Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, December 28, 2007

Akhir

Refleksi Atas Refleksi Akhir Tahun
Oleh Yosep Somantri

Tahun 2007 hanya tinggal menghitung hari saja segera akan kita lewati, tahun barupun sudah dipenghujung mata. Disepanjang tahun beragam aktifitas telah dilalui. Biasanya dalam kontek makro (negara) dibulan terakhir sebuah tahun media dan beberapa kalangan sering mengadakan refleksi akhir tahun.

Catatan-catatan penting yang dilewati diungkap kedepan public. Refleksi adalah sebuah renungan untuk mengevaluasi dari kegiatan lampau. Layaknya sebuah evaluasi kelemahan dan kelebihan sering dituangkan. Konon hasil dari evaluasi sering dijadikan acuan untuk menghadapi tahun berikutnya.

Rutinatas sebuah refleksi akhir tahun bak ritual yang bersifat Formalistik. Jangan-jangan refleksi yang sering kita adakan tidak memiliki dampak yang signifikan bagi perubahan yang diharapkan. Atau sebuah perayaaan yang kering dari sebuah nilai. Mungkin ini merupakan dampak dari dunia rasionalistik-materialistik. Teringat pada seorang Filosof asal Francis Henri Bergson yang berusaha meng-counter pandangan ini salah satu pandangnya ialah pengalaman Fenomenal dan Eksistensial. Pengalaman Fenomenal adalah hasil konkret dari pengalaman indrawi yang diolah oleh akal manusia. Akal manusia sering memilah-milah (atau meruang-ruangkan) objek yang ditelitinya. Dan ini berlaku baik bagi ruang maupun waktu.

Ruang yang pada dasarnya satu (bumi) dipecah menjadi satuan satuan yang sama. Kilo meter, yard, inchi dll. Karena akal memahami bahwa satu kilometer persegi di Indonesia sama baik ukuran maupun kualitasnya dengan satu kilometer persegi di Amerika. Hasilnya adalah kesulitan akal untuk memamahami ada orang yang membedakan tempat-tempat yang suci dan yang profan karena menurutnya sejengkal tanah di Cianjur tidak akan ada bedanya dengan sejengkal tanah di Yerusalam atau Mekkah.

Yang menarik ialah tentang kecenderungan akal yang juga memilah dimensi waktu kedalam satuan-satuan ; milinium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu hari, waktu dan lain sebagainya. Pengalaman Fenomenal berangkat dari analisa akal. Hal itu berbeda dengan pengalaman Eksistensial yang masih menurut Bergson pengalaman ini didasari oleh nilai emosi, mental, spiritual manusia. Pengalaman eksistensial tentang ruang dan waktu, tentunya bukanlah pengalaman sebagaimana dikonsepsikan oleh akal, melainkan pengalaman yang kita rasakan dan alami.

Dalam kontek keseharian kita seringkali merasakan adanya kontradiksi antara apa yang dirasakan dan apa yang dirasionalkan. misalnya berbincang dengan seorang pacar akan terasa lebih lama dibandingkan dengan berbincang dengan seorang professor meskipun waktunya sama satu jam. Kembali lagi tentang refleksi akhir tahun apakah sebuiah refleksi itu didasari pada penglaman Fenomenal atau Eksistensial. Pengalaman Fenomenal yang hanya bertumpu pada akal. Setahun berlalu yang sepertinya hampa dengan nilai emosi dan spiritual. Jika sebuah refleksi hanya bertumpu pada pengalaman Fenomenal kepincangan menjadi dampak laten. Biasanya refleksi acapkali digunakan untuk membangun orientasi visional tahun berikutnya. Maka jangan heran jika rutinitas formalistik refleksi akhir tahun tidak akan membawa dampak.

Monday, December 24, 2007

Mimpi

Mimpi Yang Tak Terbeli; Ingin Jadi Editor
Oleh Ahmad Sahidin

ZINKANLAH saya memperkenalkan diri, saya bernama AHMAD SAHIDIN. Alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab (Sastra-Budaya-Humaiora) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 2003. Saya putra bungsu Kelahiran Bandung, 05 Agustus 1981 dari pasangan Almarhum H.Aceng Mahmud dan Almarhumah Euis Rokhaeni. Kakak saya berjumlah empat orang (2 akhwat dan 2 ikhwan). Saya kini tinggal di Jalan Sukamenak Gang Sudirja RT 05 RW 02 Kelurahan Sukamenak, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung, Kode Pos 40227 Jawa Barat

IPendidikan saya dimulai dari SD Negeri Babakan Priangan III Bandung, lulus tahun 1993; SMP Ganesha Bandung, lulus tahun 1996; SMA Taman Siswa Bandung, lulus tahun 1999; dan S-1 dengan skripsi Konsep Sejarah Menurut Ali Syariati (Bandung: Fakultas Adab IAIN SGD 2003)

Saya pernah aktif sekaligus menjadi pengurus Departemen Kaderisasi SALMAN Komunikasi Aspirasi Umat ITB Periode 2001-2002; Ketua Umum Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman [LPIK] KBM IAIN SGD Bandung Periode 2002-2003; dan Redaktur Buletin LATERAL News LPIK IAIN SGD Bandung.

Selanjutnya pada tahun 2003-2004, bekerja sebagai Redaktur Buletin ALTERNATIF LSM Institute for Human and Cultural Studies Bandung; Pengajar di Panti Asuhan Anak (PSAA) Kurnia Asih, Pasir Luyu Bandung dan menjadi Redaktur Buletin Dakwah KHAMIS (Kajian Hari Kamis) Kurnia Asih.

Kemudian pada tahun 2004-2007 bekerja sebagai Reporter Majalah SWADAYA, menangani situs www.dpu-online.com dan Redaktur Buletin Keluarga SAKINAH ((Lembaga Amil Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid Yayasan Daarut Tauhiid Bandung).

Selain bekerja, juga menulis kolom, esai, dan puisi di Majalah SUAKA (Surat Kabar Kampus) IAIN SGD Bandung; Harian Umum PIKIRAN RAKYAT Bandung; Media PEMBINAAN Majalah Depag RI Jabar; Majalah SWADAYA; Buletin Keluarga SAKINAH; Buletin Masjid DARUSSALAM; dan Harian Umum REPUBLIKA.

Untuk menambah wawasan, saya juga mengikuti kursus atau pelatihan seperti Penerapan Syariat Islam dan Implikasinya pada Masyarakat Kontemporer di Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) Jabar, 26 Agustus 2000; Training Pengkaderan Dakwah di Masjid Istiqlal, Bandung, 19-21 September 2003; Training Ma`rifatullah di Ponpes Al-Quran BABUSSALAM, Bandung, 21 Maret– 25 April 2004; Workshop Program Web Design di QUANTUM COLLEGE, Bandung, (program 3 bulan) September-November 2005; Training Jurnalistik BATIC ICMI Bandung, 24 September-17 Desember 2005; Workshop Fotografi & Jurnalistik di Harian Umum PIKIRAN RAKYAT dan STIKOM Bandung, Mei 2006; Seminar dan Lokakarya (SEMILOKA) ”Pemahaman Pencegahan Kejahatan Kepada Masyarakat” diselenggarakan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kota Bandung dan Kejaksaan Negeri Bandung, Sabtu, 10 Maret 2007; dan Seminar Nasional “Hizbullah Melawan Hegemoni Barat: Upaya Membangun Tata Dunia Berkeadilan” di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 13 Juni 2007.

Sampai sekarang ini saya masih bergelut dalam pembacaan buku-buku “berat”—begitu biasanya teman-teman di kampus bilang—seperti filsafat, teologi, tasawuf, wacana Islam dan kebudayaan Sunda. Beberapa kajian pun saya ikuti, bahkan sering ikutan kuliah di Pascasarjana UIN Bandung. Itu pun bila dosen-dosen, yang menurut saya luar biasa, seperti Ustadz Jalaluddin Rakhmat, Afif Muhammad, Dimitri Mahayana, dsb memberikan kuliah.

Tokoh yang saya minati untuk wacana Islam selain tokoh dan ulama tempo dulu, juga yang sekarang seperti Imam Ja`far Shadiq, Mullah Shadra, Ibnu Sinna, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Imam Khomeini, Yusuf Qardhawi, Allamah Muhammad Husein Thabataba`i, Ali Syaria`ti, Hasan Hanafi, Tariq Ramadhan, Muhammad Al-Ghazali, Hasan Al-Bana, Sayyid Quthub, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Abul A`la Maududi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dll.

Untuk dalam negeri, saya suka melahap buku-buku karya Ustadz Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal), Muhammad Quraisy Syihab, Aa Gym, HAMKA, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohammad, Cak Nur, Cak Nun, Afif Muhammad, Haidar Bagir, Gus Dur, Mohammad Sobari, dan beberapa karya lainnya.

Entah kenapa, aktivitas saya di dunia jurnalis kini mulai dirasuki jenuh. Akhir 2006 kemarin memutuskan untuk meningkatkan kemampuan saya ke bidang editor. Untuk menunjang alih profesi itu, saya belajar kepada teman-teman yang sudah lebih dahulu berkpirah di penerbitan. Ya sekedar diskusi aja. Dari diskusi itu saya mulai tertarik masuk dunia editor. Ya ingin fokus dan tahu “letak salahnya” karya tulis orang.

Karena itu pada tahun 2007 saya beranikan diri untuk coba masuk dunia editor. Ya niatnya sih ingin belajar menjadi editor kawakan seperti Hernowo dan Bambang Trims. Menurut saya, editor itu menarik karena fokus dalam mengoreksi dan “membaguskan” karya orang. Dari segi keilmuan, jadi lebih spesialiasi dan mendalam, tidak seperti jurnalis atau redaktur di sebuah media massa. Dan kerja editor itu, menurut saya, pekerja yang mulia—karena jadi penghubung antara si penulis dan pembaca. Ya, agar pembaca bisa mencerna pikiran-pikiran dan ide-ide penulis dengan bahasa yang renyah, enak, dan tak membosankan.

Namun hingga kini saya belum juga jadi editor buku. Saya masih tetap di Majalah Swadaya dengan segala jerit lelah. Saya hanya bisa menenangkan diri dengan membuat catatan seperti ini. Memang, ada beberapa tulisan yang berbuah fee. Tapi hanya esai pendek seputar agama dan kehidupan masyarakat. Itu pun sebatas cuplikan dari beberapa hadits dan ayat quran. Kalau bicara lamaran, ya kurang lebih sepuluh penerbit yang sudah saya ketuk lewat surat dan e-mail.

Ya belum nasib. Mungkin ini kata yang paling tepat buat saya. Insya Allah, saya yakin Allah pasti memberikan jalan yang terbaik bagi saya dengan pendapatan yang cukup dan memuaskan. Amiin Ya Robbal `Alamin.

Intelek

Kampus dalam Wacana Intelektual dan Oportunisme
Oleh Rimba Alangalang*

Membaca tulisan Pak Endad Musaddad di Radar Banten tanggal 2 Februari 2007, yang berjudul Suburnya Budaya Politik Di IAIN SMH Banten; Lucu, menggemaskan dan menggoda untuk ditanggapi! Saya ingin meloncat lebih tinggi seperti liriknya sheila on 7, berteriak lantang dan mengangkat empat jempol saya buat beliau berani berkata bahwa hal itu salah! Ternyata keresahan melihat fenomena yang terjadi tidak hanya milik saya. Tapi milik kita yang “capek” menjadi penonton dagelan-dagelan yang tidak mencerminkan budaya kampus dengan jargon intelektualitasnya.

Beliau menuliskan bahwa tarik menarik kepentingan dalam pemilihan dekan, wakil dekan dan ketua jurusan sangat kuat terasa. Pesanan-pesanan politik pun banyak bermunculan, lewat SMS, telepon langsung, makan bersama, sampai pada yasinan politik untuk untuk menggulirkan calon-calon yang layak menurut selera politik mereka. Sehingga kriteria akademik, keahlian, gelar, track record begitu saja diabaikan, yang penting satu “madzhab” selesai masalah.


Kampus dan Intelektualitas
Secara garis besar kampus diciptakan untuk mencetak orang-orang yang mempunyai “kadar” intelektualitas yang lebih dari masyarakat biasa. Kalau merujuk pada pengertian intelektual yang dikemukakan George A. Theodorson dan Achilles G. Theodorson. Menurut keduanya, kaum intelektual adalah anggota-anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinil dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif.

Dengan demikian terdapat beberapa karakteristik dasar yang membedakan antara kaum intelektual dengan anggota masyarakat lainnya. karakteristik itu terutama pada penggunaan intelek, akal fikiran bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tetapi lebih berorientasi pada pengembangan ide-ide. Dan hal itu sudah tercakup pada sebuah kelembagaan yang bernama kampus. Ketika semua tidak bisa berjalan dengan semestinya, siapa yang mesti disalahkan? Mahasiswa, dosen, atau Rektor dan purek yang tidak bisa merumuskan kurikulum yang pas buat mahasiswanya?

IAIN SMH Banten sebagai sebuah lembaga kampus mestinya bisa melakukan proses intelektualisasi kampus menjadi pusat pengembangan pemikiran Islam. Meminjam istilah Profesor DR. Azyumardi Azra, M.A, bahwa sampai saat ini IAIN masih berfungsi sebagai wadah pembinaan “calon pegawai” dan “guru” ketimbang pemikir dan intelektual Islam. Jadi fungsi IAIN hanya sebatas “training center” ketimbang “center of learning and reseach” atau “center of Islamic thought”.

Seyogyanya semua melakukan langkah-langkah yang lebih konsisten dan konkret untuk lebih memfungsikan diri sebagai pusat penelitian dan pengembangan pembaharuan pemikiran Islam ketimbang menjadikan kampus sebagai panggung perpolitikan. Ini bukan gedung DPR yang sarat dengan lobi-lobi seperti SMS dan yasinan politik demi sebuah dajjal yang bernama “jabatan”!

Akomodasi atau Oportunisme?
Ketika dalam pemilihan pembantu rektor, dekan dan ketua jurusan masih mengedepankan like dislike, mahzab yang sama, chauvimisme dan sebagainya tanpa melihat kualitas seperti yang Pak Endad tulis. Saya pikir sudah sangat Jelas terlihat bahwa pendekatan yang dilakukan oleh “intelektual kampus” semacam itu hanya berorientasi pada kepentingan; baik itu kepentingan pribadi maupun golongan. Bukan pada sebuah prinsip moral yang harus diperjuangkan. Karena biasanya orang yang masih mempunyai prinsip moral bisa membentengi dirinya dari tindakan pragmatis dan mementingkan diri sendiri serta golongan. Karena moralitas dan praktikalitas dalam membuat keputusan dipandang sebagai dua hal yang berbeda dan bertentangan. Lantas apakah orang-orang yang berfikir pragmatis seperti dalam pemilihan pembantu rektor, dekan dan ketua jurusan bisa dikatakan sebagai penganut taat mahzab “oportunisme”? Ya! kemudian apakah sekumpulan oportunis akan melahirkan kaum intelektual? Kemungkinannya sangat kecil.

`Jika seperti itu, dimana peran dosen sebagai pembawa “syariat” yang mengantarkan mahasiswa menjadi kaum intelektual? seharusnya dosen menjadi penuntun jalan bagi mahasiswanya dalam proses menuju keutuhan intelektual, bukannya mengajarkan mahasiswa pada hal-hal yang sifatnya pragmatis. Kebutuhan-kebutuhan mahasiswa harus terakomodasi pada proses penyempurnaan keintelktualan mereka. Saya sepakat Pak Endad; kalau guru kencing berdiri, muridnya pasti kencing berlari! Saya yakin demonstrasi yang tercipta yang kemudian menjadi konsumsi publik lokal dan nasional tidak sertamerta terjadi begitu saja, tapi ada ketidakharmonisan antar masyarakat kampus kita. Misal, sistem yang tidak berjalan atau orang-orangnya tidak menjalankan sistem. Kalau sistemnya berjalan, peraturan berlaku, akibat tersebut tidak akan menjadi lahar yang sewaktu-waktu bisa meledak kembali atau tidak menjadi api dalam sekam yang tiba-tiba membakar semua.

Sekarang mungkin saatnya untuk memilih. Kaum seperti apa yang akan dilahirkan kampus ini. Ulama yang oportunis atau ulama yang intelek? Wallau’alam.

*Mahasiswa IAIN SMH Banten,Pimred buletin Fresh dan redaksi www.rumahdunia.net. Tulisan-tulisannya dimuat di Radar Banten, Fajar Banten, Keren Beken, Aneka Yess dan majalah Sobat.

Thursday, December 20, 2007

Idul Adha

Ibadah dan Tradisi Muhasabah
Oleh Badru Tamam Mifka

Setiapkali Idul Adha tiba, selalu ada yang mesti kita ajukan:
senjata apa yang terbaik untuk
menyembelih “leher” kebinatangan pada diri kita?

Dalam Islam, setiap ibadah tidak hanya menjelaskan hubungan “mesra” antara seseorang dengan Tuhan (habluminallah), tetapi esensinya juga menjelaskan pentingnya spirit akuntabilitas sosial (habluminannas). Tanpa implikasi sosial dan kepedulian terhadap sekitar, shalat seseorang sekalipun hanya semacam hypocrisy (kemunafikan), atau Allah tak segan menyebutnya “pendusta agama” (QS. 107 : 1-7).

Sejatinya dua matra kesadaran ibadah tersebut bermuara pada komitmen taqwa yang akan melindungi kita dari “penyakit” hawa nafsu yang sewaktu-waktu akan membuat kita jadi manusia “sakit” dan lupa diri. Dalam hal ini, demikian pentingnya kesadaran kritis untuk menangkap pesan substansial dari setiap ritual ibadah dalam menjangkarkan tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar.

Tanpa kesadaran kritis menerjemahkan makna simbolis dari setiap ibadah, kita akan terjebak dalam “narsisme religiusitas” yang tak pernah dewasa dalam beragama. Lantas kitapun hanya membiarkan ibadah Ramadhan yang telah lewat misalnya, menjadi sekedar acara rutin tahunan. Kita lupa di bagian mana dalam tubuh ini kita menaruh hikmahnya dan tak berdaya lagi mengamalkannya saat ini. Jika itu yang terjadi, bersiaplah menerima ego kebinatangan dan banalitas yang tiba-tiba demikian berkuasa mematikan rasa kemanusiaan kita.

Contoh ibadah Ramadhan diatas merupakan salah satu kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Seperti halnya ibadah haji atau lainnya yang hanya dilakukan tanpa semangat pemaknaan yang lebih dewasa. Ibadah dianggap hanya praktik ritual an sich. Akibatnya praktik ibadah jadi statis. Juga shalat yang disebut dalam al-Qur’an dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, pada kenyataannya tak dapat dibuktikan diatas lantai keseharian hidup ini.

Sementara begitu mengherankan bila terdengar bahwa kanker korupsi di negeri yang notabene mayoritas muslim ini masih ganas. Padahal Allah mengecam praktik sesat ini (QS. 2: 188). Yang tak kalah celaka, budaya hura-hura korupsi itu terus menggurita-ria diatas kemiskinan rakyat dan masalah penting lainnya. Disisi lain, kita bersikap masa bodoh karena terlalu tenggelam dalam rutinitas keseharian. Bukankah ini membuktikan bahwa sebagian orang di negeri ini belum bisa menjadikan agama sebagai instrumen mengikis sifat kebinatangan dan mempertebal kepedulian sosial?

Ibadah Sebagai Bentuk Muhasabah
Setiapkali ritual ibadah dijalani, setiap itu pula hadir kemungkinan adanya kesadaran penting soal kritik dari Allah. Seperti ibadah-ibadah lainnya, momen Idul Adha yang hadir adalah sebuah interupsi dari Allah bagi kita bahwasanya seringkali kita tak menyadari masih belum memahami ibadah sebagai proses ”tahu diri”. Karena diri kita sudah terlalu berkarat oleh kotoran hawa nafsu yang jarang dikoreksi. Oleh sebab itu, setiap konsepsi ibadah memberi wilayah yang luas untuk tumbuh-kembangnya kritik.

Semua itu mesti dilakukan dalam rangka membangun ketaqwaan. Tentu saja, kualitas ketaqwaan hanya bisa dikokohkan melalui proses belajar sepanjang hidup (lifelong education). Proses belajar itu bisa dilakukan dengan kemauan keras untuk introspeksi (muhasabah) terus-menerus.

Upaya mengembangkan tradisi muhasabah dalam ranah sosial juga perlu diawali oleh kesadaran diri bahwasanya manusia diciptakan Allah untuk beribadah. Hayyatuna kulluhu ibadah, demikian Ali bin Abi Thalib berkata, hidup ini seluruhnya ibadah. Muhasabah menjadi teramat penting dalam ungkapan Ali tadi. Karena hidup ini dalam rangka ibadah, maka semangat ketaqwaan dan kemauan untuk introspeksi mesti dilakukan di segala keadaan dan keseluruhan aktivitas.

Ibda binafsik, kata pepatah, mulailah dari dirimu sendiri. Pada mulanya muhasabah binafsi (introspeksi diri). Introspeksi sebagai pelajar dan pengajar bisa berarti mengajukan kritik pada tingkah laku sebagai pelajar dan kualitas mengajar kita. Introspeksi sebagai pemimpin bisa berarti melontarkan kritik pada kelemahan memimpin kita, dan seterusnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas dan fungsi diri. Setelah itu muhasabah ”dikolektifkan” lewat tanggung jawab tawasaubil-haq (kritik membangun satu sama lain), baik level antarpersonal maupun level pemerintahan, dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan), bisa dalam bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia, bekerjasama memberdayakan rakyat kecil dan sebagainya. Introspeksi (muhasabah) menjadi senjata penting untuk melumpuhkan sifat kebinatangan diri yang acapkali enggan untuk menerima kritik dan berusaha memperbaiki diri.

Alhasil, sepantasnya kita terus bertanya apakah selama ini kita termasuk umat yang “mendustakan agama”, umat yang hirau pada problem sosial, umat yang tega menghardik penderitaan sesama dan tak henti mengisi hidup ini dengan kecurangan, kesombongan, kedzaliman, keserakahan dan kelalaian? Tentu saja, persoalannya apakah kita mau menerima tawaran Allah untuk lebih serius menjalani setiap ibadah sebagai medium memperbaiki kualitas diri atau tidak? Pilihan ada pada manusia. Kita tinggal pilih: deal or nodeal. Wallahu ‘alam.

Makna

Kata Mereka; Selamat Hari Anti-Binatangisme !!!
Oleh Ibn Ghifarie

Hari Idul Adha tiba, sebain umat islam yang mampu dan memiiki harta cukup diwajibkan berkurban. Adakah makna lain saat datang Hari Rayaguung?

Idul Adha membeningkan jati diri, membunuh kepentingan hewani, hanya satu tujuan, menggapai semangat ilahiyyah, kata Sukron Abdillah, penulis Kompas Jawa Barat.


Di Altar suci penggalah egomu. Bagai Ibrahim As. Jadilah penyaksi, karena penyaksi tak pernag mati. Di dunia penuh nista. Sebarkanlah cinta. Allah Akbar Walilla Ilham, Sabara, Kordinator JarIK (Jaringan Islam Kampus) Makasar.

Kehadiran kurban tak hanya berkurban Domda atau Sapi semata, tapi yang lebih baik mengurbankan sikaf kehewanan yang melekat pada kita dan memperjuangkan kaum mustad’afin. Itulah makna Idul Adha, Dian Aktivis Pergerakan Bandung.

Koreksi diri plus transformasi social. Seban ngoreksi kualitas diri saumur hirup, transformasi sosial, misalna kamiskinan jeung kritik ka pamarentah jeung sajabana. Selamat Hari Anti-Binatangisme !!! Badru Tamam Mifka, Pegiat Kelompok Belajar Biasa (KBB) Bandung.

Cag Rampes, Pokok Seker Kere, 20/12/07; 00.04 dan 21/12/07; 02.02 wib

Friday, December 14, 2007

Kiat

Menulis

Pada akhirnya, kita harus berani jujur terhadap diri sendiri, untuk apa menulis, menungkan gagasan demi gagasan, menghabiskan waktu untuk menyusun kata-kata menjadi kalimat bermakna, dipahami manusia?

Menulis buku kering penuh dengan teori-teori untuk apa itu? Menulis tentang renungan pribadi atas penomena yang dilihat mata untuk apa itu? Menulis cerita pendek, puisi, atau sajak untuk apa itu? Untuk orang lain. Untuk orang lain, untuk apa itu? Kadang aku sendiri berpikir bahwa cerpen hanyalah sebuah tulisan penuh hayalan. Puisi dan sajak hanyalah tangisan hati dan kecengengan sang penulis. Sebenarnya, untuk apa, cerpent, piusi, atau sajak Itu? Dan terakhir untuk apa mempertanyakan itu?


Kalau selama ini dengan menulis orang bisa terkenal, tapi untuk apa terkenal itu? Apakah penulis-penulis besar sendiri mengharapkan itu? Nietzscehe, misalnya sebagai salah seorang penulis sastra mutkhir hari ini, apakah ketika ia menulis ada niat ingin dikenal orang lain? Begitu juga, dengan menulis, orang bisa mendapatkan kekayaan. Tapi, apakah benar secara mutlak bahwa untuk mendapatkan uang salah satu caranya adalah dengan menulis? Bukan kah sering terjadi bahwa penulis tidak berkhir dengan duduk di atas kursi mewah nan megah, tetapi diatas kursi listrik dalam sebuah ruang ruang penjara.Untuk memberikan cermin kepada orang lain agar mereka menghargai hidup dengan menjalaninya secara baik dan benar. Tapi, apakah penulis sendiri telah mengahargai hidup dengan brbuat sepeti itu? Bukan kah banyak yang mengajarkan kabaikan dan kebenaran sementara hidupnya sendiripun berantakan dan kacau-kacau?

Mungkin, menulis tak memiliki nilai apa-apa selain untuk menghargai diri sendiri, dengan berubah ke arah yang lebih positif. Untuk mempermudah itu, terkadang orang yang lemah ingatan barangkali dengan menulis dapat membantu mengingat kembali serpihan-serpihan hidupnya agar mudah untuk perbaiki. Untuk memaknai hidup untuk merubah hidup ke arah yang lebih positif, untuk menghargai hidup agar lebih bermakna, menulis bukanlah satu-satunya jalan, menulis hanyalah salah satu alternatif saja.

Barangkali alasan praktis untuk apa menulis adalah untuk mengimpormasikan sesuatu yang belum diketahui atau menjelaskan sesuatu yang masih samar dan tersembunyi. Untuk itu pula lah menulis akan sedikit bermakna dalam hidup.

Lebih jauh, menulis hanyalah bernilai apabila menulis menjadi salah satu media untuk menyampaikan kebenaran. Kalau ada yang salah, apapun bentuknya, maka ungkapkanlah dengan menulis apa yang sesungguhnya benar. Karena kebenaran mutlak milik bersama, bukan hanya milik satu orang saja sehingga ketika ia tahu maka ada kewajiban memberi tahu kepada yang tidak tahu. Orang yang tahu bahwa sesuatu benar dan sesuatu yang lain salah harus mengimformasikan kepada orang lain bahwa itu adalah salah dan ini benar atau sebaliknya, yang ini salah dan yang lain benar. Berangkat dari alasan itu , mungkin menulis adalah suatu kewajiban. Menulis adalah kewajiban untuk menyampaikan kebenaran.

Untuk apa kebenaran? Tak dapat disangkal bahwa kebenaran adalah syarat mutlak agar hidup memiliki arti, makna dan berharga. Adakah di dunia ini manusia yang sanggup hidup kalau seandainya kebenaran tidak ada. Adakah di dunia ini, orang yang mau melanjutkan hidup kalau seandainya hidup itu sendiri itu tidak bermakna. Bermaknanya hidup ada karena adanya kebenaran makna hidup.

Tapi, apakah sesungguhnya benar, kita ingin menjalani hidup berdasarkan kebenaran, sehingga diharapkan akan bermakna atau berharga. Jangan-jangan, hanyalah omongan saja. Pada faktanya, kita tidak pernah peduli apakah hidup kita benar, bararti, bermakna atau berharga. Jangan-jangan, selama ini kita hidup hanyalah mengikuti bagaimana hidup menghidupi, bukan kita menghidupi kehidupan. Mengikuti semboyan iklan, jangan-jangan, selama ini kita tidak menjadikan 'hidup' lebih "hidup". Tetapi kita menjadikan 'hidup' menjadi tidak "hidup". Kita hidup, tetapi tidak hidup. Bukan hidup dan hidup. Hiduplah hidup!

Geledug

Ngadeledug
kumisalpeditox

Berhembus angin malam berdamping cerahnya bulan
Berhembus angin siang bersandar terangnya cahaya matahari
Berhembus angin darat berayu lambayan dedaunan
Berhembus angin laut benarik tarian ombak

Berhembus nafas dipagi hari ¼ dinginnya subuh
Berhembus nafas disore hari ¼ dinginya ashar
Berhembus nafas yang mendengkur lelapnya tidur
Berhembus nafas yang sekarat 1/2nya kematian

Berhembus angin malam ibarat terbakar disembur air
Berhembus angin siang ibarat ½ kecepatan kipas angin
Berhembus angin di taman tulang malam hari membuat bulu punduk merinding
Berhembus angin perhubung lewat membuat hati kaget

Berhembus nafasmu bau
Berhembus nafas sang Naga membuat hancur Dunia
Berhembus nafas knalpot membuat manusia keracunan
Berhembus nafas lemari ES membuat manusia membeku

Berhembus angin dilautan membuat ikan takan pernah mati
Berhembus angin ditepi gunung membuat pohon menjadi kokoh
Berhembus angin dilangit membuat awan menjadi rapih
Berhembus angin diangkasa membuat planet berputar

Berhembus nafas makhluk dilautan keluar dari insang
Berhembus nafas makhluk didaratan saling berhubungan antara tetumbuhan
Berhembus nafas makhluk diudara membuat sayap menggeplak
Berhembus nafas makhluk ditanah membuat menjadi gembur

Izinkan

Izinkan [Aku Kenal Kamu]
Sebuah refleksi atas tatapan kita kemarin-lusa
Oleh lelaki Disimpang ke-Gilaan

Disaat perjumpaan denganmu
Menatap senyum-Mu adalah segalanya
Hanya bagiku kaulah segalanya
Yang berusaha menasihati dalam perjamuan ini.
Tapi hanya sesaat kita berjumpa
Setelah itu; kita berpisah dalam
Arah yang berlainan

Seperti kayu yang menjadi abu
Lalu tertiup angin
Aku bagaikan puing batu kelabu
Sekarat dihadapanmu

Aku lepas digergaji waktu
Dan merenungi !
Setiap bayang-bayang itu.


Sekedar Prolog;
Bintang gemintang yang menghiasi gelap malam menebarkan khayalnya ke langit yang diselimuti kabut. Khayal yang melekat dilerung-lerung ingatannya memunculkan citra ke-Akuan yang merana dan menderita. Sambil menyaksikan bentangan sayap-sayap khayalnya aku berkata “apakah aku akan kehilanganmu, karena aku merasa memilikimu” khayalku adalah kesunyian yang paling menyiksa jiwaku.

Dalam kesunyian; bulan menghilang
Ketika malam menggenapkan nada burung
Pada batang cemara sunyi.
Ada yang berderai! Ketika;
Seperti jiwa yang bersitahan
Meredam amuk badai dalam gerimis terakhir
Yang menyeret luka telanjang
Keujung selatan paling sunyi-merekahlah kesumat
Dipenghujung malam,
Terdiam lukai setetes nista.
Ketika terselimuti nyanyian subuh.

Terkadang kita memaknai kebenaran sebatas realitas yang nampak, seringkali terjebak pada hal-hal bersifat inderawi. Sesuatu dikatakan real Apabila dapat menyentuh kulit, sebatas mata memandang, alunan bunyi yang masuk lewat telinga dan lain sebagainya. Itu hanyalah gambaran bagaimana manusia dapat mengenal wujud realitas yang material tidak menjelaskan kebenaran yang mutlak, kalau meminjam istilah Plato adalah bayangan dari dunia idea. Lalu timbul pertanyaan apakah realitas itu tetap atau berubah? adakah hubungan antara yang kekal dan abadi, di satu pihak, dengan yang berubah? di pihak lain karena Segala sesuatu terus berubah, tak ada yang diam. Realitas yang terus bergerak dianalogikan seperti aliran sungai. Hidup terus berjalan [menjadi] tanpa kita pernah mengerti tentangnya kita tak bisa masuk dua kali ke dalam aliran sungai yang sama.
Hanya ada satu yang benar-benar nyata, yang tidak berubah, yaitu Logos atau rasio (prinsip yang tak berubah atau sebab imanen dalam segala perubahan)

Siapakah Aku?
Merayapi lembah gunung ada luka dalam duka, dilempar kedalam kawah memanjat tebing-tebing sunyi memasuki pintu mistery menggores batu dengan kata sederhana.

Setelah tubuhku lelah berlari dari kekaguman
Untaian lisan; tak lebih dari sekedar bualan.
Tulisan hanya pengantar lelap.
Pada sebatang pohon,
Kusandarkan mimpi atas tubuh yang terkoyak.
Sebelum langit berhenti.
Sekejap;
Matapun tak mampu memandang.

Ketika Gilang pertama kalinya melihat sosok aku yang urakan, kucel, dekil, dan gondrong tak ke urus. Pasti akan punya kesan negatif terhadap penampilanku, sah-sah saja bukan saja kamu yang beranggapan seperti itu bahkan hampir semua orang beranggapan apa yang kamu persepsikan tentang aku. Kenapa orang menstigmakan pandangannya seperti itu? Adakah yang salah dengan diriku? jika suatu objek dipersepsi hanya melalui bentuk visual, maka yang nampak hanyalah sebagian bentuknya saja karena kebenaran yang absolut berada di dunia idea. Dunia yang nampak hanyalah pantulan dari bayangan dunia yang sebenarnya. jangan-jangan semua apa yang kita anggap sebagai kebenaran hanya dilihat dari persepsi indrawi.tidak dalam kaidah subtansi yang sesungguhnya. Atau yang lebih parahnya lagi menurut pandangan orang lain. “Suatu kesalahan yang di ulang-ulang akan menjadi kebenaran”

Seperti cucuran air mata
Membuyar di kelopak pandangan.
Bergemuruh hentakan,
Sudut-sudut alam.Temaram siang itu;
Nampak riuh disiram rintik hujan
Menjadikanya segenggam
Harapan yang telah mati;
Mati dalam mengharapkan mu
Sebagai dewi yang datang dari nirwana
Tatapan;
yang kau siratkan kemarin petang.
Melambai dibarengi Seutas senyum,
Kini; tertinggal Dalam kesadaraan
Seiring nafas berhembus.

Kalau boleh jujur aku anti kemapanan, penampilanku selama ini adalah bentuk protes terhadap pandangan umum. ketika kebenaran hanya sebatas simbol maka nalar (pikiran) manusia telah hilang sebagai makhluk yang konon paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Orang dikatakan baik atau sopan apabila ia berpakaian rapi, selalu pake kameja, rajin kemasjid. Padahal kita ga tahu apa yang ada didalam pikirannya atau dibelakang kita berbuat apa, yang tidak semestinya sebagai makhluk ber-akal. Bagiku kebaikan itu adalah proses menjadi.
Adakah hari esok?
Ku-kenal kamu dari jauh, bergetar hati melihatmu
Matamu bening, suaramu bening
Semangatmu hening, wajahmu lembut
Senyummu lembut wujudmu getarkan rasa.

Ketika malam dibungkus selimut hitam, saat orang meringkuk dikedinginan dalam tidur lelap, Aku masih terjaga, duduk dibalik batu yang bisu di saksikan awan yang muram nampak bergejolak oleh goncangan badai. Ada sesuatu yang membuat aku enggan untuk melenyapkan diri dari alam ketersadaran, yang selalu hadir dan mengusiknya hingga akhirnya aku harus merenung dan memikirkan semua itu yang mesti ada jawaban.
Dengan pengalaman aku mengenal kamu,
Melalui ingatan wajah-mu masih terkenang,
Kesaksian akan itu tak bisa terbantahkan.
Berangkat dari rasa ingin tahu;
Tersirat berbagai pertanyaan?
Nalarku menarik pada kesadaran.
Dengan logika; luruskan jalan kesimpulan ini.

Entah melalui jalan Skeptisme, Subjektivisme, Relativisme, Nihilisme, atau dengan mistisme, ah persetan dengan semua itu! Tiupan angin menusuk tulang, hawa dingin menyelimuti tubuh yang merangsek tulang, sesekali aku bergetar dan menggigil Berbatang-batang rokok telah kuhisap, dua gelas kopi hitam habis ku reguk, namun perasaan itu semakin besar menghujam hingga akhirnya aku pasrah dalam ketertindasan memaknainya. Sambil membatin aku berucap “kehilangan adalah kepedihan, berbahagialah engkau, wahai pecinta, yang tak memiliki apa-apa, maka tidak akan kehilangan apa-apa.
Hati yang gusar,
menatap rasa dingin.
gemerlap cahya bulan; sebatas hiasan
matahari tak cerah lagi
tak ada lagi tiupan angin,
bahkan mimpi-mimpipun akhirnya terkoyak
pekat malam
tak goyahkan jasadku
tuk segera terlelap,eksistensi:
sebatas nyanyian di padang syiria.
Lorong pikiranku
berujung di batas kematian,
sang kekasih;
kehembuskan ayat-ayat cinta dalam mimpimu.
Ketika kau sadar, semuanya telah berlalu.
Tak ada lagi cerita indah
Tersisa hanyalah settitik buih pasir
Ditelapak raga.

Aku tak pernah dapat mengenal seseorang secara utuh pada pertemuan pertama. Kita butuh waktu untuk mengenal bagian terdalam dari diri seseorang. Pertama kali kita mengenali seseorang tentu berdasar kabar mengenai orang itu, kabar itu memberikan banyak praduga dalam diri kita. Lalu pada saat kita melihatnya secara langsung, sebagian praduga itu berguguran, karena melalui pandangan inderawi sendiri kita menemukan keindahan tubuh yang lebih dari apa yang digambarkan orang lain. Kemudian, dengan mencintai keindahan tubuh yang kita lihat, kita akan mencintai bukan lagi keindahan yang kita lihat itu melainkan juga sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu jiwa yang indah. Dari sana kita menuju cinta akan pemikiran dan ide-ide yang indah, lalu kita bergerak menuju cinta sejati.

Bila ziarahku usai disini,
Sebelum berpapasan dengan nafas-Mu
Ijinkan aku melesap di petapaan
tanpa ada tangisan.
Usia bukan milik kita; Glang,
Hanya satu, pintaku; Glang,
Jalarkan sebaris Edellweis
Senyummu dipusaraku. Aku
Pergi ketempat yang damai nan kekal:
Seabadi potretmu dihatiku

Keramaian yang selalu menggema seketika terasa diam, hampa, tanpa ada nyanyian manusia yang membicarakan hidupnya. Hanya ada aku yang terdiam dipojok reruntuhan jiwa, jatuh tertimpa kenyataan cinta yang enggan menyapa. Yang dimana semua harapan-harapan pencarian kebenaran akan cinta musnah sudah tanpa ada yang tersisa lagi dan akhirnya mati mengenaskan. Akankah cinta itu mewujud dalam wujudnya yang absolut ?

Ciung Wanara, November 21 th 2007 [05;30 am]
[lelaki Disimpang ke-Gilaan]

Serat

Serat Pakuat-Pakait
Oleh Kumisalpeditox

Nyakclak totos lalangit pangiuhan,
nyalaleungir bari namprak kaluhur kanu gopur
Munyunghul anu ajeug pageh
manjangkeun leungeuna nuharejo kerngagupayan anu hirup
sangkan nampi anu nolol kaluar matak kabita.
Tapi laindei numurungkut bari jameudud mikiran nungalayang

bakat benang kukasedih, budak cerik, indung bapana ngajerit, dulur salembur kabur,
kurulang-kuriling neangan penempatan
eta mang rupaken kahirupan manusa di alam dunia, silih pakuat-pakait bener-salah,
luhur-handap, harep-tukang, lalaki-awewe, langit-bumi, hirup-paeh, nolol-nyungseb, kulah-cai, juru-sisi, bor-kapur kardus-esi, akar-tangkal, indung-bapak, kolot-budak, adi-lancek,
nyai-akang, teteh-aa, nini-aki, abah-ambu, mojang-jajaka, agama-filsafat.

Tips

Membaca dan Menulis
Oleh Badru Tamam Mifka

Kalau engkau tidak punya waktu untuk membaca,
kau tidak punya waktu (atau peralatan) untuk menulis.
Mudah saja. Membaca adalah pusat kreatif kehidupan seorang penulis.
(Stephen King)

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian
(Pramoedya Ananta Toer, Novelis)

Siang nyalang. Segelas kopi hitam. Gerpolek. Mock. Sesak. Rendezvous, juga langit yang tiba-tiba mati... Lalu kusimpan sebuah buku dipangkuan seorang kawan.
"Aku khawatir jika kita terlalu jauh meninggalkan buku-buku, juga kebencian yang berlebih pada buku-buku. Pembakaran buku, anarkisme kolektif, ketidakpedulian pada buku-buku di perpusatakaan yang hampir berdebu..."

Kawanku tersenyum. Tergeragap senyap, dan siapa yang tiba-tiba begitu derasnya merampas hak?

"Saatnya mencintai buku bersama orang-orang. Sebab kelak, seorang penulis akan lahir dari buku-buku, dari masyarakat yang memelihara tradisi membaca.."
1982, atau yang lainnya. Corrupt. Pram, dan segelas batas yang siap ditumpah-pecahkan.

"Lalu menulislah untuk mempertahankan martabat, membela orang-orang, mengingatkan mereka pada tugas dan hak-hak yang dirampas... Membaca adalah pertahanan, Radz, menulis adalah perlawanan!"

2007

Oposisi

Judul: Oposisi Rice Cooker (Catatan Harian Post LPIK [Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman] Bandung)
Penulis : Ibn Ghifarie
Penerbit: Angkat Pena, Bandung, September 2007
Tebal : 50+x halaman

Semula OPOSISI RICE COOKER (Catatan Harian Post LPIK [Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman] Bandung) merupakan kumpulan coretan yang berserakan dimana saja: papan pengumupan Sekre, kertas selembar, Pamplet, Agenda Harian, dan blog; supaya didokumentasikan menjadi satu naskah yang tertata rapi dan enak dibaca.

Pudarnya tradisi sebuah lembaga kajian dalam tulis-menulis, membaca, diskusi dan meneliti, pada periode kepengurusan tahun 2005-2006 dan 2006-2007.

Bila empat kebiasaan itu sudah tak akrab lagi, maka sudah selayaknya LPIK mencari arah gerakan baru lagi, bukan malah sibuk memperdebatkan urusan pergantian kepengurusan beserta rengrengannya. Tentunya, warisan para leluhur pun harus menjadi bagian yang ditinggalkan oleh generasi berikutnya. []


Mh…., saya jadi iri pada Ibn Ghifarie; tekadnya untuk terus menulis sudah benar-benar buled. Sukses boelldzh.
--Badru Tamam Mifka, Cerpenis dan Pelajar di Kelompok Penulis Biasa (KPB) Bandung.

…dan bisa juga sama sekali tak mengatakan apa-apa, hanya ingin menari saja, mengikuti getar alam semesta. Bahkan jangan-jangan untuk disebut menari pun tidak cukup indah. Hal yang paling penting adalah ternyata bahwa masih ada sejumput orang yang masih peduli utnuk terus menari…..
--Ahmad Gibson Al-Busthamie, Kepala PusInfoKomp (Pusat Informasi dan Komputer) UIN SGD Bandung.

Ini hanyalah catatan pergulatan yang dialami-rasakan para pendahulumu. Sebuah fakta nyata, bahwa menjadi orang luar-biasa, pergulatan hidup dan jalannya pun harus luar-biasa.
--Ahmad Sahidin, Editor Lepas dan Pedaktur Majalah Swadaya MQ Daruut Tauhiid (DT) Bandung.

Bait

Sajak Dewi Penyair

PADA TIAP BAIT
rasa sudah jelas
pada tiap bait-bait
segala rindu yang terasa
sulit terkata dalam bahasa

bukan salah kata tak mampu sempurna
tapi rindu ini
sungguh luar biasa

( Maitri, 13 Desember 2007 )

Tuhan

Tuhan dan Hal-Hal Yang Tak Selesai

Judul: TUHAN DAN HAL-HAL YANG TAK SELESAI
Penulis : Gunawan Muhammad
Penerbit: KataKita, Jakarta, September 2007
Tebal : 162 halaman
Harga : Rp 50.000.

Buku Goenawan Mohamad terbaru ini berupa 99 esei liris pendek yang berangkat dari aforisme, mengikuti jejak Percikan Permenungan karya Roestam Effendi di tahun 1930-an. Angka “99″, dengan berasosiasi kepada 99 nama Tuhan menurut tradisi Islam, juga mengesankan ketidak -selesaian.

Isinya pada umumnya merupakan eksplorasi saat-saat religious, pengalaman puitis, juga renungan tentang Tuhan, iman, kematian dan kekuasaan.

Dalam mengembangkan pemikirannya, Goenawan Mohamad mengolah dan mengritik percikan filsafat Eropa (Heidegger, Levinas, Derrida, Marion, dan Badiou, misalnya), dan filsafat Islam, khususnya, Ibn Sina, Al-Ghazali serta Ibn Rusdh. Ia juga memakai bahan-bahan dari sastra Jawa klasik. Salah satu eseinya menunjukkan persamaan Serat Cabolek (khususnya tentang pertemuan Bima dengan Dewa Ruci) dengan meditasi Cartesian tentang subyek.

Kutipan dari buku Goenawan Mohamad, “Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”
**
Demak: Pada suatu hari yang mungkin tak sebenarnya terjadi di abad ke-16, dengan sabar sembilan orang wali mendirikan mesjid pertama di kota pantai utara Jawa ini. Beratus-ratus tahun kemudian cerita terus beredar, bahwa salah seorang dari mereka, Sunan Kalijaga, menyusun tiang mesjid di Demak itu dari tatal: serpihan kayu yang tersisa dan lapisan yang lepas ketika papan dirampat ketam.

Saya bayangkan dengan takjub: sebuah mesjid yang ditopang oleh yang terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata — bukan sebuah rumah Tuhan yang berdiri karena pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan tahta..
**
Dari riwayat yang rusak, manusia membayangkan satu titik di depan yang sempurna. Titik itu seringkali jelas ditegaskan, tapi sebenarnya ia adalah, untuk memakai kata-kata Laclau, sebuah “penanda yang kosong”. Kekosongan ini bukan berarti sesuatu yang sepenuhnya negatif. Justru penanda itu begitu menggetarkan dan menggerakkan kita, dan lahirlah damba. Dengan damba itu kita membuat sejarah untuk mengisi penanda yang kosong itu dengan sesuatu yang bisa yang ditandai secara memadai.

Tak mudah dijelaskan dari mana datang ajektif dalam penanda kosong yang melahirkan dan menggerakkan damba itu — katakanlah nilai “adil” dalam kata-kata “masyarakat yang berkeadilan”. Mungkin sebab itu orang berbicara tentang wahyu. Cerita tentang wahyu adalah cerita saat manusia jadi makhluk yang terbatas: ia mengalami persentuhan dengan Yang Tak Terbatas. Ketika wahyu datang pertama kali, demikianlah kisah Nabi Muhammad yang kita dengar sejak kanak-kanak, ia terguncang, ketakutan, dan menutup diri dalam selimut. Kefanaan dipaparkan dalam hubungan dengan yang abadi.
**
Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman adalah bianglala yang semarak. Yang menghendakinya sebagai sehelai pembalut putih yang steril lupa bahwa manusia bukan cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi. Bahkan tak ada mumi, juga dalam kotak kaca, yang tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran kebudayaan.
Yang kekal selamanya saling membelah dengan bumi yang guyah.
**
Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah. Tiap masa selalu ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu ke gurun pasir tempat Musa — yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan — mencoba menebak kehendak-Nya terus menerus. Di sana tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda, bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai.

Gurun pasir tak sepenuhnya dialahkan, dan cadar selalu kembali seperti kabut. Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak pernah jera justru ketika Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang.
**
Tiap doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di depan Ilahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa bertingkah.

Bila ada agama yang memusuhi syair, itu karena ia lupa bahwa puisi juga sejenis doa. “Di pintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling”, tulis Chairil Anwar, antara lega dan putus-asa. Puisi, bahkan dalam pernyataannya yang tersuram, adalah rasa hampa tapi juga sikap bersyukur yang tak diakui. [sumber jurnalisme@yahoogroups.com]

Seks

Seks dan Kesehatan: Perspektif Tasawuf dalam Bingkai Filsafat
Oleh Ahmad Gibson Al-Busthamie

Mahasiswa yang nakal (kreatif, inovatif, punya imajanasi “gila”) memang kadang merepotkan dosennya. Namun, memang dunia ini dibangun oleh orang-orang yang dianggap “gila” itu!! Maka, bila sang dosen tidak bisa dan tidak pernah berlaku gila, atau bahkan tidak senantiasa gila (anti kegilaan), ia tidak akan pernah menjadi “sebenar-benarnya dosen”.

Mahasiswa yang menggiring dosen-dosennya untuk bicara tentang seks yang (diakui atau tidak) dalam masyarakat akademik UIN masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mahasiswanya sakit karena memiliki hasrat untuk membuka tabir wilayah yang ditabukan. Kedua, masyarakat itu sendiri yang sakit, karena menganggap tabu sesuatu yang alamiah sifatnya. Namun demikian, bagi orang-orang yang memiliki pemikiran kreatif, kontradisk merupakan selalu dijadikan kekuatan dialektis untuk melahirkan pemikiran brilian, gila.

Seks dalam Persfektif Tasawuf
“Perempuan adalah bentuk luar dari jiwa, sementara pria adalah bentuk luar dari ruh. Jiwa adalah bagian dari ruh, sebab jiwa adalah salah satu dari entifikasi yang termasuk di bawah ruh pertama, yang dikenal sebagai “Adam sejati”. Jiwa adalah salah satu turunan dari Ruh ini. Maka wanita dalam realitas adalah turunan dari lelaki, dan setiap bagian merupakan bukti dari asal akarnya. Jadi wanita adalah bukti dari pria dan pria adalah bukti dari lelaki sebab Nabi berkata, “Barangsiapa mengenal jiwanya akan mengenal Tuhannya” . Bukti itu sendiri mendahului sesuatu yang dibuktikannya. Maka ia menempatkan wanita di tempat pertama.”

Tasawuf merupakan cara pandang yang bersifat “monistik”, yaitu cara pandang yang menganggap bahwa seluruh entitas dari realitas merupakan satu kesatuan integral yang secara esensial merupakan perwujudan Ilahi. Tasawuf wujudi al-Hallaj dan Ibn ‘Arabi (serta sufi lain dengan pandangan sejenis) memandang bahwa tidak ada yang bisa disebut wujud kecuali Allah (la wujuda ila Allah). Dan, yang lain selain Allah, kalaupun harus disebut sebagai wujud tak lain hanyalah sebagai wujud “pinjaman”, bukan wujud hakiki. Dengan kata lain, sesutu selain Allah bersandar pada wujud Allah. Konsep tersebut menjadi dasar argumen bahwa segala sesuatu berelasi dengan eksistensi Allah.

“Proses” munculnya yang plural (“makhluk”) dari yang tunggal (Allah) dalam tradisi tasawuf wujudi dikenal dengan “tajalli”. Dari proses tajalli (diambil singkatnya) muncul sifat dan nama tuhan sebagai “al-Kamal”, Yang Maha Sempurna. Dari al-Kamal lahir dua sifat dasar yang menjadi inti dasar karakter seluruh makhluk, yaitu sifat dan nama al-Jamal dan al-Jalal .

Seks (sebagai kebutuhan, kecenderungan, dorongan dan prilaku) merupakan persoalan yang terlahir dari kenyataan “alami’ah” manusia yang secara fisikal ditandai oleh adanya instrumen seksual. Dan, secara psikologis, keberadaan instrumen seksual tersebut (dengan mengabaikan perspekstif kausalitas yang bersifat tautologi) dibangun pula oleh adanya fakultas dan kecenderungan dan kebutuhan psikologis manusia terhadap pemenuhan hasrat seksual tersebut, lust (freud). Secara konsekwensional, karena baik secara fisiologis dan psikologis telah disediakan isntrumen dan daya pendorongnya (drive), maka pemenuhan terhadap hasrat seks merupakan prilaku dan upaya yang harus dianggap sehat. Dan, sebaliknya (menghambatnya) akan beresiko sakit.

Pemilahan Manusia dalam “Paradigma Modern”
Manusia dalam kehidupannya di dunia semesta, secara real mengalami proses pengkutuban. Kenyataan yang mendorong manusia untuk berada di satu sisi dan menapikan sisi yang lain, atau paling tidak menjadikan sisi yang lain sebagai tidak dianggap penting. Dan, khususnya pada era modern, sisi yang dinafikan atau tidak dianggap penting tersebut kebanyakkan adalah sisi ruhaniah. Sisi yang secara teologis disebut sebagai sisi ilahiyah (aspek transenden dari manusia, atau aspek imanen dari Tuhan). Penapian tersebut menjadikan perbedaan atau plutalitas pada manusia tidak menemukan titik temunya.

Fenomena tersebut akan ditemukan secara lebih nyata pada masyarakat yang konstruk sosio-budayanya tidak dibangun di atas (tidak memiliki dasar) konstruk religius. Di barat, sebagai contoh, secara secara stereotif dianggap sebagai pusat kelahiran dan berkembanganya paradigma positivistik– yang tentunya menolak realitas non-alamiah— menjadikan alam sebagai referensi dan tempat kembali dalam menjawab seluruh persoalan kehidupan manuisia. Ketika alam sebagai kenyatan plural dijadikan tempat kembali (referensi) dalam menjawab dan menyelesaikan semua persoalan kehidupannya, maka wajar bila pluralitas dan diferensiasi serta pemilahan dari alam dijadikan aksioma dasar dalam mengidentifikasi serta menilai segala hal, termasuk pluralitas manusia.

Ketika itulah, manusia dipilah dalam pluralitas warna kulit, ras, dan bahkan jenis kelamin. Lebih dari itu, kualitas manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk survive dan kemampuannya untuk “menaklukan” alam, bahkan menaklukan manusia lainnya. Fenomena inilah (barangkali) yang kemudian menajdi dasar munculnya trauma pencapaian kekuasaan di kalangan perempuan. Dalam analisis sosial, budaya, politik dan psikologis dianggap bahwa perempuan mengalami keterterhimpitan oleh trauma kolonialisme dan eksploitasi yang secara umum dilakukan oleh laki-laki, yang secara “kodrati” alam memberikannya tubuh yang lebih kuat. Tradisi kolonialisme dan eksploitasi tersebut, yang telah ada sejak jaman primitif, telah membentuk format budaya sosial manusia untuk memposisikan perempuan di garis belakang dalam pertempuran menalukkan alam dan manusia lainnya.

Pemilahan manusia dalam jenis alamiah (biologis , jenis kelamin), yang telah melahirkan fungsi sosial dan format budaya yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sebagai warisan jaman primitif pada kenyataannya mendapatkan legitimasi ilmiah dari cara pandang modern (positivistik) yang memilih objek (sesuatu) dalam referensi alamiah, natural. Secara tegas laki-laki-perempuan dipilah yang dipijakkan di atas perbedaan struktur refroduksi. Dan, secara biologis kelahiran perempuan dipandang sebagai kerlahiran manusia yang belum selesai.
Selanjutnya, pandangan tersebut, secara kultural melahirkan standar ganda dalam menentukan kualifikasi moral sosial dan budaya. Dimana, sebagai contoh, kualitas peredaban dan sejarah digariskan di atas kemajuan kekuasaan yang dianggap sebagai peradaban laki-laki. Dan, dalam sejarah tersebut perempuan mengambil posisi atau diposisikan sebagai unsur pelengkap atau bahkan sebagai korban kemajuan peradaban.

Paradigma Tasawuf Wujudi
Berbeda dengan pengetahuan saintifik dan filsafat yang cara kerjanya diawali dengan melakukan kategorisasi dan identifikasi terhadap “objek” atau “subjek kajian”, termasuk terhadap “Tuhan” ketika ia membicarakan Tuhan; maka, tasawuf mengawalinya dengan “menerima” melalui proses membuka diri (futuh, Mukasyafah) untuk menerima penampakkan (Tajalli) Tuhan dalam diri manusia dan alam semesta. Manusia dan alam semesta dipahami sebagai tajalli Nama dan Sifat Tuhan dalam alam semesta. Tuhan menjadi referensi, titik pijak, dalam menjadwab semua persoalan. Oleh karena itu, karena seorang sufi merasa hanya sebagai penerima, bukan pencari, maka di antara kaum sufi tidak perna ada pertentangan dan pertumpahan darah. Walau pun jumlah tareqat sangatlah banyak, ribuan.

Pendekatan tasawuf wujudi terhadap manusia maupun alam sebagai realitas partial selalu dipahami dalam paradigma kesatuan yang berpusat pada tajalli Tuhan. Dengan demikian, pluralitas dipahami sebagai kenyataan “semu”, karena secara hakiki pluralitas mensyaratkan adanya kesatuan. Tanpa kesatuan bukan pluralitas (keberbedaan, keanekaan) lagi namanya, akan tetapi keterpisahan (alienasi). Hanya dalam pluralitas keteraturan dan harmanoni bisa terjadi, tidak demikian halnya dalam keterpisahan.

Ibn ‘Arabi melihat bahwa pluralitas pada alam semesta terjadi karena ketidaksempurnaan alam dalam mewadahi sifat dan nama Allah (citra ilahi) sebagai wadah tajalli. Ibn ‘Arabi “berpendapat” (seperti halnya Al-Hallaj) kesempurnaan tajalli Tuhan pada makhluk terjadi ada peringkat insan kamil (“manusia”), karena padanya telah termanipestasi segenap sifat Allah dan asma-Nya. Tajalli Allah dalam alam semesta (selain manusia) tidak mencapai kesempurnaanya karena alam semesta berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak bisa menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusialah citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Ketidaksempurnaan alam semesta sebagai wadah tajalli sifat dan nama Tuhan karena : alam tidak memiliki “dimensi ruhaniah” yang merupakan dimensi “terdekat” dengan Tuhan. Berbeda dengan manusia, selain merupakan “miatur” dari pluralitas alam semesta (mikrokosmos) ia pun memiliki dimensi ruhaniah, sebagai dimensi “terdekat” dengan Tuhan. Dimensi ruhaniah merupakan dimensi yang mengatasi ruang-waktu (bentuk, form). Dualisme manusia inilah (ruhaniah dan kosmos) yang menjadikan manusia sebagai “bentuk” paling sempurna (ahsan al-takwim). Kenyataan dualisme manusia ini (jasmani-ruhani) menggambar kenyataan yang paling sempurna dari keberbedaan yang menyatu. Penyatuan yang melahirkan pola khidupan dari pribadi yang unik.

Munculnya form atau bentuk, yang diakibatkan oleh “keterpecahan” tajalli sifat dan nama Tuhanpada “pase” tajali suhudi, ketika nama dan atau sifat Tuhan mewujud dalam fenomena yang memiliki sifat saling berpasangan. Manusia, yang salah satu sisinya merupakan bagian integral dari alam semesta (kosmos, mikrokosmos) dan hidup dalam atmosfir kosmos, maka manusia pada akhirnya terjebak pada lautan pluralitas bentuk (ruang-waktu), manusia mengalami pengkutuban. Mansuia lebih terbiasa melihat bentuk (Aristoteles=form), kenyataan dipandang sebagai realitas yang terdiri dari unsur-unsur yang “terpisah-bedakan”. Ketika itulah segala sesuatu dilihat, diukur dan diidentisikasi dengan perbedaan (divergensi), dan bahkan pemisahan-pemisahan (limitasi) bentuk, ukuran dan kuantitas atau jumlah. Bahkan kualitaspun (nilai, esensi) akhirnya dikuantifikasi.

Tasawuf Wujudi Melihat Pluralitas Gender
Tasawuf Wujudi, khsusnya ibn ‘Arabi, memandang bahwa pluralitas alam semesta pada hakikatnya terjadi sebagai akibat dari ketidaksempurnaan alam semesta dalam mewadahi citra Ilahi (nama dan sifat). Citra Tuhan dalam alam mengalami “keterpilahan”, mewujud dalam fenomena yang saling berpasangan, bahkan dfalam wujud kualitas yang bertentangan. Fenomena kealaman ini pun terjadi pada manusia dalam dimensi ke-kosmos-annya (jasmaniah, biologis). Salah satunya adalah munculnya gendre laki-laki dan perempuan. Pembedaan jenis manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin dan alat penunjang reproduksi lainnya. Sementara secara ruhaniah, tidak ada cerita tentang pembedaan itu, bahkan dari sisi bahasa sekali pun.
Keterjebakkan manusia dalam dimensi plural (ruang-waktu, bentuk) ini menyeret manusia pada kecenderungan melakukan pengkutuban, dan pemilahan. Cara pandang dan cara hidup yang mengkutub ini telah menjadikan tidak seluruh manusia berada dalam tingkatan Insan kamil. Dengan demikian, manusia sebagai wujud yang berada dalam tingkatan insan kamil pada “proses” tajalli Allah pada alam fenomena real, menjadi realitas potensial, karena terhijab atau tertekan oleh perspektif kealaman selama manusia hidup dalam atmosfir alam material. Dengan kata lain, sebenarnya manusia masih memiliki potensi untuk kembali pada kedudukannya sebagai Insan Kamil, wadah Cintra Ilahi. Suatu keadaan yang tidak terjebak oleh pluralitas bentuk (ruang-waktu).

Berpijak pada konsop tajalinya ibn ‘Arabi, kita dapat melihat bahwa nama dan sifat Allah yang pada asalnya merupakan satu kesatuan integral dalam pengetahuan Allah pada tajalli dzati, mengalami “kesatuan-yang-terpilah” dalam tajalli syuhudi. Ketika terjadi tajalli syuhudi pada alam semesta, sifat tuhan mewujud dalam fenomena yang saling berpasangan.

Dunia sufi, diyakini bahwa Tuhan adalah Yang Sempurna, asal dari segala hal dan tempat kembali segala hal (Inna lillahi wa inna ilahi rajiun). Kesempurnaan (Kamal) ini terjelma dalam dua hal: ketakterbandingan dan keserupaan. Ketakterbandingan ini terkait dengan nama-nama Mahakuasa, Maha Tak Terjangkau, Maha Tegas –semuanya terjelma dalam nama-nama keagungan (jalal), atau hebat (qahr), atau adil (`adl), atau murka (ghadhab).

Sedang Kasempurnaan menjelma menjadi dalam nama-nama keindahan (jamal), atau kelembutan (lathif), atau anugerah (fadhl), atau rahmat. Jika dikategorikan, ketakterbandingan ini bisa disebut sifat Jalal dan kesempurnaan disebut sifat Jamal. Dalam hubungannya dengan manusia, Jalal ini (keagungan, kebesaran, kekuasaan, kontrol, dll) menjadi sifat maskulinitas; dan Jamal (kepasrahan kepada kehendak, kelembutan, dan resepsivitas) menjadi sifat femininitas.
Dunia perempuan dengan demikian adalah dunia Jamal yang menjadi pasangan bagi dunia Jalal. Keduanya berelasi secara harmoni; perpisahan akan menyingkirkan kemungkinan manusia merasakan ke-Kamal-an Tuhan. Pernikahan menjadi cara untuk mendapatkan ke-Kamal-an (kesempurnaan utama) tersebut. Sepeerti halnya penyatuan yang sempurna antara jasad dan ruh pada manusia. Oleh karena itu Islam mengganggap suci dan agung terhadap sebuah pernihakan, keluarga. Karena, melalui pernikahan terbentuk kesatuan yang sempurna antara “laki-laki” dan “perempuan”, yang dari penyatuan itu, manusia akan mampu mewarisi sifat kreator Tuhan. Melalui pernikahan, manusia menjadi co-creator Tuhan.

Contoh sederhana, hanya lewat pernikahanlah manusia bisa mewarisi sifat Creator Tuhan, menjadi co-creator dalam menghasilkan manusia baru. Tanpa pernikahan, manusia tak bisa mencipta anak manusia. Pernikahan sebenarnya adalah model dari apa yang seharusnya dilakukan manusia di ruang sosial yang lebih luas ketimbang keluarga. Artinya bahwa dunia tercipta dalam kesempurnaan jika dan hanya jika kemaskulinan dan kefemininan bersatu dalam ko-relasi harmonis.

Pernikahan meruapakan gambaran tajlli Tuhan yang paling sempurna. Manusia dalam realitas ruhaniah adalah keadaan ahadiayat, dimana ia tidak bisa diidentifikasi dalam pembedaan kategori, kamal. Ia merupakan kenyataan tunggal yang tidak terbatas dalam pengetahuan Tuhan. Dan, ketika ia “turun” kedua dalam manifestasi jasadiah, ia mewujud dalam wujud yang berpasangan, jamal (perempuan) dan jalal (laki-laki). seperti halnya ketika tuhan bertajali dalam realitas alam semesta; Nama dan Sifat (citra) Tuhan mewujud dalam bentuk yang saling berpasangan, Jamal (kelembutan, kasih-sayang) dan jalal (kekuasaan, keperkasaan).
Namun ada masalah lain, apakah jalal hanya menjadi milik lelaki sebagaimana jamal hanya milik perempuan? Dunia Sufi menyatakan tidak. Ada banyak lelaki yang lebih perempuan ketimbang perempuan, dan sebaliknya.

Kenyataan ruhaniah adalah kenyataan yang sempurna tanpa perbedaan dan keterpilahan karena ia satu, kamal. Pembedaan terjadi hanyalah ketika ia memanifestasi dalam dunia kosmos, manusia menjadi mikro-kosmos, secara jasmaniah. Akan tetapi secara ruhaniah ia tetap sebagai kenyaan kamaliah. Karakteristik psikologis yang sering bering berbeda antara perempuan dan laki-laki lebih di karenakan oleh wadah yang secara biologis “berbeda”. Hal yang kemudian melahirkan perbedaan persepsi dalam fungsi dan peran sosial-budayanya. Namun demikian, keberbedaan tersebut bukan keberbedaan menjadikannya terpilah, akan tetapi keberbedaan yang melahirkan sinergi. Senergi untuk menyatu dan kembali pada posisi awal atau esensinya, sebagai kenyataan ahadiat.

Dengan demikian, tasawuf memandang bahwa secara ruhaniah (spiritual) pemilahan laki-laki dan perempuan secara biologis dianggap semu, yang ada adalah perwujudan kamaliyah ruhani yang memanifestasi menjadi sifat atau karakter jamal (perempuan) dan jalal (laki-laki), seperti ahadiyat tuhan yang bertajali dalam sejumlah nama yang sangat banyak yang saling berpasangan. Bila satu nama disebut itu berarti menyebut nama lain demikian pula nama pasangannya. Maka dalam Islam, tasawuf, penyebutan laki-laki secara maka eksplisit disebutkan pula di dalamnya peremuan, demikian pula sebaliknya. Itulah manusia.
Dunia tasawuf memberikan contoh perempuan yang telah menjadi manusia, karena telah menemukan kelelakian dalam dirinya, ialah Maryam –Ibunda Isa al-Masih– atau Fathimah –putri Rasul. Tentang Maryam Attar mengemukakan: “Jika nanti di Hari Kebangkitan seruan itu disuarakan, “Wahai Kaum Pria!” Maka orang pertama yang melangkah ke barisan kaum pria adalah perawan Maryam.” Abu Yazid mengemukakan hal lain mengenai Fathimah, “Jika seseorang ingin melihat pria tersembunyi di balik pakaian wanita, tampakkan padanya Fathimah.”

Anggapan ini berimplikasi pada penafsiran. Jalaluddin Rumi, Sufi asal Anaatolia, Turki, secara khas, misalnya, memahami semua penyebutan tentang kaum wanita bukan dalam kategori jenis kelamin namun lebih pada penunjukkan sifat negatif yang dimiliki manusia. “Ketika Nabi berkata, tempatkan kaum wanita di belakang, yang dimaksudkannya adalah jiwamu. Sebab ia harus ditempatkan paling belakang, dan akalmu yang paling depan.”

Makna dari apa yang dituliskannya, Rumi jelaskan kemudian dengan tafsir esoterisnya. Ia lakukan ini karena ada banyak kesalahan tafsir orang dalam memahami kata wanita dan lelaki dalam Islam.

Sebuah kisah tentang pria dan wanita telah diceritakan. Anggap itu sebagai perumpamaan dari jiwa dan akalmu.
“Wanita” dan “pria” ini, yakni jiwa dan akal sangat diperlukan bagi eksistensi kebaikan dan kejahatan.

Siang dan malam dalam dunia penuh debu ini adalah dua wujud yang berperang dan bertikai. .
Wanita selalu menghasratkan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga –reputasi, roti, makanan dan posisi.

Seperti seorang wanita, jiwa kadang-kadang menunjukkan kerendahan hati dan kadang-kadang mencari kepemimpinan untuk mengobati keadaannya.

Aku sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa tentang pikiran-pikiran ini. Pikirannya hanya berisi kerinduan pada Tuhan.

Dalam pandangan kualitatif ini, seorang “pria” adalah seorang yang akal atau ruhnya mendominasi jiwanya, apa pun jenis kelamin biologis orang itu. Demikian pula seorang “wanita” adalah seseorang yang akal dan ruhnya ditaklukkan oleh kecenderungan-kecenderungan negatif jiwa: ketika langit telah dikuasai secara semena-mena oleh bumi yang “memberat”. Karena menjadi “lelaki” di dunia mistik berarti telah menjadikan jiwanya melayani akal. Orang tidak mungkin menjadi seorang wanita sempurna tanpa lebih dahulu menjadi manusia sempurna.
Dengan kata lain, seorang manusia sempurna dapat menjadi wanita hanya jika dia menjadi “pria” dalam pengertian normatif. Ciri-ciri gender yang khas dari seorang wanita mencapai kesempurnaan dari aktualitas mereka baru setelah dia mencapai kesempurnaannya sebagai manusia (insan Kamil). Wanita juga diciptakan dari citra Tuhan –meskipun dalam bentuk lahiriahnya ia mewujudkan kecintaan, keindahan, belas kasih, kebaikan dan kelembutan Tuhan secara lebih langsung ketimbang seorang pria. Baru setelah ia sendiri sepenuhnya menyatu dengan Tuhan sepenuhnya menyatu dengan Tuhan maka dia dapat menjadi manusia sepenuhnya dan wanita sepenuhnya. Abd Al-Razzaq Kasyani menjelaskan hubungan lelaki dan perempuan dalam perjalanan menuju kesempurnaan:

“Perempuan adalah bentuk luar dari jiwa, sementara pria adalah bentuk luar dari ruh. Jiwa adalah bagian dari ruh, sebab jiwa adalah salah satu dari entifikasi yang termasuk di bawah ruh pertama, yang dikenal sebagai “Adam sejati”. Jiwa adalah salah satu turunan dari Ruh ini. Maka wanita dalam realitas adalah turunan dari lelaki, dan setiap bagian merupakan bukti dari asal akarnya. Jadi wanita adalah bukti dari pria dan pria adalah bukti dari lelaki sebab Nabi berkata, “Barangsiapa mengenal jiwanya akan mengenal Tuhannya” . Bukti itu sendiri mendahului sesuatu yang dibuktikannya. Maka ia menempatkan wanita di tempat pertama.”

Manusia yang telah mampu mengharmonikan antara unsur jamaliyah dan jalaliyah dalam dirinya ia akan sampai pada derajat Insan Kamil, mansuia sempurna. Manusia yang telah tidak memandang (melihat) aspek-aspek semu dalam dirinya (jasadiah, jenis kelamin). Ia berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, berasal dari ahadiyat kembali pada ahadiyat. Bila telah demikian, maka akan terjadi apa yang dikatakan kaum sufi : barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai: barang siapa yang telah kembali pada dirinya (fitrah) maka ia akan kembali pada Tuhannya. Wallahu‘alam.

PENULIS adalah mursyid LPIK UIN Sunan Gunung Djati

Tuesday, December 11, 2007

Sajak

Sajak Ahmad Sahidin
wasiat

istriku…
jarum jam tak henti-henti kabarkan batas
kehidupan tak lain jalan Ilahi

peganglah kuat-kuat imanmu
karena aku tak pernah bisa perkirakan
kapan dan dimana aku lengah
lalai dari kewajibanku
padamu
juga pada Ilahi

karena setiap detak jantung dan denyut nadi
adalah ayat tak tersirat
yang harus dibaca
ditafsir
diresapi

istriku…
kutahu aku akan tiada
mungkin hanya nama yang kau ingat
–karena telah berlalu orang-orang yang kucinta
bahkan para utusan Tuhan

tengoklah jejak-jejak orangtua dan para guru
di sana ada ayat bahwa hidup dan mati
bukan punyaku
bukan punyamu

kutahu matamu basah kala ajal tiba
jelajahi relung-relung tak berwaktu

istriku…
ingatlah nafas hanya tanda
hidup sebatas singgah

istriku…
usaplah airmatamu
karena tiada musibah yang paling berat dibandingkan dengan musibah Al-Musthofa
Nabi Muhammad Wa Ahlulbaytihi

Allohumma Sholli Ala Muhammad
Wa Ala Ali Muhammad

istriku…
ingatkanlah
bila suatu hari aku lengah dan lalai
bila suatu hari aku tak amanah
bila suatu hari aku tak sadari dosa-dosaku

istriku…
gumamkanlah bacaan keramat tadi
setiap waktu
saat kau merasakan betapa beratnya menjalani hidup

semuanya harus dijalani
semata-mata karena Allah

istriku…
berdoa dan yakinlah
ini jalan terbaik menuju-Nya

2007

Sajak

Sajak Pradewi Tri Chatami
masih belajar

aku menjumpaimu bagai sisa igau panjang
dari mimpi yang lengang.
Kau datang dengan kegelapan,
sisa cahaya berkilat dari pedang berkarat,
Ksatria terluka atau
penjahat yang nyaris tamat riwayat.
Semua ku abai-tanggap,
aku mesti sigap menerima sergapmu


aromamu serupa maut,
kuhirup dalam,
sebelum akhirnya sadar,
wajahmu lembayung mawar
dan tawamu adalah
lagu musim semi
kau bukan mati
yang tengah kunanti

Iqra..

Bacalah
Oleh Fani Ahmad Fasani

Dalam goa yang gelap, beliau berpuasa dan sering memikirkan tentang beragam hal dari masyarakatnya yang telah begitu lupa akan kebiasaan lama yang wajar dipertahankan. Ia berada disana sejenak mengundurkan diri dari dunia, maksudnya bukan berarti menyangkal dunia dan merasa mampu untuk mengatasinya.

Toh, goa bagian dari dunia. Tetapi kiranya dibutuhkan jarak yang cukup untuk meletakkan hal ihwal dimana kita bisa kerasan memahaminya. Gua Hira tepat di luar Mekkah, berpuasapun mungkin upaya mengambil jarak dari hasrat, dari selera. Ah, aku hanya mampu menebak-nebak tentang hal itu, namun sejarah memang mengatakan bahwa malam kemarin itu atau tepatnya di tanggal ini berbelas abad yang lalu. Ayat pertama itu tertangkap titik bening manusia yang terpilih.

“Bacalah”, (mungkin ada saja hal yang luput terbaca).

”Aku tidak mampu membaca”.

“Bacalah”, (mungkin pembacaan tak pernah bisa selesai sebelum hayat usai)

“Apa yang harus kubaca?” (ada kesepakatan apa antara kata dan tanda baca)

“Bacalah atasnama tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah”.

Ini bukan peristiwa biasa tentunya, meski tak satu huruf kutahu, meski tak sejarak aksara sepakat serta-merta. Waktu memang memilihkan kabar baik bagi kita dan semesta. Tapi tunggu, apa yang diratapi beliau ketika itu? Aku membayangkan banyak orang mulai kaya di suatu daerah, lalu apa masalahnya? Aku membayangkan perdagangan dan ekonomi beranjak hebat di suatu waktu, tapi mungkin juga seiring dengan menjulangnya kesenjangan, kecemburuan, potensi perang dalam eram siap tetas kapan saja. Tentu saja, cara baca yang berlandas pada hal-hal di luar tuhan hanya menampilkan kesia-siaan yang gemilang, terjatuh pada cemas yang itu-itu juga. Kita hanya layak bersyukur sejak itu ayat turun berangsur.

Bukankah ayat adalah segala ada, segala hampar dan segala pernah. Yang jadi masalah adalah keterbacaan yang mulai terpejam, hingga manusia beranjak kejam. Orang-orang sewaktu itu terlanjur membaca dirinya atasnama yang bukan tuhan, tetapi atasnama kebendaan yang berlebihan. Jalur perdagangan menyibukkan nalar akan laba, seteru antar kaum, maka jalan pintas berhala menjadi pilihan mudah untuk sebentar menawar lelah. Lewat manusia terpilih ini kita disadarkan kembali untuk membaca segala hal dengan lebih jeli. Atasnama tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah.

Kita terlalu mengenal dunia seperti ini, maksudku dengan orang-orangnya yang begitu sibuk di benda-benda, seteru menyeru-nyeru, atau dengan cara baca standar yang memberhalakan aksara. Atau mungkin memang seperti inilah, dunia akan selalu bernasib sebagai perkakas hasrat? Tapi tentu yang kita lawan bukan dunia, mungkin keterlenaan lekat tanpa jarak dalam urusannya. Aha, lihat di hari-hari libur. Orang berbondong keluar kota, menciptakan kemacetan rutin dan lampu-lampu villa serentak menyala. Alih-alih untuk ber’puasa’ dan secukupnya menjamah jarak, tetapi kukira mereka menguji naluri, mungkin sekedar mengisi spasi hari-hari. Apakah ini bagian pengalihan sensasi yang justru mengasah hasrat dalam lembab temaram kolong kesadaran dimana Freud bertepuk tangan di selangkangan? Ah, mereka memang tidak hendak mengambil jarak itu, mereka hanya berbelanja suasana.

Aku tidak tahu se-jarak bagaimana setiap hal ihwal terbaca, menepi di bening diri. Kita pernah dibimbing cara baca yang semestinya, lewat nabi sebagai yang terakhir, beliau takkan lagi hadir. Sedangkan kita, masih saja, lebih sering takut untuk terkucil daripada membaca dengan cara yang jahil.

Nuzul al-Qur’an 1428 H

Adakah..?

Mengeja Ulang Gerakan Mahasiswa: Apatis dan Politis
Oleh M Alzybilla


Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam bagan penimba ilmu pengetahuan (pelajar, student), dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan kognitifme berpikir-baca rasionalitas-maka maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak disetiap persoalan. Hal inilah yang menurut penulis sebagai modal mahasiswa menunjukkan identitas dan eksistensinya dengan berbagai model gerak dan kiprah dimasyarakat maupun bangsa dan Negara. Padahal tidak ada aturan yang yang membedakan antara mahasiswa dan pelajar dalam gerak maupun kiprahnya dalam masyarakat secara aktif semisal advokasi, demo dan sebagainya.


Perwujudan eksistensi inilah yang menimbulkan berbagai macam bentuk peran yang dilakukan oleh mahasiswa yang tentu saja peran itu sesuai dengan kapasitas pikiran mereka. Tak dapat kita pungkiri berbagai macam organisasi yang ada ditingkat mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus merupakan salah satu dampak dari polarisasi pikiran mereka.

Setiap mahasiswa mempunyai kemampuan berpikir dan bertindak yang berbeda dalam pribadi mahasiswa. Sebagaimana oleh Malik Fajar (mantan menteri pendidikan cabinet gotong royong di era pemerintahan Megawati Soekarno Putri) model mahasiswa di klasifikasikan menjadi 3 macam. Pertama, Mahasiswa Utun. Tipologi mahasiswa yang seperti ini adalah mahasiswa yang tekun dalam bangku perkuliahan. Kedua, Mahasiswa Unjuk Diri. Sebagian besar mahasiswa adalah generasi pertama yang mengenyam pendidikan Tinggi artinya kebanyakan dari orang tua mereka adalah lulusan SLTA maupun di bawahnya sehingga hal ini menimbulkan kesadaran dalam diri mereka untuk berubah di kalangan keluarga mereka meskipun kondisi ini kadang harus berbenturan dengan faktor ekonomi,dan ketiga, Mahasiswa Asal Katut, Tipologi mahasiswa yang seperti ini adalah model mahasiswa duduk di bangku perkuliahan apa adanya bisa kita katakan sebagai pemburu nilai C

Mahasiswa adalah kalangan terpandang dalam sruktur pendidikan yang perannya sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan. Hal ini sebenarnya modal yang sangat berharga yang harus dapat di dayagunakan oleh mahasiswa sebagai wujud dari eksistensinya. Lalu permasalahan yang timbul sekarang adalah sikap seperti apa yang harus di kedepankan oleh mahasiswa melihat realitas yang sedang berkembang. Jawaban dari pertanyaan ini adalah sebagaimana disepakati oleh banyak kalangan mahasiswa, Sikap Kritis. Sikap kritislah layak di pakai mahasiswa demi menjawab tantangan kedepan. Kritis ini akan membawa mahasiswa menuju cita-cita bangsa, mewujudkan kemakmuran dan keadilan masyarakat.

Kritis adalah sikap yang tegas/tanggap dan teliti yang dikaji secara mendalam dalam menanggapi setiap persoalan. Sikap ini akan mendorong perubahan secara bertahap karena dengan sikap ini mahasiswa dapat menjadi oposisi idealis-progresif yang selalu bergerak dalam jalur kebenaran, tidak mudah di tunggangi setiap gerakannya oleh oknum-oknum yang merusak citra mahasiswa, selalu melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penindasan. Jadi sikap yang harus dibumikan oleh mahasiswa sekarang ini adalah Kritis Progresif bukan Apatis (sikap yang tidak mau peduli) ataupun Prontal (keras dalam menyikapi persoalan, tidak fleksibel). Sikap apatis sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemerdekaan berpikir, juga nilai yang termaktub dalam tridharma perguruan tinggi yaitu pembelajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Nilai ini mengandung makna yang sangat mulia bila dapat terejawantahkan oleh mahasiswa secara proporsional dan progresif.

Sikap prontal atau ekstrim akan dapat kita pastikan membawa mahasiswa pada pemikiran dan gerakan yang mencerminkan klaim kebenaran,yang cenderung anarkis dan semena-mena. Masalah yang seharusnya dapat di ambil solusi malah menjadi bisa sehingga dapat melunturkan nilai humanisme maupun pluralisme, meskipun kita tidak dapat serta merta memberikan sikap yang cenderung menghakimi terhadap sikap prontal ini, tetapi dengan jelas dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam berpikir ataupun memecahkan sebuah persoalan jika tidak kita tempatkan masalah itu sebagaimna mestinya (proporsional) dan di kaji secara obyektif dan mendalam dari berbagai sudut pandang maka bukannya solusi yang kita dapatkan justru akan terjadi penyimpangan tajam terhadap persoalan tersebut.

Dari bebagai dua sikap yang kita analisa secara general maka sikap yang paling cocok dan representative terhadap dunia mahasiswa sebagai jawaban atas relitas yang berkembang adalah sikap kritis. Sikap inipun harus diberi batasan atau penjelasan menyeluruh mengenai bangunan terminologinya karena jika kritis tanpa aturan maka justru akan menjerumuskan kita pada ektrimisme pemikiran. Sikap kritis tidak akan menjeruskan diri kita pada degradasi pemikiran malah justru hal ini akan membawa kita pada proses penempatan masalah secara proporsional dan mendapatkan hasil maksimal. Sikap kritis ini membtuhkan kesabaran progresif revolusioner, artinya dalam menyikapi permasalahan kita kaji dulu dengan berbagai prespektif, alasan yang menjadi dasar permasalahan, siapa aktor dibalik permasalahan itu(baground atau ideologinya) dan seterusnya tetapi kita tetap berusaha dengan keras dan membaca secara serius serta mempertimbangkan dampak (ekses) atas permasalahan tersebut dan juga kita analisa ekses permasalahan tersebut ditangani dengan sikap kita. Permasalahnnya sekarang mampukah kita menahan diri kita untuk tidak bersikap reaktif prontal sebelum kita cukup bukti dan mengkaji lebih mendalam terhadap suatu permasalahan. Dewasa ini kita harus jeli dalam melihat realitas yang berkembang karena adanya globalisasi yang membuat sermakin tak ada batas antara suatu negara dengan negara lain yang dengan sendirinya apapun kebijakan yang diambil oleh suatu negara tak bisa dilepaskan begitu saja oleh pengaruh(lebih jauh intervensi) negara lain. Kalau kondisinya sekarang seperti ini. Bukankah kita membutuhkan kesabaran dalam melihat persoalan yang terbaca oleh pikiran kita yang harus mengarahkan pola pikir kita lebih luas (global) sehingga kita tidak tertsigma dalam berpikir hanya untuk hedonisme belaka apalagi jika solusi yang kita tawarkan justru menmojokkian diri kita sendiri apalagi bangsa kita. Kalau seperti ini kita coba introspeksi dalam diri kita mampukah kita bersikap sabar yang progresif revolusioner padahal sabar saja itu sangat sulit dilakukan, bukan?

*penulis adalah ketua umum Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman, sekaligus mahasiswa jurusan pengembangan masyarakat islam.

Wednesday, December 5, 2007

Buku

Buku: Sepiring Makanan!
Oleh Badru Tamam Mifka

Anggap saja buku yang akan kamu baca seperti
sepiring makanan yang menarik selera
Hingga kamu tak tahan ingin melahapnya
dan menceritakan rasanya
pada orang lain…

Kawanku yang baik.

Tiga hari yang lalu kamu memberiku sebuah buku tebal. Memang sih gak setebal The Origin of Species-nya Darwin atau buku penelitian Clifford Gertz tentang sistem kepercayaan masyarakat Jawa. Gak juga setipis Tukang Kebun-nya Rabindranath Tagore atau buku novel Seorang Gadis Memukul Pelipis karyaku.

Kamu bilang buku itu buatku. Tentu saja aku gembira. Tapi kegembiraanku hanya bernapas 3 menit lebih 9 detik saja dan tiba-tiba lepas, karena kemudian kamu bilang pemberian itu bersyarat: kamu minta aku meresensi buku itu buat tugas kuliah pacarmu; tugas kuliah untuk minggu depan! Aku bawa buku itu. Tapi lewat tengah malam, aku tak kunjung menulis resensi. Alih-alih memenuhi permintaan kamu. Aku malah menulis surat ini buat kamu.

Kawanku yang baik.

Bukannya aku gak gembira tiba-tiba dapat buku gratis. Tapi apakah kamu gak tertarik untuk bisa menulis resensi? Tapi apakah kamu gak punya sedikit waktu luang untuk menulis resensi buku? Aku bersyukur jika kamu sudah ngerti gimana menulis resensi. Kalau belum, marilah kita sama-sama belajar memahami tentang resensi buku yang akan aku tulis ini…

Nah, terlebih dahulu, aku ingin menjelaskan sedikit tentang apa itu resensi buku sebelum kita sampai pada pembahasan gimana menulis resensi. Pada mulanya recensie. Kita dapat menemukan kata aneh itu dari bahasa Belanda. Tapi, konon, orang Belanda ketiban kata tersebut dari bahasa latin: recensere, yang bermakna memberi penilaian. Kalau orang inggris sih menggunakan istilah review untuk mengupas isi buku, film, pertunjukan musik, drama dan sebagainya. Dari asal kata tadi, maka resensi buku dapat dimengerti sebagai langkah memberi penilaian, mengungkapkan kembali isi buku, memberikan ulasan, membahas, mengkritik ataupun meringkas. Tentu saja dengan maksud menginformasikan apa saja yang termuat dalam buku itu secara sekilas pada orang lain. Dan kamu juga perlu tahu, orang dapat menyebut banyak nama lain bagi resensi, seperti bongkar buku, bedah buku, apresiasi buku, ulasan buku, berita buku, maktabah, rehal dan sebagainya.
Kawanku yang baik.

Sebelum menulis resensi, kamu harus yakin dulu bahwa kamu sudah bisa menikmati seluruh isi buku yang akan di resensi. Kamu bisa membayangkan tengah duduk di hadapan meja makan sambil menikmati sepiring makanan yang mengundang selera makanmu. Bacalah, nikmati dan pahami rasa buku itu. Di daftar itu misalnya kamu menemukan menu makanan malam ini adalah meringkas, menjabarkan, menganalisis, membandingkan dan memberi penekanan. Anggap saja itu menu makanan yang sebentar lagi akan kamu lahap dalam proses meresensi buku.

Menu pertama

Misalnya kamu memilih menu meringkas untuk meresensi malam ini. Di menu pertama ini, kamu bisa menulis resensi sebuah buku dengan niat sekedar ingin meringkasnya. Boleh saja. Disana kamu dapat meringkas berbagai macam persoalan dalam buku itu menjadi sebuah uraian yang padat dan jelas. Kamu bilang saja: “aku pingin meringkas buku ini.” Kamu baca lagi bukunya, dan kembali mengingat isinya dengan buku tertutup. Kamu bisa andaikan cara meresensi jenis ini seperti kamu menceritakan kembali sebuah novel yang baru saja kamu baca pada teman kamu. Tentu saja kamu gak akan nyeritain semua tulisan dalam buku novel itu, kan? Tapi kamu hanya akan nyeritain inti cerita novel itu dengan bahasa sendiri. Mudah, kan?

Menu Kedua

Malam berikutnya, misalnya kamu pilih menu kedua, yaitu menjabarkan. Cara kedua ini dipakai untuk meresensi buku-buku yang sulit dipahami oleh kaum awam, seperti buku-buku jenis terjemahan atawa disiplin ilmu tertentu. Nah tugas kamu menjabarkan muatan buku itu dengan bahasa yang akan lebih dipahami pembaca. Tapi jangan gegabah kalau meresensi buku yang berada diluar bidang keilmuan kamu. Bukan gak boleh, tapi kamu mesti hati-hati dan sangat perlu meminta komentar atau diskusi terlebih dahulu dengan ahli dibidangnya. Ibaratnya kamu mendiskusikan menu makanan yang tengah kamu lahap. Kamu bisa bertanya pada tukang masak atawa orang yang ngerti masakan tentang makanan yang ada dihadapan kamu: dibuat dari apa, bumbunya apa, di campur apa dan seterusnya sampai kamu tahu banyak tentang makanan itu.

Bersambung…