Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, February 13, 2008

Melek

Kala, Post Melek Media, Kapan Giliran Anda?
Oleh Admin

Siapa bilang Keluarga Besar Lembaga Pengkajian Ilmu Keislama (KB LPIK)Bandung tak punya karya monumental?

Hmm..hmmm…Pengen buktinya, Antologi 11 Titik (2007), Oposisi Rice Cooker (2007). Kedua kumpulan tulisan itu merupakan buah karya lembaga kajian. Belum lagi yang tersebar di bulletin Lateral dan dunia maya; website [www.lpikbandung.blogspot.com] atau blognya masing-masing.

Nah, yang lebih mengherankan lagi. Kini, Korp Post (Alumni) mulai melirik media cetak. Lihatlah, Tedi Taufik Rahman, mantan Ketum masa bakti 2006-2007 sudah 4 (empat) kali pernah nongol di Kampus Pikiran Rakyat (PR); Semangat Idulfitri, Semangat Toleransi [18/10/2007], Surat (Protes) Akhir Tahun [03/01/2008], Beckett Dan Riwayat Menunggu Godot [13/12/2007] Anton Chekov, Raja Cerpen Dari Rusia [24/01/2008].

Tak mau ketinggalan, Badru Tamam Mifka, mantan Ketum periode 2005-2006 1 (satu) kali mejeng di kolom Kampus PR; Menggugat Narsisme Religiusitas [27/12/2007]

Pun Ibn Ghifarie, mantan Sekum tahun 2003-2004 2 (dua); 1 (satu) nampang di Kampus PR; Cheng Ho, Pejuang Risalah Islam Yang Terkubur [31/01/2008] dan 1 (satu) lagi di Kompas Jabar; Imlek dan Solidaritas Antarumat Beragama [02/02/2008].

Kendati tak pernah mencantumkan LPIK. Namun, tiga tradisi; menulis,membaca dan berdiskusi kian tumbuh pada diri mereka. Pasalnya, mantan pengurus itu masih sempat menulis di harian umum sekalipun.

Inilah karya berharga dari lembaga. Hayo..kira-kira kapan mau meniru sekaligus melanjutkan kebiasaaan konon beradab itu?

So..pasti 3 (tiga) orang keloter pertama yang duluan tampil di Media cetak manapun akan mendapatkan `kenang-kenangan dan uang pembinaan' dari Korp Post.

Informasi selanjutnya, hubungi 081809409807 (Kordinator Post), 085222255600 (Sekretaris Post) [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 03/02/2008;16.23 wib

Gejolak

Pergolakan Pemikiran Islam
Oleh Ahmad Sahidin

SEORANG anak muda yang agak nyeleneh, almarhum Ahmad Wahib, berani mempertanyakan hakikat Islam. Dalam buku PERGOLAKAN PEMIKIRAN ISLAM; Catatan Harian Ahmad Wahib, tertulis :

"Aku belum tahu apakah islam itu sebenarnya, aku baru tahu islam menurut Natsir, islam menurut Hamka, islam menurut Ulama-ulama kuno dan islam menurut yang lain-lain; terus terang aku belum puas, yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yakni islam menurut Allah, pembuatnya, bagaiamana langsung dari studi al-qur'an dan sunnah? Akan kucoba, tapi orang-orang lain pun beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah islam menurut aku sendiri. Tapi biarlah, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu?"

Di catatan tersebut Ahmad Wahib berusaha ingin mendapatkan kebenaran atas apa-apa yang diragukannya. Dan memang kebenaran adalah sesuatu yang harus dicari, dicari hingga kita tahu bahwa itu sebuah kebenaran.
Seorang penyair Iran yang bernama Mohsen Makhmulbar pun bersyair :

†kebenaran adalah ibarat cermin yang diberihkan tuhan
dan kini telah pecah
lalu tiap manusia memungut pecahannya
dan tiap orang melihat pantulan di dalamnya;
dan menyangka telah melihat kebenaran"

sajak ini kemudian ditambahkan oleh Goenawan Mohamad-jurnalis majalah TEMPO, "bahwa sangat repot jika kemudian ada yang menggunakan pecahan kaca itu untuk menusuk orang lain, yang punya pecahan kaca lain".

Ya... wahib memang eahib. Berbeda dengan Gus Dur dan Nurkholish Madjid. Yang tak habis kupikir, kok bisa ya Wahib nyeleneh?

Tapi bila kulihat di sejarah memang banyak sih yang sepertinya. Rata-rata mereka yakin dengan kebenarannya. Dipertahankan sewmikian rupa, hingga ajal pun menjemput—dibantai-diracun-dianiaya-dan bahkan dihukum mati.

Wahib, wahib, kok nyeleneh sih.? Ya tapi kan lu memang berhak gitu. Sampai wafat pun kau masih dikenang. Nurkholish Madjid (Cak nur) juga begitu. Hingga kini, kurasa belum ada yang buat geger seperti Cak-Nur dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia. Ulil Abshar Abdala, gembong Jaringan Islam Liberal, malah kabur ke Amerika. Katanya sih nyantri. Wah, gimana ya, sekarang ini Indonesia kayaknya sudah tak ada lagi yang nyeleneh.

Namun alhamdulillah masih ada GUS DUR dan guruku, Ustadz Jalaluddin Rakhmat, yang masih istiqomah meneriakan kebebesan berpikir dan nilai-nilai pluralisme serta menyebarkan Islam yang mencerahkan.

Aku harap Islam Indonesia yang dibawa para cendekia dan generasi muslim muda sekarang, tak seseram yang kulihat di TV. Moga aja ya...

Sunday, February 10, 2008

Fatwa

Kala Fartwa Jadi Penjara

Kala fatwa jadi penjara
Agama hanya menjadi panggung lembaga belaka
Keyakinan menjadi di kebiri, tak menjadi esesnsi ilahi
Karena fatwa menjadi berhala baru
Untuk memburu napas-napas Tuhan yang sendu dan ayu
Seolah-olah mereka menggenggam kemutlakan kebenaran
Menghegemoni keyakinan menjadi ruang sempit

Keyakinan bagaikan di penjara
Di balik jeruji-jerugi yang konservatif
Wajah-wajah tuhan yang sejuk dan bersinar
Telah dibunuh oleh fatwa-fatwa murka
Mereka memperkosa Tuhan, merusak arti keyakinana
Kriminalitas keyakinan telah berserekah
Telah mendarah daging, telah mendunia di saentero jagad raya, jagad manusia yang terluka
Darah-darah bergelimangan dan leher-leher tertebas oleh pedang-pedang kebencian
Hati menjadi gelap oleh gelora nafsu dogma-dogma
Yang berkarat dalam hasrat yang keparat

Puisi

Surgaku

Kumasuki pintu surga
Kutak melihat benda-benda hidup
Surgaku telah diam
Tak lagi kudengar gemuruh hati menggebu-gebu
Tak melihat lagi manusia dor-dar berwacana
Berpikir jungkir balik
Membedah kegelapan dengan pisau Tuhan yang tajam
Namun tumpul

Karena pisau ini telah berkarat
Terbunuh oleh seongkok kemalasan dan keegoisan
Terbunuh oleh diri kita sendiri
Sedih merintih bahkan ngikilku terasa
Sugraku kapan kau akan kembali bangkit
Memunculkan lagi taringmu yang tajam kelam
Memukau semua orang
Dengan raunganmu yang keras
Membuat semua orang merinding mendengar raunagnmu
Surgaku kau adalah secercah kelompok bagiku
Kelompok untuk tempat berteduh
Untuk mengeluarkan letih kesah dalm jiwa ini
Dan membangun kekuatan dengan gegap gempita
Menerjang ilalang-ilalang yang merodang dalam tulang
Karena terhjalnya jalan ini
Tapi deganmu ku tetap kokoh dan berdiri

Tuesday, February 5, 2008

Pupujian

'Pupujian' Bentuk Kearifan Urang Sunda
Oleh Sukron Abdilah

Islam sebagai satu agama diyakini berasal dari Tuhan, sedangkan budaya lokal (Sunda) berasal dari hasil olah karsa, karya, dan cipta manusia Sunda hasil dari dialektika dengan realitas hidup. Produk kebudayaan urang Sunda itu tidak sepenuhnya hasil murni kreativitas masyarakat Sunda, tapi ada akulturasi ataupun hibridasi dengan kebudayaan yang dibawa orang-orang di luar Sunda. Begitu juga antara Islam dan Sunda. Keduanya akan saling memengaruhi sehingga melahirkan ritual keagamaan dalam bingkai budaya
yang me-lokal.

Agama (Islam) di tatar Sunda akan bermetamorfosa ke dalam pelbagai bentuk, sebagai “akibat samping” dari respon, kreasi atau reaksi para penyebar agama Islam dan
kekukuhan masyarakat Sunda memegang kebudayaannya ketika berdialektika dalam sebuah ruang-waktu yang temporer. Alhasil, dengan pertemuan antara Islam atau agama lain dengan realitas kultural masyarakat etnik Sunda, lahirlah apa yang diistilahkan dengan kearifan lokal (local wisdom) dalam beragama.

Lantas, pertanyaan yang mesti kita kemukakan pada tulisan ini, adalah: bagaimana posisi ajaran Islam ketika tersebar di wilayah tatar Sunda? Apakah Islam mendapat perlawanan sengit, penolakan halus, ataukah urang Sunda berkorvegensi dengan nilai-nilai Islam dalam merancang bangunan kebudayaannya? Terakhir, apakah nilai-nilai Islam “meng-ada” di tatar Sunda hanyalah untuk menyingkirkan nilai-nilai lokal yang sebetulnya memiliki derajat kebenaran ontologis yang sama dengan nilai-nilai agama yang berkarakter universal, termasuk Islam?

Akulturasi Islam dan Sunda

Secara historik, menurut Ayatrohaedi (1986), masuknya Islam ke tanah Sunda diperkirakan pada masa Prabu Siliwangi. Sebelum Sunan Gunung Djati menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa (1527), boleh dikatakan masyarakat Sunda secara kultural bercirikan keislaman. Menurut Saini KM (1995), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena secara kultural di antara keduanya (Islam dan Sunda) mempunyai persamaan paradigma yang bercirikan platonik. Maka, tak mengherankan jika Sunda sebagai kebudaayaan, bisa “bermanunggal ria” dengan Islam sebagai satu agama, yang diyakini oleh para penganutnya memiliki kebenaran-kebenaran universal. Bahasa antropologi budayanya adalah akulturasi.

Akulturasi Islam dengan Sunda bisa dilihat dari seni yang berkembang sampai sekarang dan masih dipraktikkan masyarakat Sunda pedesaan yang berasal dari muslim Sunda tradisional. Misalnya seni arsitektur mesjid yang menyerupai tiga konsep tangga kehidupan umat Sunda berbentuk “nyuncung” sehingga masjid dikenal dengan bale nyuncung.

Selain itu, ada naskah kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegon sebagai proses kreatif masyarakat Muslim Sunda, yang dahulunya mungkin dikategorikan modern, tapi sekarang – karena ada proses Indonesianisasi, Latinisasi dan Englanisasi – huruf pegon sebagai hasil dari dialektika budaya Sunda dan Arab Islam, menjadi terkubur dan menghilang; kecuali di pesantren-pesantren salaf tradisional masih ada santri yang ngalogat dengan menggunakan aksara pegon.

Banyak ulama zaman bareto yang menyusun kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegon ataupun aksara Latin, seperti yang terdapat di dalam tradisi pesantren tradisional. Ulama atau ajeungan itu diantaranya: KH. Ahmad Sanusi, KH Ahmad Maki bin KH Abdullah Mahfud, Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar, ‘Abdullah bin Nuh, dan masih banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan dalam tulisan ini.

“Pupujian”, cermin kearifan

Dalam seni suara pun, kita pasti pernah mendengar lantunan “pupujian” bertajuk “Anak Adam” di mesjid-mesjid atau di tajug pada masyarakat agraris, sebagai berikut: “Anak Adam urang di dunya ngumbara/umur urang di dunya moal lila//anak adam umur urang teh ngurangan/saban poe saban peuting di kurangan.” Kalimat “pupujian” atau “nadhoman” ini memiliki semangat profetik, yakni betapa tidak hidup itu akan berakhir dan menyadarkan para pemuji dan pendengarnya untuk menunaikan shalat ketika adzan telah dikumandangkan. Ini juga mengindikasikan urang Sunda memiliki semangat egalitarianisme dalam berinteraksi dengan masyarakat lewat cara mengajak Sunda Islam anu Eusleum secara lemah-lembut.

Mengapa “pupujian” dilakukan setelah selesai “ngong” adzan? Sebab, inti hidup yang mesti direfleksikan Muslim Sunda adalah membuat hidupnya lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian. Dengan mengingat kematian, maka diharapkan Ki Sunda dapat menghidupkan kembali sakralitas Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar tata-darigama yang sesuai dengan ajaran Agama Islam yang bernilai universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh budaya lokal.

Yang terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas “pupujian” jangan dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada sunah Nabi. Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan bahwa kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras. Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Garut, pun uwak – Ajeungan Abbas Ase – memberikan “pupujian” yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan jasad saya untuk terus beramal saleh.

Kalau tidak salah, bunyi pupujian itu sbb: “sanes bae yatim teh/nu maot ramana/sanyatana yatim/nu teu berelmu/ teu beramal//sanes kagindingan nu makean badan/saliim..saliim//. Syair dalam versi terjemahan berbahasa Sunda ini, tanpa disertai syair berbahasa Arabnya menyadarkan saya bahwa kemajuan peradaban ditentukan oleh ilmu dan amal. Tentunya, apabila merujuk pada “pupujian” tersebut, selain ilmu dan amal, yang wajib dimiliki oleh muslim Sunda, adalah: kedamaian menebarkan ajaran agama Islam. Itulah yang saya namakan dengan Ki Sunda Islam anu sawawa!

Oleh karena itu, untuk konteks kekinian di kedalaman jati diri urang Sunda mestinya ditanamkan kearifan dalam ngageum Agama Islam, guna menciptakan relasi social-keagamaan yang tidak meminggirkan pemahaman keagamaan teurah Ki Sunda yang lainnya. Ingat, bahwa Ki Sunda pun dahulu pernah jatuh hati pada agama Hindu dan Budha. Maka, Ki Sunda hari ini dan masa depan harus mewujud dalam wujud manusia yang mampu menafsirkan warisan kebudayaannya dan keberagamaannya secara arif dan bijaksana untuk kepentingan Sunda kiwari dan seluruh umat manusia. Itulah sumbangan Sunda buat bangsa, agama, dan Negara. Bahkan, buat dunia, lho! Ceuk kuring mah, nonoman Sunda anu nyanyahoanan. Wallahua’lam

Kebenaran

Perjalanan Mencari Kebenaran
Oleh Wanddi Irfandi

“anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory)

Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga yang taat pada pada tuhan. Berbagai ritual keagamaan yang, katanya, wajib dan atau sunnah dikerjakan. Ayahku adalah salah seorang pendiri sebuah pesantren yang cukup besar di daerah. Selain itu juga ia menjadi bendahara sekaligus “Pengawal pribadi” Sedangkan Ibuku menjadi bendahara Istri di pesantren tersebut. Anak-anaknya yang berjumlah 4 orang semuanya di sekolahkan di Pesantren tersebut. Tak pelak predikat anak sholeh pun melekat padaku.

Lingkungan masyarakat yang sangat patuh terhadap norma-norma agama semakin mengukuhkan predikat soleh tersebut. Sehingga segala tingkah laku, ucapan, dan tindakan yang kulakukan harus sesuai dengan norma-norma agama bahkan harus sesuai dengan yang diajarkan oleh guru (ustadz) di pesantren tersebut, tak peduli aku faham atau tidak.

Namun predikat sholeh tersebut tak membuatku bangga atau menjadi lebih alim (sholeh). Justru menjadi sebaliknya, kebingungan akan apa yang ku alami semakin menjadi, pertanyaan-pertanyaan yang katanya nyeleneh menjadi akibat yang tak terelakan dari kebingungan tersebut. Rasa terisolir justru yang terus menerus menyengat. Terbukti aku hanya diterima oleh kawan se-pesantren di antara kawan sebaya yang ada. Entah aku yang kurang gaul atau memang mereka terlalu sungkan terhadapku.

Ayahku yang menjadi pendiri sebuah pesantren, ternyata mempunyai latar belakang yang sama sekali jauh dari keagamaan. Ia menemukan pencerahan akan keagamaan justru setelah menjadi “pengawal pribadi” pimpinan pesantren. Itu pun dalam baca tulis al-Qur’an masih belum benar-benar lancar.

Sehingga yang dilakukan ayahku hanyalah sebatas mengurus keuangan pesantren dan itu sudah berlangsung + 5 tahun. Ayahku memang menguasai tentang akuntansi dan administrasi keuangan, ma’lum ia memang lulusan perguruan tinggi jurusan ekonomi dan akuntansi.

Berbeda dengan ibuku yang memang sebelumnya “katanya” sering ikut berbagai pengajian dan pendidikan keislaman walaupun ortodoks. Sehingga dalam hal pemahaman keagamaan cenderung lebih faham dari pada ayahku. Pun begitu dengan baca tulis al-Qur’an ia lebih lancar bahkan jauh lebih lancar daripada aku sendiri. Makanya ia senantiasa mengikuti pengajian dan senantiasa menjadi penda’i bagi kaum ibu-ibu.

Saat ini jadualnya dipenuhi oleh menghadiri pengajian di berbagai daerah, entah ia menjadi pembicara atau pun hanya sebatas hadir. Dalam satu bulan, biasanya ibuku menghadiri pengajian sampai dengan 3 kali di luar daerah dan setiap minggu mengisi pengajian di daerahnya di berbagai pondok pesantren atau mesjid.

Oleh karena itu anak-anaknya pun disekolahkan di pesantren dengan harapan mampu memahami dan pada akhirnya mampu mengamalkannya. Namun apa lajur keinginan yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Bahkan yang lebih parah dari 4 anak yang dimasukkan ke pesantren barangkali hanya satu yang “dianggap” berhasil lulus di pesantren itu. Sedangkan yang lainnya pindah ke sekolah umum dan tidak lagi melanjutkan pencarian ilmu keislaman.

Anak yang pertama pindah dari pesantren ketika memasuki kelas 2 dengan alasan ingin ikut jurusan IPA. Aku sendiri pindah ke sekolah umum waktu kelas 2 dan masuk jurusan Bahasa. Adikku yang lebih bungsu lebih parah lagi. Ia memutuskan untuk berhenti sekolah, karena baginya sekolah hanyalah tempat manusia menjadi robot-robot industri atau menjadi kuli di sebuah perusahaan. Hanya adikku yang ke-tiga sajalah yang lulus dari pesantren tersebut.

Ketika di pesantren aku justru mencari-cari kebenaran-kebenaran ritual keagamaan (baca: Ibadah; red). Seperti bagaimana tata cara sholat yang benar beserta landasan hukum yang berlaku. Kemudian bagaimana perilaku hidup dengan lain agama, atau kenapa Islam yang ada terbagi berbagai macam aliran dan ke semuanya mengklaim paling benar.

Namun jawaban yang ku dapatkan hanyalah sebuah klaim kebenaran aliran dirinya dan ejekan bahkan caci maki terhadap aliran lain, terlebih bergaul dengan agama lain ustad tersebut, tidak disebutkan demi nama baik, menyarankan utuk tidak bergaul dengan orang yang berbeda agama dengan alasan masih banyak orang seagama yang bisa dijadikan teman.

Keyakinanku terhadap tuhan, kebenaran terhadap ibadah ritual agama yang kulakukan mulai memudar. Hal tersebut dikarenakan persoalan yang kutanyakan selalu mendapat jawaban yang singkat serta tidak memuaskan bahkan cenderung mengejek. Ditambah lagi dengan kawan-kawanku yang selalu sinis jika aku bertanya karena dianggap memperlama jam pelajaran.

Karena ingin bisa bergaul secara wajar dengan masyarakat terutama kawan sebaya, aku memutuskan untuk pindah sekolah walau itu harus mendapat tantangan yang sangat keras dari orang tua.

Setelah pindah sekolah ternyata aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Kawan sebayaku secara perlahan mulai mendekatiku secara wajar. Namun pertanyaan-pertanyaan seputar keagamaan masih terus menggelayut, bahkan lebih parah. Hal ini dikarenakan guru-guru agama memandangku lebih faham tentang keagamaan dari pada kawan yang lain.

Ini semakin memperberat beban psikologi yang ku tanggung. Walau aku telah mendapatkan keinginan untuk bisa bergaul dengan bebas. Namun rasa dahaga akan pencarian spiritual dan pencarian suatu kebenaran semakin menggebu. Aku memutuskan untuk mencari pengalaman dengan mengikuti organisasi keislaman yang ekstra di luar sekolah. Selain itu buku-buku keislaman serta filsafat pun coba ku baca dengan harapan bisa memahami ilmu-ilmu agama. Sedikit pencerahan mulai muncul dari benakku akan kebenaran agama. Hingga aku memutuskan untuk masuk perguruan tinggi Islam yang konsen di bidang hukum-hukum Islam

Namun kekecewaan melanda kembali, ketika aku mulai masuk ke perguruan tinggi. Harapan bahwa mahasiswa adalah seorang yang selalu mengkaji dengan radikal seolah menjadi kebohongan belaka. Karena yang kutemui, kebanyakan, hanyalah orang yang butuh nilai akademik yang bagus (dengan cara apapun). Sehingga ruang untuk berdiskusi sesama teman kuliah pasca kuliah pun menjadi jarang atau tidak sama sekali. Selain itu bayangan awal bahwa Perguruan Tinggi Islam diisi oleh laki-laki sholeh serta wanita-wanita yang sholehah runtuh seketika, ketika suatu siang di hari rabu aku menemukan kumpulan kondom bekas di sebuah toilet kampus. Kejadian-kejadian tersebut membuatku kembali mencari pelarian diluar dalam bentuk organisasi ekstra kampus.

Selama mengikuti pelatihan dasar sampai dengan menyelesaikan pelatihan advance di organisasi ekstra tersebut, aku mulai menemukan hal-hal yang dulunya dianggap tabu untuk diucapkan atau ditanyakan tanpa memahami kenapa itu harus tabu. Atau pertanyaan-pertanyaan baik itu berkenaan dengan tuhan atau ritual keagaamaan (baca: ibadah ) yang selama ini senantiasa menggelayut difikiran, perlahan mulai menemukan jawaban yang pada saat ini cukup mengurangi beban fikiranku.

Ibadah yang sering kulakukan pun bukan lagi atas dasar kewajiban semata atau tunduk pada perintah orang tua atau doktrin-doktrin yang disampaikan para ulama. Tapi justru atas dasar kesadaranku sebagai hamba dan bentuk terima kasihku pada pencipta (Tuhan). Pertanyaan akan ada atau tidak adanya tuhan pun perlahan sudah mulai terjawab.

Dalam perjalananku mencari akan kebenaran agama aku menemukan bahwa benar atau tidaknya suatu agama bukan ditentukan oleh manusia, bukan pula ditentukan atas dasar mayoritas atau bahkan lembaga yang berwenang baik itu pemerintah atau bukan. Tapi justru tuhan sendiri lah yang berhak membenarkan mana agama yang paling ia sukai (diridlai).

Pernyataan ini barangkali akan mengandung kontroversi karena paling tidak dalam kitab-kitab suci berbagai agama ada teks yang menyatakan agama siapa yang paling diridlai seperti

1. Islam (Al-Qur’an) :

* Surat al-maidah : 3 yang menyatakan “dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”

* Surat Ali Imran : 19 yang menyatakan Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
* Al-Baqarah : 132 yang menyatakan "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
* Ali-Imran : 85 yang menyatakan “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”

1. Kristen (Injil) disebutkan “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapak, kalau tidak melalui Aku”. (Yohanes 14 : 6).

1. Hindu (Varita suci) menyebutkan : “di setiap brahma ada nirwana, di setiap nirwana ada brahma”

Dari kutipan-kutipan itulah akhirnya aku menyimpulkan bahwa tidak seorangpun atau siapapun di dunia ini yang berhak mengklaim bahwa agamanyalah atau ajarannyalah yang paling benar dan akan masuk surga ketika ia mendapatkan kematian selain yang menciptakan manusianya itu sendiri.

Oleh karena itu, pada akhirnya kita dimestikan menciptakan kesadaran pada diri kita untuk sesegera mungkin menghilangkan kesombongan dan rasa paling benar, yang ada pada diri kita. Karena bagaimanapun saat ini agama akan semakin berperan penting di masyarakat dengan revolusi teknologi transformasi dan informatika, maka agama – bagaikan dalam dunia bisnis, kini memasuki pusaran informasi internasional.

Ketika islam dipandang sebagai agama masa depan maka akan sangat tidak adil ketika itu hanya sebuah sikap apologetis pendukungan terhadap agama mayoritas atau agama yang dianutnya. Namun harus pula dibuktikan dengan kesanggupan dan kearifan. Kesanggupan dalam arti mampu untuk mendaratkan kesempurnaan ajaran oada sendi-sendi kehidupan bukan hanya dalam ucapan dan konsep belaka. Sedangkan kearifan adalah sejauhmana kita mampu untuk membumikan aspek paling dinamis dan humanis demi kebaikan manusia.

Karena seharusnya agama masa depan tidak akan suram atau dikutiki sebagian orang, tidak akan mengabadikan perkembangan tuhan orang yahudi, konsep yang membawa aturan pada institusi Kristen, tidak akan terfikirkan tuhan yang membesarkan dan memuliakan manusia di taman yang dingin atau sebagai juru selamat yang memutuskan diantara orang yang bersengketa atau sebagai orang yang berkuasa.

Pada akhirnya saya harus membenarkan apa yang diungkapkan oleh Andrew M greely terhadap agama. Ia menyatakan “anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory). Itu pula yang terjadi pada diri saya. Dibesarkan di pesantren tetapi tidak menemukan kebenaran agama. Tapi begitu saya mencoba mencarinya diluaran, ternyata di sana banyak berserak ma’na-ma’na agung yang tersembunyi.

* Pemerhati dan aktivis kebebasan beragama