakan, barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadap kalian (QS al-Baqarah: 194). Jika hal ini tidak dikatakan oleh Islam maka dari sinilah letak kelemahan dan kekurangan Islam. Islam sangat menjunjung tinggi cinta kasih. Namun jika cara penggunaan cinta kasih tidak lagi bermanfaat maka Islam melarang (pengikutnya) untuk berdiam diri.”

AHMAD SAHIDIN, anggota Post - Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Kontak e-mail: jajahilan@yahoo.com, reportase@telkom.net, jajahilan@plasa.com