Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, September 26, 2007

Muda Energik

Catatan kecil ini merupakan diary Badru Tamam Mifka, mantan Ketum periode 2005-2006 sebagai bentuk kecintaanya terhadap lembaga untuk tetap mempertahankan tradisi; membaca, menulis, diskusi dan meneliti. Kendati, Ia telah meninggalkan kita beberapa bulan yang lalu. Namun, beberapa karyanya menginagtkan kita. Salah satunya 'Masa Muda Ini'

Catatan Harian 25 Juni 2007


Keinginan di masa muda yang banyak dan bertumpuk, akhirnya perlahan akan berkurang seiring usia berjalan. Itu bukan karena kelak keinginan-keinginan itu terpenuhi. Tetapi semakin usia bertambah, keinginan-keinginan itu akan lebih disederhanakan, lebih realistis, lebih ajeg…

Keinginan-keinginan di masa muda itu akan dirapikan dan dirangkum dengan pola pikir yang lebih terbuka pada kenyataan. Semua keinginan itu akan membumi. Pikiran yang bijaksana akan melahirkan keinginan yang arif. Keinginan yang arif akan melahirkan kehidupan yang tenang.

Masa muda ini, masa ketika kenangan anak-anak menyisakan gemuruh dongeng di dada ini. Masa muda ini, masa ketika keinginan bergerat tanpa batas dan keberanian berjalan tanpa arah…[Badru Tamam Mifka]

Kita, Anak Muda Ini
Catatan Harian 8 Juni 2007

Memang benar, diantara kelahiran dan kematian, selalu ada perumpamaan jejak dan kelak, semacam pelajaran dan pengharapan. Semua yang terjadi akan memberi nasehat yang berarti. Semua yang akan tiba seperti punya hakikat kejadian yang sama. Jika pelaran masa lalu itu tak dijadikan bekal, kita benar-benar akan menyesal.

Kita, anak muda ini, terlalu meremehkan kejadian, terlalu menggampangkan kehidupan. Kita tak serius membaca peristiwa. Kitapun gengsi mendengar nasehat orang tua. Sungguh, kita tak mau belajar pada yang tua, yang lewat, atau yang terjadi puluhan tahun, ratusan tahun, berabad-abad yang lalu.

Karena seluruh peristiwa punya bentuk yang sama, kelokan yang sama, punya keterjalan yang sama. Tapi kita selalu lupa membuat hitungan dan kewaspadaan. Akibatnya kita melakukan kesalahan yang sama dan tetap tenggelam dalam kesalahan yang lama.

Kita, anak muda ini, tak pandai menghargai hal-hal yang kecil, baik kejadian ataupun nasehat. Barangkali hanya kita terlalu cemburu pada narasi besar kepahlawanan. Barangkali hanya karena kita lebih mendahulukan kebenaran daripada keadilan. Kita sok muda. Kita tergesa-gesa. Tak serius! []

Stop

Orang Miskin Dilarang Berfikir!

Aku menemukan kebebasan dan keamananku dalam kegilaanku -josten garder-

Oleh emhal_zibilla

Ada banyak unek- unek di kepala ini. Tentang apa yang kualami hari ini, kemaren, atau beberapa waktu silam. Bahkan, hal- hal yang kejadiannya baru akan saya rasakan di kemudian hari juga menjadi gumpalan pemikiran dalam otak yang pas- pasan ini.

Seorang teman dekat yang tergolong manusia cerdas pernah berujar kepada saya. Orang bisa kehilangan akal sehatnya jika ia menjadi orang yang sibuk dengan beragam ide, gagasan, ataupun pmikiran yang berbeit- belit. Apa yang ia pikirkan sedemikian jauh dan luar biasa hebatnya tanpa pernah berusaha untuk melakukan apa- apa yang ia pikirkan.

Singkatnya, ia hanya bisa berfikir tanpa pernah mampu untuk bertindak.
Asbabun nuzul dari perkataan karib saya tersebut adalah ketika saya bercerita tentang seorang pemuda aneh yang kerap terlihat berjalan merunduk dan menyerupai gelagat orang kehilangan akal sehat. Pemuda tersebut berpenampilan seperti kami yang masih mahasiswa. Namun sorot mata dan gerak- geriknya membuat kami berpikiran yang bukan- bukan. Setiap pagi, ia dengan penampilan apa danya bisa di bilang kuleuheu (kusut) hanya tampak sering nongkrong di lingkungan kampus.

Tulisan ini bukanlah bermaksud membuat kisah atau cerita melankonis tentang kehidupan yang terkadang tampak garang dan kejam kepada manusia. Tidak pula untuk mengingatkan penulis pada kisah hidup di pesantren lima atau tujuh tahun yang silam. Saat dimana sangat terasa nyata bahwa batas antara kemanusiaan dengan ketidakmanusiaan sangat tipis. Dengan mata kepala dan mata hati sendiri, saya pernah menyaksikan seorang teman yang semula tampak baik, ramah, suka menghibur sampai kami sapa ia dengan sebutan joker, berubah dalam hitungan satu malam saja menjadi sosok manusia yang kehilangan sisi kemanusiaannya. Saya menjadi ingat juga pada novel Ahmad Tohari, ”Ronggeng Dukuh Paruk” yang populer itu.

Ahmad Tohari menulis dengan baik untuk menggambarkan bagimana Srintil; wanita yang sedang giat membangun mimpi agar bisa menjadi wanita omahan yang baik; demikian linglung dan berubah raut mukanya secara seketika saat ia sadar akan kebohongan dan kebobrokan moral petugas proyek yang menemaninya di sebuah villa. Batas antara kemanusiaan dengan dunia di luarnya ibarat kulit bawang, ungkap Tohari dalam novel tersebut.

Ah, saya tidak takut menjadi gila! Sebab kegilaan dalam konsep hidup saya adalah suatu kebebasan dan keamanan. Bebas berbuat dosa, bebas berbuat kebaikan, atau bebas berekspresi. Belakangan saya memang merasa semakin jauh dari Tuhan. Ritual sholat yang seyogyanya menjadi ritual wajib yang harus dijanai oleh setiap muslim sudah berani kulanggar, ritual puasa yang menjadi suatu kewajiban pun saya langgar juga. Bukan suatu kegagahan atau kebanggaan melakukan pelanggaran terhadap rambu- rambu Tuhan.

Tuhan sedemikian dahsyatnya untuk berani kutentang. Hanya saja makhluk yang bernama itu tidak pernah mau mengerti begitu sayang Tuhan pada dirinya. Aku tidak akan menyalahkan setan yang sedang mengibarkan bendera kemenangan di atas ubun- ubunku, sebab ia ibarat polisi yang sedang menilang para pengemudi kendaraan di jalan raya kota. Polisi hanya menjalankan tugas. Mereka hanya punya satu alasan : ”Ini tugas”. Setan juga saya pikir demikian. Hanya menjalankan tugas. Menggoda setiap insan untuk semakin menjauh dari aturan-Nya. Tak ada untung yang bisa diperoleh setan jika ternyata saya terbujuk untuk meninggalkan sholat. Saya tidak berguna bagi mereka meskipun secara terang- terangan mereka sudah berada di setiap inci dari tubuh ini. Saya lebih salut kepada setan yang demikian ikhlasnya menjalankan tugas turun temurunnya tanpa pernah berhenti sepersekian detik sekalipun ketimbang pada manusia yang meskipun berjubah agama namun sangat arogan dan tidak ikhlas mengajak kaumnya menuju jalan kebenaran.

Saya tidak takut gila sebab tanpa ada kata sandang gila sekalipun, suara saya tidak pernah berarti apa- apa. Engkau yang berada di luar jiwaku, tidak perlu tahu lebih banyak tentang kegelisahan yang diam- diam kualami. Sebab jika kuceritakan semua, batallah aku menjadi manusia yang bebas. Aku akan mejadi sangat terikat pada engkau sampai- sampai kuanggap engkau sebagai candu yang bila tak kuhisap satu atau dua kali saja, keringat dinginku bisa meleleh melunturkan tulisan- tulisan yang kutulis di atas kertas ini. Namun jika sudah sampai waktuku untuk bercerita padamu, kumohon biarkan aku menjadi orang gila sejenak agar bisa kusukuri akal sehat yang diberikan Tuhan padaku! Terkadang aku pun membutuhkankan candu…….!

Friday, September 21, 2007

Solilokui

Sajak-Sajak M Arkan Rahmatullah*

Solilokui 1

Kadang aku ingin melipat jasad..
Di keheningan malam yang senyap..
Menunggu dan menunggu,
Sebuah jeda yang semakin sayu..
Perempuan..
Dan hadirmu beningkan solilokui ini,
Sebab dalam sunyi,
Aku tak bisa bernyanyi sendiri..


Solilokui 2

Ada yang sempat tak terucap,
Meski hening belum menyergap..
Di sini, si surau yang berpeluh,
Seribu dendam jatuh,
Seperti firman yang jauh..
Saudaraku..
Ternyata dalam sunyi,
Kita harus bernyanyi sendiri..


Solilokui 3

Membaca solilokui ini,
Hanya ada jelaga tak berperigi..
Aku ingat pernah menelan api,
Mengalirkan nyali,
Mengubur nurani, hingga mati
Dalam hari-hari yang nyeri..
Sedang aku ingin kembali,
Kembali menantang mentari..


Solilokui 4

Katakan solilokui ini hanya
Hamparan gulita rasa percuma
Batas upaya diri di jelang senja
Sebelum lelap hadir menerka..
Namun, tidakkah ia pernah berarti,
Retakan sesal dan nestapa yang mengunci
Setelah mauvaise foi ini tak lagi berdiri
Pada sejuk, pada api..
Dan sekali lagi, aku hanya harus berhenti..!

Tau..!!

Kau Tentu Lebih Tau
Fani Ahmad Fasani*

Kau tentu lebih tahu apa yang telah kau lakukan padaku. Aku tidak bermaksud mendukungmu untuk duduk di kursi tengah persidangan, lagipula dimanapun itu, tak pernah suatu persidangan mengutuh-genggam sebentuk keadilan. Dalam hal ini, aku tak akan pernah berbicara atas nama keadilan, ataupun sekedar upaya meraihnya.

Meskipun pada akhirnya apa yang kulakukan sekarang (dengan tulisan ini) tentu lebih otoriter daripada sebuah persidangan. Karena toh bahasa tulisan tak pernah bisa diintrupsi, kau boleh saja berhenti untuk tidak menyelesaikan membacanya dan kemudian menganggapnya bukan apa-apa, tapi entah bagaimana kepercayaanku telah terlanjur terikat-urai dengan siasat kata-kata terhadapmu. Kau berhak mengelak enteng saja.

Jauh lebih sulit menentukan sinetron mana yang harus ditonton, antara pukul 18.00-22.00 dari hari Senin-Jumat misalnya, apalagi jika terpaksa harus menentukan yang mana yang lebih omong kosong. Kali ini akupun mungkin terjebak pada logika sinetron yang bertele-tele demi terpenuhinya episode dan hasutan pasar, tapi percayalah.. ketabahanku tak akan sampai menyaingi enam jilid “tersanjung”, dan aku tak sampai hati membayangkan suatu kegagalan komunikasi seperti berikut;
“Sayangku, mimpiku tentangmu telah mengambil alih seluruh waktu tidurku, dan bayangan wajahmu telah begitu terpahami maksud anganku..”

“Lagi-lagi kau katakan hal itu, kalimat itu telah kau pakai pada duapuluh delapan episode yang lalu”.
“Kurasa aku hanya mengatakan sekali ini dan hanya padamu”.

“Baiklah, mungkin kau perlu melihat lagi cuplikan dari episode-episode yang lalu. Saat ini aku sedang tak berselera untuk mengampuni kelupaanmu”.

“Oh, maaf.. kiranya kamu tidak suka dengan kalimat favoritku”. Sudahlah, aku tak mau memperparah keadaan dengan berlarut-larut dalam hal ini. Lagipula kisahku sendiri mesti kuanggap lebih penting.

Kadang ragu rajin bertamu untuk apa yang pernah kau lakukan padaku. Suatu sikap sadar menanggapi mimpi-mimpi yang mungkin tidak terdaftar dalam salah satu dari 1.640 kali setahun. Maksudku mimpi yang mengatasi pagi, tapi akhirnya malah terbengkalai saat waktunya sarapan. Disuap terakhir kitapun teringat tentang jejak-jejak di bantal yang mesti ditafsir ulang ketika matahari bertanya tentang keteguhan harap alih-alih jenjang lapar-dahaga sewaktu. Ah, aku menyeka segala yang tersisa saat kau menunjuk di daftar sikap tentang ketabahan Will Smith yang telah sukses melewati nasib najis penjual scanner portable dengan merk The Pursuits of Happyness. Hari masih panjang katamu, tak usah berlebihan menanggapi gumam piring yang telah licin kali ini. Tak bisakah hanya tersenyum lebar seperti bayi tetapi menggigit selayak buaya? Ah, yang dapat menyaggupinya hanya Cool Hand Luke, bahkan roman Dr. T saat ditindas hujan tak dapat kusaingi. Akupun tak menduga ketika hari menjelang siang kau mengunci jendela, menjemur kasur dan cerita dari jalin mimpi itu menguap di maafmu. Aku tahu, terlalu banyak dekap yang lebih akrab untuk rasa pantasmu. Merela-paksa rencana yang pernah untuk segera hangus.

Aku tak perlu lagi berurusan dengan apa yang telah kau lakukan padaku, untuk apa mengusik arang dan abu kecuali demi menanam anggrek seperti yang ibuku lakukan. Atau kita anggap saja cerita lama itu telah terbukukan dalam kenangan, atau dalam pelajaran merawat luka? Kemudian seringkali aku terombang-ambing dalam rindu kesumat terhadapmu! Kemudian, entah dengan cara apa mesti berterima kasih padamu, karena tanpa pernah-mu tak mungkin sebundel kisah dapat menjelma. Namun sialnya aku tak mampu untuk menumpuk-ratakannya bersama kisah lain yang sebelumnya kukenali, tentang putri salju ataupun Jaka Tarub. Karena dalam bundel kisahmu, kau menanam seribu satu Syahrazad yang menumpulkan pedang penuntasan.

Mungkin aku harus mulai percaya pada “ini memang seharusnya terjadi padaku”. Bahwa yang terjadi adalah; aku hanya melakonkan suatu peran dalam narasi yang telah diatur oleh suatu pihak yang belum tentu dapat kupahami arah maksudnya. Bagaimanapun, sejengkal tabah mesti mengungguli keluasan dendam. Atau aku berjalan ke arah lain supaya berani beroposisi dengan fakta? Misalnya tentang kesediaanku menjelma apa saja dalam tutur kisah yang mana saja, suatu peran yang mampu menyaingi cerita saat ini dan mengatasi kesementaraan percaya. Aku mendamba cerita yang memberikan peluang luas untuk tindakan-tindakan keji yang mengkhianati kemestian alur. Baiklah, aku mulai dengan merampas korek api dari gadis kecil disuatu malam natal yang dingin penuh salju, membiarkannya mati lebih cepat dari dugaan cuaca, tanpa sepeluangpun khayalannya tertambat pada makanan lezat, ia tak lagi mampu mencetuskan sebayang keindahanpun tanpa korek apinya. Kalian akan setuju padaku, bahwa tak kurang menyenangkan untuk menyaksikan kematian dalam derita yang menyengat seperti ini, gadis kecil itu mampus saat titik dingin menggergaji tulang-tulang dari hidup yang tak memberikan se-lirik-belah matapun. Sebatang korek tersisa ditanganku, sebagai kenang-kenangan betapa kekejian nasib memang telah berlaku untuk orang selain aku, namun tiba-tiba seekor kera putih bermata hijau berkelebat merampas sebatang terakhir korek api itu, akupun mengejar kera sialan itu. Ia berlari gesit mulai dari buku cerita hingga Alengka. Kera itu, Hanoman yang doyan terbang dan membakar. Aku berebut sebatang korek api itu dan berusaha menyaingi kesaktian anugerah dewa-dewa.

“Untuk apa kau ambil korek apiku?”
“Agar Alengka membara!”
“Untuk apa kau bakar Alengka?” Tanyaku.
“Demi menyelamatkan Shinta!” Jawabnya tegas.
“Lalu, setelah itu?”
“Kupersembahkan Shinta untuk kembali terbakar disaksikan Rama”
“Haha.. Kalian bodoh! Untuk apa membakar terlalu banyak hal hanya demi menyelamatkan seorang sundal? Atau kalian melakukan semuanya hanya demi logika pembakaran?” Bentakku padanya. Hanoman marah terhadapku, kini aku yang dikejarnya.

“Ini kehedak dewa. Dan dewa tak akan keberatan jika sebelum kulaksanakan titahnya aku membunuh seorang tengik sepertimu dulu. Kau yang akan pertama kali kubakar!” Katanya penuh amarah. Hanoman meloncat menerkamku, akupun menghindar dan mencoba berlari. Aku merasa putus asa berada dalam pengejaran mahluk sakti dan gila akan pembakaran. Aku kemudian bersembunyi diantara tumpukan kayu dan berharap menjadi sebongkah kayu saja. Setidaknya takkan merasakan letupan di sekujur dagingku saat terbakar. Aku berusaha percaya bahwa aku memang hanya sebongkah kayu.

Aku terbangun dan merasa heran telah berada di sebuah rumah. Seorang tua tersenyum kepadaku, ia mengaku sebagai orang yang menyelamatkanku dari nasib yang membara, ia kemudian memungutku, memahatku, mengadopsiku dan memanggilku dengan sebutan Pinokio, akupun pura-pura setuju. Katanya, sebelum bentuk pahatan hidungku selesai tadi, aku keburu bangun, dan untuk menyempurnakannya aku disarankan untuk banyak berbohong. Kumulai dengan membohongi seorang gadis berkerudung merah saat kuperkenalkan diri sebagai orang yang tertunda makan siangnya, kukatakan bahwa catering langgananku adalah seorang nenek yang pelupa. Sikerudung merah itu berkata bahwa kotak yang dibawanya adalah kotak makan siang Pandora dan tak boleh dibuka kecuali olehnya. Aku memasang muka memelas dan merayu gadis itu untuk memberikan kotak yang dibawanya. Tiba-tiba seekor serigala muncul dan menghampiri si kerudung merah, serigala itu membisikan kalimat-kalimat panjang padanya.

“Demi saat-saat dimana kesejatian cinta menjadi mungkin!! Demi akhir bahagia di setiap cerita!! Aku tahu kau hanya mahluk kayu dengan jantung rapuh, dan aku punya koneksi di kerajaan rayap!!” Si kerudung merah meradang tiba-tiba.

“Ancamanmu takkan membuatku takut!” Kataku pura-pura berani.
“Selama kau menginjak tanah, kau tak akan bisa lari dari ancaman rayap. Mereka mampu melahapmu dengan cara keji dan menyakitkan!”. Sejauh ini aku tak bisa lagi melanjutkan kepura-puraan dan terpaksa bentuk hidungpun menjadi taruhan, akupun meminta maaf dan menawarkan tiga ekor babi atau tujuh liliput sebagai ganti rugi, tapi ia memintaku sepotong rusuk kiri Peter Pan yang tak terlalu bengkok, dan tulang rusuk itu harus diambil saat ia merasa bosan dan kesepian. Karena katanya, tulang rusuk seseorang yang disiksa rasa bosan bisa menjelma sesuatu yang berharga. Peter Pan lah yang paling mungkin didera rasa bosan, karena ia tak pernah tua. Menurutku, permintaannya lebih sulit dari membangun seribu candi.
Meski suatu kekejian yang pada awalnya aku rencanakan, tapi pembunuhan hanyalah bentuk kekejian yang terlalu gamblang, aku merasa berat melakukannya. Lagipula aku merasa bukan bidangku jika aku harus mencabik perut seseorang dengan pisau tajam, kemudian me-matahpaksa-kan jajaran iga-iga, kemudian menimbang yang mana yang sedikit lebih lurus dan pantas untuk dipersembahkan. Kekejian seperti itu terlalu langsung dan mudah dipahami, apalagi untuk ukuran orang sekelas Rambo. Aku membutuhkan perkakas yang luar biasa, yang tak tajam tapi bisa membuat proses ini menjadi lebih rumit dan sulit dipahami. Aku teringat tongkat ajaib milik Ibunda Peri. Aku mungkin bisa meminjam atau menyewanya untuk tugas ini. Akupun berangkat ke rumah Cinderella.

Rupanya aku datang di saat yang tak tepat, Ibunda Peri dan Cinderella sedang dalam percekcokan. Tadinya aku mengira masalahnya timbul karena sedikit perbedaan waktu masa kadaluarsa mantra-mantra, tadinya aku mengira ada sedikit perbedaan menit antara jam tangan Cinderella dan jam dinding istana. Tapi setelah kusimak pembicaraan mereka, ternyata masalahnya bukan disana. Cinderella hanya ingin seperti perempuan yang lainnya yang tak mudah didapatkan, sedikit ingin melihat laki-laki mengap-mengap mengejarnya. Bagi Cinderella, sang pangeran terlalu gampang mendapatkannya, tidak terlalu banyak menguras keringat. Rupanya Cinderella terlalu banyak terpengaruh telenovela pikirku.

Cinderella protes keras, kenapa setelah jam kerja mantra bubar, sepatu kacanya tak berubah menjadi sesuatu yang lain. Kereta kencananya kembali berubah menjadi labu setelah dentang dua belas itu, kuda-kudanya berubah menjadi tikus-tikus, pengawal menjadi kadal, tapi kenapa sepatu kacanya masih sepatu kaca hingga pangeran mudah saja mengendus siapa gerangan dirinya. Cinderella bertanya pada Ibunda Peri, dari mana sepatu kaca itu ia dapatkan. Dan di bawah sepatu itu tidak tercetak tulisan Made in manapun untuk sekedar petunjuk, supaya Pangeran tersilap bahwa itu sepatu miliknya. Para Pendekar Cibaduyut-pun tak punya petunjuk untuk hal itu. Ibunda Peri masih bungkam tentang muasal sepatu kaca itu. Ah, aku tak ingin terlalu jauh terlibat dalam sengketa yang tak jelas kumengerti ini. Lagipula hati perempuan memang sulit ditebak. Sebaiknya aku segera pergi ke Neverland, gimana nanti jadinya sesampainya aku disana. Mungkin sedikit kenekadan diperlukan kali ini.

Neverland memang tempat yang indah, sepetak tanah yang tak pernah, akupun salut karena tak ada proses administrasi firdaus yang rumit disini, hingga aku tak perlu menyamar sebagai seekor ular untuk bisa masuk. Aku akan betah berlama-lama disini jika aku tak ingat untuk tujuan apa aku kesini. Aku menuju rumah Peter, tapi yang kutemukan hanya Tinkerbell yang sedang uring-uringan durja, ketika kutanya tentang Peter ia menjawab
“nyip.. nyip.. kuing..”, baiklah sebaiknya aku langsung saja terjemahkan apa saja yang ia bilang ke dalam bahasa biasa. Katanya Peter Pan sedang tidak ada, ia sedang mengantar Wendy untuk mendaftar kontes kecantikan yang jurinya ternyata Cermin Ajaib dan memperebutkan piala Hutomo Mandala Putra. Jika saja aku kesini hanya berniat wisata, aku tentu takkan kecewa. Tapi ancaman gadis itu terngiang, lagipula sebagian besar aku kemari bukan soal itu, tetapi entah kenapa hatiku mendesir jika teringat gadis itu. Manis dan berkerudung warna merah, merah yang mempesona meski tanpa gambar lambang perkakas kerja bersilangan.

Diperjalanan aku bertemu seorang lelaki yang wajahnya mengingatkanku pada raut Oliver Twist dan kemudian ide cemerlangku muncul. Kenapa tidak kuambil saja rusuk orang ini dan bilang bahwa yang kubawa adalah rusuk Peter Pan, lagipula aku pernah disuruh ibuku untuk mencari hati babi dan yang kuserahkan justru hati anjing yang telah beristri. Aku mengendap menghampiri laki-laki itu, mendekatinya dan siap menerkam. Aku tak akan terlalu berdosa membunuh orang dengan wajah yang telah kehilangan semangat hidupnya pikirku. Laki-laki itu menatapku dengan mata yang tak akan kalian temukan pada lukisan Jeihan, ia tiba-tiba berkata,

“Sebaiknya kau segera bunuh aku, ambil seluruh tulangku yang penuh karat derita”. Kalimatnya mengandung kesinisan dalam derajat yang tak kukira.
“Apa yang telah terjadi?”. Tanyaku terpancing.

Laki-laki itu terduduk, tangannya melingkar mengikat lututnya sendiri, kemudian tertunduk dalam. Kuharap ia bukan dia, laki-laki yang akan merusak seluruh bangunan cerita ini. Yang justru membelokan cerita kearah kekecewaan, saat seorang perempuan yang mangkir dari janji untuk bertemu dengannya atau semacamnya. Sudahlah, aku harus menyelamatkan cerita ini sebelum akhirnya laki-laki dihadapanku membuatnya lebih kacau.

Laki-laki itu kemudian berjalan kearahku, ia berdiri dihadapanku dengan tatapan tidak mengarah tepat di mataku, tetapi lebih jauh keatas, mungkin memantau bagaimana rambutku dimainkan angin. Ia mencabut selembar rambutnya sendiri dari atas kening, melangkah lebih dekat kearahku dan entah kenapa tubuhku merasa lemas dan tak mampu bereaksi sepatutnya. Tangan kiri laki-laki itu memegang kepalaku, turun kearah telinga kiriku, membuka rambutku yang menghalangi telinga dengan usapan yang halus dan mengancam. Aku masih tak bisa berbuat apa-apa, aku merasakan tubuhku seperti kayu lapuk semata. Tangan laki-laki itu terangkat dan dengan segera memasukkan selembar rambut yang dipegangnya kedalam telingaku. Aku merasakan rambut itu tumbuh dengan cepat dan cermat, setajam kawat lancip menjulur menuju benakku, aku merasakan sakit sangat. Menjalar melingkar. Rambut itu telah sepenuhnya masuk dan semakin kurasakan tumbuh didalam sana. Laki-laki itu memegang kedua telingaku seolah tak mengijinkan selembar rambutnya yang sedang tumbuh dalam kepalaku itu untuk melongok keluar.

Laki-laki itu kini menatapku tajam, tersenyum dan perlahan wajahnya berubah berbulu putih, matanya perlahan hijau. Lalu aku mengenalinya.

“Aku akan membakar setiap kemungkinan bahagiamu!, menghanguskan tiap inci senyumu..” Katanya penuh ancaman. Ia menyeringai dan aku balik menghardik binatang peliharaan Walmiki itu, tapi rasa sakit dalam kepalaku menghalangiku untuk melakukannya. Aku terpejam dengan hati penuh kutuk terhadap kera putih bermata hijau dihadapanku dan badanku tanpa tenaga.

Rambut kawat dalam kepalaku bergulung-gulung, mungkin benakku sudah tercecer andai Hanoman tidak menutup kedua telingaku. Perlahan aku membuka mata, dan wajah dihadapanku kini menjadi seraut gadis berkerudung merah, ia tersenyum sinis kepadaku.
“Aku akan selalu setia untuk berusaha membuatmu menderita, membuatmu melakukan hal yang sia-sia”. Bisiknya perlahan namun yakin. Tiba-tiba hatiku diliputi dendam terhadapnya, padahal aku belum lupa bagaimana aku sempat kasmaran terhadapnya. Lalu si kerudung merah itu tersenyum lagi. Saat ia melepaskan tangannya dari telingaku ternyata tak seperti yang tadinya kukira, tak ada benak berhamburan, tapi justru rasa sakit dalam kepala semakin menjadi, selirih anginpun dapat menajamkan sakit ini. Tenaga dari tubuh lenyap tanpa sisa entah kemana. Gadis itu membungkuk dan menggapai kotak yang tergeletak di tanah. “Makan siang Pandora”, bisikku dalam hati. Sekali lagi ia menatapku sekilas kemudian membuka kotak itu perlahan. Aku bisa melihat isi kotak itu, sebuah topeng dan gadis itu melepas kerudungnya kemudian memakaikan topeng itu di wajahnya sendiri. Kali ini aku sadar, topeng itu ternyata wajah Cinderella. Kini ia berdiri di hadapanku. Sebagai Cinderella.

“Kau tahu apa yang paling aku sukai?”, gadis bertopeng Cinderella berbicara. “Aku akan sangat menikmati menyaksikan seorang pria yang menderita”. Lanjutnya kemudian, dan aku merasa muak melihat romannya yang dibuat-buat. Aku merasakan rambut yang bergulung-gulung di kepalaku telah mencapai tenggorokan, turun merayapi dada.

Gadis dihadapanku kemudian membuka topengnya, dan setelah topengnya terbuka, giliran wajahku sendiri yang muncul. Aku tersentak menatap diriku sendiri berdiri tegak dihadapanku dalam angkuh.

“Kau tak akan pernah tahu tentang apapun yang terjadi sesungguhnya” Katanya datar. Aku tak mampu berbuat apapun, aku hanya merasakan tubuhku terbungkus dari dalam secara perlahan.

Cileunyi, 15 Juni 2007

*Pemenang Lomba Cerpen se-Jawa-Bali yang diadakan oleh LPM Suma Unisba (2005).

Thursday, September 20, 2007

Ateis

Jalur Seorang Ateis Pemikir
Yudhie*

“Menohok Akal, Menantang Iman!!”
“Lebih Rebel dari yang Rebel!!”
“Lebih Melawan dari yang Melawan Otoritas!!”

Prolog
Pada mulanya adalah keraguan; keraguan tentang kebenaran yang ada. Keraguan memicu keyakinan; keyakinan tentang kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran itu bersama-sama denganku dan kebenaran itu adalah aku.
Pencarian

Sepanjang masa orang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada dirinya sendiri, yang ada di balik semua ini; sesuatu yang kita sebut kebenaran atau tuhan, sesuatu yang (mungkin) kekal. Orang juga senantiasa bertanya: “Apa arti semua ini?” “Apakah hidup punya arti?”

Karena tidak menemukan apapun, orang merasa kecewa dan mulai mengharapkan pimpinan dari seseorang yang memberitahu mereka tentang baik atau buruk, benar atau salah. Orang-orang percaya pada yang namanya Sidharta, Juru Selamat, Nabi Akhir Zaman, Whatever!! Dengan demikian orang telah menganut suatu pola atau tata tertentu sehingga kelakuan dan pikiran mereka menjadi mekanis, dan tanggapan mereka terhadap suatu peristiwa menjadi otomatis.

Selama berabad-abad kita telah diindoktrinasi oleh guru, pemimpin, bahkan alkitab; kemudian kita puas dengan gambaran yang mereka berikan. Itu berarti bahwa hidup kita didasarkan pada kata-kata belaka dan hidup kita bersifat dangkal dan kosong.

Kita tidak orisinal. Selama ini kita hidup berdasarkan pada apa yang telah diberitahukan kepada kita. Dan saya, tapi itu dulu, juga (mungkin) Anda terpaksa menerima segalanya itu karena situasi atau lingkungan. Kita merupakan hasil dari segala macam pengaruh dan tidak ada apapun yang baru di dalam diri kita, tidak ada yang kita temukan sendiri, tidak ada yang orisinal, murni, dan jelas.
Ironi

Batin kita menjadi tidak mampu apa-apa, tolol, dan tidak peka. Sungguh ironis bahwa kebanyakan dari kita menentang tirani politik dan kediktatoran, tapi secara batiniah kita sebenarnya menerima otoritas; otoritas spiritual, segala upacara, ritual, dogma. Dan apabila kita mencoba menolak itu semua untuk berdiri seorang diri dan langsung bertentangan dengan masyarakat, maka kita bukan manusia yang pantas dihormati lagi.

Pertanyaan tentang apakah ada tuhan itu atau kebenaran atau apapun Anda menyebutnya, tidak akan pernah terjawab oleh buku, pendeta, sufi, maupun kyai. Tak seorangpun atau apapun dapat menjawab pertanyaan itu kecuali Anda sendiri. Karena itu mulailah dengan memahami diri Anda sendiri.

Maka untuk menemukan apakah sesungguhnya ada atau tidak sesuatu di balik kehidupan yang penuh kekhawatiran, dosa, dan ketakutan ini, orang harus menghadapinya dengan sikap yang lain, yang sama sekali berbeda.
Tradisional vs Aktual

Kita diberitahu untuk melakukan ini dan itu; dilarang untuk melakukan ini dan diwajibkan melakukan itu. Kalo begini dosa dan jika begitu dapat pahala. Kita jadi terkondisi!! Pola pikir dan cara pandang kita menjadi tidak orisinal dan sangat tradisional.

Kita berharap pada sesuatu yang tidak nyata dan takut akan hal-hal yang tidak kita kenal; takut mati dan sesuatu di baliknya, takut bagaimana hari esok. Sungguh bodoh!! Inilah kehidupan kita sehari-hari yang justru penuh ketakutan dan harapan kosong. Dan setiap bentukan filsafat maupun konsepsi teologi semata-mata hanya pelarian dari keadaan yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya keadaan tersebut harus kita hadapi secara aktual. Sama aktualnya ketika kita menyadari kita lapar atau ketika kita merasa lelah.
Temukan Kebenaran

Mari kita lihat situasi sekarang. Sepertinya orang-orang punya ‘lorong’-nya tersendiri untuk dilalui. Lorong untuk menuju kebenaran. Seorang hindu mempunyai lorongnya sendiri dan pada saat yang sama orang lain juga mempunyai lorong kristen atau lorong islam. Dan konon kabarnya lorong itu akan menuju pada ruang yang sama yang mereka namakan surga. Tapi pada kenyataannya orang-orang yang berbeda lorong tersebut bermusuhan dan saling menyangkal. Saya tidak dapat membayangkan kebenaran yang seperti itu. Saya rasa kita tidak perlu ikut-ikutan orang-orang, merasa dia berada di lorong yang benar sedangkan orang lain di lorong yang salah.

Kebenaran itu tak berlorong. Kebenaran adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang tidak terdapat dalam kuil, masjid, ataupun gereja. Dan tiada seorang pun atau konsepsi apapun yang dapat menuntun Anda kepada kebenaran.

Anda akan melihat bahwa kebenaran yang hidup ini adalah Anda sendiri, kita, yang sebenarnya!! Segala kesedihan kita, bahagia kita, kemarahan kita, canda tawa kita. Yang perlu Anda lakukan hanyalah memahaminya. Memahami sesuatu yang hidup ini dalam diri Anda, yang tidak mungkin Anda dapatkan melalui suatu ideologi, tirai kata-kata dalam alkitab, melalui konsepsi, ataupun melalui harapan-harapan dan ketakutan-ketakutan.

Dengan demikian, Anda tidak bergantung pada siapa pun juga. Tidak perlu petunjuk jalan, tidak perlu guru, dan tidak ada otoritas. Yang ada hanyalah Anda, dan hubungan Anda dengan orang lain dan dunia. Ya, tidak ada apapun selain itu!!

*Mahasiswa TI (Teknik Informatika Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung

Wednesday, September 19, 2007

Ketum, Sekum

Ketum dan Sekum LPIK dari Masa ke Masa

Periode Fundamental

1996 – 1997 : Hayat Hudaya Az-Mu’min Setiawan
1997 – 1998 : Mu’min Setiawan-Asep Abdul Sahid
1998 – 1999 : Adang Meman Sulaiman-Hendra Prawira
1999 – 2000 : Ahmad Yudana-Tantan hadiansyah

Periode Liberatif

2000 – 2001 : Dede Nurdin-Nurdin
2001 – 2002 : Wawan Gunawan-Anwar
2002 – 2003 : Ahmad Sahidin-Muhammad Fadli
2003 – 2004 : Lina Tunaswati-Ibn Ghifarie

2004 – 2005 : Yosep Sumantri-Slamet
2005 – 2006 : Badru Tamam Mifka-Mas’ud
2006 – 2007 : Tedi Taufiqurahman-Faisal Amir
2007 – 2008 : Muhammad Aljibilla-M Noval

Post LPIK

2004 – 2005 : Ahmad Syahidin
2005 – sekarang : Ibn Ghifarie

Periode Fundamental (1996 – 2000)

-Hayat Hudaya Az Mahasiswa PPI Fakultas Syariah angkatan 1994

-Mu’min Setiawan Mahasiswa KPI (Komunikasi Penyiaran Islam) Fakultas Dakwah angkatan 1994.

-Asep Abdul Sahid Mahasiswa AS (Ahwalus Syahsiyah) Fakultas Syariah angkatan 1995. Kini KNPI Pusat

-Adang Meman Sulaiman Mahasiswa PAI (Pendidikan Agama Islam) Fakultas Tarbiyah angkatan 1996.

-Hendra Prawira Mahasiswa Muamalah Fakultas Syariah angkatan 1996.

-Ahmad Yudana Mahasiswa AF (Aqidah Filsafat) fakultas Ushuluddien angkatan 1998.

-Tantan hadiansyah Mahasiswa PAI (Pendidikan Agama Islam) Fakultas Tarbiyah angkatan 1996

Periode Liberatif (2000 –sekarang)

-Dede Nurdin Mahasiswa PBI (Pendidikan Bahasa inggris) Fakultas Tarbiyah angkatan 1997. Kini editor Bentang Jogjakarta

-Nurdin Mahasiswa TH (Tafsir Hadits) Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 1998. Kini Dosen UI

-Wawan Gunawan Mahasiswa KPI (Komunikasi Penyiaran Islam) Fakultas Dakwah dan Komunikasi angkatan 1999. Kini pengasuh KPP (Komunitas Pedulu Pelajar) Bandung

-Anwar Mahasiswa Matematika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan angkatan 1999. Kini Guru SLTP di Tasikmalya

-Ahmad Syahidin Mahasiswa SPI (Sejarah Peradaban Islam) Fakultas Adab dan Humaniora angkatan 1999. Kini Editor MQ (menegemen Qolbu) Bandung

-Muhammad Fadli Mahasiswa TH (Tafsir Hadits) Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 1999. Kini guru Tsanawiah Persis Pajagalan bandung.

-Lina Tunaswati Mahasiswa (SA) Sosiologi Agama Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 2000. Kini ibu rumah tangga.

-Ibn Ghifarie Mahasiswa SAA (Studi Agama-Agama) Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 2002. Kini Koordinator Post LPIK

-Yosep Sumantri Mahasiswa PBA (Pendidikan bahasa Arab) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan angkatan 2001. Kini aktivis lingkungan hidup di Cianjur

-Slamet Mahasiswa AF (Aqidah Filsafat) Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 2003 editor. Kini editor lepas di Bandung

-Badru Tamam Mifka Mahasiswa KPI Komunikasi Penyiaran Islam) Fakultas Dakwah dan Komunikasi angkatan 2003. Kini kuncen situs Bangkawarah Weblog

-Mas’ud Mahasiswa KPI Komunikasi Penyiaran Islam) Fakultas Dakwah dan Komunikasi angkatan 2003. Kini Ketua Pusat IKA DARMA AYU (Ikatan Keluarga Mahasiswa Indramayu) Bandung

-Tedi Taufiqurahman Mahasiswa SA (Sosiologi Agama) Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 2004. Kini Koordinator JarIK (Jaringan Islam Kampus) Bandung.

-Faisal Amir Mahasiswa SA (Sosiologi Agama) Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 2004. Kini pengelola mesjid.

-Muhammad Aljibilla Mahasiswa PMI (Pengembangan Masyarakat Islam) Fakultas Dakwah dan Komunikasi angkatan 2006. Kini Ketum LPIK (2007-2008)

-M Noval Mahasiswa Sosiologi Fakultas Filsafat dan Teologi angkatan 2005. Kini Sekum LPIK
(2007-2008) [Ibn Ghifarie]

Tatib Ketum

TATA TERTIB KETUA UMUM LPIK

1. Pemilihan ketua umum dipilih secara langsung, umum, rahasia dan voting
2. Pemilihan dilakukan secara 2 tahap, pencalonan dan pemilihan
3. Setiap peserta berhak mencalonkan 1 calon ketua umum
4. 3 suara terbesar dinyatakan sebagai calon
5. Jika calon ketua umum hanya seorang maka langsung dinyatakan sah menjadi ketua umum terpilih setelah memenuhi criteria

TAHAPAN PEMILIHAN

1. Setiap calon harus menyatakan kesediannya baik secara lisan maupun tulisan
2. Setiap calon menyampaikan visi misi dilanjutkan dialog
3. Calon yang mendapatkan suara terbanyak dinyatakan sah menjadi ketua umum
4. Apabila terdapat perolehan suara yang sama maka dilakukan pemilihan ulang sampai ada yang mendapatkan suara terbanyak.
5. Hal-hal yang belum diatur dalam tata tertib ini akan diatur dikemudian hari.

KRITERIA DAN SYARAT KETUA UMUM

1. Tercatat sebagai anggota LPIK
2. Tidak menjabat sebagai top leader di organisasi manapun
3. Bersedia melanjutkan tradisi LPIK: membaca, menulis, diskusi dan meneliti
4. Bersedia tinggal di LPIK
5. Bersedia membuat karya secara tertulis dalam satu kepengurusan

TAHAPAN PEMILIHAN

1. Setiap calon harus menyatakan kesediannya baik secara lisan maupun tulisan
2. Setiap calon menyampaikan visi misi dilanjutkan dialog
3. Calon yang mendapatkan suara terbanyak dinyatakan sah menjadi ketua umum
4. Apabila terdapat perolehan suara yang sama maka dilakukan pemilihan ulang sampai ada yang mendapatkan suara terbanyak.
5. Hal-hal yang belum diatur dalam tata tertib ini akan diatur dikemudian hari.

KRITERIA DAN SYARAT KETUA UMUM

1. Tercatat sebagai anggota LPIK
2. Tidak menjabat sebagai top leader di organisasi manapun
3. Bersedia melanjutkan tradisi LPIK: membaca, menulis, diskusi dan meneliti
4. Bersedia tinggal di LPIK
5. Bersedia membuat karya secara tertulis dalam satu kepengurusan

Tatib Musyag Ke-XII

TATA TERTIB MUSYAG LPIK Ke-XII
KBM (Keluarga Besara Mahasiswa) Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung

BAB I
NAMA, WAKTU DAN TEMPAT
Pasal 1
Musyawarah ini bernama Musyawarah Anggota (Musyag LPIK) ke-XII dilaksanakan tanggal 14 Juli 2007 bertempat di depan Gedung Rektorat UIN SGD bandung

BAB II
LANDASAN DAN WEWENANG
PasaL 2
LANDASAN
Musyawarah ini berdasarkan AD/ART LPIK
Pasal 3
WEWENANG
1. Mengubah dan menetapkan mekanisme pengurus, program umum, arah LPIK dan ketentuan lainnya
2. Mendengar dan mengevaluasi LPJ pengurus LPIK periode sebelumnya
3. Merumuskan dan merekomendasikan pokok pikiran serta kebijakan organisasi
4. Memilih Koordinator post dan Ketua umum LPIK

BAB III
PESERTA
Pasal 4
Peserta terdiri dari :
1. Pengurus adalah mereka yang menjabat dalam kepengurusan periode sebelumnya
2. Anggota adalah anggota LPIK yang tercatat sebagai anggota LPIK yang telah mengikuti TGB
3. Post adalah mereka yang selesai kuliah atau alumni LPIK
4. Undangan mereka yang perlu hadir dalam acara musyag
Pasal 5
HAK DAN KEWAJIBAN PESERTA
1. Setiap peserta mempunyai hak bicara, memilih dan dipilih kecuali tamu undangan
2. Setiap peserta berkewajiban mentaati tata tertib demi jalannya kelancaran Musyawarah

BAB IV
MEKANISME PELAKSANAAN MUSYAG
Pasal 6
JENIS-JENIS PERSIDANGAN
Musyag ini terdiri dari Sidang pleno dan komisi
Pasal 7
Siding pleno terdiri dari
1. Pleno 1 membahas dan pengesahan agenda acara dan tata tertib
2. Pleno 2 membahas Laporan pertanggung jawaban pengurus, evaluasi kerja dan pembacaan puisi
3. Pleno 3 merumuskan dan menetapkanAD/ART arah gerak LPIK
4. Pleno 4 membahas dan mengesahkan TATA Tertib pemilihan Koordinator Post dan ketua umum
Pasal 8
Sidang komisi
Terdiri dari :
1. Komisi A membahas AD/ART
2. Komisi B membahas GBPK dan arah gerak LPIK
3. Komisi C criteria Koordinator post dan ketua umum
Pasal 9
1. Pemimpin sidang dinamakan presidium siding yang berjumlah 3 orang
2. Pemilihan presidium dipimpin oleh SC
3. Sidang pleno 1, 2 dan 4 dipimpin oleh presidium siding
4. Sidang komisi dipimpin oleh seorang yang terpilih dari setiap komisi
Pasal 10
HAK DAN KEWAJIBAN PRESIDIUM SIDANG
1. Memimpin dan mengatur persidangan serta memberikan sanksi pada peserta yang melanggar
2. Mengesahkan dan memberikan penjelasan apabila dianggap perlu

BAB V
KUORUM
1. Musyag ini dianggap sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya setengah lebih satu dari peserta yang hadir.
2. Apabila point 1 tidak tercapai maka musyag diskors 5 menit
Pasal 11
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Semua keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat
BAB VI
KETENTUAN LAIN
1. Hal-hal yang belum tercantum dalam tata tertib ini akan diatur dan diputuskan di kemudian hari
2. Tata tertib ini berlaku sejak ditetapkan dengan keabsahannya diatur selama musyag 12 berlangsung

Ditetapkan : Gedung Rektorat
Pada tangal 12 Juli 2007
Waktu : 17.56 wib
SC :

Presedium I Presedium II Presedium III

Monday, September 10, 2007

Selamat

Selamat Dan Sukses

Kami atas nama Keluarga Besar LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) dan Post (Korp Alumni) LPIK Mengucapkan Selamat dan Sukses atas diwisudanya;

-Slamet, S.Fil.I (Mahasiswa Aqfil Fakultas Ushuluddin dan Mantan Sekum LPIK periode 2004-2005)

-
Engkin, S.S (Mahasiswa Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora dan Mantan Bendum LPIK periode 2004-2005)

-Sari Safitri, S.Hum (Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora dan anggota Post LPIK)

-Ruri Masruroh, Amd (Mahasiswa D3 Menejemen Keuangan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum dan anggota LPIK)

-Rukman, S.Sos.I (Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan anggota LPIK)

Bandung, 08 September 2007


M Alzy Billa (Ketum LPIK)

Ibn Ghifarie (Koord Post LPIK)

Komik

Komik, Karikatur dan Kartun
Oleh Dani Wardani

Komik, karikatur dan Kartun (selanjutnya disebut K-3) merupakan salah satu bentuk imajinasi yang diaktualisasikan dalam rangka gambar. Proses pembuatan dari ketiganya secara sederhana: berupa bentuk khayalan baik itu mengenai manusia itu sendiri, hewan, tumbuhan, alam ataupun hal yang tidak terjangkau oleh akal seperti mahluk luar angkasa ataupun gaib sekalipun yang dimediasikan lewat tangan, pulpen/patlot, kertas, cat gambar--walaupun sekarang semuanya bisa dikerjakan langsung lewat media komputerisasi sehingga terbentuk sebuah coretan dalam rangka gambar.

Dengan segala atributnya, ketiga bentuk rangka itu menjadikan K-3 sebagai sebuah seni sastra yang paling ‘unik’ dan sejenis dibanding dengan seni sastra lain seperti lukisan, patung, drama dan berbagai jenis tulisan: novel, cerpen, puisi dlsb.

Mengapa penulis memasukan ketiganya dalam bentuk katagori seni sastra, karena kriteria karya sastra meminjam Goldman (1981:55-74) dalam salah satu esainya, merupakan salah satu bentuk ekspresi pandangan dunia (apapun itu bentuk medianya) secara imajiner dan dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang bisa menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi secara bebas. Dengan begitu bisa disebutkan bahwa K-3 merupakan salah satu genre seni sastra yang termodifikasikan lewat gambar, melalui bahasa non-verbal. Dan mereka para animator adalah penciptanya. Dia menuangkan ide-ide segarnya secara bebas, menarik, tentang sesuatu yang belum ada (cita-cita), kontradiktif, misterius, kadang serius dan sekaligus menggelitik tentang hal-hal yang ada di luar dugaan manusia saat itu.

Kadang karenanya (terutama dalam kartun) berbagai discovery bisa diwujudkan—-sekadar contoh, sekarang ini telah berhasil dibuat cairan plasma yang bisa merekat seperti digunakan Spiderman dalam kartunnya, serta berbagai macam alat teknologi seperti dalam film-film kartun yang bernuansa futuristik, di mana itu sekarang sedang diwujudkan.
Bukan itu saja, nilai-nilai tradisi dan budaya yang selama ini tidak dirasa cocok dan mengakar kuat dalam suatu masyarakat (seperti yang tergambar dalam komik ataupun kartun Jepang secara mayoritas), bisa disebutkan sebagai icon dari adanya caunter dalam bentuk gambar itu, terhadap kehidupan budaya yang dijalani. Serta gambar-gambar (coretan tangan) koran ataupun majalah yang sering terlihat dalam bentuk karikatur-karikatur lucu sekaligus kritis (biasanya di halalam atas opini-koran), menandakan masih perlunya eksistensi dari gambar moral ataupun politik terhadap kehidupan realitas yang begitu lemah dan tidak layak kita tiru. Secara keseluruhan, nilai-nilai itulah yang kiranya apabila ditafsirkan akan terus melekat pada setiap komik, karikatur dan kartun di Indonesia dewasa ini.
Namun terlepas dari itu, muncul pertanyaan besar apakah ketiganya mesti memiliki pesan? tentu saja tidak. Kadang K-3 tidak perlu dimaknai apa-apa: sebagai bentuk kreativitas, keterampilan, kesenangan dan luapan hati serta tanpa ‘rekayasa’ sang animator. K-3 pula hadir begitu saja dibenak para animator untuk diperlihatkan; tanpa dikaitkan dengan masalah teknologi, sosial, politik ataupun budaya--walaupun dibalik ceritanya pasti menggunakan aspek-aspek tadi.
Karena K-3 pertamanya diidentikkan cuma sebatas sebagai sebuah hiburan bagi si Upik. Ataupun cuma wujud kreativitas seseorang untuk memperlihatkan gerak hidup manusia, hewan, tumbuhan yang tergabung dalam alam jagad bumi ini dan Tuhan pada sebuah bentuk imaji: gambar.
Walaupun dalam perkembangannya, memang terasa arah perubahan tujuan dalam pembuatannya, yaitu komsumerisme. Bagaimana perkembangan arus media sekarang yang menyediakan ketiga bentuk gambar itu untuk bersaing dipublikasikan--bukan semata hasil bentuk hiburan diruang yang kosong belaka. Kadang sebagai tindak lanjutnya, bisa diwujudkan dalam bentuk aslinya: seperti mainan-mainan yang sekarang menggejala dikalangan anak-anak. Sebut saja kepanjangan tangan dari itu seperti maraknya film-film kartun Jepang yang mendominasi Indonesia: Bayblade dengan menghasilkan mainan gasingnya, Lets and Go dengan mobil mainan Tamiyanya, Crush Gear dengan mobil tarungnya ataupun sejenis mainan lainnya seperti boneka Pooh dari hasil film Winne and Pooh yang dahulu berhasil mendobrak market mainan dunia dengan mudahnya. Semua itu bisa disebut sebagai mediasi sosialisasi produk dengan menggunakan media kartun sebagai ‘nabi’nya.
Perkembangan Komik, Karikatur, Kartun di Indonesia
Sekedar mengantarkan sebuah peta ke hadapan pembaca, penulis melihat bahwa sebenarnya ‘bisnis’ gambar seperti yang diwadahi dalam tiga media di atas untuk di Indonesia sebenarnya tidak atau belum mengalami perkembangan yang cukup serius.
Dimulai dari Komik, sebenarnya tahun 60-an perkomikan di Indonesia pertamanya cukup menjanjkan. Ini terbukti dari hasil yang dibuat oleh komikus Indonesia, seperti oleh Ganes TH dengan “Si Buta dari Gua Hantunya”, Indri Sudono dangan “Petruk dan garengnya”, Jan Mintaraga dengan komik “percintaannya”, RA Kosasih dengan “Mahabrata dan Bharatayudhanya”, Wid NS dengan “Godam dan karakter wajah Indonesianya”, Djair dengan “Kutukan Sangkuriangnya” N.Mintardjar dengan “Naga Sastra dan Sabuk Intennya”, Herman Phatirto dengan “Bende Mataram” dll. merupakan sejumlah komikus perintis Indonesia yang patut dibangggakan hasilnya.
Isi ataupun kualitas cerita dan penyajian dari beberapa komik di atas tidak lah kalah dengan perkomikan dari luar saat ini. Namun karena perkembangan media sekarang ini, baik dari segi penyajian yang menggukan alat komputer, perkomikan Indonesia akhirnya tidak bisa menyaingi derasnya perkembangan zaman. Paling yang sekarang masih bertahan hanya beberapa perkomikan saja di Indonesia. Sebut saja “Legenda Sawung Kampret dan Panji Komeng” yang digawean oleh Dwi Koen, merupakan salah satu komik berkualitas terakhir--bisa dibilang begitu--di Indonesia saat ini. Komik tersebut menurut penulis tergolong serius apabila dibandingkan dengan komik lain (baca komik santai). Majalah Kumkom sebagai sarana sekaligus media komikus dalam negeri yang turut berkiprah menampilkan hasil karyanya merupakan salah satu media terbatas bagi karya-karya komik yang tidak mendapat ruang serius. Dengan munculnya berbagai media komik tersebut diharapkan bisa mewakili terus terpaan angin komikus dalam negri dari luar seperti Jepang.
Berbeda lagi dengan dunia Karikatur, perkembanganya di Indonesia bisa disebut bertimbal balik dengan situasi Komik saat ini. Walaupun kehadiran dunia Karikatur tidak begitu muncul dalam popularitas suatu roduk karya astra, namun dilihat dari segi kuantitas dan kualitas peminat dari Karikatur terutama di setiap Koran sangatlah besar.
G.M. Sudarta sebagai kartunis sekaligus karikaturis di suratkabar Kompas dengan “Oom Pasikomnya” merupakan salah seorang yang sampai sekarang ini masih kuat dengan gambar yang sarat oleh pesan, kritik, estetika dan kadar humornya. Dengan karakter tersebut Sudarta lebih familiar menyebut karikatur dengan sebuah doformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” melalui penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek (Prisma, No.5, 1981: 49-53).
Namun sebagai sebuah karikatur, dalam pandangan Sudarta tidak selalu harus hadir dalam bentuk pesan atau kritik, apalagi dalam rangka yang berlebihan. Kalaupun ada, ia menamakannya dengan katagori editorial cartoon yang biasa disebutnya tajuk rencana dalam versi gambar humor. Ini bisa terlihat, menurutnya di tahun 1960-an karikatur T.Sutanto yang terbit di mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung dan di zaman Orba seperti hasil kartunis-kartunis besar (Sanento, Pramono, Priyanto, Tony Tantra, thomas Leonar, Dwi Koendoro, Yuliman, Mariadi S, Keulman, dll.) pernah juga menjadi sorotan: sebagai salah satu kritikan tajam dengan “membunuh” ’ala senyuman. Jangan dikira perbuatan tersebut tidak menyebabkan hal apa-apa bagi sipembuat karikatur. Tidak lama kita telah dikejutkan dengan penangkapan seorang Pemred Harian Rakyat Merdeka, hanya akibat membuat sebuah karikatur telanjangnya seorang pejabat (Akbar Tanjung) yang dipandang hal tersebut mencemarkan nama baik seseorang.
Oleh sebab itu, seringkali Sudarta memandang bahwa dalam pembuatan karikatur tersebut sang karikaturis jangan terlalu berlebihan yang akhirnya kurang kena sasaran. Sehingga dalam tampilannya bisa mmbuat orang, khususnya yang dikritik dalam gambar merasa terhina ataupun menaruh curiga yang berlebihan.
Etika (baca:kode etik) dalam melakukan kritikan, menurutnya diperlukan pada saat itu agar misi yang dilontarkan sampai dengan selamat dan sejahtra.
Seperti apa yang dalam perkembangannya, karikatur tersebut diperbaharui dengan gaya yang lebih bervariasi. “Doyok” contohnya tokoh yang dipakai Keliek Siswoyo, merupakan salah satu bentuk karikatur berjenis komik singkat (dalam satu strip atau panel) yang memiliki ciri khas tersendiri dibanding karikatur produk lama. Doyok ini hadir di harian Pos Kota, dalam kolom khusus “Lembergar” (Lembaran bergambar Untuk Keluarga) yang meraih ratingnya mencapai tiras tertinggi mencapai 74,9 persen pembaca (Bentara, Kompas 1/11/2002).
Bayangkan, dari sebagian banyak lembaran yang ada di Pos Kota, sebagai harian surat kabar yang bisa mencapai 500.000-600.000 eksemplar pembaca tiap harinya, sebagian besar tertuju pada kolom karikatur buatan Siswoyo ini.
Berbeda dengan Oom Pasikomnya G.M Sudarta, Karikatur Doyok buatan Siswoyo lebih bersipat dialogis yang mengambil setting kebudayaan masyarakat kampung. Dengan gayanya yang khas itu, dia melihat persepsi masyarakat bawah tentang berbagai problema, termasuk masalah politik di Indonesia ini. Dengan begitu ia bisa menetralisir apa yang diharapkan Sudarta dengan kritikan yang tepat guna.
Berbeda lagi dengan komik ataupun karikatur seperti yang dijelakan di atas, Kartun adalah persoalan baru bagi perindustrian film animasi di Indonesia. Perkembangan dunia teknologi informasi, membuat produksi Kartun di Indonesia ‘lesu’ total dibanding dengan negara lain, Jepang contohnya. Berjamurannya film kartun ‘asing’ di Indonesia bisa dilihat di TV-TV ataupun dalam bentuk VCD. Penayangannya pun memiliki jadwal tetap (seperti minggu sebagai hari libur keluarga). Sebut saja film Slam Dunk, Lats and Go, Doraemon, Sinchan, Dragon Ball, Inuyasa, Bayblade, Ditektif Conan, dll. merupakan sejumlah kartun Jepan yang mendominasi film animasi di Indonesia di berbagai stasion telivisi. Ini bisa dimengerti karena dengan keterbatasan keterampilan kartunis Indonesia masih pada relatif sederhana.
Ini bisa terlihat bahwa baru pada tahap tema-tema film kartun Indonesia yang baru bisa muncul, seperti dalam cerita-cerita rakyat ataupun legenda masyarakat Indonesia: Sangkuriang, Ketimun Mas, dll. Itu pun belum di dalam pembuatanya masih tetap memerlukan kepandaian edting pihak asing.
Kartun-kartun itu biasanya diangkat dari sketsa Karikatur ataupun Komik yang ditindaklanjuti pada bentuk animasi. Apalagi untuk sekarang, sesuai dengan perkembangan dunia komputerisasi, bentuk animasi kartun semakin komplek yaitu berupa tiga demensi: bentuk khayalan (dari hasil coretan) sekaligus terlihat nyata yang bisa tergabung dalam ruang dimensi manusia.
Tentu saja perkembangan teknologi itu sulit dijangkau pembiayaannya, selain mengadakan kerjasama dalam pembuatannya. Contohnya film animasi buatan Indonesia yang baru dirilis “Janus: Prajurit Terakhir”. Terinspirasi seperti dari film sejenisnya: Toy Story dan Bag’s Life, film Janus yang disutradarai oleh Chandra Endroputro ini diharapkan bisa menembus dunia kartun, hal ini dalam bentuk animasi di Indonesia. Dengan begitu tuntutan akan ide-ide pembuatan Kartun bisa terus dilakukan, walaupun dalam pembuatanya masih membutuhkan tangan-tangan luar. []

Air Mata

Taman Air Mata
Oleh Badru Tamam Mifka

No se puede vivir sin amor...

I
Taman tua itu amat sepi. Baru setahun hasil renovasi. Tapi. konon, tak ada seorangpun yang mau lewat atau duduk disana saat malam datang. Tempatnya gelap. Pohon-pohon yang besar dan lampu taman yang agak redup.

Dulu, pohon-pohonnya lebih banyak dan kondisi taman rusak berat. Tapi dulu dan sekarang, taman itu masih saja tetap memberi nuansa aneh. Jika kini kau melihat taman tua itu selintas, kau akan menyangka bahwa tempat itu wilayah pekuburan yang sangat angker. Tak ada yang berani kesana. Bahkan dua muda-mudi yang kebelet ingin pacaran pun tak memilih taman itu sebagai ruang ekspresi darurat. Maling keparat sekalipun enggan lari dan sembunyi disana. Ia seperti tempat yang mengerikan nan jahanam. Di sudut sebelah timur taman itu, kau akan melihat dinding tembok yang tinggi berbentuk kubus tanpa pintu masuk dan lubang udara. Itu area terlarang. Pemerintah setempat sengaja membuat dinding tinggi yang kokoh itu untuk menutupi sebuah patung yang dalam sejarahnya dianggap benda keramat oleh sebagian penduduk disana untuk melakukan aneka praktek sesat.


Jika siang datang, berjalanlah agak dekat. Disana kau akan melihat sebuah bangunan kecil dan tua, sebuah pos jaga, nyaris tak terurus. Tak beda dengan suasana malam, di siang harinya taman juga tetap sepi. Tetapi jika kau memasuki pagar besi dan berjalan lebih dekat dengan bangunan kecil bertembok itu, kau akan benar-benar dikejutkan suara lelaki yang menangis pilu di dalam pos jaga itu. Jika kau berani mengintipnya lewat jendela, kau akan melihat lelaki gila renta dengan kulit keriput meringkuk di sudut kamar yang agak gelap. Kedua kakinya terpasung sebatang kayu besar terbelah berlubang dua, belahan dengan pasak yang kuat hingga kaki yang kurus yang dirantai dalam himpitan lubangnya tak bergerak lebih leluasa. Jika kau lebih berani membuka pintunya, cahaya matahari akan merasuk garang ke ruangan itu dan kau akan lebih jelas menemukan seseorang yang terpasung sangat menyedihkan. Ia akan tertawa-tawa, tak lama lalu menangis, tak lama lalu tertawa lagi. Rambutnya kusut. Jambangnya dan kumisnya lebat hingga bibirnya nyaris tak terlihat. Wajahnya berdaki, penuh luka di bagian kening dan pelipisnya. Bajunya penuh robekan, kotor, dan bau. Matanya yang kekuningan akan menatap kedua matamu dengan tajam. Setelah itu ia akan berteriak tak karuan dan akhirnya bertanya padamu, seperti pertanyaan yang sama pada setiap orang yang kebetulan berani masuk kesana: “Apa kau punya cinta? Berapa harganya? Apa kau punya cinta?! Berapa harganya?!” lalu kau akan mendengar ia menangis lagi, tertawa-tawa lagi, nyanyi dan menangis lagi dengan suara yang memilukan. Tanyalah pada setiap orang, siapa dia.
Dia disebut si Gila. Inilah kisahnya…
Kisah ini terjadi sembilan tahun yang lalu. Pada awalnya si Gila itu dalah seorang penulis yang diupah jadi penjaga taman. Namanya Sukidi. Dia diupah walikota untuk menjaga taman tua yang tak laku—upah yang seharusnya datang perbulan tapi seringkali Sukidi tak mendapat bayaran. Siapa peduli taman ini, tak ada yang peduli. Siang dan malam, Sukidi mengisi kesehariannya dengan menyapu jalan dan sudut-sudut taman dari dedaun kering pohon beringin yang jatuh. Hari-harinya diisi dengan kesendirian. Ia sering berlama-lama menatap langit, menulis berlembar-lembar, mencatat tentang apa saja yang ia lihat dan rasakan. Betapa ia merasa amat kesepian dalam kesendiriannya. Sepanjang dia menjaga taman, dia belum pernah bicara panjang lebar dengan seseorang yang kebetulan duduk di taman. Taman ini tidak populer hingga tak begitu ramai. Ada juga satu atau dua orang yang kebetulan lewat, lalu duduk dan setengah jam kemudian bergegas pergi. Sukidi tahu, tak ada yang betah berlama-lama disana. Mungkin tempatnya tak menghibur.
Tetapi, beberapa hari kemudian, Sukidi tiba-tiba didatangi seorang pemuda. Ia minta ijin pada Sukidi ingin memakai sudut sebelah timur taman itu untuk proyek membuat patung dari tanah liat. Pemuda itu sepertinya bertubuh kurus, hanya jaketnya saja yang tebal. Ketika jaketnya dibuka, penampilannya cukup rapi dengan baju kemeja, celana jeans, sepatu kulit dan ransel. Rambutnya agak gondrong. Mungkin dia seniman, pikir Sukidi. Tak banyak pertimbangan, Sukidi akhirnya mengijinkan pemuda itu memakai sebagian taman. Setiap sore Sukidi melihat pemuda itu mengangkut tanah liat dari tempat jauh nun disana, menumpuknya dan membentuknya. Tak ayal, penampilan yang awalnya rapi kini kotor penuh lumpur. Jika malam datang, pemuda itu keras-keras membaca puisi-puisi. Sukidi seperti mendengar mantra-mantra. Sukidi selalu berharap dia bukan orang sinting.
Hari demi hari, pemuda itu masih tampak disana; mengangkut tanah liat, membentuknya, berpuisi dan seterusnya dan seterusnya. Sukidi tak pernah melihat pemuda itu tidur sebelum tengah malam. Ia selalu kelihatan asyik membentuk wajah patung. Tampaknya, ia berusaha membuat sebuah patung perempuan setengah badan…

II
Sukidi mulai heran, baru pertama kalinya selama beberapa bulan bertugas menjaga taman, dia menemukan pemuda seaneh itu. Apalagi jarang orang yang mau berlama-lama tinggal di taman. Awalnya Sukidi menyangka pemuda itu orang sinting, tetapi kemudian Sukidi percaya bahwa pemuda itu berakal sehat. Dia lumayan ramah. Bicaranya lancar dan teratur. Tetapi pemuda itu kelihatannya pendiam. Kepribadiannya seperti sepi. Pun beberapa hari terakhir ini Sukidi jarang melihat ia makan. Tapi ia kelihatannya hobi minum air putih, berbotol-botol ditenggak, berbotol-botol diguyurkan ke seluruh tubuhnya. Meski aneh, Sukidi mulai kasihan melihat pemuda itu. Ia jadi ingin tahu apa yang terjadi dengan anak muda itu. Suatu malam, Sukidi menghampirinya.
“Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan disini, Anak Muda?” Tanya Sukidi. Anak muda itu terdiam lama. Lalu ia menghela napas panjang.
“Aku ingin membuat sebuah patung seorang perempuan paling indah.”
“Untuk apa?”
“Entahlah, mungkin untuk seseorang?”
“Hm, seseorang? Apakah dia seorang penikmat seni? Atau pejabat? Atau kawanmu? Atau seorang duda seperti aku?” Tanya Sukidi. Yang ditanya tertawa kecil, lalu berdiri, kepalanya tengadah ke langit malam. Tak ada bintang-bintang. Hanya sesekali ada kepak kelelawar melintas menggaris langit.
“Dia kekasihku…” sahut anak muda itu lirih. Sukidi menghela napas panjang.
“Siapa namanya? Tanya Sukidi kemudian.
“Namanya Delaila.”
“Dimana dia sekarang?”
“Entahlah…”
“Maukah kau menceritakan sebuah kisah tentang kalian?” Pinta Sukidi. Anak muda itu tersenyum. Lama hening. lalu akhirnya ia mulai bercerita.
“Baiklah. Dulu, hampir setahun lamanya, sebelum pos jaga itu berdiri dan sebelum Pak Tua menjaga taman ini, aku sempat menjalani masa muda disini, di taman ini. Aku salah satu pekerja termuda yang membangun taman ini. Awalnya taman ini dibangun sebagai simbol keindahan kota, tapi pemerintah setempat tak serius merawatnya dan mempercantiknya. Hingga tak ada orang yang tertarik dengan tempat ini. Kemudian akulah yang tertarik dengan tempat sepi ini. Berhari-hari aku duduk disini. Sampai suatu hari aku menyukai seorang perempuan muda yang mungkin telah ribuan kali lewat di depan taman ini, ribuan kali melintas gegas dalam ingatanku. Beberapa hari kemudian aku memberanikan diri menyapanya. Betapa aku merasa tiba-tiba waktu seakan-akan mempertautkan dia jadi separuh bagian diriku. Kami berdua akhirnya saling mengenal. Aku bicara banyak padanya, tapi dia bicara sedikit padaku. Lalu hari-hari telah kami habiskan disini. Betapa gembira aku menemukan seseorang yang mau mengurai kesepianku. Sampai akhirnya aku benar-benar jatuh cinta padanya…” Anak muda itu sejenak berhenti bercerita. Matanya terlihat tajam menusuk langit. Lalu dia melanjutkan.
“Suatu hari, aku mengatakan rasa cinta padanya dan mengajaknya untuk menikah. Saat itu dia tampak terkejut bukan main. Kenapa seseorang harus terkejut mendengarnya? Aku tahu, meskipun hanya kata, segala sesuatu akhirnya mempunyai dorongan yang kuat, ragam realitas, masa depan, nasib, ancaman sekalipun dan sebagainya dan sebagainya. Ketika aku tanya apakah dia mencintaiku, dia diam. Lalu aku tanya apakah dia mau menikah denganku, dia juga diam. Aku gentar. Siapa berani bermain dalam kebisuan? Siapa berani bermain dengan misteri? Siapa berani bermain dalam ketidakpastian? Tanya dalam bentuk apapun akhirnya seperti semacam hasrat yang mesti terpenuhi. Kita memang tak dapat membunuhnya, kita hanya mampu melumpuhkannya. Kita tak dapat mengelak darinya. Betapa kita butuh jawaban untuk semua hal.”
“Lalu?”
“Aneh memang, beberapa minggu kemudian ketika aku tanya dia apakah mau jadi kekasihku, dia mau, dia sepakat. Tapi ketika aku tanya dia lagi apakah dia mencintaiku dan mau menikah denganku, dia tetap diam, dia tak mau menjawab, dia bungkam. Pak Tua…dia tak pernah mengatakan cinta padaku. Awalnya aku merasa terikat temali keraguan yang sangat kuat. Aku heran, ruang yang aku berikan padanya telah ia masuki tanpa memenuhi semacam prasyarat. Padahal ruang itu begitu dahaga, sudah terlalu tega dalam duga. Seperti ruang dunia yang menuntut tanya. Atau seperti ruang ayat-ayat suci yang butuh tafsir… ”
“Lalu?”
“Setelah itu kami menjalani keseharian, detik demi detik, menit demi menit, bulan demi bulan. Aku kian percaya bahwa aku benar-benar telah jatu cinta padanya. Mungkin ia juga perlahan telah jatuh cinta padaku, meski dia tak mengatakannya. Ada yang lebih tinggi dari kata, itulah dalihnya; semesta dapat diterka tanpa kata; semesta dapat terasa tanpa kata. Tapi jangan salahkan jika seseorang begitu gelisah karena kesulitan untuk menyebut sesuatu. Ya, kami jalani kebersamaan dengan berani. Berulangkali kami membuat janji untuk bertemu. Ah, waktu seperti lipatan kartu. Aku berkelahi dengan banyak terka. Aku berkelahi dengan banyak prasangka. Aku merasa bergelut dengan sesuatu yang rapat tersembunyi. Tak ada kata yang seharusnya dapat menata pepuing purbasangka. Hingga selalu aku ingin berlari lebih cepat dari misteri. Selalu aku ingin lebih berkuasa dari bahasa. Selalu ingin aku lebih menang dari ketidaktahuan. Tapi, aku hanya gelisah setiapkali kesulitan menebak beberapa detik kedepan. Beribu kali aku melihatnya lewat di taman ini, dan aku bicara panjang. Beratus kali aku melihatnya lewat di taman ini, dan aku hanya bicara sebentar. Berpuluh kali aku melihatnya lewat di taman ini, dan ia hanya tersenyum. Sempat dia bilang, dia punya banyak pekerjaan. Selebihnya, aku hanya menjumpai seorang perempuan yang lebih banyak bicara dengan matanya. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hati, aku tak pernah tahu. Sebab perasaannya tak banyak terwakili kata-kata. Bukankah kata-kata demikian menghibur? Selalu aku gemetar dalam helai-helai tipis yang membedakan dua kenyataan, dua definisi, dua istilah—seperti kesulitanku membedakan mana berjalan dan mana berlari. Waktu memberiku bias gerak. Dan hati, juga pikiran, demikian terbuka merayakan macam-macam prasangka... ”
“Terakhir kali kami bertemu disini, dia bilang aku masih kekasihnya. Tapi ketika aku tanya lagi apakah dia mencintaiku, dia masih diam. Ketika aku tanya juga apakah dia mau menikah denganku, dia masih bungkam. Aku tak tahu, dimana dia tempatkan perasaanku dan dimana ia tempatkan perasaannya sendiri. Ia seperti meneguhkan jarak-jarak tak bernama. Tak jelas kuringkas petanda dalam diamnya. Aku tak percaya diri. Tapi dia hanya memberiku sebuah arloji, mungkin sebuah jawaban simbolis bahwa aku harus menunggu jawaban yang sebenarnya. Entahlah. Tapi aku bilang, aku ingin tetap menunggunya. Aku ingin tahu apakah ia mencintaiku. Maka aku mengajaknya bertemu lagi di taman ini esok harinya untuk memberiku sebuah jawaban, tapi dia bilang ada pekerjaan. Aku bilang dua hari lagi, dia tak bisa. Aku bilang sembilan puluh sembilan hari lagi, dia tak setuju. Tapi akhirnya kami sepakat, kami akan bertemu lagi setelah dua puluh empat bulan lamanya. Kelak kekasihku akan memberiku kepastian dan jawaban. Sejak saat itu, dia tak pernah lewat lagi kesini, sampai hari ini. Tapi aku berjanji padanya akan membuatkan sebuah patung yang indah di taman ini, karya terbesarku. Kelak, ketika ia datang, patung itu harus beres…”
“Hm…”
“Pak Tua, aku akan tetap menunggunya. Aku yakin dia datang…”
“Ya, akupun yakin, Anak Muda, kelak dia akan datang ke taman ini.” Sukidi tersenyum. Malam kian kelam. Angin kian dingin. Satu-dua hujan jatuh, lalu tiga, lalu sembilan dan seterusnya dan seterusnya.
“Anak muda, hujan akan segera turun. Mungkin akan deras. Mari berteduh di pos jaga.”
“Tidak, Pak Tua, ini kali aku rindu mandi air hujan.” Ucap Anak muda itu sembari membuka bajunya. Tak lama, hujan pun turun deras. Sukidi berlari menuju pos jaga. Lama dia melihat anak muda di taman itu.
“Anak muda! Kemarilah berteduh! Bawa juga tanah-tanah liat itu! Lumayan sudah setengah jadi! Aku tak mau melihat pekerjaan patungmu itu hancur diinjak-injak hujan!” Sukidi terdengar berteriak-teriak dari pos jaga.
“Tidak, Pak Tua! Aku disini saja! Patung ini juga disini, biar perlahan hancur! Aku berharap agar esok bekerja lebih kuat lagi! Aku ingin terus bekerja! Agar hari-hari tak terasa! Agar bulan-bulan tak terasa! Agar hitungan tahun tak terasa! Agar rindu tak binasa! Agar harapanku penuh kenikmatan yang panjang! Agar aku berjumpa banyak kemungkinan!” sahut anak muda itu dengan gelak tawa, menyaingi gemuruh hujan. Sukidi hanya menggelengkan kepalanya. Sukidi melihat anak tingkah anak muda itu. Sukidi melihat hujan deras. Sukidi melihat tanah-tanah liat yang telah terbentuk itu perlahan seperti leleh, menjadi kembali remeh…

III
Hari berganti hari, dan bulan-bulan bertumpuk membentuk tahun dan seterusnya. Anak muda itu terus membentuk patung, terus bermain dengan tanah liat dan puisi. Siang berganti malam dan hujan turun lebat, ia tampak berdiri tegak ke langit, merentangkan tangan dan berteriak sekeras-kerasnya. Tubuhnya basah kuyup. Sukidi lama-kelamaan cukup kesal melihatnya. Betapa tidak, siang malam anak muda itu bekerja dan berharap membentuk patung, tapi ia biarkan bentuk patung itu rusak di terjang hujan. Dibentuk, dibiarkan rusak. Dibentuk, dibiarkan rusak, dan seterusnya dan seterusnya. Apalagi anak muda itu jarang makan. Makanannya puisi dan teriakan. Sukidi merasa ada perasaan semacam ngeri merambat di rongga-rongga dadanya. Sukidi mulai sangat khawatir.
“Kenapa kau jarang makan? Kenapa kau tak mau tidur enak? Kenapa kau menyiksa diri seperti ini?” Tanya Sukidi akhirnya.
“Entahlah, Pak Tua, awalnya aku ingin merasakan kenikmatan rasa rindu dan harapan dengan utuh, tanpa campur tangan kenikmatan tubuh. Aku merasa ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mesti dinikmati terlepas dari yang lain. Ah, tapi bentuk penyiksaan diri ini jadi tak merasa membuat diri ini sakit…” Ucap pemuda itu sembari tertawa kecil. Sukidi tambah kesal mendengar jawabannya. Lalu kenapa Sukidi menyibukkan diri merasa peduli padanya, merasa khawatir padanya, toh dia bukan anaknya? Entahlah, Sukidi juga tak paham, mungkin naluri kemanusiaan. Karena rasa khawatir itulah, Sukidi sangat kesal. Kenapa anak muda itu amat keras kepala? Kenapa anak muda itu menyiksa dirinya? Tapi, kenapa Sukidi juga menyiksa diri sendiri dengan bujukkan-bujukkan agar orang lain harus merasa nikmat menurut apa yang ia anggap nikmat, yang kebanyakan orang anggap nikmat?
Masih saja Sukidi diam-diam tak habis pikir. Kenapa dia tak mau makan? Mungkin jawabannya sederhana: dia tak punya uang untuk membeli sebungkus nasi! Sebab anggapan sederhana itulah, Sukidi keesokan paginya membeli dua bungkus nasi dari uang tabungannya, satu untuk anak muda itu, satunya lagi untuk dirinya. Lalu ia berikan sebungkus nasi, tapi anak muda itu hanya bilang: terima kasih, tanpa sedikitpun menyentuh nasinya, hingga siang datang, hingga malam datang, hingga hujan deras datang. Ya, hujan turun deras tampak mengguyur tubuh anak muda itu, patung itu, nasi itu. Nasi itu…Hanya beberapa menit Sukidi mampu menahan kesabarannya. Selebihnya, Sukidi bangkit dari kursi kayunya. Sukidi berjalan kasar menghampiri pemuda itu. Sukidi membentak.
“Kenapa kau biarkan tubuhmu tersiksa?! Kenapa kau biarkan patung itu hancur kembali?! Kenapa kau biarkan nasi itu basah?! Aku bekerja menjaga taman ini dan diam-diam mengusir rasa jenuh untuk mendapatkan uang! Aku beli nasi yang mahal! Tapi kau membiarkannya! Kau sinting, heh!?” Sukidi benar-benar memasang wajah marah.
“Kenapa kau marah-marah, Pak Tua, hanya karena sebungkus nasi yang telah kau berikan dan telah menjadi hakku.”
“Tapi kau tak menghargai pemberianku! Kau banyak bicara cinta tapi tak memakainya dalam segala hal, dalam sepenuh sikap. Bathinmu dingin! Cintamu palsu, egois!” bentak Sukidi. Anak muda itu bangkit lalu berjalan cepat mengumpulkan nasi yang diberantakkan air hujan itu, yang sudah tak mengundang selera itu. Anak muda itu memakannya dengan lahap, sampai habis tak tersisa. Lalu ia berdiri gemetar menatap tajam Sukidi.
“Aku sudah memakan habis pemberianmu, Pak Tua.”
“Kau tak ikhlas memakannya!” Sukidi kesal
“Kau juga tak ikhlas memberiku!” balas anak muda
“Kau sinting!” hardik Sukidi.
“Kau juga!” hardik anak muda itu lebih lantang.
Sukidi dibakar amarah. Ia tinju muka anak muda itu. Pukulan yang sangat keras. Anak muda itu terjungkal. Ia ambruk. Tapi segera dia bangkit kembali. Awalnya Sukidi menyangka anak muda itu akan menyerang balik dirinya. Tapi anak muda itu tampak berlari ke arah tugu taman dan memanjatnya. Ia lalu berteriak sekeras-kerasnya, dan ia berpuisi: “Aku ingin menjadi Sulaiman yang perkasa dalam lipatan firman Tuhan! Ingin kubakar cinta yang melata diatas tahta dalam tipuan kata dalam tumpukkan harta dalam selubung dusta! Aku ingin bebas dari beribu ringkas batas-batas!” suara itu membahana. Gaungnya mendengung.
Sukidi tampak gemetar. Sementara hujan kian lebat. Halilintar menggelegar di kaki langit. Anak muda itu kelihatan turun dari tugu, berlari-lari mengelilingi taman menembus larik-larik hujan, berteriak-teriak hingga suaranya terdengar serak. Tak lama kemudian ia menjatuhkan diri dihadapan Sukidi. Berlutut. Tiba-tiba ia bangkit dan menjambak kerah baju Sukidi. Mereka bersitatap tajam. Tubuh mereka berdua basah kuyup. Lalu anak muda itu mendadak menggeram. “Pak Tua, katakan padaku tentang sisa-sisa manusia yang tak tersiksa dusta dunia, tersiksa selaksa luka. Jadikan aku mereka! Jadikan aku mereka!!” Teriak anak muda itu memekakkan telinga Sukidi.
“Kau tak percaya diri…”desis Sukidi. Anak muda itu mendengus, lalu ia goyang-goyangkan tubuh Sukidi. Ia tekan tubuh Sukidi berulang-ulang. Lebih keras. Lebih cepat. Tiba-tiba amarah Sukidi kembali buncah menghadapi tingkah anak muda itu. Ketika anak muda itu masih berteriak-teriak, Sukidi mendaratkan pukulan sekali lagi di muka anak itu. Anak muda itu ambruk, tak mencoba bangkit lagi. Darah mengalir dari kedua lubang hidungnya, bercampur air hujan. Hanya suara napasnya yang terdengar keras, seperti gemuruh hujan deras, seperti gemuruh lelah. Dada Sukidi turun naik, seperti menopang amarah. Tak ada lagi teriakan. Hanya suara hujan ramai terdengar menyentuh lantai taman, menabuh tanah basah. Tiba-tiba ada rasa sesal menggumpal di dada Sukidi karena telah memukul anak muda itu. Lama ia tatap tubuh lunglai anak muda itu di tanah basah. Hatinya kembali menghalus. Perlahan ia jongkok, tangannya gemetar menyentuh tubuh anak muda itu.
“Bangunlah. Maafkan aku, Anak Muda.” Ucap Sukidi pelan. “Sebuah pukulan memang bukan sebuah jawaban yang bijak.” Sukidi menghela napas panjang. “Aku tahu, kita selalu rapuh, gemetar dan gamang dalam rasa kehilangan. Kau kehilangan seorang kekasih dan bekerja keras membangun harapan untuk bertemu dengannya kembali dan membahagiakannya. Seperti juga aku, bertahun-tahun kehilangan isteriku, entah kemana dia perginya…” Sukidi terdiam sejenak, “Awalnya akupun menunggunya, tapi aku gagal. Aku juga ingin membuktikan cinta padanya dengan keinginan menerbitkan tulisan-tulisanku. Aku gagal. Aku miskin. Aku bukan orang berpendidikan. Saat itu ingin sekali aku terbebas dari segala kegagalan. Ingin sekali ketika itu aku menjadi Tuhan yang maha kuasa. Aku sempat bosan menunggu cintanya kembali. Aku marah. Dulu, dia pergi karena dia tak tahan hidup denganku. Dia bilang aku miskin. Dia bilang aku hanya seorang penulis yang sengsara. Dia bilang aku PKI. Aku malah berharap diri ini percaya bahwa dia telah mati ketimbang aku menyesali hatinya, menyesali cinta dan kesetiaannya. Aku telah cukup nyeri mencarinya. Aku telah cukup pilu menunggunya. Aku diremehkan. Akhirnya aku sadar, mencari dan menunggunya hanya mampu mempertautkan aku lebih erat dengan banyak ingatan saja, tak lebih. Meski marah, aku tetap mencintainya. Aku mengkhawatirkannya. Aku merindukannya. Aku juga selalu yakin dia sangat mencintaiku, sangat merindukanku, hanya saja mungkin dia lupa. Mungkin tak ada orang yang benar-benar tak mencintai orang lain, hanya saja dia lupa…” ucap Sukidi datar. Matanya berkaca-kaca.
“Kau pandai menghibur, Pak Tua.” Anak muda yang sedari tadi terkapar itu tiba-tiba bicara. Batuk-batuk. Lalu dia terlihat berusaha bangkit. “Terima kasih atas pukulannya, Pak Tua.” ucapnya sembari tertawa.
“Maafkan aku…” ucap Sukidi amat menyesal. Anak muda itu mencoba tersenyum. Sukidi merangkul anak muda itu dengar rapat. Begitu lama. Ia seperti kembali mengingat dirinya sendiri ketika usianya masih muda. Ia merasa, ia dan anak muda itu seperti dilahirkan dari rahim kisah yang sama. Sementara hujan belum juga reda.
“Tidurlah di pos jaga.” Pinta Sukidi sembari melepas rangkulannya.
“Apakah ada pukulan lagi jika aku membuatmu kesal lagi?”
“Hm, apakah itu artinya kau menolak ajakanku?”
“Tepat, Pak Tua.”
“Terserahlah. “
“Malam ini, apa kau masih yakin kekasihku kelak akan datang?” Tanya anak muda itu. Sukidi mengangguk pasti. “Jika dia memang mencintaimu, dia akan datang ke tempat ini, menemuimu. Aku akan berdoa untukmu.”
“Tinggal lima puluh lima hari lagi dari dua puluh emat bulan.” Lirih anak muda itu. Sukidi tersenyum.
“Patungmu belum beres.” Ucap Sukidi sambil tertawa renyah. Anak muda itu garuk-garuk kepala. Ya, tak terasa waktu berjalan, tahun berjalan, hanya karena malam dan siang dibiarkan saling bersentuhan, berurutan. Sukidi akhirnya melangkah menuju pos jaga. Ia masuk dan segera membuka baju dan celananya yang basah kuyup. Ia mengenakan sarung dan perlahan merebahkan tubuhnya di atas tikar. Hujan lebat lagi. Deras. Sukidi memejamkan mata rapat-rapat, terus berusaha ingin melupakan anak muda itu dari ingatannya. Sebab khawatir. Sebab getir. Jam menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh enam menit. Cukup lama Sukidi kesulitan memulai tidur. Ada banyak hal yang tak bernama bersilangan di benaknya. Sukidi pelan menuju mejanya. Ada banyak hal yang segera harus ia catat. Sebab ia gelisah. Diluar pos, tak lama kemudian, Sukidi lamat-lamat mendengar kembali ada teriakan puisi, seperti mantra-mantra yang saling bersahutan dengan riuh hujan…

IV
Cuaca lumayan cerah. Burung-burung kecil hinggap di tugu taman. Matahari terhalang awan, memancarkan sisa garis cahaya di reranting hingga muncul bayangan di diatas tanah, bergoyang-goyang, seperti wayang kulit.
“Pak Tua, betapa sulit aku membuat patung yang sempurna. Duh, kini aku merasa kesulitan membentuk imajinasi dan ingatan dengan tanah liat.” Keluh si anak muda.
“Itu karena kau tersiksa dengan keinginanmu akan sesuatu yang mesti sempurna. Barangkali keserakahan memperbudakmu. Barangkali kau tak mencintai hidup.” Ucap Sukidi terkekeh, “Manusia tak akan bisa membuat sesuatu yang sempurna, kecuali Tuhan. Hanya Dia yang bisa membuat segalanya dengan sempurna. Manusia tak bisa berkeinginan sesukanya. Kita diciptakan hanya dari tanah, bisa lepuh dan keriput. Maka rendah hatilah, jangan sombong. Sebab kita juga akan kembali ke tanah. Kita fana, mana mungkin membuat sesuatu yang benar-benar sempurna. Kita tak kekal. Kita kembali akan hanyut pada muasal. Kita tak bisa kekal, karena kita punya awal. Di dunia ini kita sekedar mampir, karena kita punya akhir…” Sukidi memberi wejangan.
“Padahal aku ingin patung itu begitu halus dan kuat, Pak Tua, seperti batu cadas atau baja, seperti indahnya kulit manusia, agar kelak bertahan bertahun-tahun. Agar kelak bertahan berabad-abad. Agar kelak orang pun jatuh hati padanya. Cukup lama aku membuat patung untuk orang banyak, semuanya tak membuatku puas. Selalu tak puas.”
“Hm, selalu tak puas adalah sikap yang tidak menyerahkan dirinya dalam hakikat diri. Bukankah cinta tak mengajarkan sikap yang berlebihan? Lakukanlah sesuatu yang memang kau mampu melakukannya. Jangan berharap lebih dari apa yang tak kau mampu. Kita manusia, bukan Tuhan. Ada saja celah salah. Ada saja sesal dan gagal. Kita juga jangan berharap lebih dari apa yang orang lain tak mampu. Bisa berantakan. Jangan-jangan kau tak mencintai pekerjaanmu, hingga selalu tak merasa puas dengan kenyataan…”
“Hm, nasehat yang lumayan bagus, Pak Tua.”
“Tapi wajah patung perempuan ini lumayan membentuk. Cantik. Anggun.” ucap Sukidi memberi komentar pada patung karya si anak muda di ruangan luar pos jaga. “Tapi kurang halus.” Tambahnya pula sembari memasang wajah serius.
“Ya, Mungkin ada sisa beberapa hari lagi untuk memperbaiki kekurangannya.” Ucap si anak muda, “Apakah wajah patung perempuan ini mirip dengan kekasihku, Pak Tua?” tanyanya.
“Mana kutahu. Aku saja belum lihat wajah kekasihmu.”
“Ya paling tidak belajar membaca imajinasiku.”
“Ah, ada-ada saja kau.”
“Tak terasa, sembilan hari lagi…”
“Hah?!”
Setelah itu, detik ke detik dan menit ke menit berlari, anak muda itu kian giat merapikan karya patungnya. Siang dan malam bergerak, ia begitu teliti menghaluskan setiap lekuk sudut-sudut patung. Hari ke hari berloncatan. Si anak muda benar-benar bekerja keras. Tapi ini belum pantas, itu belum pantas—selalu si anak muda belum puas dengan patung buatannya. Berkali-kali Sukidi bilang karya itu sudah nyaris cukup. Nyaris cukup.
“Tapi aku punya ide, Pak Tua! Aku akan membuat patung perempuan ini seolah-olah duduk di taman itu! Bagaimana, Pak Tua.?”
“Hm, jadi kau akan membuatkan pantat dan kaki untuk patung itu?” Tanya Sukidi terkekeh.
“Tepat, Pak Tua!”
“Boleh juga…”
Si anak muda mengangkut tanah liat lagi dan membentuknya. Patung-patung yang belakangan dikerjakan di pos jaga, kini diangkut kembali ke sudut sebelah timur taman itu. Sukidi hanya melihat pekerjaan anak muda itu dari kejauhan. Dia tak henti menggelengkan kepalanya, tapi dia juga tak henti memberinya semangat. Dia juga tak begitu paham, kenapa dia tiba-tiba merasa gembira menyaksikan anak muda itu berharap dan bekerja, begitu semangat. Apakah karena kecintaannya yang dalam pada kekasihnya itu? Cinta telah membuatnya bekerja. Cinta telah membuatnya mengingat hitungan detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun dengan penuh makna. Betapa cinta mampu menamai keseluruhan waktu. Betapa cinta membuatnya optimis. Betapa cinta pandai merencana, memakna dan membahagiakan. Sukidi hanyut dalam pikirannya sendiri. Ia merasa hanyut dalam arus darah anak muda itu, tetapi kemudian juga terasa hanyut di permukaan alam, tanah dan tetumbuhan. Ya, betapa cinta menjadikan semesta bagian penting dari diri kita. Betapa cinta menjadikan sang kekasih adalah separuh dari diri kita.
Apa jadinya jika tak ada cinta? Rumah tangga akan berantakan tanpanya. Politik akan mencekik tanpanya. Penguasa akan lalim tanpanya. Pemerintah akan tak peduli pada nasib rakyatnya hanya karena tak mengerti arti cinta. Cinta juga dapat berarti penyerahan diri penuh kerelaan pada sesuatu yang ia cintai. Cinta perlu pengorbanan. Cinta akan membuat keteraturan, rasa menjaga, memperbaiki, kepedulian dan menumbuhkan kepekaan pada sekitar. Apa jadinya jika menjalani kehidupan tanpa gairah cinta, tanpa kekuatan cinta? Tanpanya kita tak malu meremehkan satu sama lain, merendahkan satu sama lain. Tanpanya kita tak segan berdusta. Tanpanya kita tega saling menyakiti satu sama lain, menistakan satu sama lain. Tanpanya kita hirau pada rasa sakit orang lain, pada nelangsa orang lain. Suami yang tak mengerti cinta akan menganggap isterinya seperti hewan pelayan. Guru yang tak mengerti cinta akan menganggap muridnya bak robot belaka. Orang yang mengaku sang pecinta tapi tak mengerti cinta sesungguhnya, dia akan menganggap kekasihnya sebuah benda belaka. Berjam-jam Sukidi membiarkan pikirannya berputar-putar. Terkadang ia tersenyum menemui banyak kenangan dalam hidupnya. Lembar-lembar kenangan itu akan dia rawat dengan ikhlas, hingga hatinya tiba-tiba melembut setiapkali ia membacanya…
Senja habis dan malam datang. Berkali-kali cuaca dipergilirkan, siang dan malam dipergilirkan. Berulangkali hari-hari berlari dan usia rekah bertambah. Hari-hari begitu cepat berganti. Hari demi hari, jari-jari Sukidi merasakan kehalusan yang hebat pada permukaan patung itu. Karya yang nyaris sempurna, tak henti Sukidi terkagum-kagum. “Patung perempuan yang cantik.” puji Sukidi pelan. Posisi patung itu duduk dengan tegap, tapi mengesankan posisi yang lembut. Jika cahaya matahari menerpa permukaannya, Sukidi seperti melihat warna permukaan telaga yang penuh cahaya. Jika ia melihat patung itu dari kejauhan, ia seperti melihat patung itu hidup. Fantastis! Belum pernah Sukidi melihat karya patung sehebat ini. Tak heran juga, karena selama ini anak muda itu bekerja siang dan malam.
“Pak Tua, seandainya aku Tuhan, akan kuhidupkan patung itu untukku. Agar aku puas. Agar penantian ini usai. Agar kecemasan ini selesai. Agar kerinduan ini terlunasi…” ucap anak muda itu dengan bibir yang gemetar. Sukidi menghela napas yang panjang.
“Tidak, Anak Muda, itu artinya jiwamu lemah, cintamu lemah.” Ucap Sukidi. Ia tengadah ke langit. Betapa ia merasakan orang disampingnya ini seperti tengah bekerja keras menjinakkan riap harap di dalam dirinya.
“Aku tahu, Anak Muda, tinggal dua hari lagi pertemuan kalian, disini…” ucap Sukidi setengah berbisik. Anak muda yang duduk disampingnya perlahan berdiri. Kemudian ia berjalan pelan menuju patung. Tangannya tampak gemetar membelai wajah patung.
“Pak Tua, akhir-akhir ini hatiku terus bergetar. Apakah dia mencintaiku? Apakah dia merindukanku? Jika ia kelak datang, aku akan merasa separuh cintaku terlengkapi. Keraguanku kelak bertepi, hingga kerinduan tak lagi diratapi. Aku berharap dia akan menepati kenangan-kenangan itu. Aku berharap dia datang… ”
“Aku juga berharap demikian, Anak Muda…”

V
Tak tersasa, satu hari lagi perjumpaan itu. Sukidi turut gembira. Ia menyibukkan diri menyapu seluruh taman hingga tampak bersih. Ia juga memangkas rumput liar yang sudah merambat tak karuan. Entah kenapa Sukidi jadi merasa semangat bekerja akhir-akhir ini. Jangan-jangan semangat memang menular. Sukidi terus bekerja merapikan dan mempercantik taman, seperti akan menyambut isterinya saja. Sukidi tersenyum gembira. Sementara di kejauhan, si anak muda tengah sibuk juga membersihkan sisa-sisa tanah liat yang menempel di lantai taman. Sesekali menggosok wajah dan tubuh patung dan memandangnya lama-lama dari kejauhan, seperti tengah memandangi sapuan cat warna pada lukisan. Mereka tenggelam dalam kesibukan sendiri-sendiri, seperti akan menyambut calon pengantin yang terhormat, seperti akan merayakan sebuah pesta pernikahan yang sangat megah. Mereka terus bekerja, hingga matahari sembunyi, hingga senja tiba. Ketika adzan maghrib terdengar di mesjid yang sangat jauh, mereka menghentikan kesibukannya. Mereka berdua kelihatan tampak sangat lelah.
“Wah, taman yang cantik dengan patung yang sangat cantik. Perpaduan nuansa yang anggun dan lembut.” Ucap Sukidi bak kritikus.
“Terima kasih atas bantuannya, Pak Tua.” Ucap anak muda itu sembari menjabat tangan Sukidi dengan erat.
“Kau harus cukup istirahat malam ini, Anak Muda. Agar esok hari segar bugar. Besok adalah hari penantian selama dua puluh empat bulan lamanya…”
“Itu pasti, Pak Tua. Aku akan tidur malam ini di pos jaga. Ada selimut?” Tanya si anak muda sambil terkekeh.
“Ada. Hanya satu. Kita berbagi saja.” Ucap Sukidi ikut terkekeh.
“Aneh, Pak Tua, malam ini hujan tak turun…” si anak muda menatap tajam langit.
“Itu bagus!” seru Sukidi. Mereka terus bicara sembari berjalan bergandengan menuju pos jaga. Mereka tertawa. Mereka gembira malam ini. Mereka tertidur pulas malam ini.
Tapi ketika lewat tengah malam, anak muda tersentak, seperti terdampar dalam sebuah ruang yang maha lengang. Ia bermimpi bertemu kekasihnya…
Dalam mimpi itu, si anak muda bertemu kekasihnya di gerbang menuju taman.
“Akhirnya kau datang juga, kekasihku…” ucap si anak muda sumringah. Kekasih si anak muda itu tersenyum manis, tetapi mulutnya masih diam. Si anak muda begitu bahagia melihat kedua matanya yang jelita.
“Mari, akan kutunjukkan karya patung terindah yang pernah kubuat.” Ucap si anak muda sembari memegang erat tangan kekasihnya. Mereka berdua berjalan pelan menuju taman. Tampak sebuah benda tertutupi kain sutera. Perlahan si anak muda mendekati patung itu dan menyingkap kain. Tampaklah patung itu.
“Ini karya terbaikku, untukmu. Selama dua puluh empat tahun aku bekerja membuatnya, untukmu kekasihku…” ucap si anak muda lembut. Lama suasana hening. Kedua mata sang kekasih masih dingin.
“Apakah kau bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan?” tiba-tiba ia bertanya.
“Bisa.”
“Apakah aku khayalan atau kenyataan bagimu?”
“Kenyataan.”
“Lalu patung itu?”
“Kenyataan juga.”
“Kenapa kau sebut ia kenyataan?”
“Karena dalam kenyataanlah aku bekerja keras membuatnya. Ini karya nyata!”
“Lalu yang mana kekasihmu yang sebenarnya.”
“Kau.”
“Bohong. Jika kau begitu bangga terhadap karya indahmu ini, kenapa kau menungguku? “Tapi patung ini dibuat untukmu. Bukan untukku.”
“Bukan untukmu? Lalu kenapa kau bekerja keras membuatnya?”
“Karena patung ini untukmu. Karena aku ingin membuktikan cintaku. Karena aku mencintaimu!”
“Bagaimana kalau aku mati? Mana yang berharga bagimu: mayatku atau patung indah itu?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Jika patung itu hidup, mana yang akan kau pilih: aku atau patung hidup?”
“Pertanyaan konyol!”
“Kau tak mampu menghidupkan patung kebanggaanmu itu, kan?”
“Ah!”
“Kau tak mencintaiku!”
“Aku mencintaimu!
“Kau mencintai khayalan!”
“Aku mencintai kenyataan!”
“Patung itu kenyataan yang kau bentuk dari khayalan tentangku!”
“Tidak! Tidaaaaak! Kau tega padaku!”
“Ya, aku tega padamu!”
“Tidaaak!”
Sukidi terbangun karena teriakan si anak muda. Sukidi melihat jam dinding: pukul dua lebih lima menit. Sukidi membangunkan anak muda itu.“Apa yang terjadi? Kau mimpi buruk?” Tanya Sukidi setelah anak muda itu terbangun. Anak muda itu bengong.
“Ya, aku mimpi buruk.” Ucap si anak muda dengan suara yang serak. Wajahnya pucat. Sukidi buru-buru mengambilkan segelas air putih.
“Minumlah, lalu tidurlah kembali. Kau baik-baik saja, kan?” Tanya Sukidi. Si anak muda tak menjawab. Ia tampak perlahan berbaring lagi. Matanya berkaca-kaca. Banyak keringat yang keluar sekitar lehernya, mungkin di seluruh badannya juga. Napasnya terengah-engah seperti telah berlari sangat jauh. Sukidi tampak tidur kembali. Sementara si anak muda sampai beberapa lamanya belum juga memejamkan matanya. Tatap matanya demikian tajam menusuk atap. Lampu berwarna kuning agak redup. Ada cicak berlari menuju lubang udara. Detik jam terdengar bersahutan dengan degup jantung. Si anak muda gelisah. Kian gelisah. Ia cemas mengingat mimpi buruk tadi. Ia mendengar suara malam. Ia mendengar hela napasnya yang berat. Ia mendengar dengkur Sukidi. Segalanya tampak bergoyang, bergelombang dan samar. Ia seperti digulung pikirannya sendiri—gelap. Ia merasakan ada rajutan silang yang acak dalam ruang benaknya. Berputar kasar berulang-ulang. Lalu ia merasa tenggelam dalam lubuk malam. Perlahan ia merasakan tubunya bangkit dari alas tikar dan berjalan berat menuju dapur buatan di pos jaga ini. Ia mengambil sesuatu dari lemari kecil dan memasukkannya ke balik pinggangnya. Tak lama kemudian ia keluar dari pos jaga dengan langkah yang berat.
Di luar, angin malam terasa menusuk-nusuk kulit anak muda itu. Ia berjalan pelan menuju taman. Lampu taman yang redup menerpa tubuhnya. Matanya menangkap bayangannya sendiri diatas tanah. Samar dan gemetar. Ia melangkah, bayangan itu ikut bergerak. Ia berputar, bayangan itu ikut berputar. Ia berlari, bayangan itu ikut berlari. Ia ingin sekali terpisah dari kejaran bayangannya sendiri. Perlahan tangannya meraba pinggang, ia mengambil sebuah benda dari balik pinggangnya. Cahaya lampu taman mengkilaukan benda itu: kapak! Lalu ia tak ragu menghujamkan kapaknya diatas bayangannya sendiri. Berkali-kali. Tak lama iapun berhenti. Napasnya memburu. Kemudian ia perlahan berdiri dan tajam menatap patung dihadapannya. Betapa ia ingin melihat kekasihnya sedang duduk dihadapannya. Tapi ini hanya patung. Lamunannya berputar-putar. Lama, bekelindan dengan hening malam menjelang shubuh. Tiba-tiba ia terperanjat. Dadanya bergemuruh hebat. Matanya tampak memancarkan sorot ganas. Ia tengadah ke langit, seakan ingin menembus lapisan langit malam, seakan ingin menembus angkasa.
Ia kembali perlahan mengalihkan tatapnya ke arah patung itu. Lama sekali. Tiba-tiba dengan cepat anak muda itu membacokkan mata kapak itu berkali-kali di leher patung. Sangat keras. Suaranya sangat keras. Hancurlah! Terpisah dan jatuhlah kepala itu dari tubuh patung, Suaranya terdengar keras. Sangat keras! Tak ada yang melarangnya. Tak ada yang menyaksikannya. Suasana hening kembali. Anak muda itu terpejam. Betapa ia ingin membantah kenyataan. Tetapi ia berkali-kali memaksa ia percaya, bahwa nyanyi sunyi yang panjang ini mengisyaratkan sesuatu yang mesti ia lepas, ia tanggalkan—seperti kepala patung yang ia banggakan itu. Tetapi bisakah ia melupakan kekasihnya? Anak muda itu terpejam. Sang kekasih seperti membaur dengan hela napas, dengan arus darah. Anak muda itu kemudian berjalan gontai menuju pos jaga kembali…

VI
Pagi terbit. Matahari berderit membuka pintu cuaca.
“Anak Muda!” teriak Sukidi tampak cemas di depan pintu. Anak muda yang tengah tertidur terperanjat. “Ada apa, Pak Tua?”
“Patungmu…”
“Kenapa dengan patung?” Tanya anak muda itu datar. Sukidi menyeretnya keluar.
“Kepala patung itu terpisah dari badannya.” Ucap Sukidi setengah teriak keheranan. Kesal. Si anak muda menatap tajam patung itu.
“Barangkali semalam aku kesulitan membedakan mana mimpi dan mana kenyataan.”
“Apa yang kau lakukan semalam?” Tanya Sukidi penasaran. Matanya menatap tajam anak muda itu penuh curiga.
“Semalam aku pinjam kapakmu…”
“Hah!? Sinting! Jadi kau yang menghancurkannya!?”
“Entahlah, Pak Tua, selama ini aku seperti dipermainkan mimpi dan khayalan, seperti semalam. Kenyataan seperti mimpi. Mimpi seperti kenyataan. Keduanya bercampur dalam hidupku. Seperti campuran air cinta dan air mata. Seperti campuran luka dan suka cita.”
“Kau sinting! Kau sinting!” kesal Sukidi kambuh lagi. Anak muda itu menciutkan tatapan yang sangat kosong. Sementara Sukidi pergi dengan langkah-langkah yang berat menuju pos jaga. Ia terdengar membanting pintu dengan keras. Tinggal si anak muda sendiri di taman ini dan ia merasakan kelengangan yang sangat dalam. Tapi hari ini akan menjadi hari yang istimewa. Hari ini ia akan bertemu dengan kekasihnya. Anak muda itu berlari menuju tugu taman, memanjatnya dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Angin berhembus seperti menembus jantungnya. Angin berhembus mempermainkan rambutnya. Ia berteriak sekeras-kerasnya, menggetarkan pagi, menggetarkan reranting dan dahan-dahan pohon. Terlihat burung-burung berterbangan dari balik pepohon, dan riuh melesat ke arah utara. Teriakan terdengar lagi lebih keras. Sementara Sukidi diam-diam mengintip anak muda itu di balik tirai pos jaga. Ia menangis menyaksikan semuanya, menyaksikan segalanya. Ia terpaku diatas meja, di depan kertas-kertas yang berserakan.
Detik demi detik bertambah, menit demi menit meninggikan matahari, jam demi jam. Sukidi melihat anak muda itu mulai duduk sendirian di taman. Kekasihnya akan datang hari ini. Ia menunggu, dengan pakaian seadanya. Ia menunggu, dengan harapan yang megah. Matanya terpejam, mulutnya seperti mendzikirkan sesuatu, mungkin mantra-mantra puisi itu lagi, atau mungkin doa, atau mungkin nama kekasihnya yang berulangkali disebut, atau mungkin nama Tuhan, atau mungkin kata-kata suci. Entahlah. Sukidi terus memperhatikannya diam-diam dari balik jendela. Ia pun mendzikirkan sesuatu, semacam doa-doa. Siang menuruni cuaca, lalu senja pun meriap. Kekasihnya belum juga muncul. Ia tetap duduk dan menunggunya. Senja habis dan malam hadir, tapi kekasihnya masih tetap tak hadir. Lalu malam mulai tua, tak juga muncul. Lewat tengah malam, tak juga. Menjelang shubuh, apalagi. Anak muda itu berulangkai melirik arlojinya. Ia berulangkali menghela napas panjang. Hitungan menit seperti hitungan sayat mata pisau disekujur hatinya. Tapi ia masih duduk disana. Sukidi semalaman suntuk ikut terjaga. Betapa ia ingin meyaksikan perjumpaan dua orang kekasih. Tetapi sang kekasih tak jua muncul menemui anak muda itu, hingga pagi keesokan harinya terbit. “Mungkin hari ini…” gumam anak muda itu. Seperti kemarin, dari pagi, siang, malam sampai shubuh di keesokan harinya, sang kekasih tak juga muncul. Anak muda itu terus meracau: mungkin hari ini-mungkin hari esok. Sukidi mulai merasa sangat khawatir.
“Sudah dua hari kekasihmu tak juga muncul…” ucap Sukidi. Kedua mata anak muda itu terbuka.
“Pak Tua, apakah ini berarti dia tak mencintaiku?”
“Anak Muda, ia mencintaimu, hanya mungkin ia lupa dengan cintanya…Hanya mungkin ia terlambat. Istirahatlah dulu.” Ucap Sukidi pelan. Dia mencintaiku, dia mencintaiku, desis anak muda itu, terus-menerus sampai terasa mengeringkan mulut dan tenggorokannya.
Hari berganti hari, sang kekasih tak juga muncul. Hari ini anak muda itu masih menunggu kekasihnya di taman. Kali ini ia menunggu sembari terus menulis. Ia tetap mencatat kesehariannya. ia tetap mencatat perasaannya, harapannya, cintanya. Ia tetap mencatat kisah penantiannya. Selembar, dua lembar, tiga, empat, sembilan, lima belas, dua puluh tujuh lembar, berlembar-lembar berpacu dengan waktu, berpacu dengan hari-hari. Tak terasa, sudah lima hari anak muda itu menunggu, sang kekasih tak kunjung datang. Maka terlihatlah ia mulai berbenah, memasukkan baju ke ransel, mengenakan kemeja, mengenakan sepatu dan jaket tebalnya.
“Mau kemana kau?” Tanya Sukidi
“Jika aku tak berjumpa dengannya dalam menunggu, maka aku harus berjumpa dengannya dalam mencari. Terlalu lemah jika aku hanya menunggu, barangkali ada bedanya…”
“Mau kau cari kemana dia?”
“Sudah beberapa hari dari hari yang kami janjikan terlewati, maka aku berani meninggalkan taman ini untuk mencarinya. Aku akan berangkat ke kota dimana dulu ia lahir. Aku akan mencari dimana-mana.” Ucap anak muda itu. Sukidi terdiam lama. Mereka terdiam lama.
“Baiklah, hati-hati di jalan. Carilah ia.” Ucap Sukidi. Ia sebentar rangkul anak muda itu, lalu menatap wajahnya lekat. Anak muda yang keras kepala, pikir Sukidi. Maka berangkatlah si anak muda ketika hari menjelang sore. Setelah beberapa jam anak muda itu pergi, Sukidi kembali disergap kesepian. Siapa sebenarnya yang sedang pergi: anak muda itu atau ia? Akankah ia harus sendirian lagi di taman ini sepanjang tahun? Kenapa harus disini? Lalu kemana harus bergerak? Sukidi melangkah pelan menuju taman. Ia duduk dan tengadah ke langit. Betapa bisu langit malam. Ia menatap sekeliling taman. Kemudian perlahan ia berjalan mengelilingi taman. Iapun berhenti dihadapan patung. Kepalanya copot. Sukidi menyesali perbuatan anak muda yang aneh itu. Lalu ia memungut kepala patung itu, menyimpannya dengan hati-hati diatas potongan leher badan patung. Betapa indah patung ini. Tak lama kemudian, Sukidi berjalan gontai menuju pos jaga dan memasuki kamarnya. Ia matikan lampu. Di luar, angin menjelang malam berhembus kencang. Daun-daun kembali jatuh. Kepala patung kembali jatuh…

VII
Tiga hari kemudian, anak muda itu kembali ke taman. Sukidi merangkulnya dengan erat. Sukidi tahu, anak muda itu tak berhasil menemukan kekasihnya. Berhari-hari Sukidi menghiburnya.
“Selama tiga hari ini, aku menyusuri kota dimana dulu ia pernah singgah. Tapi tak sedikitpun aromanya kucium. Tak sedikitpun jejak-jekanya aku temukan. Ia pindah. Ia hilang. Semua orang tak tahu dimana kini kekasihku tinggal. Ketika itu ingin aku teriakkan namanya berhari-hari di jantung kota, agar di dengar semua orang, agar didengar kekasihku, agar di dengar kerabatnya. Tapi di dunia ini, satu nama bisa jadi milik beribu orang. Ah, aku ingin tetap mencintainya, hingga terasa sangat sakit. Aku ingin pusatkan keseluruhan takzimku padanya, hingga terasa sakit. Itu sebabnya mungkin kenapa aku hancurkan karya patungku. Kini aku kembali ke taman ini. Aku memutuskan untuk kembali ke taman. Kembali menunggunya. Barangkali memang benar, ia lupa. Kerinduan kian sungkan menepi. Aku berharap ia ingat dan datang menemuiku di taman ini. Jika ia mencintaiku, ia akan datang ke taman ini. Jika ia mencintaiku, ia akan ingat aku. Atau barangkali ia memang tak mencintaiku, Pak Tua?”
“Mungkin ia lupa dengan cintanya.”
“Ya, mungkin ia lupa dengan cintanya. Aku yakin, suatu saat ia akan ingat kembali. Aku yakin ia akan datang ke tempat ini. Aku yakin. Aku akan tetap menunggunya disini…”
Penantian itu digelar kembali. Anak muda itu telah duduk berhari-hari, akan duduk berhari-hari. Sukidi sudah tak bisa apa-apa lagi untuk melarangnya. Anak muda itu terus menunggu, dibalut siang dan malam berulangkali. Hujan pun datang lagi, anak muda itu tetap di taman. Ia menulis catatan berlembar-lembar. Ia menulis puisi berlembar-lembar. Ia menggumamkan puisi-puisi berulang-ulang—seperti nada-nada mantra. Sampai terik matahari merajam, dia masih bertahan disana. Sampai hari-hari berganti, bulan bertambah. Siang dan malam mungkin ia tak tidur. Atau mungkin tidur sambil duduk. Entahlah, siang dan malam ia menunduk. Lalu di sore harinya, ia selalu bangkit, mengajak bicara patung, seolah-olah patung itu hidup dan mendengarnya. Ia juga sesekali tampak menari dihadapannya. Ia bergulingan. Ia tertawa seperti tengah bercanda, dan bertingkah seperti sedang memperlihatkan pada patung itu semacam keahlian bermain silat. Ia juga mengenakan jaket di tubuh patung, seolah-olah ia sedang bersama kekasihnya. Saat kepala patung jatuh, ia angkat dan meletakkannya kembali di leher patung. Jatuh, meletakkannya kembali. Lalu jatuh lagi, meletakkannya kembali dan seterusnya dan seterusnya. Sampai akhirnya ia lelah dan jatuh berlutut, perlahan bersujud dan tak henti memukul-mukul lantai taman. Ia meraung kecil. Sukidi akhirnya diam-diam menangis di balik jendela melihat semua itu. Pilu. Ia takut. Ia kalut.
Tapi setiapkali Sukidi terlelap diatas meja, diatas kertas-kertas catatan yang berserak, ditengah malam dalam waktu yang teratur, anak muda itu akan berdiri, tengadah ke langit, merentangkan kedua tangannya dengan mata yang terpejam. Anak muda itu meresapi angin. Ia merasa ingin mencari kebebasan. Ia merasa, angin seakan menghembuskan tahun-tahun di tubuhnya. Angin seakan menggugurkan angka-angka di kalender dan menerbangkannya jadi burung-burung kecil bernama kenangan. Kenapa kenyataan ini berbatas, tetapi batas-batas itu tak kunjung berbatas? Anak muda itu membuka matanya, menutup matanya, lalu membuka matanya lagi, lalu menutupnya lagi dan seterusnya dan seterusnya, hingga ia lihat segala yang tampak dan ia tak melihat segala yang tampak. Jika hal itu dilakukan berulang-ulang, akan tampaklah segala apa yang tampak dalam pejam dan tak pejam matanya. Ia seperti telah melihat semesta dalam gulita. Kenapa ia begitu keras kepala menegaskan cinta? Bukankah cinta mengajarkan kita tentang kerelaan. Tapi bukankah cinta juga mengajarkan kita tentang harapan? Anak muda itu tersenyum, tetapi pahit.
Sampai di suatu malam, lewat tengah malam, Sukidi terbangun mendengar gegelar halilintar menggetarkan kaca jendela. Tak lama kemudian, niatnya untuk tidur kembali buyar mendengar teriakan anak muda di luar. Sukidi segera bangkit dari alas tikar. Ia menyingkap tirai. Ia melihat anak muda itu berdiri merentangkan tangan. Samar ia lihat tangan kirinya memegang sebilah pisau, berkilau ditempa cahaya lampu taman. Sukidi curiga ia akan bunuh diri. Iapun bergegas keluar dari pos jaga, menghambur menuju taman.
“Anak Muda, apa yang terjadi?!” Tanya Sukidi setengah teriak cemas. Anak muda itu tak menjawab. Terdengar ia seperti batuk-batuk. Tiba-tiba tangan kirinya melemparkan pisau penuh darah yang digenggamnya jauh-jauh. Ya Tuhan! Sukidi terkejut bukan kepalang. Anak muda itu telah menusuk kedua belah matanya dengan sebilah pisau! Sukidi menghambur merangkul anak muda itu yang mulai lunglai. Ia menangis meraung-raung. Ia mengusap-usap wajah anak muda yang penuh darah itu. Ia menjerit histeris. Gelegar halilintar kembali membahana menggetarkan kaca jendela dan langit malam. Sukidi tak tahu, pemuda itu tampak tersenyum puas…
Pak Tua, aku ingin pusatkan keseluruhan takzimku padanya, hingga terasa sakit…

VIII
Keesokan harinya, Sukidi amat berduka. Betapa tidak, kedua mata anak muda itu kini telah buta. Sukidi menyesali kejadian itu, Sukidi menyesali kenyataan ini. Hari demi hari Sukidi seperti tak merasakan kehadirannya. Karena hari demi hari mulut anak muda itu terkunci. Hari demi hari ia tak mendapati lagi tatapan tajam anak muda itu. Kini dia buta. Entahlah, kenapa kita lebih percaya bahwa kehadiran segala sesuatu dapat terasakan dalam bulatan bola mata yang hidup? Sukidi tak henti-henti menangisi kenyataan ini. Ia menyesali keputusan anak muda itu. Ia kasihan pada anak muda itu. Tak lelah ia ikut membantu mengobati kedua mata yang luka itu. Ia nyeri melihatnya. Ia ngeri tiba-tiba melihat anak muda itu tergopoh menyusuri jalan taman, meraba-raba dan tengadah ke langit. Jika Sukidi khawatir dengan keadaannya, dan bertanya kemana dia hendak pergi, anak muda itu akan menjawab: “Aku akan menunggu kekasihku dan aku yakin dia akan datang...” Lalu Sukidi melihat anak muda itu berjalan perlahan sendirian ke taman. Kepalanya berputar setengah lingkaran, seperti hendak membaca cuaca dan alam dengan kedua matanya yang buta. Tangannya meraba-raba dan berhenti ketika jemarinya menyentuh patung dan mengelusnya. Beberapa menit kemudian ia duduk disamping patung tanpa kepala itu, menunggu kekasihnya. Setiap hari ia akan melakukan hal yang sama. Setiap hari dilakukan berulang-ulang.
Hingga bulan berganti bulan; hingga anak muda itu duduk tegap seakan telah mempunyai tubuh yang kebal terhadap dingin malam dan panas matahari. Hingga ia kebal lapar. Hingga ia kebal dahaga berhari-hari. Hingga ia tak lagi beranjak dari tempat duduknya. Hanya mulutnya saja yang meracau, seperti mendzikirkan sesuatu. Sementara Sukidi belakangan ini merasakan tubuhnya sakit-sakitan, batuk, demam dan muntah-muntah. Tubuhnya lunglai di kamar pos jaga, seperti kehilangan kerangka tulang. Tak kuat lagi ia untuk sekedar berjalan, bahkan berteriak. Ia hanya mampu gerak merayap, menyingkap tirai jendela dan menangis pilu setiapkali melihat anak muda itu duduk sendirian di taman itu, berhari-hari. Rasa nyeri menggerogoti hati dan rongga dadanya. Kenapa tak seorangpun yang lewat ke taman ini dan menemukan mereka berdua. Sukidi berdoa. Dimana pak walikota? Dimana pembantu-pembantunya? Dimana warga? Dimana orang banyak? Dimana sang kekasih? Sukidi meracaukan doa-doa yang sunyi. Ia gemetar menggerakkan pena. Tak lama ia lelap, tak ingat apa-apa lagi.
Hingga entah malam keberapa setelah ia siuman dari pingsannya, ia sepertinya mendapat kekuatan kembali untuk sekedar berjalan. Ia dengar diluar hujan turun deras. Halilintar sesekali bergetar. Ia mendapati ruangan kamar yang gelap. Ia nyalakan lampu. Lalu ia bangkit. Ia singkap tirai jendela. Ia masih melihat anak muda itu diam tak bergerak di taman itu, disamping patung, diguyur hujan, duduk sendirian, menunggu kekasihnya. Tak menunggu lama Sukidi meraih senter, kemudian ia berjalan ringkih menuju taman. Betapa ia ingin segera memeluk tubuh anak muda itu dengan erat dan membawanya masuk ke pos jaga, membaringkannya dan menyelimutinya. Hujan membuat basah kuyup baju dan celananya. Sukidi perlahan mendekati anak muda itu. Taman tampak gelap bila hujan deras. Ia sorotkan senter. Ingin ia berteriak, tetapi apalah daya suara yang sesak dan suara hujan yang bergemuruh lebih keras.
Kilatan cahaya halilintar mewarnai remang taman. Dahan-dahan pohon beringin bergoyang dihembus angin lumayan kencang. Lampu-lampu taman mengerjap. Mata Sukidi perih diguyur hujan. Semakin dekat ia menyentuh anak muda itu. Betapa ia ingin semua ini selesai. Ia pegang erat tangan anak muda itu. Dingin, sedingin hujan campur angin.
“Anak Muda, ikutlah denganku…” ucap Sukidi pelan dan gemetar. “Anak Muda, ikutlah bersamaku…” Ia menekan nada suaranya. Tak ada jawaban, hanya disahut gelegar halilintar dan suara napasnya sendiri. Anak muda itu masih diam tak bergerak. Sukidi akhirnya merangkul tubuh anak muda itu. Lama sekali. Tapi kemudian Sukidi merasakan keanehan yang luar biasa dengan tubuh anak muda itu: sangat dingin, dan keras. Sukidi melepas rangkulannya. Sukidi meraba-raba dan menekan sekujur tubuh anak muda itu: keras. Sangat keras. “Anak Muda!” teriak Sukidi mulai cemas. Sukidi mencoba menggoyang-goyangkan tubuh itu. Tapi tak sedikitpun bergerak. Tubuh itu seperti kokoh menancap dan menyatu dengan tembok taman, seperti menembus bumi. Lalu ia robek-robek baju anak muda itu, hingga kulit tubuhnya yang mengeras tersingkap. Sukidi mulai meraba-raba dan menekan kembali: keras. Sukidi menjerit dan berkali-kali memukul dada anak muda itu dengan senter, lebih keras, lebih cepat—Tubuh anak muda itu benar-benar keras. Wajah Sukidi pucat. Ia mundur beberapa langkah ke belakang. Ia takut. “Tuhan, tubuhnya mengeras! Seperti patung! Seperti batu! Tuhan, ia menjadi batu! Ia menjadi batu!!” pekik Sukidi ketakutan. Ia lalu berlari tanpa arah. Menjerit-jerit. Menangis meraung-raung. Ia berlari-lari ketakutan. Tapi ia hanya lari berkeliling seputar taman. Seperti orang gila. Berteriak, menangis tak karuan. Terdengar gelegar halilintar. Terdengar suara hujan kian gencar…

VIII
Keesokan harinya, Sukidi tampak berlari tergopoh sepanjang jalan. Napasnya memburu, sesak. Ia menangis sepanjang jalan. Ia meraung di tikungan jalan. Jika kebetulan bertemu seseorang, ia akan bertanya sambil memelas: “Apa kau punya cinta? Berapa harganya?” Tak segan ia akan memasuki kantor-kantor dan bertanya: “Tolonglah, apa kau punya cinta? Berapa harganya?” Maka diusirlah dia oleh satpam, ditendang-tendang, dijambak, dibentak-bentak. Lalu ia masuki mesjid dan mengajukan pertanyaan yang sama pada ulama. Ia juga bertanya pada guru-guru pengajar yang lewat. Ia bertanya pada dosen-dosen. Ia bertanya pada polisi. Ia bertanya pada preman-preman. Ia berteriak-teriak di halaman rumah pejabat, di halaman rumah sakit, di halaman pengadilan, di halaman gedung perwakilan rakyat, di halaman rumah-rumah penduduk, di halaman rumah majikan, di halaman pabrik-pabrik, di rumah ibadah, setiap tempat ia masuki, menemui banyak orang dan diusir banyak orang. Ia ditendang-tendang seperti hewan. Tak jarang dipukuli preman. Wajah Sukidi babak belur. Sekujur tubuhnya berkeringat campur debu. Wajah Sukidi luka-luka. Tulang kakinya patah. Sukidi berjalan terpincang-pincang, tanpa arah yang pasti.
Sukidi menangis sepanjang jalan, ia seperti bernyanyi-nyanyi di sepanjang jalan. Ia meraung di tikungan jalan. Ia memasuki pasar dan bicara ngelantur dengan orang banyak. Lalu mulai bertanya: “Apakah kau punya cinta? Berapa harganya?” Mereka juga mengusirnya. Tak sedikit juga orang lari ketakutan. Lalu setelah Sukidi memasuki perkampungan, anak-anak kecil akan mengikutinya di belakang, memukul kaleng, bersorak dan berteriak-teriak: “Orang gila! Orang gila!” sampai akhirnya anak-anak itu berlarian kabur ketakutan setelah Sukidi menangis meraung-raung, tertawa-tawa, mengamuk, bernyanyi-nyanyi, meraung-raung lagi dan berteriak-teriak: “Aku tidak gila! Aku tidak gilaaa!”
Berbulan-bulan kemudian, orang-orang kampung memanggilnya dengan sebutan: si Gila. Mereka mulai bertanya-tanya kenapa Sukidi gila. Orang-orang kampung yang awalnya mengenal Sukidi, tak lagi memanggil Sukidi lagi, mereka akan memanggil Si Gila. Tak ada wajah Sukidi lagi, yang ada adalah lelaki gila yang mulai agak bongkok dan berjalan terpincang-pincang. Wajahnya penuh luka dengan kumis dan jambang yang tak terurus. Rambutnya kusut. Bajunya kucel, robek-robek dan bau apak.
Jika semua orang mengusirnya, jika semua orang memukulinya, Sukidi akan berlari ke pos jaga dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia akan meraung dan menggengam pena dengan tangan yang gemetar. Ia mencatat segalanya berlembar-lembar, berpuluh-puluh lembar. Ia akan menangis berpanjang-panjang. Lalu ia akan menghambur lari ke taman dan merung-raung di hadapan patung. Sampai suatu malam, Sukidi meneriakkan nama Tuhan dengan suara yang paling keras melebihi suara gemuruh hujan malam itu, disahut suara gelegar halilintar. Seorang ronda di kampung sebelah yang semalam mendengar teriakan dari arah taman segera melapor pada pak lurah. Karena semalam hujan sangat tak bersahabat, barulah keesokan harinya pak lurah mengajak masyarakat untuk melihat keadaan taman itu. Mereka terkejut ketika mendapati Sukidi si penjaga taman tergeletak tak jauh di gerbang taman.
Mereka bersyukur Sukidi rupanya masih hidup. Tak menunggu lama, pak lurah segera menyuruh sebagian warganya mengangkat tubuh Sukidi ke balai pengobatan desa. Sebagian warga lainnya terus menemani pak lurah menyusuri jalan menuju pos jaga dan taman. Mereka memeriksa pos jaga sampai akhirnya mereka dikejutkan teriakan seorang warga yang menemukan dua buah patung di taman sebelah timur. Serentak semua warga melihatnya. Patung yang indah, tapi warga merasakan nuansa aneh. Yang satu patung warna abu berkulit halus tanpa kepala, kondisinya cukup rusak. Dan satunya lagi patung warna abu seorang lelaki dengan robekan baju dan celana rombeng. Patung lelaki ini lebih lengkap dan halus.
“Hm, patung tanpa kepala, dan patung tanpa bola mata. Tapi sangat indah.”
“Apakah Sukidi si penjaga taman yang membuatnya, Pak Lurah?”
“Entahlah. Cukup lama aku tak main kesini.” Ucap pak lurah. Obrolan mereka terhenti ketika seorang warga berteriak lagi. Dia menemukan potongan kepala patung. Pak lurah segera menyuruh seseorang untuk menempel kepala di tubuh patung. Semua mendadak terkesiap. Cantik sekali. Beberapa jam lamanya pak lurah dan warga memeriksa pos jaga, sudut-sudut taman dan sepasang patung itu. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Mereka semua berniat hendak mengunjungi Sukidi di balai pengobatan desa. Tetapi sesampainya disana, pak lurah mendapat laporan bahwa Sukidi kabur dari balai pengobatan.
“Dia kabur, Pak Lurah, menuju jalan raya. Saya berusaha mencegahnya, tapi tenaganya kuat.”
“Tapi dia sehat-sehat saja, kan?” Tanya pak lurah.
“Sehat gimana, Pak Tua, dia kan gila.”
“Maksudku fisiknya.”
“Sepertinya sehat, Pak Lurah. Wong tenaganya saja kuat begitu. Tapi banyak bekas luka. Jalannya pincang.”
“Oke, sebagian dari kalian harus segera mencari Sukidi. Orang gila itu harus segera ditangkap agar jangan sampai meresahkan masyarakat. Kalau bisa, kita harus mendapat keterangan darinya tentang apa yang terjadi semalam di taman itu. Juga mengenai patung itu.” Pak lurah memberi intruksi.
“Siap, Pak Lurah!”
Pak lurah tampak berjalan penuh wibawa menuju kantornya. Sebagian warga pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi ada juga dua orang yang diam-diam pergi lagi ke taman, yang satu sengaja ingin mencuri barang di pos jaga dan tiba-tiba yang satunya lagi lari tunggang langgang dari arah taman dengan napas ngos-ngosan.
“Ada apa, Karbit?”
“Juned…aku melihat patung yang satunya…patung yang lelaki, Juned…patung itu menangis. Patung itu menangis…Dari lubang kedua matanya keluar air mata.” Ucap orang yang dipanggil Karbit gugup dengan wajah pucat dan tubuh yang gemetar.
“Kamu nakutin aku, yey.”
“Serius, Juned, demi Tuhan!”
“Coba daku lihat, ya.” Ucap kawannya. Kedua pemuda kampung itu perlahan mendekati taman, menatap lekat-lekat patung yang lelaki. Tak lama kemudian mereka berteriak dan lari terbirit-birit menghambur menuju perkampungan. Di malam harinya, di pos ronda, kedua pemuda kampung itu sewot menceritakan tentang patung lelaki yang menangis pada semua petugas ronda. Ada yang tertawa tak percaya. Ada yang mengkerutkan kening setengah percaya. Ada juga yang diam-diam ngeri mendengarnya.
Keseokan harinya, kedua pemuda kampung tempo hari membawa beberapa orang ke taman itu. Mereka menatap patung itu lama sekali. Tapi patung itu tak menangis lagi. Karuan saja kedua pemuda itu disumpah-serapahi, dianggap menipu. Habis-habisan mereka berdua bersumpah, atas nama Tuhan, atas nama pocong, atas nama mati, atas nama ibu-bapak mereka…
Hari demi hari, setiap orang mulai penasaran dengan cerita kedua pemuda itu. Tampak satu atau dua orang mengendap di jalan taman pada malam harinya. Seseorang akan menatap patung itu berlama-lama, sekedar mengagumi bentuknya dan ingin juga membuktikan kebenaran gosip tentang patung yang menangis. Awalnya satu orang, dua orang, tiga orang dan seterusnya. Berlama-lama mereka tinggal disana, semalam suntuk terjaga atau sengaja tidur disana. Sampai akhirnya, sebagian dari mereka mengalami hal yang selama ini hanya mereka dengar dari kedua pemuda itu: patung ini benar-benar menangis! Dari dua orang yang percaya, tiga, lima, tujuh, sembilan sampai belasan orang yang akhirnya percaya bahwa patung itu bisa menangis. Mereka kini telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri.
“Ini patung dewa…”
“Ini patung siluman…”
“Ini patung keramat…”
Suara mereka mendesis takjub. Tak lama kemudian setelah gosip itu menggetarkan hati mereka, sebagian penduduk seringkali bermalam disana. Ada yang memberanikan pasang nomor togel. Ada yang memujanya. Ada yang meminta sesuatu petunjuk. Ada yang sengaja taruhan uang mempertaruhkan keluar-tidaknya air mata si patung. Ada juga yang minta jodoh, rezeki, jabatan, kemakmuran usaha dan sebagainya dan sebagainya. Lalu muncullah isu di kalangan warga, bahwa jika patung itu menangis setiap seseorang memasang nomor togel, berdoa dan meminta sesuatu dan lainnya, maka permintaan dan keinginannya akan terkabul. Entah darimana berhembusnya isu itu. Tapi ternyata itu meluas cepat di kalangan warga di kampung ini, di kampung itu. Akibatnya banyak orang yang diam-diam datang ke sana dimalam harinya, mengerjakan ritual yang terkadang tampak aneh. Dalam beberapa hari terakhir ini, mereka khidmat berada disana sampai akhirnya merasa amat terganggu ketika akhirnya Sukidi datang mengamuk dan mengobrak-abrik tempat ritual mereka, mengobrak-abrik sesaji, menyan, makanan, yang sengaja ditaruh si pengunjung. Karuan saja mereka berang. Mereka memukuli Sukidi hingga tak bersuara pagi. Pingsan…
Mendengar kabar keributan semalam, pak lurah tersentak kaget. Ternyata selama ini taman dan patung itu dipakai untuk praktek sesat. Mengetahui kabar praktek sesat yang dilakukan sebagian warganya di taman itu, Pak Lurah pun mulai resah. Masyarakat juga resah. Akhirnya, keesokan harinya, mereka pun berbondong-bondong menuju taman. Mereka mulai terlihat membereskan sampah-sampah kertas, plastik, kembang-kembang, lilin dan sebagainya. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar raung pilu Sukidi. Penduduk kaget bukan kepalang. Sukidi mau ngamuk lagi. Warga mulai waspada. Sukidi datang menerjang. Matanya melotot. Wajahnya seram. Ia menatap satu-persatu wajah warga. Ia menggeram. Lalu ia menangis tersedu-sedu. Mendadak ia menghambur merangkul patung. Warga masih memperhatikannya penuh waspada.
“Kenapa kalian kesini, heh?! Kenapa kalian jadikan anak muda ini siluman, dewa, keramat, tuhan?! Kenapa kalian sembah dia?!” bentak Sukidi dengan tersekat. Warga tak bersuara. Tak disangka, tangan Sukidi mencabut kapak dari balik bajunya. Semua warga yang ada disana gemetar melihatnya. Mata kapak yang tajam. Pak lurah segera memberi isyarat untuk perlahan pergi dari tempat itu. Sukidi mengacung-ngacungkan kapak. Ia berteriak-teriak. Lalu ia menangis keras, menjatuhkan dirinya dan mulai meraung-raung. Suaranya terdengar sampai di kejauhan batas kampung.
“Pak Lurah, kenapa tidak kita keroyok saja orang gila itu!?”
“Sudahlah, kita mundur dulu. Nanti kita pasang strategi yang bagus!”
Sejak kejadian itu, cuku lama tak ada lagi warga yang berani datang kesana, sekedar melihat atau melakukan praktek sesat lagi. Mereka gemetar melihat mata kapak. Mereka gentar pada Sukidi. mereka hanya berani membicarakan taman dan kapak. Mereka membicarakan Sukidi di warung-warung kampung, sambil berbsisik, mendesis. Taman menjadi lengang kembali. Tampak Sukidi menangisi patung lelaki itu siang dan malam. Ia merangkulnya, mencium pipinya dan membelainya. Tak lama kemudian ia mendekati patung perempuan disampingnya. Ia taruh potongan kepala patung diatas potongan tubuh patung. Ia rapikan patung itu. Ia menangis tersedu-sedu hingga malam datang dan keesokkan harinya menjelang. Hari-hari dipenuhi Sukidi dengan duka yang panjang, raung, jerit, teriakan dan terkadang tawa yang membahana. Jika kebetulan ada orang yang lewat diluar taman itu, dan mendengar suara-suara di taman, maka ia akan lari lintang-pukang dengan memendam ketakutan yang amat kesat. Taman jadi sangat angker. Lampu-lampu mati. Angin bertiup aneh sekali...

IX
Tahun berganti. Siang cukup terang. Di gerbang taman, tampak seorang lelaki berdiri tegap. Tak lama kemudian muncul seorang perempuan menuntun anak kecil.
“Delaila, jika Bapakmu besok berhasil mencairkan uang pinjaman untukku. Aku akan membangun proyek mall itu disini. Saat ini segala keperluan sudah disiapkan. Sebagai tahap awal, hari ini rencananya tempat ini akan diratakan. Kemarin, kawanku menyetujui proyek ini dan akan mengikuti bisnis ini dengan baik. Dia akan membangun hotel disebelahnya. Sebuah kerjasama yang bagus, kan?” ucap lelaki itu tersenyum puas. Perempuan yang dari tadi berdiri di sampingnya tersenyum dan memandang berkeliling.
“Tapi tempat ini sangat jauh dari tempat tinggal kita, Mas.”
“Ah, jangan khawatir.”
“Hm, sudah lama aku gak ke kota ini. Kebetulan kita lewat ke tempat ini. Hm, aku jadi ingat, dulu aku punya kenalan seorang lelaki yang paling pandai membuat patung. Dulu ia sempat berjanji padaku membuat patung yang indah di tempat ini. Tapi aku gak sempat datang kesini lagi. Saat itu aku sibuk sekali dengan pekerjaanku. Aku sibuk cari uang. Saat itu aku juga sibuk dengan kepindahan rumah baruku. Hm, sekarang aku jadi penasaran melihat karyanya…” perempuan yang dipanggil Delaila itu mengenang.
Keduanya tampak mulai berjalan menuju taman. Taman senyap.
“Maksudmu patung itu.” Ucap lelaki itu menujuk sebuah sudut taman. Tampak dua buah patung dalam posisi duduk di bangku berlapis tembok. Perempuan itu tergesa menghampirinya.
“Ya! Ya ampun, dia membuat patungnya sendiri. Bagus kan, Mas?”
“Bagus! Tapi kok yang satunya gak punya kepala?”
“Patah.”
“Ya, patah.”
“Itu kepalanya, Mas!”
“Biar kuambil.”
Lelaki itu mengambil potongan kepala yang tergeletak tak jauh dari tubuh patung. Lelaki itu mengangkatnya dan menempatkan di tubuh patung. Mereka terkesiap.
“Mirip wajahmu, Delaila.”
“Ya, mirip wajahku. Aku bilang apa, dia pandai membuat patung, Mas.”
“Tapi sayang sekali, sebentar lagi patung-patung ini akan habis!” ucap lelaki itu terkekeh.
Setelah cukup lama melihat patung, mereka akhirnya duduk dan bercakap-cakap disudut taman yang lain. Sementara anak kecil yang ikut bersama mereka berlarian di sekitar taman, bermain kerikil, tanah dan sesekali memanjati patung. Mereka berdua terus bercakap sampai akhirnya obrolan berhenti ketika anak kecil itu menangis keras.
“Kenapa kau, sayang?” Delaila cemas lalu buru-buru menghambur merangkul anak itu. “Ia seperti ketakutan…”ucap lelaki itu sembari memandang sekeliling. Angin berhembus. Daun-daun berjatuhan.
“Langit mendung, Delaila, hujan sepertinya akan turun. Kita harus segera pulang.”
“Baiklah, Mas.”
Mereka akhirnya berjalan gegas keluar dari taman. Tak jauh dari gerbang taman, mereka segera menaiki mobil sedan berwarna merah. Lelaki itu mulai melajukan mobilnya. Sementara anak itu terus menangis.
“Kenapa kamu, sayang?” Tanya perempuan itu. “Kenapa kamu, sayang? Kamu tadi jatuh, ya? Atau mau jajan, ya?”
Anak itu menangis terisak-isak. “Ma, patung tadi nangis…Putri takut.” ucap anak itu ditengah isaknya.
“Duh, kirain apa. Mana ada patung menangis. Yang nangis itu kamu, sayang.” Ucap Delaila sembari mengecup pipi gembrot anaknya.
“Patung tadi sangat indah, ya Mas? Duh, kemana perginya kawan lamaku itu, ya? Dulu, aku jatuh cinta pada patung-patungnya lho, Mas.”
“Dulu sama pembuatnya kamu jatuh cinta gak?”
“Ya gak, Mas. Dulu, aku sangat kasihan padanya…”
“Kasihan? Kenapa?”
“Orangnya penyendiri.”
“Kalau sama aku, cinta gak?” Tanya lelaki itu mulai menggoda.
“Ya cinta dong, Mas. Kalau kamu?” Delaila balas menggoda.
“Tentu, sayang.” Ucap lelaki itu. Dalam hatinya lelaki itu tertawa, dan berkata: Uh, isteriku yang bodoh, aku hanya cinta pada uangmu…
Anak mereka menangis lagi. Jalanan tiba-tiba macet. Lelaki itu kesal, marah-marah. Lalu ia membuka jendela mobil. Kepalanya menyembul keluar.
“Bang, kenapa macet?!” Tanyanya pada pejalan kaki yang kebetulan lewat.
“Di tengah jalan ada orang gila ngamuk. Ia bawa kapak. Ia berusaha menghalangi bouldozer!”
“Terus?”
“Warga sedang berusaha meringkusnya tuh.”
“Ah, itu pasti bouldozer buat di taman.”
Tak lama kemudian mobil-mobil perlahan melaju lagi. Dipinggir jalan, tampak puluhan warga tengah berusaha mengikat seorang lelaki tua. Ia terlihat berontak. Ia terdengar keras berteriak-teriak. Delaila memperhatikannya dari jendela mobil yang terbuka. Mobil melaju pelan. Truk angkutan barang berjalan gontai diatas jalan tak beraspal. Delaila masih mendengar orang gila itu teriak-teriak: “Apakah kau punya cinta?! Berapa harganya?! Apa kau punya cinta?! Berapa harganya?!” Saat mobil terus melaju, teriakan itu perlahan samar terdengar, ditelan jarak dan hingar. Delaila menghela napas panjang. Tangis anaknya mulai reda. Ia memeluknya, sampai ia merasakan sebuah benda di kantong kecil anaknya. Ia merogohnya. Sebuah jam tangan penuh tanah. Delaila mengerutkan kening.
“Ini jam tangan siapa, sayang? Dari mana ini, sayang? Tanya Delaila keheranan.. Anak itu tak menjawab, malah menangis.
“Mas, ini jam tangan siapa?”
“Mungkin punya sopir kita…”
Hujanpun turun, seperti hari-hari kemarin, mungkin esok juga. Lalu hari-hari dipergilirkan dan setiap orang gentar menyusuri rahasia hidup. Dan jika langit rinai dan hujan usai, betapa keheningan rekah diatas tanah basah taman itu. Hari terus berganti, orang-orang di kampung tak tahu, mereka cukup lama mengulur ingatan mereka sendiri. Terkadang mereka terhenyak dalam peristiwa, dan tak lama kemudian melupakannya dalam keseharian yang tawar. Tapi mereka tahu, tak ada lagi teriakan Sukidi disepanjang jalan kampung. Mereka tahu, orang gila itu telah telah dilumpuhkan. Kini ia tak berdaya dalam pasungan yang sengaja dibuat warga. Tapi, sesekali mereka akan mendengar tangis pilunya di taman itu jika kebetulan mereka lewat kesana. Mereka takut, sesekali juga kasihan. Mereka dengan setengah gentar pergi kesana, membawa makanan yang hanya berani mereka lemparkan lewat jendela pos jaga. Mereka juga berbondong-bondong kesana, hanya ingin melihat mobil besar penggali tanah yang tengah merombak taman. Ya, taman tengah dirombak besar-besaran, kecuali pos jaga. Tugu, lantai dan tembok-tembok taman juga dirombak, dihancurkan, kecuali salah satu patung. Konon, patung lelaki itu tak bisa dicabut dan dihancurkan. Tubuh patung itu seperti kokoh menancap dan menembus bumi. Tiga jengkal lantai dan tembok disekitar patung ikut mengeras melebihi baja dan cadas, merapat dengan bumi.
Proyek pembangunan mall dan hotel akhirnya gagal. Pemilik modal untuk proyek mall khawatir dengan cerita aneh di tempat itu. Mereka takut apes dalam usahanya ke depan. Apalagi patung itu yang tak bisa dihancurkan itu tepat di tengah rencana berdirinya bangunan. Pemerintah akhirnya merenovasi taman itu. Pemerintah setempat akhirnya membiarkan patung itu tak dihancurkan, dibiarkan mengisi taman baru ini, meski pemerintah setempat membuat dinding tinggi berbentuk kubus untuk menutupinya, agar tak disalahgunakan lagi oleh sebagian penduduk.
Setelah bulan demi bulan berganti, akhirnya beberapa warga menemukan catatan-catatan penting mengenai misteri patung itu dari sebuah meja dan ransel di pos jaga. Mereka menyebar berita tentang catatan-catatan itu satu sama lain. Kelak, catatan-catatan yang panjang itu akhirnya dibukukan oleh seseorang yang tertarik dengan kisah patung itu. Orang-orang membacanya, seperti sebuah novel. Orang-orang memahaminya, seperti buku pelajaran sekolah. Mereka terkejut mengetahui kisah patung itu. Mereka terkesiap. Obrolan panjang berkecambah. Mereka merangsak memenuhi taman, mencoba menerka-nerka rasa penasaran mereka. Mereka saling bercerita dan memberi kabar dengan dada yang tak henti berdebar. Mereka mengenang taman itu. Akhirnya, taman itu jadi terkenal dengan patungnya yang abadi, simbol cinta, kerinduan, kesetiaan dan penantian. Waktu berjalan, setiap orang terus membaca dan mengingat kisah patung anak muda yang dapat menangis itu. Hingga kelak, banyak orang menyebut taman itu sebagai…Taman Air Mata. []

Cipadung, April 2007
Di usiaku yang ke-24 tahun
Untuk kekasihku yang tak pernah mengatakan cinta.