Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, May 25, 2008

Cwit

Cwit Dlim…
Oleh Badru Tamam Mifka

Insomnia: hantu tengah malam yang kerap merampok jatah mimpi indah saya, hampir setiap malam. Seperti malam itu, jam 11 lebih, saya masih tak sedikitpun terantuk rasa kantuk. Sudah mati-matian kupejamkan mata, tetap saja tak kunjung tidur.

Pikiran berloncatan tak henti. Saya coba mengingat hal-hal serem berharap lelap, malah merinding bulu-bulu di sekujur tubuh. Saya coba kosongkan pikiran, tetapi tak bisa. Lalu saya ambil sebuah buku kumpulan puisi. Satu-persatu halaman saya baca, sungguh, si bedebah insomnia masih tak henti menggagahiku.

Malam itu, ternyata tak hanya hantu insomnia yang mengganggu saya, tetapi juga SMS iseng. Hm, setiap orang yang punya ponsel tentu pernah mengalami dapat SMS iseng di tengah malam. Begitupun saya malam itu, mendapat pesan pendek dari nomor yang tak saya kenal. Pesan pendek yang menyedihkan:

Yang! Aku kesepian,

pingin ditemenin!

Saya langsung yakin SMS iseng dengan nomor tak dikenal itu pengirimnya adalah kawan saya. Atau setidaknya dia orang yang tahu bahwa saya penggemar humor murahan. Saya sebenarnya malas membalas SMS kurang kerjaan ini. Tapi, why not? Kubalaslah SMS iseng itu:

Saha ieu? Kesepian mah tangkeup we

tiang listrik. Gegelan kabelna.

(Siapa ini? Kalo kesepian, peluk aja

Tiang listrik. Gigit kabelnya.)

Awalnya saya yakin dia kapok. Tapi beberapa detik kemudian, dia membalas SMS saya:

Yang, kamu ko gitu sih?

Aku marah nih!!!

Bisa dipastikan bahwa dia manusia kesepian yang tak becus ilmu menipu. Ya, pasti dia seorang kawan yang punya ponsel atau nomor baru. Tak lama kemudian saya membalas masih seenaknya:

Ambek mah abus we ka jero sumur

Tapi di jero tong hitut, bisi disangka sora adzan

(Kalo marah, masuk saja ke dalam sumur,

Tapi di dalam jangan kentut, nanti dikira suara adzan)

Saya berharap dia menderita dengan modus penipuan picisannya. Tapi dia masih membalas:

Yang aku serius!!

Pokoknya aku tunggu kamu besok jam 10

di kampus!

Dia pasti tak menyangka saya akan membalasnya:

Heueuh, tungguan saya isuk di kampus

Kade poho mawa granat!

(Ya, tunggu saja saya besok di kampus.

Jangan lupa bawa granat!)

Entah kenapa, dia masih saja membalas SMS saya. Kali ini denga isi yang sudah mulai beradaptasi dengan permainan saya:

Bawa sekalian buku

Pengantar Antropologi

Tak mau kalah pantang menyerah, saya membalasnya lagi dengan pesan seenak ungkap:

Euweuh buku Pengantar Antropologi mah

Aya ge buku masak

Ke wang karungan heula.

(Gak ada buku pengantar antropologi

Ada juga buku masak

Ntar saya masukin karung dulu)

Beberapa menit lamanya tak ada balasan lagi. Saya berharap dia kehabisan kata-kata untuk membalas SMS saya. Saya tak peduli siapa dia. Saya tak peduli apa dia akan membalas atau tidak. Malam itu, yang saya peduli adalah balasan SMS dari seorang teman perempuan yang satu jam lalu saya kirim pesan sapaan singkat dengan sedikit pertanyaan basa-basi. Dia gadis baik. Sudah beberapa minggu lamanya saya dan dia saling balas SMS sebelum tidur. Tapi malam ini, SMS terakhir saya belum juga dia balas. Ah, mungkin dia sudah tidur. Bukankah besok dia harus bangun pagi dan bekerja?

Sekilas bayangan wajahnya melintas di pelupuk mata saya. Saya menghela napas panjang. Saya buka kembali halaman 45 dari buku kumpulan puisi yang tadi saya baca. Puisi-puisi itu merayap pelan di benak saya. Saya pejamkan mata, tapi tak kunjung tidur. Pikiran bersilangan di kepalaku. Pikiran kacau, tentang persoalan-persoalanku yang tertunda. Tentang kuliah. Tentang segala perasaan sedih. Tentang segala hal yang akhir-akhir ini membuat saya stress.

Malam semakin hening dan dingin. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Awalnya saya curiga si pengirim iseng itu telah menemukan ide untuk membalas SMS saya. Tetapi bukan. Di layar ponsel tertera nama seorang gadis yang saya rindukan SMS balasannya. Dengan senyum kecil saya segera membukanya. Saya membacanya…

Aduh, sorry ketiduran..

…..

Jangan pernah berpikiran

Kalo kamu sendiri!

Dia sahabat perempuan saya yang baik. Cukup lama, setiap menjelang tengah malam, saya dan dia “berbincang” via SMS. Tentang puisi. Tentang apapun. Malam itu, hampir jam 12, kami mengakhiri “perbincangan” itu. Selalu, selalu saja ia akhiri setiap SMS nya dengan ungkapan yang lembut. Ya, seperti juga penutup SMS nya malam itu:

Cwit dlim…

Jatinangor, 12 Mei 2008

Monday, May 12, 2008

Menulis

Membaca dan Menulislah Terus!!
Oleh Sukron Abdilah

Tulisan ini bukan makalah. Tapi, sekadar curhat kecil-kecilan tentang pengalaman saya hingga bisa menulis artikel dan buku. Keinginan untuk bisa menulis artikel di media cetak, sudah ada sejak saya mulai masuk ke UIN (dulu IAIN) Bandung, tahun 2002.

Sejak keluar dari pesantren persatuan Islam No. 19 Garut, saya mencoba mendaftarkan diri ke jurusan Jurnalistik di UIN Bandung. Tapi, tidak lulus. Malah lulus pada jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Ada perasaan sedih dan kecewa saat itu, karena tidak lulus masuk Jurnalistik. Pikirku, keinginan untuk menjadi penulis akan sirna ketika tidak masuk jurusan Jurnalistik.

Ketika perkuliahan sudah berjalan beberapa tahun, hasrat untuk menulis artikel di media cetak muncul kembali. Tepatnya, ketika mengikuti mata kuliah Kaifiyat Mujadalah dan Ilmu Mantiq yang diampu Kang Aef Kusnawan. Saya menyebut Akang, karena beliau adalah dosen muda yang telah berkarya untuk mengharumkan fakultas Dakwah dengan artikel dan buku yang diterbitkan penerbit buku dan media cetak. Ia, pada waktu itu memotivasi saya dan mahasiswa lain untuk menulis dan mengirimkannya ke media cetak. Dengan embel-embel akan mendapatkan nilai A pada mata kuliah yang diampuhnya, saya tertantang untuk menulis dan mengirimkan ke Koran.
....
Alhamdulillah, pada bulan Desember 2004, artikel saya yang pertama kali ditulis dan dikirim diterbitkan Koran Galamedia. Bangga sekali waktu itu, meskipun hanya dibayar 30 ribu oleh Galamedia karena tertera nama Sukron Abdilah. Sejak saat itu, saya giat menulis artikel dan mulai meminta bimbingan kepada kang Aef Kusnawan. Hanya untuk bimbingan menulis, saya rela berjalan kaki dari Manisi ke rumahnya. Ia tidak merendahkan tulisan, tapi mengarahkan tulisan agar lebih punya sudut pandang. Saya merasa asyik dibimbing kang Aef Kusnawan, sehingga muncul semangat agar terus memperbaiki kualitas tulisan.

Sepenggal cerita di atas adalah perjalanan saya mengarungi dunia penulisan.
Berdasarkan pengalaman, menulis memerlukan semangat, tekad, dan keinginan kuat.
Selain itu, anda juga harus rajin membaca dan berdiskusi atau mengikuti seminar yang berkaitan dengan materi yang akan kita tulis. Sebab, modal utama menjadi penulis adalah memiliki kekayaan diksi, berwawasan luas, memiliki analisis yang tajam, dan ada tidaknya gagasan yang akan ditawarkan dalam suatu artikel. Menulis itu bagaikan seorang pedagang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam isi tulisan harus memuat ide-gagasan yang menarik pembaca.

Membaca akan menambah perbendaharaan kata yang disimpan di memori kita. Selain itu akan meluaskan cakrawala pengetahuan kita, dan mempertajam daya kritis kita terhadap fenomena atau gejala yang sedang terjadi. Dengan membaca karya orang lain, memudahkan kita untuk meniru gaya tulisan si penulis. Sehingga lebih mudah menuangkan ide-gagasan menjadi sebentuk tulisan artikel yang komplit. Untuk mencoba cara ini, ambillah salah satu artikel yang telah dimuat di Koran atau media cetak lainnya. Pelajarilah kerangka atau struktur dan gaya tulisan di dalam artikel tersebut. Dari mulai judul, pendahuluan artikel, sub judul, sampai kepada penutup.

Agar bisa menuliskan ide dan gagasan menjadi sebuah tulisan, baik makalah, artikel, naskah buku, atau paper penelitian, diperlukan kebiasaan menulis setiap hari. Pokoknya, tuliskan ide-gagasan yang ada dibenak menjadi kalimat yang tersusun rapi. Dan, biar lebih memudahkan membiasanya tradisi menulis, kita memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menguatkan tekad, jadikanlah aktivitas menulis sebagai kewajiban moral.
2. Rajin membaca karya orang lain, seperti artikel, berita di Koran, buku dan novel.
3. Membiasakan menulis setiap hari. Satu jam per hari saja sudah lebih dari cukup.
4. Ciptakanlah lingkungan yang mendukung. Misalnya, membentuk komunitas menulis.
5. Arahkanlah materi tulisan pada bidang yang dikuasai. Contohnya, soal politik, budaya, agama, sosial dan ekonomi ataupun pemikiran.
6. Dirikanlah forum diskusi di antara teman-teman seangkatan. Kalau tulisan kita lebih mengarah pada nilai-nilai agama, misalnya buatlah kelompok diskusi bernama Lingkar Studi Agama atau yang lainnya. Pokoknya, forum diskusi ini akan dipampang pada identitas penulis artikel, yang letaknya berada di akhir tulisan atau di awal tulisan.
7. Mengetahui Visi-Misi media, dengan cara rajin membaca artikel opini, tajuk rencana, dan berita-berita yang diterbitkan oleh media bersangkutan. Ini berfungsi untuk menyelaraskan ide-gagasan kita dengan pihak media, yang berposisi sebagai pembentuk opini masyarakat. Sebab, mereka (redaktur dan pemilik perusahaan pers) adalah the man who know much.

8. Kirimkanlah artikel via-pos atau via e-mail. Dalam mengirimkannya, anda harus membuat kata pengantar – bagi sebagian media ada yang tidak perlu menggunakan surat pengantar – agar lebih etis. Apalagi bagi penulis pemula. Perlu menyertakan prolog tulisan kita supaya pihak redaktur bisa mengetahui arah tulisan kita.
9. Setelah mengirim tulisan, jangan menunggu artikel dimuat. Bacalah realitas dan buku, lalu menulis kembali dan kirimkalah. Terus membaca, terus menulis, terus mengirimkannya ke media massa. Insyaallah, dengan kesabaran artikel anda akan ada yang dimuat. Amiin
10. Kalau artikel ditolak dan dikembalikan, silahkan anda membuat weblog di layanan web hosting gratisan. Anda bisa memampangnya melalui media internet, dan berfungsi untuk terus melihara tradisi menulis di dalam diri.

Dengan sepuluh langkah di atas, saya pikir anda akan menjadi penulis sejati, yang berposisi sebagai intelektual publik. Salah satu strata intelektual yang menjadi bahan acuan masyarakat. Intelektual publik ada persamaan dengan selebritis tapi berbeda secara kualitas. Kalau selebritis semakin tua semakin tidak laku dipasaran.
Penulis – sebagai intelektual publik – semakin tua maka ia akan semakin terkenal dan karyanya akan semakin berbobot. Kalau anda tertarik menjadi intelektual publik, silahkan mulai menuliskan ide-gagasan menjadi rangkaian kalimat yang membebaskan masyarakat dari “kesadaran palsu” akibat ada laku lampah hegemonik dari segelintir orang.

Wilujeng nyerat ah…”Elmu teh lain ngagubrag ti awang-awang, lain oge saukur dina kertas daluang, tapi tina ruang-riung jeung papada orang”. Begitu juga dengan menulis. Tanpa ada komunitas yang ruang-riung membincangkan dan mempraktikkan tradisi menulis, bahasa akan menemui kematiannya. (Sukron Abdilah/alakpaul.multiply.com)
– Hargai karya manusia lain –

Urang

'Urang' Bandung Dalam Politik Praktis
Oleh Cian Ibnu Sinna Sj*

Kalau seorang sosiolog melakukan riset perilaku politik masyarakat Kota dan Desa itu wajar, seorang psikiater memberikan pelayanan konsultasi intensif bagi pasien kelainan jiwa memang sudah semestinya, seorang bocah dicabuli ayah kandungnya bukan lagi berita, seorang mahasiswa ingin menjadi pegawai negeri sipil itu pragmatika cerita lama.

Tapi kalau orang Sunda Bandung terlibat langsung dalam politik praktis ? Ini juga sebenarnya tidak begitu luar biasa, masih biasa-biasa saja. Meski pun yang bersangkutan harus aktif, kreatif dan inovatif serta membutuhkan kedalaman merenung dan berpikir. Kemerdekaan dalam bertindak dan tentu saja ketepatan berpendapat dan kelihaian wicara (komunikasi). Politik adalah tindakan komunikasi yang berlangsung dalam wicara dan persuasif.

Demikian pada dasarnya politik boleh dilakukan oleh siapa saja, di mana dan kapan saja. Sebab semua orang memiliki jiwa politik, meski semua mereka tidak menjadi politisi. Politik bukan milik siapa-siapa. Ia milik pemikir, pengamat, praktisi, pegawai pabrik bahkan ibu rumah tangga sekali pun. Terlebih lagi orang Sunda, Bandung. Karena hak (ber) politik adalah hak semua orang; laki-laki perempuan, tua muda, kaya miskin serta yang lainnya. Politik dapat muncul dari kampus, dari pasar, mesjid mau pun galeri. Politik juga bisa muncul dari golongan, masyarakat, hingga indiviu-individu. Tegasnya politik dapat lahir di mana dan kapan saja. Ia hadir bersama kepentingan; agama, sosial, ekonomi, pendidikan hingga seni. Maka signifikansi politik adalah sepenting signifikansi yang lainnya, terlebih kebijakan publik.

Begitu lah dalam kenyataannya, politik berjalan begitu beragam. Ada yang sederhana, polos dan biasa-biasa saja. Tapi ada pula yang aneh, mengagetkan dan penuh teka-teki. Sementara pelaku politik sendiri ada yang telanjang, longgar, bugil dan mudah ditebak. Namun ada juga yang bercadar, ketat, berjilbab dan sulit diterka. Prinsipnya politik tidak dapat lepas dari suatu kepiawaian, kecerdikan, dan kelincahan para pelakunya. Bicara politik bukan bicara salah benar, bukan rasional atau tidak, bukan baik atau buruk. Bicara politik adalah bicara tentang kebijakan demi kepentingan masyarakat banyak. Dalam bahasa populer bicara politik berarti berkata kalah menang, suatu modus seni presentasi. Lebih tepat lagi dikatakan politik sebagai seni. Politik lebih merupakan sebagai kuasa wicara atau daya yang serba mungkin.

Demikian politik bukan sekedar monopoli politisi dan politikus atau ilmuwan politik. Senyawa politis senantiasa merapat erat bersama rakyat, sosiolog, aktivis, filosof, tukang kuli, hakim, tukang daging, pelacur, psikolog, pengamen dan sastrawan maupun agamawan. Daftar ini seperti dikatakan berdasarkan kenyataan bahwa suatu klasifikasi tukang cukur, tukang beca, tukang sayur termasuk politisi “biasa”. Sebaliknya pemikir, pengamat, pegawai negeri sipil, birokrat, pejabat pemerintah dan militer termasuk politikus “tidak biasa”. Boleh jadi yang disebut pertama, mereka adalah partisipan saja. Sementara yang disebut belakangan adalah “pelaksana” yang mendapat dukungan penuh dari partisipan itu. Orang atau seseorang kalau tidak menjadi pelaku politik dapat dipastikan menjadi partisipan. Atau juga pihak ketiga, yaitu orang apolitis.
Bagaimana dengan masyarakat Sunda Bandung ? Justru "menolak" keduanya; partisipan maupun politikus. Hanya saja antara yang menolak menjadi politisi lebih banyak dari yang menolak sebagai partisipan. Yang menolak sebagai partisipan dapat digambarkan sebagai pemilih golput (memilih untuk tidak memilih satu pilihan). Sedangkan yang menolak menjadi politisi tergambar dalam sikap orang Sunda pada umumnya yang pasif, dan orang Bandung pada khususnya. Ini tentulah tidak mengada-ngada dan tidak berlebihan bahwa orang Sunda memang cukup “dingin” malah cenderung “tidak aktiv” dalam politik praktis. Sejak tahun 70-an ke belakang, politisi banyak dari Sumatera sedikit dari Jawa. Kemudian tahun 70-an ke depan politisi banyak orang Jawa dan sedikit Sumatera. Kalau tidak dari pulau Jawa pasti pulau Sumatera. Bagaimana dengan orang Sunda, ada namun teramat sedikit. Tidak pernah banyak apalagi menguasai.

Untuk menyebut beberapa contoh. Pada masa Orde Lama tokoh politik dari kalangan Sunda tidak begitu banyak, demikian juga masa Orde Baru. Dari kalangan Sunda tulen misalnya, sebut saja Safrudin Prawiranegara untuk masa pra kemerdekaan. Ia pernah menjabat sebagai presiden sementara untuk Republik Rakyat Indonesia. Sementara untuk masa setelah kemerdekaan, Umar Wirahadikusumah menjadi wakil presiden. Kini untuk masa reformasi belum ada lagi yang muncul. Orang Sunda menjadi pemimpin memang sangat jarang, kecuali menjadi pejabat birokrat bisa dianggap lebih banyak dari yang menjadi tokoh sentral politik. Demikian juga yang menjadi Menteri, Gubernur, Wali Kota, Bupati, hingga kepala Desa, tentu saja banyak. Ini pun hanya berlaku di daerahnya, dan sangat jarang menjabat di daerah lain.
Dalam hal kepemimpinan politik orang Sunda boleh dibilang “tidak mau” memimpin. Sebaliknya orang Sunda lebih memilih sebagai yang dipimpin. “Saha wae anu mingpin mah anu penting tentrem tur adil teu ngadolim ka rahayat na”. Artinya “Siapa saja yang memimpin yang penting tentram serta tidak berbuat aniaya kepada rakyatnya”. Selain itu memang dalam tradisi Sunda dikenal dua istilah Mandala (Masyarakat) dan Nagara (Negara). Yang pertama berarti suatu masyarakat dengan tidak adanya kepemimpinan politik. Mandala ini dipelihara oleh masyarakat adat sekarang, seperti Baduy, Kampung Naga, Kampung Dukuh dan banyak lagi. Sedangkan yang kedua suatu masyarakat dengan adanya kepemimpinan politik. Nagara ini dipelihara oleh masyarakat Sunda modern, yaitu orang Sunda yang telah meninggalkan adatnya dan siap berpolitik dalam masyarakat kontemporer.

Hasil penelitian dari Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) yang dilakukan oleh Siti Fatimah menunjukan bahwa preferensi dan persepsi politik orang Bandung cukup rendah. Hasil riset ini telah dibukukan dengan judul: Enggan Jadi POLITIKUS; Preferensi dan Persepsi Politik Orang Bandung. Dalam buku ini diceritakan minat dan partisipasi politik warga Sunda Bandung. Selain itu, kampanye golput begitu sering didengungkan, misalnya oleh penyair Acep Zam-zam Noer dan penyair lainnya. Memilih golput bagi warga Sunda Bandung lebih sebagai pilihan dari pada kekecewaan terhadap sistem politik yang tengah berlangsung. Sampai di sini maka penjelasan penting bagi Orang Sunda Bandung (khususnya) dan masyarakat Sunda yang lain (umumnya) berarti mental Mandala di kota masih ada. Meski mental Nagara dalam masyarakat adat sudah punah. Wallahu A’lam Bissawwab []

* Cian Ibnu Sinna Sj adalah pemerhati dinamika politik lokal, tinggal di Bandung.

Kitab

Cerpen Badru Tamam Mifka
Kolektor Kitab Suci

Seumur hidup baru saya temui seorang manusia yang sangat mencintai kitab suci seperti orang ini. Namanya Abu Dzahir. Semua orang tahu, setiapkali ia melewati kebun itu dengan tas besar berisi kitab suci, ia akan berteriak pada para gembala: “Lihatlah, aku dapat banyak kitab suci lagi dari luar kota. Puji Tuhan!”

Mendengar itu, para gembala akan berlari menghampirinya. Setelah menyaksikan sendiri apa yang diucapkan Abu Dzahir, para gembala sama-sama bergumam takjub, dan seseorang diantara mereka berucap: “Puji Tuhan, wahai Abu Dzahir, bagus nian kitab-kitab suci ini. Dari mana engkau mendapatkannya?”

Begitulah, setiap minggunya Abu Dzahir selalu berkeliling mengunjungi berbagai kota di Nusantara hanya untuk mencari kitab suci dengan ragam warna, sampul emas yang indah dan bentuk yang membuat orang berdecak kagum. Ia akan mengangkat kitab suci satu persatu sambil menyebut nama-nama tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan lainnya.
Yang paling menakjubkan, Abu Dzahir juga punya banyak koleksi kitab suci dari luar negeri. “Lihatlah, ini kitab suci dari Makkah, ini dari Madinah, Ini Iran. Lihat, Lihat yang berwarna perak ini dari Irak. Nah, ini dari Mesir…” katanya sembari menunjuk satu persatu koleksi kitab sucinya di rak-rak lemari tua di kamarnya. Orang-orang yang kebetulan melihatnya takjub. Sebagian orang yang kebetulan menyaksikannya iri bukan main.

Suatu hari saya menemuinya. Saking sibuknya ia menyusun banyak kitab suci kesayangannya, ia tak dengar salam saya di muka rumah. Setelah saya memberanikan diri masuk ke dalam dan menepuk pundaknya, barulah ia sadar.

“Bagaimana kau ini orang asing, muslimkah? Kenapa tak kau beri salam dulu?”
Saya buru-buru minta maaf lalu memberinya salam.
“Walaikum salam…”sahutnya berat.
“Ada apa gerangan kau menemuiku?”
“Saya wartawan. Saya sengaja datang kesini, Abu. Saya sudah lama dengar bahwa Abu adalah kolektor kitab suci. Jadi saya ingin mewawancarai Abu sekaligus tertarik untuk melihat koleksi-koleksi kitab suci Abu.”
“Jangan bilang aku kolektor. Bilang aku pencinta kitab suci.” ucapnya. Saya manggut-manggut.
“Apa kau juga mengumpulkan banyak kitab suci?”
“Tidak.” Sahutku. Abu Dzahir terlihat mengusap-usap jenggotnya dan melangkah memasuki ruangan. Saya pelan mengikutinya dari belakang.
“Dari mana kau ini?”
“Saya asli dari Palembang. Tapi bekerja disini.”
“Waw, Palembang. Saya pernah kesana, dan ini kitab suci yang sempat saya beli disana.”

Ucapnya sambil gegas menunjuk salah satu kitab suci bersampul cokelat tua.
Sungguh, saya melihat begitu banyak kitab suci bertumpuk tebal-tebal memenuhi ruangan kamarnya yang lumayan luas. Tapi dia bilang ini bukan kamar, ini ruang perpustakaan. Saya manggut-manggut. Mulailah saya mewawancarainya untuk rubrik profil di surat kabar lokal tempat saya bekerja. Saya jadi banyak tahu bagaimana Abu Dzahir mendapatkan semua kitab suci ini. Setiap minggu, ia akan berkeliling keluar kota dengan uang tabungannya untuk mencari bentuk kitab suci yang antik. Ia tak segan membeli kitab suci dengan harga mahal sekalipun. Bahkan ia tak segan menjual mobilnya untuk menutupi kekosongan tabungannya. Koleksinya dari mulai kitab suci ukuran besar hingga kitab suci berukuran mini. Iapun menunjukkan kardus-kardus yang masih tertutup di ruang tamu. Dia bilang itu borongan kitab suci dari Jawa Timur dan Iran.

Untuk koleksi kitab suci dari luar negeri, biasanya ia menitipkan uang pada tetangga yang kebetulan naik haji, atau pada mahasiswa yang bersekolah di luar negeri. Amat girang jika ia mendapatkan koleksi-koleksi yang diinginkannya. Ia memang berharap dapat mengumpulkan kitab suci dari seluruh pelosok dunia, dan berharap hobinya ini kelak dapat diteruskan oleh anak-anaknya. Saya tak tahu sudah berapa ratus koleksi kitab sucinya, karena Abu Dzahir pun mengaku lupa tak menghitungnya.

Saya, sebagai seoang wartawan, sebenarnya perlu tahu jumlah koleksi-koleksi Abu Dzahir untuk bahan tulisan saya. Tapi tak apalah. Saya hanya melihat koleksi-koleksi itu telah menghabiskan tempat di rak-rak lemari. Sebagian koleksinya yang lain tampak disusun diatas meja, hampir menyentuh atap-atap kamar dan menutupi lubang-lubang cahaya jendela. Saya membayangkan setahun ke depan koleksinya tentu akan mencapai pintu kamarnya. Saya melihat ada kitab suci yang disimpan dalam bingkai berkaca. Bentuknya unik.

“Sebenarnya apa yang membuat Abu tertarik untuk mengoleksi kitab suci?”
“Sudah saya katakan, saya mencintai kitab suci. Saya jatuh cinta pada keindahan bentuk-bentuk kitab suci. Sungguh, apapun akan saya lakukan untuk memenuhi kesenangan saya ini. Atau kau mulai berpikir ini konyol?” Ucapnya. Saya menggelengkan kepala dan tersenyum lebar.
Setelah dirasa cukup mewawancarainya dan mengambil beberapa gambar, saya pamit. Saya lihat Abu Dzahir kembali sibuk menyusun kitab sucinya. Saya dengar dua anak kecil menangis di ruang tamu. Saya lihat seorang perempuan sibuk mengangkat jemuran di halaman rumah. Langit mendung. Hujankah?

***
Seminggu kemudian, profil Abu Dzahir sudah naik cetak. Saya sengaja datang lagi ke rumahnya untuk mengabari soal ini sekaligus membawa seorang rekan kerja yang penasaran ingin melihat koleksi kitab suci Abu Dzahir. Setibanya disana, kebetulan ia baru pulang dari luar kota. Ketika saya memperlihatkan profilnya, ia buru-buru memperlihatkan koleksi baru dari tas besarnya. Lalu kami diajaknya berbincang-bincang di ruang perpustakaan. Saya dan rekan saya terpana melihat koleksi kitab suci Abu Dzahir yang sudah menggunung. Hampir saja ruangan itu habis dipenuhi tumpukan kitab suci.

Setelah rekan saya puas melunasi rasa penasarannya, kami pun pamit. Sepanjang jalan, dia tak henti memuji Abu Dzahir. “Puji Tuhan, saya baru pertama kalinya menemukan orang yang begitu hebat mencintai kitab suci seperti Abu Dzahir…” Mendengarnya saya cuma mesem. Cuaca mulai redup, seperti biasanya.

Sebulan kemudian, ketika saya sedang meliput tentang demonstrasi mahasiswa, saya menerima telepon dari rekan saya. Ia menyampaikan berita yang menghentakkan dada saya: Abu Dzahir meninggal dunia!

“Dapat kabar dari siapa kau?!”
“Tadi pagi aku berkunjung kesana! Jam 4 shubuh dia meninggal! Sekarang saya ada di rumah Abu Dzahir!”
“Sebab apa!?”
“Pembunuhan!”
Saya tersentak kaget. Pembunuhan?!!

Sepanjang jalan menuju rumah Abu Dzahir saya tak habis pikir. Siapa yang membunuh Abu Dzahir? Apakah pembunuhnya orang yang iri pada Abu Dzahir karena koleksi-koleksinya itu? Atau dia punya musuh? Pikiran saya bersilangan. Sungguh, ini bisa menjadi berita menarik! Usut tuntas!

Sesampainya di rumah Abu Dzahir, orang-orang tampak berkerumun memenuhi halaman rumah. Saya berusaha menerobos kerumunan. Terdengar tangis isteri Abu Dzahir dan kedua anaknya. Mayat Abu Dzahir sudah ditutup kain putih. Orang-orang berbisik-bisik. Suasana haru. Saya perlahan menghampiri seorang warga.
“Pak, mungkin Anda tahu, bagaimana kejadiannya?”
“Entahlah, kejadiannya tadi shubuh.”
“Sudah ada polisi yang datang kesini?”
“Belum.”
“Kejadiannya dimana, Pak?”
“Di kamarnya.”
Kepala saya mengkerut. Di kamarnya? Siapa yang membunuhnya? Saya bertanya-tanya dalam hati. Kepala berputar kanan kiri mencari rekan saya.
“Pak, sudah diketahui pembunuhnya?” Tanya saya kembali. Orang yang ditanya menatap saya tajam. Ia mengkerutkan kening begitu hebat hingga membuat alisnya seperti kumis.
“Siapa dikau?”
“Saya wartawan.”
“Tidak ada pembunuhan disini.” Ucapnya. Saya kaget.
“Lalu kenapa Abu Dzahir meninggal dunia?”
“Lha wong dia mati tertimpa tumpukkan kitab suci.”
Saya tersentak kaget. Dengan perasaan yang kesal saya keluar dari kerumunan warga. Di ujung jalan, saya melihat rekan saya tengah duduk santai sambil menghisap rokoknya. Nikmat nian kelihatannya…
Beberapa bulan kemudian, orang-orang disana tak lagi melihat tumpukkan kitab suci yang bertambah. Mereka hanya sempat melihat kitab-kitab suci itu mulai habis dimakan rayap…

28 April 2008

Pasca

Pasca TGB Kami Mau dibawa Kemana?
Oleh Endang Suhendang

LPIK sebagai salah satu UKM yang ada di UIN Bandung yang salah satu aktivis organiasinya adalah melakukan kajian keilmuan lintas disiplin. Senantiasa melakukan inovasi dan selalu mencari pormat-pormat agenda kegiatan dalam meningkatkan ketajaman analisa dan metodelogi keilmuan. Tak aneh jika dalam perekrutan anggota baru atau yang dikenal dengan TGB (Taaruf Generasi Baru) bentuk dan nuansanya berbeda dengan perekrutan anggota organisasi yang lain.

Dalam melakukan perekrutan anggta baru LPIK tidak membebankan biaya terhadap anggota baru. Artinya jika calon anggota atau yang tertarik dengan LPIK tapi terbentur dengan biaya hal itu bukan masalah dan sesuatu yang jadi kendala.

TGB tahun sekarang LPIK memilih Tanjungsari sebagai tempat untuk menggodog calon anggotanya dengan terror-teror wacana dan mental yang membuat orang yang punya penyakit jantung bisa mendadak masuk rumah sakit karena suasana yang tegang. “ aing kakara ayeuna manggihan opab siga kieu” ungkap Akong salah satu peserta TGB yang berasal dari jurusan Jurnalistik.

Hal yang senada diungkapkan nano salah seorang mahasiswa sosiologi yang ikut TGB. Sebetulnya ini bukan tanpa alasan atau hanya main-main saja, kata Tedi selaku ketua LPIK periode 2006-2007 ini adalah bentuk pembinaan kader LPIK yang memiliki karakter yang kuat dan keilmuan yang bisa diandalkan. Karena tradisi LPIK yaitu mengutamakan ketiga bidang kajian yaitu membaca, menulis dan berdiskusi. Ketiga hal tersebut mutlak harus menjadi tradi untuk menguatkan ketajaman pikiran dan analisa.

Jika dilihat dari kuantitas anggota LPIK memang tidak terlalu banyak. Dan saat ini penghuninya kebanyakan mahasiswa di fakultas Ushuludin. dan ini memberikan warna yang lain terlebih lagi bahwa Mahasiswa ushuluddin adalah mencetak mahasiswa yang memiliki keilmuan yang dalam dan diharapkan menjadi calon-calon ilmuwan dalam berbagai disiplin.

Perjalanan LPIK dari tahun ketahun tidak terlepas dari berbagai gelombang dan ombak yang menghantam perahu LPIK yang sedang berlayar menuju pulau bernama kebenaran. Yang senatiasa ditelisik dari berbagai sudut pandang dan berbagai kajian keilmuan. Maka tak aneh jika LPIK dicap sebagai Corong JIL atau Islam liberal karena dalam melakukan analisanya tidak menggunakan doktrin-doktrin yang kaku dan linier.

Karena senantiasa mencari pormat-pormatan kajian dan kekhasan LPIK tidak memuja satu kajian atau terpaku pada satu metode saja. Maka sekarang LPIK mau membawa anggotanya kearah kajian yang seperti apa dan menyuguhkan wacana apa?kita liahat saja nanti dan ini kembali lagi sepertinya kepada anggaota sendiri sebagai motor penggeraknya. Berbagai kajian keilmuan dipelajari seperti filsafat sampai masalah-masalah social keagamaan. Sebagai sebuah harapan dari anggota baru diharapkan kedepan LPIK lebih giat dan senatiasa menyuguhkan pemahaman-pemahaman keagamaan yang baru. Sehingga keberagamaan kita terasa segar dan senatiasa dinamis dan Up to date.

Retas

LPIK; Meretas Pluralitas
Oleh Tedi Taufiqrahan

Pada awal abad ke 21 ini terdapat tiga gejala umum yang mendominasi kehidupan manusia, pertama, akibat dari perkembangan teknologi informasi, setiap saat manusia selalu berhadapan dengan jutaan informasi yang muncul begitu saja, tak terduga, tak dapat ditolak, tak tertebak, menghenyak-desak tampil dalam segala aspek kehidupan.

Media massa-cetak maupun elektronik-tersebar di segala penjuru dunia mengirimkan informasi-informasi terbaru setiap detik yang menciptakan pula keusangan, kebasian informasi setiap menit-detiknya. Dunia seolah berlari tak terkejar oleh derapan kaki manusia, manusia terengah-engah membuntuti dunia yang tak pernah berhenti berubah, bahkan dalam hitungan satuan waktu terkecil sekalipun, sehingga informasi tentang perubahan pun muncul terus menerus seperti tembakan sinar laser yang tak putus-putusnya.

Sementara manusia harus mengambil pelbagai keputusan bagi hidupnya, dan keputusan tersebut didasarkan oleh informasi yang didapatkannya. Pertanyaannya, informasi mana yang harus diikuti?

Kedua, maraknya pelbagai pertikaian antar golongan primordialisme, baik pertikaian antara agama, ideology, suku, ras, munculnya kelompok kepercayaan (cult), pelbagai kerusuhan akibat bentrokan dua kelompok yang mengklaim mewakili suatu kepercayaan tertentu dan pelbagai bentrokan primordial lainnya, merupakan contoh umum dari gejala ini.

Di lingkungan kampus sering organisasi mahasiswa tak terlalu hirau terhadap pendapat-pendapat, opini-opini, gagasan-gagasan dari pihak lain karena telah menganggap pendapat dirinyalah yang benar, gagasan kelompoknyalah yang betul sementara yang lain adalah salah.

Pertikaian itu sering kali seolah tak berujung. Tiap pihak memaksakan kepercayaan dan kehendak mereka kepada pihak lain. Pemaksaan itu pada akhirnya melibatkan kekerasan baik fisik maupun psikis dan memakan korban yang tak kecil jumlahnya, namun tetap saja tak ada jawaban kepercayaan mana yang benar atau paling benar karena yang ada hanya pihak mana yang lebih kuat, pihak mana yang lemah atau pihak mana yang jatuh korbannya sedikit dan pihak mana yang jatuh korbannya lebih banyak.

Ketiga, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang mengarah kepada pluralisme paradigma, ditolaknya homologi pandangan tentang tidak adanya realitas objektif, kegagalan emasipasi manusia, serta hilangnya kebenaran sejati, telah menyebabkan munculnya keserbabolehan dan keserbabenaran.

Filsafat dan ilmu pengetahuan, yang sempat dianggap sebagai tolak ukur kebenaran, kehilangan legitimasinya dalam penetuan apa yang benar dan apa yang salah. Di sisi lain, agama dan etika pun kehilangan legitimasinya untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.
Munculnya ketiga gejala tersebut mengakibat manusia dalam kebingungan, linglung, kehilangan peta dan arah tujuan hidup. Agama yang dianggap sebagai pegangan sudah diombrak-abrik oleh segelintir kelompok yang menentukan dirinyalah yang paling benar dan berhak menentukan bahwa yang lain salah.

Sementara manusia tak bisa hidup tanpa pegangan dan pedoman, tetapi di sisi lain pedoman yang mana akan diambil juga masih tak tentu juntrungannya. Yang ada hanyalah saling klaim pendapat, opini, gagasan dan memperanjingkan asumsi bahwa agama datang untuk kemaslahatan umat manusia di dunia bukan hanya sekedar untuk mengagungkan nama Tuhan.

Lpik; Candradimuka Pluralitas

Dalam menyemai pertikaian, percekcokan, persinggungan dan perselisihan pendapat, opini dan gagasan jalan keluar yang sering ditawarkan adalah tindakan persuasi yaitu dialog. Dialog bukannya monolog. Sayangnya, sekarang ini banyak orang ataupun kelompok lebih banyak lihai dan pintar melakukan monolog tanpa disertai dengan kemampuan dialog.

Sederhananya dialog adalah kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Dalam pandangan ini, ada dua tokoh yang menyuarakan akan pentingnya dialog untuk menyelesaikan perbedaan. Menurut Habbermas dalam rangka menyelesaikan perbedaan yang diperlukan hanyalah membicarakan apa yang beda-beda itu.

Dialog perlu sebab setiap individu dimungkinkan memiliki kebenarannya masing-masing, jadi setiap orang atau kelompok tidak perlu mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan yang lain salah. Nah, dengan jalan dialog ini setiap pendapat diadukan, dipertempurkan, dikomparasikan kebenarannya di ruang public dengan tindakan persuasi yang sering kita sebut dengan diskusi. Dimana argumentasi kebenaran yang paling bertahan dan kuat itulah yang paling benar dan disepakati sebagai kebenaran yang baru.

Sedikit berbeda dengan Habbermas, Rorty menandaskan asumsinya bahwa pada dasarnya setiap orang dan kelompok itu berbeda apapun itu argumentasinya, yang jadi persoalan adalah ketidaksiapan seseorang atau kelompok untuk menerima perbedaan. Jadi menurut Rorty tidak ada konsesus dan kesepakatan, yang ada hanya kesiapan dari setiap individu untuk menerima dengan terbuka setiap perbedaan.

Apapun itu konsepsinya mengenai perbedaan dan solusi untuk keluar dari perbedaan. Lpik hadir ditengah-tengah perbedaan bukan sebagai pembeda melainkan sebagai sebuah lembaga yang memegang berprinsip pluralitas yang secara otomatis mengakui pluralitas kelompok ataupun individu.

Oleh karena salah satu prinsip Lpik pluralitas maka bisa dirumuskan bahwa kesadaran pluralitas yang dibangun dalam tradisi Lpik adalah; a) kritik ideology, b) dekonstruksi, c) analogi permainan, d) imajinasi dan fantasi, e) membiasakan untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan.

Kritik ideology dilakukan untuk membantu manusia untuk membiasakan individu bersikap kritis terhadap bias-bias keyakinan atau pengaruh-pengaruh non rasional lainnya. Dengan kritik ideology, tindakan social dipahami sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Di dalam tindakan, ada faktor-faktor lingkungan dan kepercayaan-kepercayaan individu yang ikut menentukan jenis-jenis dan tujuan-tujuan tindakan.

Dekonstruksi atau pembongkaran dilakukan untuk membantu manusia memahami mana yang alamiah dan mana yang histories. Lebih jauh lagi, dekonstruksi membantu manusia untuk selalu awas dan hati-hati terhadap pembakuan makan dan realitas. Dengan dekonstruksi, manusia dibantu melenturkan skema-skema kognitifnya sehingga mampu menyerap hal-hal baru.
Analogi permainan merujuk pada aktivitas membandingkan pelbagai tindakan dan keyakinan manusia dengan permainan. Setiap permainan memiliki aturan main yang ditentukan oleh pencipta para pemainnya. Dengan analogi permainan dapat dipahami bahwa tindakan dan keyakinan manusia merupakan sebuah kreasi manusia untuk menimbulkan efek-efek tertentu yang memuaskannya. Bahwa tiap individu atau kelompok akan bertahan dengan aturan permainannya masing-masing, tidak berarti orang atau pihak lain harus ikut serta terkena aturan itu.

Imajinasi dan fantasi membantu manusia melampaui apa yang dianggapnya nyata untuk dapat membayangkan apa yang mungkin. Dengan membayangkan apa yang mungkin, kesadaran manusia dapat mengarahkan tindakan pada pencapaian hal-hal yang baru. Imajinasi dan fantasi membantu manusia meningkatkan kreativitasnya sesuai dengan kehendak bebasnya.

Pembiasaan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan akan membantu manusia untuk melenturkan skema kognitif, sehingga siap menerima pelbagai kemungkinan baru yang saat ini masih dianggap sebagai hal yang tidak nyata. Dengan pembiasan ini, manusia dapat mengarahkan tindakannya untuk mengeksplorasi pelbagai kemungkinan baru.

Dengan rumusan yang diuraikan diatas diharapkan setiap individu-individu Lpik khususnya bisa memiliki kemampuan kritik ideology dan dekonstruksi sebagai ajang muhasabatun nafs sedangkan analogi pemainan, imajinasi dan pembiasaan hal yang jarang dilakukan sebagai iman dari setiap amal shaleh.

Kelima formulasi itu tidak akan didapatkan nggetihnya manakala tradisi diskursus (baca, nulis, diskusi) jarang dilakukan secara individual dan lebih-lebih akan mendapatkan legitimasi dan ruhnya dalam komunal. Wallahu ‘alam bissowab

Tips

Farid Gaban; Tips Menulis 'Lukiskan, Bukan Katakan'

Pernahkah Anda membaca sebuah tulisan dan sampai bertahun kemudian Anda masih ingat gambaran dalam tulisan itu?

Kita umumnya terkesan pada sebuah tulisan yang mampu melukis secara kuat sebuah gambaran di dalam otak kita. Deskripsi yang kuat adalah alat yang digdaya bagi para penulis, apapun yang kita tulis: esai, artikel, feature, berita, cerpen, novel atau puisi.

Bagaimana cara membuat deskripsi yang kuat dan hidup?

Cara terbaik melakukannya adalah menerapkan konsep “Show It, Don’t Tell It” atau “Lukiskan, bukan Katakan”. Ubahlah pernyataan kering dan kabur menjadi paragraf berisi ilustrasi memukau.

Tulisan yang bagus memaparkan soal yang nyata dan spesifik. Salah satu caranya adalah menghindari kata-kata sifat seperti “tinggi”, “kaya”, “cantik”, dan kata yang tak tidak spesifik seperti “lumayan besar”, “heboh banget”, “keren abis”.

Contoh:
MENGATAKAN
Konser Peterpan itu heboh banget.

MELUKISKAN
Konser Peterpan di Gelanggang Senayan dihadiri oleh 50.000 penonton. Tiket seharga Rp 200.000 sudah habis ludes sebulan sebelum pertunjukan. Penonton yang rata-rata siswa SMP dan SMA berdesak-desakan. Duapuluh orang pingsan, ketika para penonton
berjingkrak mengikuti lagu “Ada Apa Denganmu”.

MENGATAKAN:
Nasib nenek itu sangat malang.

MELUKISKAN:
Umurnya 60 tahun. Dia hidup sebatang kara. Para tetangganya, penghuni gubuk kardus perkampungan liar Kota Bandung, mengenalnya dengan nama sederhana: “Emak”. Tidak ada yang tahu nama aslinya. Awal pekan ini, Emak ditemukan meninggal, tiga hari setelah para tetangganya melihatnya hidup terakhir kali. “Sejak Jumat pekan lalu, Emak tidak pernah kelihatan,” kata seorang tetangganya. “Saat gubuknya dilongok, Emak sudah terbujur kaku di dalam.”

****

Menulis tanpa kata sifat ini menuntut wartawan, misalnya, untuk jeli mengamati detil serta mendahulukan fakta dan data ketimbang opini pribadi. Cara menulis seperti ini juga menghindari wartawan terjebak pada sekadar pernyataan, yang belakangan ini cenderung menciptakan
gaya buruk “jurnalisme omongan”.

Lebih dari itu, jika kita menggunakan konsep “Show It, Don’t Tell It”, paragraf-paragraf akan terbentuk secara alami, kuat, hidup dan mudah dikenang.

FARID GABAN