Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, July 7, 2008

Beasiswa

Beasiswa Penulisan & Penerjemahan Novel - Majelis Kata Indonesia 2008

Majelis Kata Indonesia merupakan lembaga filantropi yang berikhtiar menumbuhkan dan mewadahi bentuk-bentuk penciptaan sastra yang menggerakkan kritisisme sosial, semangat toleransi, dan kesadaran kebangsaan. Lembaga ini mendorong dan mendukung bentuk-bentuk penciptaan sastra yang memperluas cakrawala memahami kemanusiaan.

Majelis Kata Indonesia menyelenggarakan beasiswa penulisan dan penerjemahan novel 2008 dengan ketentuan-ketentuan ini:

1.

Gagasan penulisan dan penerjemahan novel yang menggerakkan kritisisme sosial, semangat toleransi, dan kesadaran kebangsaan dengan topik apa pun dan tanpa batasan jumlah halaman.
2.

Penerima beasiswa penulisan novel diberi dana setiap bulan sebesar Rp 1.000.000,- selama 6 bulan. Masa penulisan novel selama 6 bulan.
3.

Penerima beasiswa penerjemahan novel diberi dana setiap bulan sebesar Rp 1.000.000,- selama 6 bulan dan setiap hasil terjemahannya dihargai sesuai harga pasar. Masa penerjemahan novel selama 6 bulan.
4.

Penerima beasiswa penulisan novel bisa mendapatkan data atau konsultan yang relevan dari penyelenggara beasiswa.
5.

Novel penerima beasiswa akan diterbitkan oleh penyelenggara beasiswa dengan royalti sebesar 10% dari setiap kontrak penerbitannya. Penerima beasiswa penulisan novel berhak menawarkan novelnya ke penerbit lain setelah 4 tahun sejak penerbitannya yang pertama.
6.

Novel terjemahan penerima beasiswa akan diterbitkan oleh penyelenggara beasiswa tanpa royalti dari setiap penerbitannya. Penerima beasiswa penerjemahan novel berhak menawarkan novel terjemahannya ke penerbit lain setelah 4 tahun sejak penerbitannya yang pertama.
7.

Pelamar beasiswa mengirimkan 3 rangkap sinopsis novel yang akan ditulis atau 3 rangkap sinopsis novel yang akan diterjemahkan disertai judul novel, nama pengarang, nama penerbit, tahun terbit, dan fotokopi sampul depan. Pelamar beasiswa penulisan dan penerjemahan novel menyertakan fotokopi bukti identitas yang masih berlaku, nomor telepon, alamat pos, alamat e-mail, dan biodata singkat. Alamat penyelenggara beasiswa ini: MAJELIS KATA INDONESIA 2008, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Jl. Gatot Subroto Kav. 96-97, Mampang, Jakarta 12700
8.

Gelombang pertama beasiswa ini menerima surat lamaran hingga 1 Agustus 2008 (cap pos). Pelamar gelombang pertama yang disetujui akan dihubungi via telepon atau e-mail oleh penyelenggara beasiswa pada Minggu kedua September 2008. Penyelenggara beasiswa tidak mengembalikan dokumen para pelamar.
9.

Sinopsis penulisan novel dan sinopsis novel yang akan diterjemahkan akan diseleksi dan dinilai oleh tim kurator penyelenggara beasiswa. Semua keputusan tim kurator tidak untuk diganggu gugat.
10.

Demi profesionalitas, setiap penerima beasiswa akan menandatangi surat kontrak penulisan novel atau penerjemahan novel.

Wednesday, July 2, 2008

Tulis

Bagus Tak Bagus, Tulis Aja!
Oleh Ahmad Sahidin

Bagaimana membuat tulisan renyah dan enak dibaca? Ini pertanyaan yang saya ajukan pada seorang editor di Penerbit Mizan, Hernowo Hasim, yang saya kirim beberapa waktu lalu melaui sebuah e-mail.

Beberapa hari kemudian, ada balasan. Menurut Hernowo, seorang penulis atau yang baru belajar menulis harus memulainya dengan memperbanyak baca buku-buku untuk memperkaya kosa-kata.

“Perkayalah diri Anda dengan kata-kata. Banyaklah membaca buku-buku yang membuat Anda senang. Hanya dengan membaca, tulisan kita akan tidak membosankan. Jika kita ‘miskin kata/bahasa’ hasil tulisan kita juga akan monoton, tidak bisa mengalir enak,” tulis Hernowo.

Selanjutnya, ia harus mulai memilih dan memilah materi atau hal-hal yang akan ditulisnya. Jadi, pilihlah materi yang akan ditulis yang memang sudah menjadi bagian terdalam pengalaman diri sendiri. Libatkan benar diri ketika menulis. Jika diri terlibat, tulisannya akan kaya emosi dan menyentuh, tidak kering dan kaku.

”Pisahkan kegiatan mengeluarkan bahan tulisan dengan pengoreksian. Jangan mengoreksi saat Anda menulis. Keluarkan secara bebas bahan tulisan Anda hari ini, dan koreksi esok harinya. Semoga 3 tips itu bermanfaat bagi Anda. Saya akan coba kunjungi blog Anda,” tulisnya mengakhiri.

Oooh begitu caranya membuat tulisan yang enak dibaca dan tidak kaku itu. Tapi bila saya telusuri, aktivitas saya dalam tulis menulis sejak 2002-2003. Saya memulainya dengan membuat sebuat bulletin Alternatif (Institute for Human and Cultural Studies), sebuah media kampus tingkat fakultas. Saya bersama tiga kawan membuatnya dengan dana dan digarap pun bersama. Tirasnya sekitar 25 eksemplar. Jumlah halamannya mencapai 6-8. Ukurannya setengah kertas kuarto.

Pada edisi perdana saya menulis pengantar dan kolom opini. Saya juga sajikan beberapa ulasan buku-buku terbaru. Seorang dosen langsung merespon positif. Ia jadi penyumbang dana, materi dan tulisan. Hingga beberapa dosen pun memperbincangakan perihal bulletin tersebut. Saya sedikit merasa bangga karena dalam pembiacaraan mengenai kreatifitas mahasiswa fakultas, nama saya disebut-sebut. Tambah lagi ketika beberapa puisi dan esai pendek saya dimuat di HU. Pikiran Rakyat Bandung.

Dan beberapa kawan dan dosen memberikan selamat. Sampai dosen jurnalistik saya bilang, “Ente tak usah masuk kuliah. Nilai ente sudah ‘A’”. Wow, karena prestasi menulis, saya tak usah cape-cape bangun pagi dan masuk kuliah. Hhmm. Beberapa teman saya langsung meminta saya untuk mengajarinya. Saya pun ajarin. Hanya waktu itu saya tak punya teori seperti yang disampaikan Hernowo.

Saya hanya membaca buku yang banyak tentang bahan yang akan ditulis. Kalau akan menulis esai atau artikel filsafat sejarah, baca dulu buku filsafat sejarah minimal 4 buku. Baru setelah itu akan meluncur, mengalir begitu saja. Atau kalau tulisannya sebuah curhat, ya tulis apa adanya. Begitu pun komentar, tulis aja. Untuk membiasakan menggoreskan pena. Itu tips awal belajar tulis menulis yang saya gunakan dan ajarkan pada teman-teman.

Selanjutnya, bila sudah berhasil menuliskannya, berarti sudah menulis. Tulisan itu
kemudian dibaca berulang-ulang, ditimbang-timbang isinya, dan dinilai oleh sendiri. Dan setiap kali membaca yang saya tulis, ternyata banyak kurangnya. Saya pun menambah sana sini dan akhirnya tulisan pun panjang. Saya kaget, kok ternyata saya bisa juga menulis panjang gini. Ini yang ajaib buat saya. Padahal, jika saya memaksakan diri mengeluarkan atau menggores dua paragrap saja tak rampung, alias mandeg.

Tulisan yang sudah ditimbang dan ditambah kekurangannya, biasanya saya serahkan kepada teman dan kadang pada dosen. Saya minta mereka komentari. Biasanya mereka senang kalau diminta komentar dan perbaikan-perbaikan. Meski mereka bukan ahli tulis menulis, tapi biasanya jeli dan tahu letak kesalahan tulisan saya.

Saya pun memperbaikinya dan memuatnya dalam bulletin. Jadi dalam menulis satu tulisan, waktunya mencapai satu bulan. Ini hanya satu tulisan. Ini awal sih. Tapi ketika membuat tulisan yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, mengalir saja dan terasa begitu cepat. Dalam satu bulan, saya berhasil membuat lima tulisan.

Oh iya, dalam proses kreatif yang saya jalani itu, salah seorang kolumnis dan Pemimpin Redaksi Majalah Sunda Cupumanik, Hawe Setiawan, yang sempat saya minta komentarnya, menyarankan saya untuk melihat atau mencotoh alur dan gaya tulisan dari tokoh yang saya kagumi. Karena waktu itu saya lagi kagum pada catatan pinggir Gonawan Mohammad (GM) di Majalah Tempo, saya tiap sore sebelum menghadiri kajian selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk membaca catatan pinggir GM. Berbundel-bundel Majalah Tempo lama kubaca.

Hampir enam bulan saya baca Majalah Tempo dan buku-buku GM. Saya fokus, saya ingin meniru gaya tulisnya yang khas dan berbeda dari orang lain. GM: tulisannya sungguh hidup, renyah, tak ada kosa-kata atau kalimat yang mati. Seluruh kalimat dan kata-kata yang dipakainya berjalin-kelindan, menyatu-padu, dan tak kering. Ini kesan saya setelah membaca catatan pinggir GM. Jumlahnya mungkin sudah ribuan, bahkan lebih. Meski sudah usang wacana dan aktualitasnya, tapi bila dibaca, sepertinya punya “lokasi” tersendiri, sehingga saya tak merasa jemu atau merasa kadaluarsa ketika membacanya. Ini yang saya berbeda dan khas GM.

Satu lagi yang membuat saya begitu terpikat. Ia sosok yang luar biasa dalam khazanah Islam dan piawai dalam berkomunikasi, baik lisan mapun tulisan. Ya, tak salah lagi, Ustadz Jalaluddin Rakhmat (JR). Selain seorang ustadz, ia juga ahli dalam ilmu-ilmu rasional dan dikenal pakar komunikasi. Setiap kali saya baca buku-bukunya, terasa menyentuh dan bermakna.

JR dalam menorehkan gagasannya seringkali diawali dengan kisah-kisah sufi yang menyentuh. Atau juga mengambil petikan kata-kata hikmah dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam. Bahasanya renyah dan mudah dicerna. Alurnya enak, mengalir, dan mudah diingat. Ini yang membedakannya dengan GM. GM bahasanya kadang filosofis dan berbelit-belit, bahkan cenderung tak mengerti kalau si pembacanya tak paham isi dan arah dari tulisannya itu.

Masa proses kreatif itu saya pun mengasah tulis-menulis dengan meluncurkan sebuah bulletin LATERAL yang diterbitkan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) unit kegiatan mahasiswa IAIN, kini bernama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya menulis bersama teman-teman. Namun sayang hingga kini belum ada yang meneruskan atau melanjutkan media tersebut. Padahal kalau biacara fasilitas, generasi LPIK sekarang lebih mudah dan terfasilitasi. Berkarya itu memang butuh kemauan yang kuat dan berani berbuat. Ini intinya, menurut saya.

Alhamdulillah, aktivitas saya dalam tulis menulis pun berbuah: tahun 2004 saya masuk redaksi Majalah Swadaya—sebuah media pemberdayaan umat yang diterbitkan Lembaga Amil Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT) yang berlokasi di Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, pimpinan Aa Gym (KH.Abdullah Gymnastiar).

Dari redaksi Majalah Swadaya saya mulai mengenal kerja jurnalistik. Saya pun merambah dunia fotografy dan shooting video. Juga dunia internet, hingga punya blog http://altanwir.co.cc sebagai ruang dialog bersama teman-teman kuliah dan aktivis ormas/gerakan Islam Indonesia.

Saya pun hingga kini masih terus belajar tentang menulis yang baik, renyah, enak dibaca dan “bergizi” (istilah Hernowo) plus menggerakan pembaca. Itu sebabnya saya belajar, belajar, dan belajar, dari mereka yang senatiasa tak lelah untuk menorehkan pena. Dibaca tak dibaca, bagus tak bagus, tulis aja! Biar saya sendiri yang baca!.

AHMAD SAHIDIN,Kelahiran Bandung, 05 Agustus 1981. Alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Mengapa

Mengapa Manusia Suka Bermain?
Oleh Ahmad Gibson Al-Bustomie

Setelah filsafat manusia mengenal banyak sebutan untuk menamai atau menyebut identitas yang menjadi ciri khas pada manusia. Dua istilah dalam antropologi filsafat seperti homo erectus (manusia tegak) dan homo sapiens (manusia bijak), misalnya, selalu dipakai untuk menjelaskan kedudukan istimewa yang melekat pada manusia.


Yaitu, karena kemampuan intelegensinya,manusia bisa mengatasi, menguasai dan memperdaya hewan dan alam ciptaan lainnya seperti homo faber (manusia tukang) dan homo economicus (manusia hemat). Dua istilah ini mau dipakai untuk menunjukkan keterampilan manusia dalam menciptakan alat-alat dan keuletannya dalam mempertahankan hidup.

Terhadap bakat manusia untuk mengadakan hubungan dengan Yang Transenden dipakailah sebutan homo religiusus (manusia religius). Tetapisejak tahun 1938-an sebutan baru sebagai homo luden (manusia bermain) yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh sejarahwan Belanda, Prof. Johan Huizinga (1872-1945) harus diberikan pada manusia. Dengan demikian, kalau kita sekarang mendapat pertanyaan tentang siapakah manusia itu atau manakah identitasnya, maka dengan mudah kita akan bisa menjawabnya: Manusia adalah makhluk hidup yang (suka) bermain.

Universal, Serius dan Spontan
Manusia suka bermain. Saya pikir, terhadap pernyataan ini kiranya tak ada orang yang tidak menyetujuinya. Sebab, bermain merupakan satu kegiatan yang khas manusiawi yang sifatnya universal. Permainann dan aktivitas bermain selalu ditemukan di mana-mana pada setiap bangsa dan kebudayaan. Ruang lingkup kegiatan bermain dan permainan itu sendiri secar obyektif mampu menembus batas-batas usia dan jenis kelamin.

Keyakinan yang kini masih melekat pada beberapa orang, bermain hanya merupakan kegiatan yang khas terdapat pada dunia anak-anak, sama sekali tidak benar. Pengalaman kita sehari-hari bisa memperlihatkan, betapa banyak pula orang-orang dewasa bahkan mereka yang sudah berpredikat sebagai kakek-nenek pun sering kali sangat suka mengisi waktu senggangnya dengan bermain kartu atau catur.

Kini kita harus bertanya: Bermain, ini merupakan sebuah kegiatan yang sifatnya serius atau tidak? Saya cenderung untuk mengatakan sebagai kegiatan serius. Untuk menanggapi pertanyaan itu, baiklah kita menengok kosa kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia yaitu tiga pasang kata “main”, “bermain” dan “main-main”.

Makna literer yang terkandung pada masing-masing kata tersebut jelas berbeda satu sama lain. Dua kata yang terakhir yakni main dan main-main cenderung bernada peyoratif dan memberi kesan tidak serius atau sekedar iseng-iseng. Sedangkan aktivitas bermain hampir selalu dilakukan sebagai sebuah kegiatan yang serius, meskipun dalam praktiknya kegiatran tersebut sering dikemas rapi dalam suasana rileks dan lucu.

Fakta, setiap bentuk dan wujud permainan itu sifatnya serius barangkali sering dijelaskan demikian. Kita bisa menyaksikan sendiri, setiap orang yang terlibat aktif dalam kegiatan bermain itu dalam arti tertentu wajib memainkan satu peran atau memainkan benda-benda permainan anak-anak tradisional Jawa seperti pasaran.

Dalam permainan itu terlihat dengan jelas betpa anak-anak putri dengan serius menekuni perannya sebagai mbakyul bakul, embok-embok dan seterusnya. Demikian juga kalau orang dewasa sedang main brigde. Ketrampilan dan keseriusan dalam memainkan kartu-kartu itu jelas merupakan hal yang tak dapat ditawar untujk tidak dilakukan.

Sikap serius dalam bermain menjadi sangat tampak dan lebih jelas pada jenis-jenis permainan tertentu yang mengandung unsur kompetitif atau perlombaan. Disini keseriusan merupakan hal yang mutlak. Ini rup0anya berkaitan erat dengan unsur kompetitif atau persaingan yang melekat pada permainan itu sendiri, yakni keharusan untuk memenangkan persaingan di antara pihak-pihak yangh bermain.

Bisa juga dikatakan, keseriusan saat bermain adalah mutlak demi tegaknya sebuah bangunan nilai tertentu yang dengan sendirinya akan muncul ketika permainan itu dimulai. Masalahnya, bila orang tidak bersikap dan bertindak serius, maka bangunan nilai yang berupa aturan-aturan permainan itu pasti akan ambrol dan permainan itu sendiri akhirnya tidak bisa dijalankan lagi. Kini menjadi jelas, dalam bermain orang tidak bisa main-main. Demikian misalnya, anak-anak yang sedang bermain petak umpat akan selalu bersikap serius dalam memikirkan satu halyakni bagaimana mereka dapat bersembunyi tanpa harus diketahui musuh.

Menikmati Ketegangan
Disadari atau tidak, keseriusan dalam bermain ternyata mampu menciptakan sebuah ketegangan atau suasana tegang. Dalam arti tertentu hal itu malah mampu mnyuguhkan kenikmatan atau kepuasan. Menarik disimak kenyataan , ternyata orang senang mengalami dan merasakan ketegangan itu.

Banyak orang sangat betah dengan suasana permainan yang menumbuhkan ketegangan dan merasakan ketegangan itu sebagai kenikmatan, maka orang lalu memperoleh kepuasaan batin. Ini terjadi justru karena ketegangan itu baru bisa dibangun dan dicapai lewat sebuah perjuangan tertentu yaitu usaha keras dan keseriusan. Ibarat orang yang suka naik gunung ia akan mendapatkan kepuasaan batin yang sulit dicari gantinya, justru karena kepuasaan itu dicapai dengan usaha keras dan keseriusan.

Dalam permaian-permainan yang mengandung unsur kompetitif seperti adu ketangkasan, keterampilan, gerak cepat, kekuatan fisik atau kecepatan berpikir, persaingan dalam memenangkan permainan akan menjadi unsur dominan. Dalam konteks ini harus disebut, perlombaan dan pertandingan-pertandingan olah raga sebenarnya merupakan bentuk-bentuk permainan. Tetapi disini harus diberikan catatan penting. Sejauh mana pertandingan-pertandingan olahraga tersebut boleh disebut murni sebagai permaian?

Kiranya kriteria berikut ini bisa dipakai sebagai tolok ukur. Sejauh kegiatan olah raga itu betul-betul diadakan hanya demi sebuah permainan antarmanusia dan tidak menghilangkan ciri khas setiap permainan, uinsur spontanitas serta bebas dari unsur bisnis atau bukan demi satu prestise tertentu, maka kegiatan itu masih bisa disebut permaian.

Menjadi jelas, memang sangatlah lebar jurang perbedaan antar permainan spontan homo ludens sebagaima yang dimaksud Huizinga yakni bermain sebagai kegemaran manusia yang sifatnya arkais dan yang muncul dari kodrat asali kita sebagai manusia di satu pihak dengan kebiasaan bermain dalam pertandingan-pertandingan olah raga, baik yang amatir maupun lebih yang profesional di lain pihak. Dalam permainan-permainan jenis terakhir ini, yang berbucara bukan lagi unsur spontanitas sebuah permainan melainkan lebih-lebih pertimbangan praktis-ekonomis seperti demi sebuah prestasi atau demi fulus atau duit.

Suka Bermain
Mengapa manusia suka bermain? Kiranya jawaban atas pertanyaan ini sebaiknya kita gali dari pengalaman kita sehari-hari dalam menjalankan aktivitas bermain. Untuk itu, baiklah kita bertanya: Perasaan macam apa yang biasa kita peroleh setelah bermain? Jawabannya tentu saja bisa beragam. Orang dapat ,mengatakannya sebagi kepuasaan, kenikmatan, kesegeran kembali, perasaan plong, dan seterusnya. Kiranya memang unsur-unsur perasaan itulah yang secar tidak langsung mau dicari orang bila ia bermain atau aktif terlibat dalam aneka macam bentuk permainan.

Menarik disimak kenyataan, berbagai bentuk kepuasan di atas justru bisa diperoleh karena dalam bermain orang boleh-bahkan sering kali malah diharuskan-membangun sebuah dunia rekaan baru yang lain sama sekali dari kenyataan sehari-hari. Dengan demikian, orang seakan harus pindah beralih dari kenyataan yang faktual ada menuju pada sebuah dunia lain yang buisa menjanjikan sesuatu, seperti misalnya kepuasan batin.

Dengan cara itu, segala urusan tektek bengek sehari-hari bisa sedikit terlupakan dan dengan masuk ke dalam dunia rekaan ini, orang pun lantas merasa tertarik untuk mengejar kepuasan batin. Dalam arti ini memang bisa dikatakan, permainan bisa membius orang, tetapi tentu saja dalam arti yang sangat positif. Sebab, dengan bermain manusia justru bisa mengalami variasi dalam hidupnya. Bisa dibayangkan betapa manusia akan menjadi bosan kalau hidup dalam sebuah rutinitas melulu tanpa adanya variasi dalam hidupnya. Variatio delectat, variasi itu menyenangkan orang, demikian bunyi pepatah Latin.

Satu-satunya cara agar dunia rekaan itu tetap eksis dalam permainan, maka setiap orang yang terlibat dalam permainan itu juga haraus menjaga keseriusan. Setiap pihak harus patuh dalam bersikap yakni memelihara agar bangunan nilai yang berupa aturan-aturan main itu sungguh ditaati. Kalaupun melanggar harus ada sanksinya. Sekali saja orang tidak mau patuh dan melanggar aturan permainan tetapi tidak mau menerima sanksinya, runtuhlah semua pilar-pilar yang menyangga bangunan dunia rekaan itu.

Bukan Monopoli Manusia
Dalam kata pengantar bukunya, Homo ludens. Proeve eener bepaling van het spel-element der cultuur (Manusia Bermain. Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya), Prof. J. Huizinga mengatakan, julukan baru untuk manusia sebagai homo ludens (manusia bermain) sudah selayaknya perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan sebutan-sebutan lain untuk manusia yang sudah ada sebelumnya. Komentar seperti ini jelas mengartikan, bermain merupakan unsur konstitutif dalam eksistensi manusia dan mencirikan siapa manusia itu sesungguhnya.

Tetapi kita tergoda untuk bertanya lebih lanjut: Apakah bermain itu hanya kegiatan yang dimonopoli manusia saja? Jawaban atas pertanyaan ini kiranya jelas: tidak. Sebab, binatang pun sering bermain. Bukan saja hal itu dilakukan sendiri, melainkan seringkali malah dalam sebuah kelompok. Demikianlah misalnya, dua anak kucing yang bermain-main dengan saling mencakar dan saling mengejar antar mereka sendiri. Kucing pun bisa asyik dalam sebuah permainan.

Unsur apa yang membedakan antara kegiatan bermain pada manusia dan permainan pada binatang? Kiranya harus disebut begini. Permainan dalam dunia hewan menampilkan fakta, binatang melakukan hal itu sebagai kegiatan main-main saja. Kita lihat, misalnya, kejadian dimana dua atau tiga ekor kucing sedang bermain. Bilamana satu anak kucing sudah mulai mengeong tajam karena gigitan temannya pada lehernya dirasa terlalu keras, maka secara spontan kucing satunya akan melepaskan gigitan itu. Dan kemudian mereka bermain lagi.

Sedangkan permainan dalam dunia manusia ternyata menampilkan fakta yang berbeda. Bermain pada umumnya merupakan kegiatan serius, dalam arti dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semua ini dilakukan demi mendapatkan fun yakni gabungan unsur lucu dan menyenangkan. Meski dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh, unsur fun akan selalu tetap eksis dalam setiap permainan manusia. Dan memang inilah ciri khas paling unik pada setiap permainan manusia. Kiranya jelas, justru karena adanya unsur fun ini pada setiap permainan, maka saya, anda dan kita semua pasti sangat suka diajak teman untuk bermain.


PENULIS adalah dosen filsafat di Fakultas Filsafat dan Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Hunung Djati Bandung

Wahib

Sayembara Penulisan Esai Ahmad Wahib Award 2008

Forum Muda Paramadina, Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (HIMAFA) Universitas Paramadina, dan Soetrisno Bachir Foundation menyelenggarakan sayembara penulisan esai Ahmad Wahib Award bagi mahasiswa (S1) seluruh Indonesia.

Total hadiah: Rp. 45 Juta.

Ketentuan Sayembara:
1. Naskah harus asli, bukan terjemahan, saduran, atau mengambil dari karya yang sudah ada.
2. Belum pernah diterbitkan di media apapun, dan tidak sedang diikutkan dalam sayembara apapun;
3. Peserta sayembara memilih salah satu dari tiga tema yang telah ditentukan;
4. Sayembara esai ini menekankan aspek argumentasi, ketajaman pemikiran, dan gaya penulisan;
5. Lima orang nominator penulis esai terbaik akan diwawancarai oleh Dewan Juri. Pemberitahuan akan disampaikan kemudian;
6. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak, mengikat dan tidak bisa diganggu-gugat;
7. Naskah yang masuk menjadi hak panitia dan tidak dikembalikan;
8. Sayembara ini tidak berlaku bagi panitia.

Persyaratan- Persyaratan:
1. Peserta hanya boleh mengirim 1 (satu) naskah;
2. Naskah sayembara dikirim rangkap 2 (dua), diketik di atas kertas ukuran kuarto (margin 3 cm di setiap sisi), spasi ganda, menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, dengan panjang naskah antara 20-30 halaman;
3. Kiriman naskah harus dilengkapi dengan identitas penulis: biografi singkat; fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM); 2 (dua) lembar foto berwarna ukuran 3 x 4; dan alamat lengkap, nomor telepon, serta alamat e-mail;
4. Naskah dimasukkan ke dalam amplop tertutup, dengan di sudut kiri atas amplop ditulisi “Sayembara Esai Ahmad Wahib Award�;
5. Naskah dikirim ke alamat panitia: Pondok Indah Plaza III, Blok F 4-6. Jl. TB. Simatupang, Jakarta, 12310;
6. Naskah dikirim paling lambat, Jumat, 29 Agustus 2008 (cap pos atau diantar langsung).

Rincian Hadiah:
Juara I Rp. 20..000.000,-
Juara II Rp. 15.000.000,-
Juara III Rp. 10.000.000,-

Pengumuman Pemenang
Kamis, 30 Oktober 2008
Di Universitas Paramadina, Jakarta

Tema
 Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia
 Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam
 Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?

Dewan Juri
 Budhy Munawar-Rachman
 Ihsan Ali-Fauzi
 Lies Marcoes-Natsir
 Luthfi Assyaukanie
 Maria Hartiningsih
Contact Person:
Achun (0856 9768 5005), Indra (0856 7907 785)

Monas

Pelurusan Fakta Tragedi Berdarah Monas
Oleh Saidiman

Tragedi Monas, 1 Juni 2008, berupa penyerangan kelompok Front Pembela Islam (FPI) kepada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan telah menjadi bahan perbincangan publik yang terus bergulir tak tentu arah.

Tulisan ini ingin sedikit memberi klarifikasi terhadap kesimpangsiuran berita yang mulai cenderung salah arah tersebut.

Penyerangan, Bukan Bentrok

Beberapa media tidak segan-segan menyebut tragedi ini “bentrokan” antara massa FPI dan AKKBB. Istilah bentrokan sungguh menyesatkan karena itu mengandaikan AKKBB juga terlibat dalam aksi kekerasan tersebut.

Faktanya, FPI menyerang massa AKKBB. Saat itu, acara belum dimulai. Sebagian massa AKKBB berada di pelataran Monas menunggu aksi longmarch yang akan dimulai dari kawasan belakang stasiun Gambir. Sambil menunggu massa AKKBB yang lain, massa yang ada di pelataran Monas tersebut duduk-duduk. Ketika massa FPI mendekat, massa AKKBB diperintahkan untuk duduk. Saya sendiri yang menyampaikan kepada massa untuk tidak terprovokasi, karena kami melihat massa FPI semakin dekat dan berteriak-teriak sambil mengancung-acungkan pentungan. Saya lalu meminta massa untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Belum sempat lagu kebangsaan itu dinyanyikan, massa FPI sudah menyerbu. Mereka memukul dengan pentungan bambu, meninju, menendang, menginjak-injak, sambil melontarkan sumpah serapah. Saya masih sempat menyeru massa AKKBB untuk tetap duduk, sebab kesepakatan kita, aksi ini adalah aksi damai. Kalau ada serangan fisik, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Massa AKKBB memang patuh kepada kesepakatan, tidak ada satupun massa yang melakukan perlawanan. Tetapi karena serangan begitu massif, akhirnya massa AKKBB bubar menyelematkan diri. Ibu-ibu menangis, anak-anak menjerit ketakutan, puluhan orang menderita luka.

Tidak Ada Provokasi

Beberapa hari setelah tragedi, muncul pemberitaan bahwa massa AKKBB melakukan provokasi terlebih dahulu melalui orasi yang menyatakan bahwa massa penyerang itu adalah “laskar setan atau iblis.” Itu adalah dusta besar. Faktanya, acara belum dimulai. Orasi belum dilaksanakan. Yang ada hanyalah seruan kepada peserta AKKBB untuk duduk, untuk tidak terprovokasi, dan untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Dan tidak pernah ada bukti bahwa orasi provokasi benar-benar dilakukan oleh AKKBB.

Patut dicatat beberapa pernyataan dalam orasi-orasi pemimpin serangan FPI pada saat serangan telah dilakukan. Alfian Tanjung mengatakan di depan massa FPI: “Saya bangga dengan Anda semua yang telah melibas mereka dengan cepat.” Indikasi bahwa aksi ini dilakukan secara terencana dan dengan restu Riziq Shihab bisa dilihat dari pernyataan Alfian Tanjung selanjutnya: “Pada pertemuan terakhir kita dengan Habib Riziq, dia memegang tangan saya, “Ustadz Alfian, hari minggu siang kita perang.” Pada kesempatan itu, Alfian juga mengatakan bahwa mereka baru saja menang satu kosong, dan mereka akan terus menang sampai 1000 kosong.

Menjelang bubar, Munarman menyampaikan kepada massanya bahwa aksi mereka hari itu belum apa-apa: “Kita belum memenangkan pertempuran… Berikutnya kita akan datangi tempat-tempat mereka. Kita akan datangi yang namanya Goenawan Mohamad. Kita akan datangi yang namanya Asmara Nababan.” Munarman juga menyampaikan: “Sudah ada penyampaian baik dari polisi maupun intelijen kita yang menyatakan konsentrasi massa pembela-pembela Ahmadiyah itu sudah bubar. Tidak ada kegiatan di HI dan di depan RRI.”

Bukti-bukti orasi ini sangat penting untuk melihat FPI memang melakukan serangan secara terencana dan bukan insidental.

Senjata Api

Ada foto yang beredar tentang seorang berbaju putih yang mengangkat pistol. Ini, oleh beberapa berita, disebut sebagai provokasi dari AKKBB. Perlu ditegaskan kembali bahwa aksi hari itu adalah aksi Apel Akbar Peringatan 63 Tahun Pancasila dengan tema “Satu Indonesia untuk Semua.” Sejak awal, aksi AKKBB adalah aksi damai. Jangankan memprovokasi, kita bahkan sepakat bahwa jika ada serangan, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Tidak pernah ada instruksi bagi peserta aksi untuk membawa senjata tajam. Fakta bahwa banyak peserta aksi adalah ibu-ibu dan anak-anak adalah bukti bahwa aksi ini memang dirancang dalam format damai.

Ada anggapan bahwa si pembawa pistol adalah massa AKKBB karena mengenakan pita merah putih di lengan bajunya. Yang harus diketahui adalah bahwa panitia aksi hari itu sama sekali tidak menyediakan atribut pita merah putih yang dipasang di lengan baju. Panitia hanya menyediakan kalung pita merah putih yang hanya dipakai oleh para perangkat dan simpul-simpul aksi. Aksi ini sendiri bersifat umum karena mengundang siapa saja melalui media massa dan pengumuman internet. Penggunaan atribut pita merah putih di lengan baju dilakukan pada aksi AKKBB sebelumnya, 6 Mei 2008. Tetapi pada 1 Juni 2008, panitia tidak menyediakan atribut serupa.

Ada pernyataan Munarman yang menarik. Dia mengatakan: “Kami tidak bisa dibohongi karena sudah menyusupkan orang kami di tengah-tengah mereka….” (Sabili No. 25 Th. XV).

Keluar Rute

Massa AKKBB juga dianggap menyalahi pemberitahuan kepada pihak polisi karena tidak patuh kepada rute awal, yakni belakang stasiun gambir kemudian menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI). AKKBB dianggap melanggar karena masuk ke pelataran Monas.

Faktanya, rencana aksi AKKBB akan dimulai pukul 14.00 WIB. Penyerangan yang dilakukan FPI di dalam pelataran Monas adalah pukul 13.15 WIB. Perlu diketahui adalah bahwa massa AKKBB yang ada di pelataran Monas tersebut tidak sedang melakukan aksi, melainkan bersiap-siap menuju tempat dimulainya aksi, yakni belakang stasiun Gambir. Massa yang diperkirakan hadir pada aksi peringatan Pancasila tersebut adalah sekitar 10.000 orang. Massa ini belum berkumpul pada satu titik secara utuh, mereka masih berpencar di sekitar Monas, karena hari itu memang Monas sangat ramai. Massa AKKBB masih menunggu dimulainya aksi. Massa AKKBB masih bergerombol di banyak sekali tempat di sekitar Monas. Salah satu kumpulan massa yang terbesar adalah di tempat di mana massa FPI menyerang tersebut. Massa AKKBB masih ada di banyak tempat, sebagian besar masih dalam perjalanan. Tidak benar aksi keluar dari rute, sebab aksi belum dimulai.

Menipu Peserta

Berita terakhir yang banyak beredar bahwa AKKBB telah menipu massa anak-anak dan ibu-ibu yang diajak untuk berwisata ke Dufan, tetapi kemudian diarahkan menjadi peserta aksi. Ini juga adalah dusta.

Faktanya, aksi peringatan Pancasila ini sudah diberitakan melalui tidak kurang dari delapan media cetak. Pemberitahuan ini juga ditambah dengan pengumuman di pelbagai mailing list. Dan tidak pernah keluar bukti bahwa para peserta itu ditipu. Yang terjadi adalah upaya untuk memfitnah aksi AKKBB ini dengan pelbagai cara.

Pengalihan Isu BBM

Fitnah yang paling keji dan menggelikan adalah ketika tragedi Monas disebut sebagai bentuk pengalihan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sengaja dilakukan oleh AKKBB. Fitnah ini sangat keji, karena peserta aksi AKKBB yang prihatin terhadap gejala pengabaian dasar negara, Pancasila, kemudian tanpa bukti disebut untuk mengalihkan isu.

Faktanya, jika tragedi ini disebut sebagai pengalihan isu, maka sesungguhnya yang patut disebut sebagai pelaku pengalihan isu adalah massa penyerang. Inisiatif menyerang ada di tangan FPI. Kalau mereka tidak melakukan gerakan serangan, maka barangkali isu kenaikan harga BBM akan tetap jadi perbincangan. Sekali lagi, AKKBB adalah korban dari sebuah inisiatif serangan dari pihak FPI.

Teologi

Teologi Keberagamaan Pluralisme Liberatif
Oleh Apuy

“Meskipun ada bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka’bah?....oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; namun pabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuannya terarah hanya pada satu tujuan.”[Jalaludin Rumi]

AGAMA adalah obyek perbincangan dan pergerakan yang senantiasa terus menarik untuk didiskusikan sepanjang zaman, rentangan waktu dari hal-hal yang berbau mitos hingga dimana sains mendominasi dalam berbagai hal. Hal ini di sebabkan karena fungsi dan peran agama yang unik dan menarik, yaitu sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama, di satu sisi menjadi pedoman kehidupan, perdamaian, dan tuntunan moralitas demi keselamatan baik individu maupun social secara universal. Akan tetapi, di sisi lain agama sering menjadi penyebab konflik, peperangan, kultus, dan kekacauan atau chaos bagi kelangsungan hidup umat manusia.


Di samping itu, fenomena dan fakta yang terjadi di lapangan, agama sering dicampuradukkan dengan penafsiran keagamaan. Maksudnya; perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Adanya truth claim; pada kelompok sendiri, dan kelompok yang lain dianggap jauh menyimpang dari kebenaran diluar dari golonganya, agamanya, keyakinannya dan dicap sesat atau murtad (orang yang keluar dari agama), sedangkan yang menurut mereka benar adalah apa yang jalani menurut keyakinannya. Seperti apa yang dikemukakan oleh kelompok konservatif garis keras yang menolak fakta pluralisme, yang terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu tentu saja berbahaya karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan keagamaan.

Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya. Munculkan klaim kebenaran dan penafsiran agama itu juga menjadikan para pemeluk agama dan tokoh agama berperilaku dengan menggunakan standar ganda (double Standards) kebenaran. Maksudnya baik orang Islam ataupun non Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang bersifat ideal dan normative untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain, memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis.

Paradigma Keberagamaan
Penafsiran dan keberagamaan, pada dasarnya muncul sesuai dengan tingkat pengetahuan, lingkungan sosial dan kultural, serta keyakinan yang dibawanya sejak dari kecil (agama orang tua). Hingga dewasa ini, paradigma keberagamaan umat manusia umumnya bisa ditipologikan menjadi tiga golongan.

Pertama, paradigma eksklusif, pandangan yang dominan ada pada kalangan ini, adalah bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” , sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi” Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.

Kedua, paradigma inklusif, menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu dengan mereka, seluruhnya ditulis oleh Allah Ta’ala bahwa menyesuaikan diri dengan pembawa, kaum penerima, bahasa, serta lingkungan geografis. Menurut pandangan Umar Sulaiman Al-asyqar, seorang sarjana Muslim yang berdomisili di Kuwait, memaparkan pandangaannya tentang kesatuan agama menegaskan bahwa agama yang diturunkan Allah kepada Nabi dan rasul adalah satu, yaitu Islam. Islam bukan nama untuk satu agama tertentu, tetapi adalah nama yang didakwahkan oleh semua nabi. Senada dengan apa yang dikatakan Nurcholish Madjid. “ Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah dalam (Q 3:85 dan Q 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka nabi Muhammad s.a.w diutus, melainkan hal ini merupakan suatu hokum umum (hukm amm, ketentuan universal) tentang manusia masalau dan manusia kemudian hari. Kesemuanya itu mengisyaratkan adanya titik temu agama-agama ini harus dijadikan sarana untuk membuka diri atau bersimpati terhadap kebenaran agama orang lain. Kalau Allah menghendaki, maka umat manusia itu menganut satu agama saja, tetapi Allah menciptakan beragam agama, agar bisa menguji siapa yang paling baik amalnya, yang diharuskan adalah berlomba-lomba dalam kebajikan (Fatabikhul khairat)

Ketiga, paradigma pluralis atau paralel. Menurut kalangan ini, setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. Tokoh paradigma ini adalah John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Menurut dia, teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai "agama primordial" atau "nilai perenial".

Oleh karena itu, perbedaan agama pada kalangan ini diterima sebagai pertimbangan dalam prioritas "perumusan iman" dan "pengalaman iman". (Islam Pluralis, hal. 49-50). Sama apa yang dirumuskan oleh Sayyid Hossein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut. Sikap pluralis bisa diterima jika seandainya perbedaan antara Kristen dengan Islam diletakan dalam posisi yang lebih penting diantara keduannya. Islam mendahulukan perumusan iman, dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sedangkan dalam ke Kristenan mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akal Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan pada sakramen Misa dan Ekaristi) dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis melalui Trinitas.
Ketiga tipologi paradigma keberagamaan di atas bukanlah hal yang kaku dan tetap. Akan tetapi, semuanya adalah persoalan pilihan kehidupan dan keyakinan. Apa yang kita anggap sesuai dengan keyakinan kita tentang konsepsi teologi tanpa menjustifikasi penganut lain yang tidak sepaham. Hal itu menjadi masalah tersendiri, ketika realitas sosial dan masyarakat yang ada menunjukkan fakta yang berbeda dengan keyakinannya. Artinya, paradigma keberagamaan itu bisa mengganggu orang lain dan kurang memberikan manfaat pada tatanan sosial yang ideal.
Fakta dan keniscayaan pluralisme

Pluralitas adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Hal itu nampak pada pluralitas agama, budaya, latar belakang pendidikan, ras dan suku, serta kesenangan bahkan jalan hidup masing-masing manusia. Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.

Keragaman di atas pada awalnya memang tidak menimbulkan persoalan atau gejolak sosial. Mari kita lihat apa yang yang merjadi konflik di Indonesia akhir-akhir ini, dimana konflik merebak dengan mengusung bendera agama dan ras, kalau kita menelaahnya sesungguhnya konflik tersebut berawal dari factor social, ekonomi, dan politik seperti kerusuhan bernuansa SARA menewaskan ribuan manusia seperti kerusuhan Ambon, timor-timur, Sambas dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang terjadi karena dilator belakangi oleh konflik agama. kerusuhan masaal yang terjadi tahun 1998 dimana ratusan gereja dan tempat usaha etnis China dibakar, dirusak dan dijarah, bahkan yang tidak manusiawi anak-anaknya diperkosa bahkan ada yang sampai dibunuh.

Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama yang berjuang menegakan ajaran Tuhan dimuka bumi Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan. Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.

Yang menjadi kecurigaan; jangan-jangan ada kekuatan lain yang menggerakannya sehingga yang muncul adalah konflik yang dibangun seakan-akan bermuatan SARA. Karena mereka sering dibarengi dengan keinginan untuk menguasai, (social, politik dan ekonomi) meminjam istilah Nietzsche - will to power -, sering menjadikan mereka menghalalkan segala cara. Penghalalan segala cara adalah naluri hewaniah manusia yang sering muncul ke permukaan. Padahal, ada sebuah nilai keluhuran manusia berupa akal sehat dan hati nurani yang harus senantiasa dipertimbangkan ketika melakukan sebuah tindakan.

Nilai keluhuran dan kemanusiaan itu ketika diperhadapkan dengan realitas pluralitas, adalah sebuah sikap yang menghargai perbedaan disertai dengan kearifan menerima dan mengakui kebenaran orang lain. Dalam keberagamaan, sikap ini mewujud dalam implementasi paradigma pluralisme agama sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, dalam realitas pluralitas yang terbentang di hadapan kita, sebuah sikap pluralis dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Amin Abdullah (1999), realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme keagamaan itu, disebabkan oleh adanya hegemoni kepentingan dan egoisitas pada sekelompok orang atau golongan tertentu. Tindakan dan kepentingan itu juga sering mereka justifikasi dengan landasan teks-teks keagamaan.

Anehnya, penafsiran teks keagamaan itu sering mereka lakukan secara terpisah dengan realitas sosial yang terbentang di permukaan. Padahal, untuk menciptakan sebuah pluralisme keagamaan meniscayakan penafsiran yang mengompromikan antara aspek historisitas dan normativitas teks keagamaan (baca-kontekstualisasi).

Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat "gado-gado" agama, atau dalam istilah lain disebut sinkretisme yaitu pandangan yang mencampuradukan semua agama atau menjalankan ajaran semua agama sekaligus karena semuannya dianggap memberikan keselamatan (Jalaludin Rakhmat) ;namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti ditegaskan oleh Alwi Shihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya (Islam Inklusif, Mizan, 1997). Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah sikap untuk menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran. karena setiap pemeluk agama lain terdapat keselamatan.
Pluralisme keagamaan dan praksis sosial

Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawabannya atas problem kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar. Maka, pernyataan Gregory Baum (1999) yang menyatakan bahwa kebenaran agama terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris, sangatlah relevan. Bila agama tidak menunjukkan kedua hal itu lewat penafsiran dan perilaku pemeluknya, maka lambat laun agama pasti menjadi komoditi yang tidak laku di pasaran. Bahkan akan sampai pada pembunuhan nilai-nilai spiritual seperti yang terjadi akhir-akhir ini dimana agama dikambing hitamkan penyebab berbagai konflik horizontal. Jika seorang pemeluk agama bentrok dengan pemeluk agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan melawan kezaliman” sedangkan jika orang yang berada di agama lain akan berpikiran sebaliknya.

Oleh karena itu, pluralisme keagamaan haruslah juga menghadapkan dirinya dengan problem kemanusiaan kontemporer. Maksudnya, teologi pluralis haruslah mempunyai tujuan spesifik untuk membebaskan kesengsaraan dan penderitaan umat. Hal tersebut bisa dilakukan, jika para agamawan dan umat beragama mengembangkan - meminjam istilah Erich Fromm - keberagamaan yang humanistik. Artinya, mereka senantiasa peduli, peka, dan mempunyai komitmen terhadap penderitaan yang terjadi di sekelilingnya. Kepedulian dan kepekaan ini, menurut Paulo Freire, akan terwujud jika mereka memiliki kesadaran kritis dalam melihat setiap kejadian dan permasalahan.

Bila teologi pluralis itu tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirubuhkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan (Jurgen Habermas, 1993). Maka, teologi pluralis sudah selayaknya mempunyai dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.

Sebab, jika tidak dilakukan, teologi itu justru bisa dimanfaatkan oleh sekelompok agamawan guna melanggengkan status quo kekuasaan dan pemberangusan kritisisme masyarakat seperti yang terjadi menimpa umat Islam sekarang dimana hanya tunduk pada titah sang Kyai yang hanya mendasarkan agama secara tekstual tradisional, sehingga santrinya didorong dipaksa bersikap taklid terhadap keyakinan baik secara teologis maupun dalam tataran praksis.

Sekedar Penutup
Akhirnya, keberagamaan pluralis adalah sebuah agenda pekerjaan mendesak yang membentang di hadapan kita. Mengingat, banyak problem-problem ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan kemanusiaan lainnya yang tidak lekas terselesaikan akibat ketidakseriusan sebagian orang. Maka, kaum agamawan dan umat beragama hendaknya memelopori sebuah praksis sosial yang berwujud pada kesadaran kritis dan keterlibatan pada upaya demokratisasi dan pengentasan krisis terutama krisis berfikir. Apa yang kita harapkan adalah munculnya pandangan-pandangan keagamaan yang lebih progresif, inklusif, dan kesaling pengertian antar agama, yang telah menjadi obsesi cultural maupun teologis kita di Indonesia.
*****
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat. Jakarta: Kompas, 2002.
Akbar S Ahmed. Postmodernisme and Islam, Terjemahan Afif Muhammad. Mizan, Bandung, 1998.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung: 1999.
Bulletin Kebebasan. Edisi 01,02,03 dan 04. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Jakarta; 2006
Jurnal Emanasi, edisi 01, Lembaga Kajian dan Penulisan UIN SGD Bandung, 2001
John Hickk, God and the Universe of Faiths, One World Publications Oxford, i993
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keislaman, Kemanusiaan, Dan Kemodernan, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet 3
Madjid, Nurcholish. Pluralisme di Indonesia, jurnal Ulumul Qur’an, No 03, Vol VI i995
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 1997
Muhammad, Afif. Islam Mazhab Masa depan: Menuju Islam Non-Sekterian. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998
Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Pluralisme; Nurcholish Madjid. Paramadina; Jakarta 2007
Rachman, Budhy Munawar. Pluralisme dan Masalah Teologi Agama-agama, 1999
Osman, Fathi. Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an, kemanusiaan, sejarah, dan peradaban. Paramadina; Jakarta 2006
Schoun, frithjop. Mengenai jejak-jejak agama abadi (Sur Les traces de la Religion perenne) diterbitkan pada tahun 1982
Schoun, frithjop. Mencari titik temu Agama-agama, terj, Safroedir bahar dari judul asli, The Transenden Unity of Religion, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987