Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Tuesday, March 25, 2008

PR

Amerika dan Islam: PR Bagi Presiden Baru
Oleh Ali Nurdin

“It was mistake on the part of the Americans to consider people divided as moderates and extremists, good and evil and dumping all Muslims in one category (Madeline Albright, former US Secretary of State).”

Itulah kata-kata yang diucapkan Albright ketika membuka US-Islamic World Forum kelima yang diselenggarakan di Doha Qotar pada tanggal 16-18 Februari 2008.

Forum yang diadakan setahun sekali ini menghadirkan para pemimpin berpengaruh dari negara-negara Islam dan Amerika Serikat baik itu pemimpin politik, bisnis, media maupun akademisi dan tokoh-tokoh organisasi Islam. Kira-kira 200 orang peserta dari 36 negara di dunia hadir dalam acara ini.
Forum ini diadakan untuk merespon isu-isu penting yang muncul dalam hubungan Amerika dan negara-negara Islam dengan cara medahulukan dialog dan saling pengertian diantara kedua pihak. Dari forum dialog ini diharapkan akan muncul rencana program dan kegiatan yang bisa menjembatani kesalahfahaman antara negara-negara Islam dan Amerika Serikat.

Forum itu sangat penting bagi hubungan Negara-negara Islam dan Barat, khususnya Amerika, dalam rangka mengurangi kesalahfahaman diantara kedua belah pihak yang sering terjadi. Amerika sering menuduh dan mengaitkan umat Islam dengan tindakan kekerasan dan terrorism yang membuat umat Islam tidak simpatik dengan Amerika dan menimbulkan saling curiga diantara kedua belah pihak.

Ketika Amerika sedang ramai memilih presidennya, pertemuan forum ini semakin terasa signifikan. Siapapun nanti yang menjadi presiden Amerika baik itu Barack Obama atau Hilary Clinton dari Partai Demokrat ataupun McCain dari Partai Republik, isu-isu yang muncul pada pertemuan tersebut perlu menjadi perhatian.

Diantara saran yang perlu diperhatikan oleh Presiden Amerika yang baru justru datang dari orang Amerika sendiri yaitu Madeline Albright. Albright yang mengakui kesalahan Amerika dalam mengkotak-kotak masyarakat Islam menjadi moderate dan ekstrimist mengajukan lima agenda penting bagi Amerika untuk memperbaiki hubungannya dengan negara-negara di dunia termasuk negara Islam dikemudian hari.

Karena saran atau kritik itu datang dari seorang Albright yang pernah pejabat sebagai Menteri Luar Negeri Amerika (1996-2000), maka otokritiknya jelas ditujukan untuk perbaikan politik luar negeri Amerika ke depan dibawah kepemimpinan presiden baru. Nampaknya saran Albright ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi presiden terpilih nanti.

Kelima agenda yang menurut Albright perlu diperhatikan oleh presiden baru Amerika nanti adalah:

Pertama, isu nuklir. Isu ini sering dijadikan alasan oleh Amerika untuk memojokkan negara lain untuk tidak memilikinya bahkan tidak segan-segan Amerika melancarkan serangan sepihak dengan alasan nuklir seperti yang terjadi dengan serangannya di Irak.

Isu nuklir ini juga telah menyebabkan hubungan Amerika dan Iran terus memanas. Amerika bersikeras bahwa Iran akan membahayakan negara-negara di Timur Tengah jika memiliki senjata nuklir, sementara Iran sendiri beralasan bahwa reaktor nuklirnya ditujukan untuk keperluan pembangkit listrik bukan untuk senjata.

Kebijakan nuklir Amerika ini nampaknya perlu ditinjau ulang, kalau Amerika berhak memiliki nuklir, mengapa negara lain termasuk Iran yang kebetulan negara Islam tidak boleh memilikinya? Amerika harus bersikap adil kepada semua negara di dunia dalam isu nuklir ini jika tidak ingin dicurigai sedang memusuhi umat Islam.

Kedua, isu perubahan iklim. Dengan semakin mengkhawatirkannya pemanasan global (global warming) yang membuat bumi semakin panas, nampaknya Amerika dibawah kepemimpinan presiden baru harus mau menyetujui dan meratifikasi Protocol Kyoto yang berisi tentang pengurangan emisi karbondioksida dan gas-gas rumah kaca. Bukankah Australia sekutu terdekat Amerika dibawah pemimpin baru Kevin Rudd sudah menyetujuinya? Kini tinggal Amerika, mungkinkah presiden baru Amerika kelak setuju dan akan meratifikasi Protokol Kyoto ini?

Ketiga, penyempitan jurang pemisah antara negara yang kaya dan miskin. Amerika diharapkan mampu membantu masyarakat dunia untuk mempersempit jurang antara si kaya dan si miskin. Bantuan Amerika bagi kemajuan ekonomi di negara-negara berkembang diharapkan mampu mempersempit jarak tersebut. Karena kemiskinan sering menjadi lahan subur bagi perekrutan kelompok terroris, penyempitan jarak antara yang kaya dan miskin diharapkan bisa mengurangi terrorisme di dunia.

Keempat, memulihkan nama baik demokrasi. Nampaknya Amerika perlu terus menjunjung tinggi nilai demokrasi dan mengakui bahwa demokrasi bisa diterapkan di Negara-negara Islam sesuai dengan konteks budaya suatu negara. Amerika tidak bisa memaksakan demokrasi gaya Amerika di negara lain. Biarkan negara lain termasuk negara-negara Islam mendefinisikan dan menerapkan cara berdemokrasi yang tepat dengan kultur lokal suatu negara. Amerika tidak bisa mengatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Nilai-nilai Islam justeru mendukung demokrasi. Pemaksaan konsep demokrasi Amerika di negara-negara Islam terutama di Timur Tengah justru akan menimbulkan kontra produktif bagi demokrasi itu sendiri.

Kelima, menumpas terrorism. Amerika perlu merubah caranya dalam menumpas terrorisme. Pendekatan dialog nampaknya akan lebih berhasil ketimbang cara-cara memeranginya dengan mengangkat senjata. Pengalaman perang Irak dengan alasan memerangi terrorisme perlu ditinjau ulang oleh presiden baru dikemudian hari. Menghubungkan setiap tindakan terrorism dengan Islam adalah tidak tepat dan memeranginya dengan senjata justru kontra produktif dan bahkan semakin mempersubur tindakan terrorism di dunia. Amerika perlu mengajak bekerjasama negara-negara Islam untuk mencari solusi bagaimana memerangi terrosisme.

Nampaknya saran yang dikemukakan oleh Albright diatas harus menjadi perhatian serius presiden baru Amerika untuk memulihkan hubungan antara Amerika dan negara-negara Islam. Di akhir pidatonya, Albright mengajak semua peserta forum untuk meningkatkan saling memahami antar Muslim, Kristen dan Yahudi atas nama perdamaian yang diajarkan oleh masing-masing kitab suci.

Ucapan Albright diawal pidatonya yang mengkritik Amerika yang salah mengaitkan terrorism dengan Islam rupanya dibahas secara serius dalam forum tersebut sehingga diakhir pertemuan disepakati untuk tidak menggunakan istilah Islamic terrorism karena terrorism tidak Islami dan Muslim justru banyak yang menjadi korban terrorism. Istilah violent ekstrimisme diajukan sebagai pengganti istilah Islamic terrorism.

Mudah-mudahan ide-ide cemerlang untuk membangun saling pengertian diantara negara Barat khususnya Amerika dengan negara-negara Islam tidak hanya berakhir pada pertemuan itu tapi juga bisa diaplikasikan pada tataran realitas. Kritik dan saran Albright mudah-mudahan di dengar oleh para calon presiden Amerika yang sekarang sedang berjuang menarik para pendukungnya untuk menuju Gedung Putih.Wallahu A’lam.

Maulid

Sajak Amien Rais
Refleksi Maulid Nabi


Pada hari kelahiran Nabi

12 Rabiul Awal tahun ini

Cahaya profhetic kian memudar

Benar dan salah berganti mondar-mandir

Spirit spiritualitas berwajah tak jelas

Pragmatis dan idealis tiada berbatas

Benar dan salah ‘ga lagi berharu

Putih dan hitam bersatu jadi abu



Dalam bimbang

Berpikir seorang diri;

Perang pedang bukan zaman lagi

Agama berperang di panggung dagang



Kupandang pada kupu-kupu

Indah sayapnya jadi icon baru

Televisi tidak aneh menjelma tuhan

Bervolume tinggi di rumah peribadatan



Kudengar dari imam Ali Syariati

Semakin tinggi alat teknologi

Semakin besar kebiadaban

Jika etika publik kian diabaikan



Hijrahku pada masa lalu

Saat bermukim di kaki Galunggung

Mendiang ayah pernah marah besar

Bendu pada cerita “Lutung Kasarung”

Televisi is buat aku tabu



Ketika 12 Rabiul Awal itu

Puja-puji mengalun merdu

Dalam genre klasik di tiap mesjid

Tak ada music tiada joged



Mimbar disulap jadi panggung konser

Medium penyampai pesan profhetic

Bersandar harap “syafaat” deras mengalir

Niat tak lagi dibiar melirik

Bandung, Maret 2008

Thursday, March 6, 2008

Toleran

Toleransi dan Perbedaan Pendapat
Oleh Fauzan

Toleransi berati menghormati pendapat oran lain. Kenapa kita harus bertoleransi, karena kita pasti akan menemukan orang yang berbeda pendapat dengan kita.

Setiap orang dilahirkan berbeda, baik secara jasmani maupun rohani. Kalau dari segi fisik, maka kita akan menemukan bahwa setiap orang mempunyai ciri khasnya masing-masing. Baik dari segi wajah, badan, dan yang paling jelas adalah mungkin sidik jari kita. Dari segi rohani, maka kita akan selalu menemukan orang yang berbeda, baik dari pemikiran, ideologi, agama, dll.

Karena perbedaan adalah fitrah khususnya pada manusia, maka seharusnya toleransi adalah fitrah yang khas pula bagi manusia. Apalagi manusia diberi akal yang digunakan untuk mencari, menemukan, mempelajari, dan sekaligus menghormati orang lain. Tidak selayaknya kita manusia mencaci, mencela, dan merendahkan orang lain.


Jadi sebenarnya, manusia wajib memiliki rasa toleransi karena akalnya. Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa seseorang yang tidak toleran, akan bisa mempunyai derajat orang yang tidak berakal atau gila, atau bahkan seperti hewan yang tidak berakal sama sekali, seperti anjing mungkin atau monyet, atau hewan lainnya.

Wassalam.

Nb :

Bisa jadi yang dicela lebih mulia, lebih tinggi derajatnya, lebih tinggi ilmunya, dan yang lebih penting lebih bermanfaat dari orang lain.

Bisa jadi si pencela lebih hina, lebih rendah derajatnya, lebih bodoh, dan yang lebih parah, tidak bermanfaat dan merugikan orang lain.

Menulis

Menulis Petanda Orang Beradab
Oleh Ibn Ghifarie

Saat ngimpul bareng kawan-kawan Sunan Gunung Djati beberapa pekan lalu. Kala senja mulai tertutupi oleh awan dan munculnya warna merah di ufuk barat petanda Sang Raja Siang ingin ‘berpamitan sejenak’ kepada kita dalam rutinitas kesehariannya.

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan satu pertanyaan yang dilontaskan oleh temenku ‘Kenapa benyak penulis brilian dari Sumatra atau paling tidak ada keturunan Minangnya daripada Jawa, termasuk Sunda?’

‘Seperti Buya Hamka, A Nafis, itu yang sudah meninggal atau Buya Syafie dan Azra yang masih hidup!!

Kata Pamali;Sumber Ketidak Bebasan Berekspresi
Aku hanya bisa menjawab ‘Sejak awal mereka tidak pernah mendapatkan larangan saat mengelurkan pendapat sekalipun berbeda dengan orang tuanya’

Coba liat dalam obrolan Nenek kepada Cucunya saat bertamasya ke Kampung halamannya ‘Saat ada yang bertanya Ari ujang kadieu sareng saha? [Bareng siapa kesini]

Naek pasawat terbang [Naik pesawat terbang], jawabnya

Aduh teu kenging nyarios kitu pamali. Pan ujang teh kadieu sareng Bapak naek mobil pan!! [Jangan biang begitu. Kan cucu datang ke sini sama Bapak itu naik mobil bukan!] Tegur Nenek.
Disadari atau pun tidak, kata-kata pamali inilah yang membuat daya fakir masyarakat Sunda (maaf) sedikit tidak bebas. Imajinasi untuk menuliskan satu gagasan menjadi terganjal.

Berwatak Bebas, dan Tak Peodal
Deretan pertanyaan sahabatku, terus muncul sekaligus menuntut jawaban. Sampai-sampai saat mengikuti acara Seminar di Universitas Kristen Maranatha (UKM), Bandung Jum’at (29/02) dengan tajuk bertema "Eksplorasi Potensi Mahasiswa melalui Media".

Nah, saat penjamuan makan siang pula akhirnya pertanyaan serupa ku lontarkan juga pada kedua Narasumber; Wilson Lalengke, Pimred HOKI dan Andreas Hirata, penulis Tetralogi Laskar Pelangi.

Menyoal kebanyakan penulis berasal dari masyarakat sekaligus keturunan Minangkabau, Sumatra daripada Jawa atau Sunda Wilson Lalengke, Pimred HOKI menjelaskan ‘Mungkin saja karena budaya Jawa itu terlalu peodal dan mangut-mangut terhadap orang tua atau yang kita tuakan, jelasnya

Berbeda dengan kami setiap anak saat saya masih kecil bebas untuk mengepresikan apa yang kita rasakan, alami dan liat untuk ditulis, tambahnya.

Selain itu, kebiasaan merantau ke daerah lain untuk laki-laki dan jangan harap kembali bila sebelum berhasil, baik dalam urusan materi maupun imateri, ujarnya.

Faktor-faktor inilah yang memicu terlahirnya ribuan penulis. Kendati besarnya para penulis tidak di daerah aslnya. Melaikan setelah merantau ke Ibu Kota, tegasnya.

Hal senada juga diamini oleh Andreas Hirata, penulis ‘Tertalogi Laskar Pelangi’ menuturkan liarnya imajinasi saat anak-anak menumbuh kembangkan gagasan yang brilian ‘Berbeda dengan kebiasaan masyarakat luar Sumarta, maaf terlalu dikungkung oleh atauran-aturan yang kaku.’
Tradisi inilah yang terus memicu anak muda untuk terus berkarya sekeil apa pun, ungkapnya.

Baca, Diskusi dan Merenung Modal Menulis
Kebiasaan tulis-menulis tak selamanya hadir tanpa sebab. Melainakn harus dibina secara terus menerus supaya terlatiih. Banyaknya bacaan, seringnya berdiskusi dan membiasakan diri untuk tetap menulis apa yang kita rasakan, alami, lihat, tentu akan membuahkan tulisan yang renyah dibaca. Adakah waktu tepat untuk menuliskan sesuatu?

Menanggapi kehadiran ide-ide untuk membuat tulisan di malam hari saat orang lain tertidur lelap. Sukron Abdillah, tukang Bewara Sunan Gunung Djati menjelaskan ‘Kalaulah tak segera dituangkan dalam sebuah tulisan, jiwa ini seakan terus-menerus mengidap penyakit "insomnia" di malam hari.’

Bahkan ketika masalah tak pernah dituangkan dalam sebuah teks, malam serasa siang dan siang pun serasa malam sehingga hidup selalu dilingkari kegundahan. Mungkin inilah yang disebut oleh Umberto Eco--menulis adalah sebuah kewajiban moral, kilahnya.

Lebih berapiapi lagi Ia menuturkan ‘Tanpa adanya kesemangatan dalam diri, mungkin tulisan tidak akan pernah lahir, hingga pada akhirnya, aktivitas membaca pun hanya sesuatu yang “absurd”.’

Dari tesis inilah, mungkin bisa juga aku katakan bahwa ketika menangkap ide dan mengurungnya dalam sebuah tulisan, itu semua merupakan upaya dari proses meredakan kecemasan. Sama seperti ketika sahabatku merasa terganggu jiwanya ketika tidak menuangkan segala masalah hidupnya dalam sebuah tulisan di buku diary.

Memang menulis tidak muncul dalam kesendirian, tapi selalu terkait dengan budaya membaca, diskusi dan merenung.

Sejatinya kebiasaan menulis tak perlu diembel-embeli dengan perasaan takut tak dibaca atau di terbitkan. Pramoedya Ananta Toer mempunyai strategi jitu dalam menepis anggapan ini “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,”

Tentunya, menulis merupakan pertanda orang-orang beradab. Lihat saja jargon dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) ‘Sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian).

Mencoba mengikuti orang-orang berakhlak mulia, maka tak ada car alain selain menulis, menulis dan menulis. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Bumi Abdi, 1/03/08;00.34 wib

Wong

Wong Cilik
Oleh Badru Tamam Mifka

Dalam sebuah buku, saya menemukan percakapan novelis Katherine Vaz dan Jose Saramago, seorang sastrawan Portugal. Disana, Vaz mengajak saya percaya bahwa menjumpai dunia fiksi Saramago adalah menjumpai cerita tentang orang-orang yang seringkali tak dilihat dan tak dikenal.

Saramago menulis novel dan ia menciptakan tokoh-tokoh khayali. “Saya ingin karakter-karakter khayali untuk mewakili orang-orang yang tak pernah disebut-sebut,” ucap Saramago, “maksud saya agar mereka tidak lagi menjadi orang-orang yang diabaikan…” Saya dapat menangkap maksud Saramago. Kita memang jarang [untuk tidak menyebut ‘tidak pernah’ membicarakan dan peduli terhadap “orang-orang kecil”, terhadap wong cilik…

Siapakah orang-orang kecil?
Kawan saya berbisik: “Orang-orang kecil adalah orang-orang yang miskin, para pembantu kecil, pekerja kasar dan orang-orang yang dianggap bernasib remeh dan kalah…dan lainnya dan lainnya.” Mendengar itu, runtuhlah saya.


Selama ini, kita memang terlalu meremehkan mereka. Sebesar apapun jasa mereka, tetap saja kerapkali tak diperhitungkan, tak berharga.

Dalam Baltsar and Blimunda, Saramago mengajukan ilustrasi yang haru: orang-orang mengangkat bongkah batu yang sangat besar yang diperlukan untuk membuat pintu biara. Adegan tersebut berlangsung sampai beberapa halaman, memaksa kita disana bersama orang-orang itu ketika mereka berjuang agar lempeng batu itu dapat melewati pepohonan dan mengitari sudut-sudut. Disana, hewan-hewan terbunuh dan para pekerja kakinya patah. Mereka bekerja, terus bekerja, seperti robot. Hal itu terjadi ketika seorang pekerja berpikir betapa ia sangat ingin pulang ke rumah dan bercinta dengan isterinya. Kita dapat menyaksikan bagaimana hidup dan darah dikorbankan demi memenuhi keinginan arogan Raja Dom Joao V untuk memiliki pinyu itu.

Meski ilustrasi itu hanya fiksi, tetapi ia terlalu cukup untuk bicara tentang kenyataan. Novel itu menghakimi kita, betapa selama ini penghargaan kita terhadap orang-orang kecil yang berjasa dalam kehidupan sekitar acapkali diabaikan. Saramago, lewat novel-novelnya, telah mengetuk pintu hati kita, betapa selama ini kerja orang-orang kecil tak diberi nilai dan yang layak. Kita ingat, mereka para pekerja pabrik, petugas kebersihan, kuli jalanan, pekerja rumah tangga…Kita ingat, pengantar pos, pekerja bangunan dan lainnya dan lainnya.

Mereka rakyat kecil, mereka sebenarnya yang berjasa membangun Taj Mahal dengan darah dan maut, bekerja keras menyusun monumen-menumen, Tembok Cina, Borobudur, gedung-gedung megah perkantoran, hotel…Mereka yang membersihkan sampah-sampah disetiap sudut tempat, dijalanan kota, di kali kotor, disekitar rumah kita, di kampus-kampus…Mereka yang berpanas-panas memperbaiki jalan raya yang rusak; mereka yang seharian bekerja menjadi pembantu rumah tangga, mereka yang merasa dosa mengucap “letih dihadapan mesin-mesin pabrik; mereka yang pagi-pagi membersihkan sampah dan mendorong gerobak sampah yang bau menyengat; mereka yang enggan kita sebut-sebut, enggan kita ajukan keberadaan mereka dalam puisi, catatan, kenangan, sinetron, film layar lebar, dalam percakapan para pengusaha, obrolan para pejabat di meja makan…

Lihatlah, para penguasa uang merencanakan pendirian bangunan-bangunan megah. Lalu siapa akhirnya yang disebut-sebut sebagai orang yang berjasa? Siapa yang akhirnya diberi penghargaan dan pujian?
Lalu, sudahkah kita memberi nilai dan upah yang layak pada mereka, pada orang-orang kecil? Sudahkah kita menghargai bau keringat orang-orang kecil yang berjasa besar merawat kebesihan lingkungan dan bangunan megah yang setiap hari kita [hanya bisa] menikmatinya? Sudahkah kita belajar pada kerja keras mereka? Malukah kita pada kerja keras mereka?

Sudahkah kita menghargai orang-orang kecil, mencintai orang-orang kecil? []

2006

Heidegger

Heidegger: Mistik Keseharian Manusia
Oleh Ahmad Sahidin

Tulisan ini bukan hendak menyaingi acara-acara mistis yang ditayangkan televisi maupun surat kabar yang menyuguhkan tentang itu. Saya dengan tulisan ini cuma sekedar membuka realitas, bahwa yang disebut mistis bukan hanya yang supranatural, bukan hanya yang ada di “luar alam” kita, atau yang bersifat irasional dsb; akan tetapi persoalan keseharian hidup manusia pun sebenarnya mistis.

Awalnya saya mengira bahwa hidup bukan sebuah persoalan. Namun ketika suatu hari direnungkan nampak sebuah persoalan yang jelimet alias tak terungkap secara rasional. Hal ini terasa hingga saya beranggapan bahwa hidup tidak lebih dari lingkaran yang kembali dari awal ke akhir dan kembali lagi ke awal, lalu ke akhir dan begitu seterusnya. Siklus ini yang terasa pada keseharian saya dan mungkin juga yang lainnya. Bangun pagi, mandi, makan, beraktivitas (sekolah atau kerja), bersantai, ngobrol dan akhirnya tidur. esoknya kembali seperti semula. Inilah dimensi hidup yang “menghidupkan” sekaligus “mematikan”, karena senantiasa memunculkan hal yang sama dan terulang kembali.

Saya pusing dengan hal di atas, hingga suatu ketika tidak dapat berbuat apa-apa selain tidak tahu–saking mistisnya. Namun apa yang saya alami dan rasakan, ternyata dialami dan dirasakan pula oleh seseorang yang bernama Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialisme Jerman, yang katanya tidak atheis seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus dll.

Heidegger dilahirkan di kota Messkirch pada 26 September 1889 dan wafat tahun 1976. Ia dikisahkan pernah terlibat dengan Gereja Katolik sekaligus menjadi pendukung Nazisme-Hitler. Juga seorang profesor yang disenangi mahasiswinya yang bernama Hannah Arendt (filusuf politik besar yang hidup 1906-1975) yang kemudian terjadilah perselingkuhan cinta dengannya. Bahkan karena mahasiswi itulah Heidegger rela membuat puisi-puisi yang kemudian diberikan sebagai tanda cintanya. Karena takut mengalami bentrokan keluarga, Heidegger yang tua pergi ke sebuah tempat yang jauh dari peradaban kota dan menetap di pondok Todtnaw-Berg.

Di tempat sepi inilah ia menghabiskan waktu-kesehariannya dalam keheningan. Dari tempat itu Heidegger menghasilkan karya Sein und Zeit, sebuah karya yang berbicara perkara keseharian yang ia alami, sakit, takut, cemas, terasing, bahagia dll. Isi yang menarik pada buku itu adalah persoalan eksistensi dan kecemasan. Menurutnya kecemasan adalah proses untuk masuk pada eksistensi diri yang ada dan ketiadaan sebenarnya tak ada, karena yang sesungguhnya disebut tiada adalah penampakan dari yang disebut ada. Dari ketiadaan itulah yang menunjukan ke-ada-an dalam ketidaknampakan di dalam waktu, dan itu sebabnya waktu dan ke-ada-an yang dikemukakan Martin Heidegger dianggap sebagai proses untuk “hidup” dalam keberadaan yang nampak, atau mencoba menikmati apa yang sesungguhnya telah hadir dan nampak pada hidup kita.

Apakah ini yang disebut (theology) predestination yang kerap menelantarkan manusia untuk tetap tinggal dalam keberadaanya; seada-adanya, sa-ayana? Jika ini yang dimaksudkannya, maka tak salah lagi bila sikap pasif dan disprogressif adalah menjadi jargon-jargon yang sengaja dihidupkan. Dan tentunya bila ini diterima maka hidup bukan lagi sebagai dinamika, tetapi stagnasi yang mau tak mau harus diterima–sebab takdir adalah otoritas sang tiran untuk berbuat jahat dan dalih si bodoh bagi kegagalannya, begitu kata Amborse Bierce (1842 - 1914).

Benarkah Heidegger menganjurkan hidup demikian? Eksistensi bukan insistensi. Itu sebabnya manusia senantiasa mengatasi dirinya sendiri dengan transendensi atas dirinya sendiri atau sebuah upaya memahami yang berdasar pada masa silam, keseharian dan rencana ke depan. Dengan cara itu hidup senantiasa diatasi dengan membuat transendensi atas ke-ada-annya. Inilah eksistensialisme Heidegger yang mencoba menentukan faktisitas sebagai bingkai bergeraknya eksistensi, yang seakan-akan terlempar di dunia karena bukan hasil penentuan sendiri. Ini pula yang menjadi alasan bagi semua interfretator yang ingin menghadirkan semua bentuk pengalaman–pengalaman lain.

Di sini Heidegger sebenarnya mewartakan bahwa pemahaman (verstehen) bukan sekedar peristiwa kejiwaan, akan tetapi suatu proses ontologis, yaitu “penguakkan” (mukasyafah) atas pelbagai hal. Di sini sudah ada ikhtiar untuk berada dalam suatu jaringan keseluruhan yang saling menunjuk atau memungkinkan terbukanya “sesuatu” yang dilihat sebagai “ini” atau sebagai “itu”. Keterbukaan inilah yang disebutnya verstehen, yang terutama bermula dari vorhabe (yang sudah dipunyai sebelumnya), vorsicht (yang sudah dilihat sebelumnya) dan vorgrieff (dan yang sudah ditangkap sebelumnya).

Karena itulah Heidegger memahami manusia sebagai makhluk yang tidak pernah hidup di masa kini, tapi juga dari masa lalu hingga ingin ke masa depan. Manusia yang hidup di masa kini senantiasa berada antara masa silam dan masa depan.Yang dipenuhi dengan rencana dan kemungkinan-kemungkinan yang dipikirkan untuk sampai pada hakikat manusia itu sendiri. Jadi eksistensi bukan insistensi adalah cara berada khas manusia. Artinya manusia bukan sebagaimana benda yang berada di dalam dirinya sendiri, tetapi berada untuk ke luar dari dirinya; dan sekaligus bisa mengatasi dirinya dengan menciptakan dan membuat transendensi atas dirinya sendiri. Maka dari itu bentangkanlah cita-cita, harapan dan mimpi–walaupun itu cuma rencana.

Heidegger memang murid Edmund Husserl yang tidak melanjutkan kerja gurunya. Malah kembali pada proyek Immanuel Kant yang belum selesai tentang das sein manusia. “Saya darimana? Kemana saya? Saya ini apa sebenarnya? “—adalah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat das sein, berada-di sini-sekarang sebagai makhluk hidup.

Karena persoalan di atas merupakan tentang eksistensi manusia, maka Heidegger membagi dua yang disebut eksistensi : yang asli dan bukan asli, yang rendah dan bukan rendah, atau yang wajar dan bukan wajar. Contohnya adalah kejatuhan Adam dan Hawa setelah berdosa dan jatuh dalam eksistensi yang bukan asli karena kejatuhan dalam tempat yang bukan dari sebelumnya yang bermakna rendah, atau keterlemparan dari yang asali.1) Di sinilah faktisitas manusia ibarat batu yang dilemparkan ke dalam empang dan batu itu tidak tahu dimana ia mengadanya.

Maka di sini das sein harus diupayakan untuk bisa mengada dari keterlemparannya itu melaui, atau dengan menciptakan sesuatu yang mendahului wujud (dalam kemaujudannya). Sebab setiap pilihan dan usaha menjadi wujud akan senantiasa ber-relasi dengan pelbagai kemungkinan-kemungkinan dan tidak akan pernah melebihi dari kemungkinan-kemungkinan itu (yang ada atau yang diciptakan sebelumnya). Dengan kata lain, Heidegger menghendaki untuk mendahulukan “diri” dengan mengada dalam dunia–karena das sein merupakan hal untuk mengada di dunia.

Selain hal di atas, menurut M.A.W. Brouwer, dalam pemikiran Heidegger ada yang terpenting yaitu waktu (zeit). Sebab menurutnya bahwa persoalan usaha (sorge) dalam analisa eksistensial Heidegger merupakan kesatuan struktur dari das sein; dan hal yang mendasar dalam das sein adalah waktu.

Persoalan tentang waktu, bagi Heidegger, ada kaitannya dan berujung dengan persoalan mati. Dari mati itulah ia berpandangan bahwa das sein bermula dan berakhir pada mati; dan karena mati itulah yang mengkabarkan ketidak-mengada-an manusia dari mengadanya manusia; yang sekaligus bermakna sebagai finalitas esesnsial dari hidup manusia. Maka dari sini kemudian lahir gejala “takut mati”.

Dengan ketakutan inilah manusia senantiasa akan berusaha menjadikan dirinya (sanggup) untuk menjadi manusia. Dari persoalan mati (tersebut) pula dikatakan bahwa masalah (waktu) retensi dan protensi akan mepersatukan dalam keseluruhan eksistensi manusia. Misalnya orang hadir (atau yang membaca tulisan ini) adalah yang bermula dari sebelum sekarang (membaca tulisan ini) dan setelah sekarang (membaca tulisan ini). Pendeknya, keberadaan (sekarang) adalah waktu kemarin dan yang akan datang yang berada dalam keberadaan kita sebagai makhluk yang mengada. Dan mati merupakan titik capai dari apa-apa yang dikerjakan, dilakukan dan direncanakannya, adalah menjadi penyebab dari apa yang telah diupayakan hingga mewujud dalam eksistensi manusia otentik.

Atas konsepsi tersebut dapat dimengerti kenapa “mati” tidak dianggap sesuatu yang menakutkan bagi orang-orang yang merasa dirinya telah melakukan “pengorbanan” sebagai bukti dari ke-mengadaan-nya sesuatu (yang diyakininya). Konsepsi inilah dalam Islam-Syi`ah disebut dengan syahadah–yang telah banyak dibuktikan, salahsatunya Imam Husein, seorang cucu Rasulullah Saww yang berani menjemput kematian di padang Karbala, Irak (abad tujuh masehi).

Jadi, takut (angst) dan mati (tot) merupakan salah satu syarat yang wajib ada pada manusia untuk membawa dirinya pada eksistensi Yang-otentik. Ini pula yang membedakan Heidegger dengan Nietzsche.2) Bagi Neitzsche, takut adalah sesuatu yang harus dikuasai atau dikendalikan dengan mengatakan “ya”—sebagai bentuk penyatuan antara “harapan” yang berbenturan dengan “kenyataan”.

Dengan inilah Nietzsche sadar bahwa tidak ada yang disebut progresifitas (yang dikoarkan kaum modernism); sebab yang nampak adalah kembalinya segala sesuatu (sirkular an-sich). Ini yang dikatakan Heidegger bahwa, Nietzsche masih “keranjingan” dengan kehendak untuk berkuasa agar dapat mempertahankan otentisitasnya. Agar bisa keluar dari masalah di atas, Heidegger menyarankan untuk melakukan transendensi. Tetapi bagi saya, dengan merujuk fenomena-eksistensial keseharian, ia terlalu cepat mengambil kesimpulan sehingga hal-hal kecil yang terjadi dalam keseharian digeneralisir sebagai lingkaran tak bermakna (nihilsm).

Padahal bila kita teliti dengan cermat, bahwa tidak ada sesuatu yang sama/mirip pada dua saat yang berbeda. Artinya, dalam setiap pergeseran manusia dalam ruang-waktu, baik itu peristiwa dan kejadian-kejadian yang dialami manusia, meskipun terlihat sirkular atau mengulang-ulang yang pernah dialami, akan tetapi pada tiap-tiap perulangannya itu ada “hal-hal” yang membedakannya dengan yang dialami sebelumnya. Atau senantiasa ada yang bersifat “unik/khas” dalam setiap perulangannya itu. Atas landasan ini, bila hal-hal yang “khas/unik” ini disadari adanya dan kemudian dijadikan sebagai “nilai-nilai”, maka dengan uapaya terus-menerus akan sampai/menuju eksistensi Yang-Sejati.

Demikian tuturan saya tentang Heidegger, yang secara keseharian terasa ada benarnya dalam hidup yang kita arungi. Namun terlepas dari kebenaran itu, atau tepatnya pada Heidegger yang berupaya maksimal untuk mengatasi diri dari keterasingan, ketakutan dan kesia-siaan dengan sikap pasrah-aktif yang dilakukannya melalui antisipasi dengan pelbagai rencana atau membuat transendensi-diri. Tetapi di sisi lain tergusur pada sisi terlemparnya “diri” dari realitas sosial.

Memang di sini harus ada upaya kembali untuk menuntaskan sisi yang belum tersentuh oleh Heidegger. Karena persoalan keseharian dan keberadaan manusia adalah senantiasa menuntut solusi yang tuntas. Akan tetapi dari upaya ketuntasan itu seringkali menyisakan keterlenaan atas hal-hal yang pelik dan bahkan bisa melebar dan meluas. Ini mungkin siklus yang tidak akan cepat selesai dan berakhir dengan tarekah-polah manusia agar bisa keluar dari siklus tersebut.

Untuk itu, memang diperlukan semacam alat dan antisipasi agar tidak terulang-kembalinya ke sisi keterlemparan (manusia) dari sisi sosial, sejarah maupun budaya—seperti Heidegger yang menyisihkan dirinya dari kehidupan ramai ke tempat yang sepi, pondok Todtnaw-Berg.

Di sana Heidegger memang menghasilkan refleksi yang mendalam (dalam bentuk karya)—tetapi ia bukan Nabi Muhammad Saww yang setelah tenggelam-merenung di gua Hira dan mendapatkan pencerahan, yang segera membereskan persoalan hidup, kemelut sosial dan kemanusiaan (Arab) hingga berhasil mencerahkan masyarakat.

Akhirnya, saya sendiri tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Atau jangan-jangan, saya lah yang tidak tahu apa yang terkandung di dalam pikiran-pikiran Heidegger. Atas inilah saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip salahsatu kalamullah;: janganlah kamu mengikuti apa yang tidak sampai pengetahuanmu ke sana, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan perasaan; semuanya itu akan di minta pertanggungan jawabnya (QS. Al-Isra : 36).

Catatan :

1) Tentang Adam ini ada penjelasan yang menarik dari Muhammad Iqbal (1877-1938). Menurutnya, Adam bukanlah individu yang terlempar karena dosa, tetapi ia adalah symbol dari konsep manusia sadar-diri. Artinya, kejatuhan Adam adalah bermakna peralihan (mengalir) dari tingkat naluriah primitive (yang terpenjara) menuju ke tingkat kesadaran-diri yang merdeka dengan tetap dapat mengalami keraguan dan keingkaran yang manusiawi. Kondisi Adam inilah yang membuktikan bahwa manusia tidak sempurna—sehingga ia senantiasa untuk berada dalam proses menuju/menjadi sempurna. Demikian dengan hal yang bersifat keseharian, kata Iqbal, kita sepatutnya menghubungkan diri dengan lingkungan materiil untuk meningkatkan diri yang sejati; yang terkait dengan siapa aku sebenarnya melalui kehendak-kreatif, atau refleksi yang mendalam hingga sadar dan tahu bahwa ada yang Lebih-Mahasempurna. Lihat Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002) halaman 35; dan Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003) halaman 83.

2) Nietzsche dianggap orang yang berpengaruh kepada Hiedegger sekaligus menjadi inspirasi dari beberapa gagasan eksistensialisme; yang sampai-sampai memberikan ulasan yang bernasdan berilian, dalam bentuk seperti (1) Nietzsche :The Will to Power as Art; (2) Nietzsche : The Eternal Resurrence of Same; (3) Nietzsche :The Will to Power as Knowledge and Metaphysics; (4) Nietzsche : Nihilsm. Mengenai Nietzsche, ada yang menarik darinya yaitu tentang teriakan: ” Gott Ist Tot!”. Adalah teriakan yang menggumamkan “kematian” atas apa yang manusia modern agungkan seperti rasionalitas, logika, ide-ide progresif dll; yang seringkali dijadikan segalanya bagi manusia modern sudah tidak ada apa-apanya lagi. Dalam hal ini Nietzsche menggunakan metafor “Tuhan” untuk menunjuk apa-apa yang dijadikan pegangan dan jaminan oleh manusia modern. Dikarenakan di dalam sejarahnya “Tuhan” tersebut telah menimbulkan krisis yang menyeluruh, maka ia teriak: “Tuhan Telah Mati”—yang gantikan dengan “nihilsm”. Artinya, paradigma abad modern sudak tidak laku lagi karena ada kekurangan-kekurangan yang mendasar. Di sini ia telah berjasa dalam mengadakan refleksi filsafat yang mendalam, meskipun menghina metafisika, rasionalitas, kebenaran, dan bahkan menertawakan ilmu pengetahuan. Ia hanya percaya pada satu kebenaran, yaitu “tidak ada kebenaran”—karena segalanya hanya interpretasi dan perspektif. Lihat dan baca karya St. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LKiS, 2001).

Sosok

Sosok Pemimpin Teladan
Oleh Sukron Abdilah

Keteladanan pemimpin sangat erat kaitannya dengan pribadi yang baik, memiliki etika-moral, dan menempatkan kepentingan publik di atas segalanya. Tanpa itu bukanlah pemimpin namanya, melainkan penguasa congkak yang menganggap Negara sebagai milik sendiri. Itu terjadi akibat sebagian pemimpin tidak menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.

Kepentingan kalangan bawah hanya dikremasi di atas kertas berbentuk rancangan, tidak diwujudkan jadi nyata di dunia nyata. Ketika ketidakpedulian birokrat seperti ini terus menggejala, apatisme rakyat terhadap pemimpin semakin mengakar-kuat. Maka kepercayaan atas pemimpin akan meredup sehingga demokratisasi ternoda kembali karena suara rakyat bukanlah suara Tuhan.
....
Lebih tepat suara pejabat adalah suara Tuhan! Vox vopuli vox dei juga pada posisi demikian hanya berbentuk sloganistik, pajangan konstitusional, dan buah bibir sesaat. Tidak dapat - meminjam bahasa Paulo Freire - mewujud dalam bentuk tindakan praksis membebaskan. Prinsip, sumber atau patokan (nilai) yang dapat memberi arah kepada manusia (bangsa) pun tercerabut dari akar budaya.

Tidak gandrung kekuasaan

Kita lihat saja, kursi panas kekuasaan dapat diduduki dengan menggunakan dana dari luar, hingga prinsip timbal balik pun terlihat dari kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Tidak prokerakyatan. Lebih tepat disebut kebijakan propejabat, propengusaha, dan prokantong pribadi dan kelompok dekat. Budaya penguasa lebih dekat pada cara berpikir dan bertindak bagaikan seorang pengusaha. Hanya logika ekonomi mengembalikan modal (keuntungan pribadi/kelompok) yang diprioritaskan. Sementara itu, kepentingan publik disimpan di kantong belakang. Bukan di saku baju depan (baca: diprioritaskan)!
Mari kita flash back sejenak. Banyak sekali kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan bangsa yakni soal kemiskinan yang sedang dihadapi negeri Indonesia . Aksi nekat warga Indonesia yang menjadi Askar Wathaniyah Negara Malaysia adalah bukti kongkrit bahwa Negara belum bisa memberikan jaminan ekonomi yang pasti kepada warga di daerah perbatasan. Ketidakjujuran bahwa dirinya mendapat sumbangan dana kampanye merupakan budaya penguasa yang tidak ingin merugi karena disinyalir akan menurunkan pamor pada pemilu.

Betapa keteladanan pemimpin di negeri ini berada pada ketidakmenentuan. Dalam konteks ini, maka kita memerlukan keteladanan seorang pemimpin. Maka, pabrikasi pemimpin adalah pekerjaan rumah bagi bangsa ini. Bisa tidak kita menciptakan institusi pendidikan informal yang menelurkan calon pemimpin yang tidak mangreh (menguasai) tetapi ngemong (melindungi) bagaikan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?

Ya, bukan hanya pemimpin yang menggandrungi kekuasaan saja yang dipilih nanti. Tapi, yang bisa melindungi rakyat dari impitan persoalan hidup. Pemimpin yang patut menjadi teladan adalah yang mampu membebaskan warganya dari belitan kemiskinan, pengangguran, mahalnya harga pokok, dan bisa menyuarakan “jerit-tangis” hati rakyat atau warganya kepada pemerintah pusat.

Lebih baik bermimpi

Kita seolah terbangun dari tidur yang sedari tadi sedang merasakan mimpi menakutkan. Akan tetapi, persoalan yang melilit bangsa Indonesia bukanlah sebuah konstruksi mimpi yang derajat keabsahannya dibawah rata-rata. Dalam perspektif Sigmund Freud mimpi adalah proyeksi psikologis yang berasal dari pengalaman-pengalaman pahit yang sedari dulu dipendam di bawah alam tak sadar. Maka, sewaktu-waktu jika tak bermimpi, pengalaman pahit itu akan meledak dan memicu kekacauan hidup.

Ketika warga masyarakat Indonesia dihimpit harga kebutuhan pokok yang mahal, luberan lumpur Lapindo, merajalelanya pejabat yang tak jujur; aktivitas tidur mereka tentu saja tidak akan nyenyak. Sebab, mimpi mereka (malam tadi dan sebelumnya) sangat menakutkan - bukan jadi bunga tidur - melainkan berubah menjadi racun tidur. Setelah mereka terbangun di pagi hari, ternyata mendapati harga sembilan bahan pokok (kehidupan) membumbung tinggi. Ah, lebih baik (aku) berada di alam mimpi meskipun harus dikejar-kejar hantu yang menyeramkan. Daripada harus hidup dalam dunia riil yang menyengsarakan. Itulah bisikan hati publik Indonesia yang jarang kita empati bersama-sama.

Alih-alih berempati, malahan politikus kita seakan memusuhi falsafah hidup sepi ing pamrih. Berputar haluan mengarah pada falsafah hidup rame ing pamrih!. Mendagangkan suara rakyat untuk menggolkan pemimpin yang sadar terhadap kenyataan kongkrit permasalahan rakyat Indonesia hanya per lima tahun sekali.

Meminjam pemikiran Ignas Kleden (Kompas, 06/Juni/07), ia mengatakan: “Kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya)”.

Bangsa ini memang membutuhkan keteladanan pemimpin yang rela sengsara terlebih dahulu sebelum rakyatnya sengsara. Atau kehadiran seorang manusia nge-indonesia yang bisa dijadikan pusat perhatian karena penuh keteladanan (exemplary center). Tidak harus dari kalangan “darah biru”, melainkan mampu tidak kinerjanya diawasi dan dipersembahkan untuk rakyat.

Tapi, adakah model pemimpin seperti itu di daerah ini? Mudah-mudahan eksis dan terus mengada agar dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi warga tatar Sunda dan bangsa! Maka, pilihlah Cagub dan Cawagub pada Pilgub Jabar 2008 yang bisa dijadikan teladan oleh pemimpin-pemimpin di masa mendatang. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, pilihlah pemimpin yang ahli memimpin dan kalaulah yang dipilih itu tidak ahli, tunggulah kehancuran. Wallahua’lam