Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, August 4, 2008

Ilmu

Pentingnya Menuntut Ilmu
Oleh Ahmad Sahidin

Tidak ada agama yang begitu serius mengatur persoalan ilmu dan pendidikan, selain agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Agama yang diridhai Allah Ta`ala ini, menempatkan ilmu pada posisi yang luar biasa, sehingga umat Islam diwajibkan untuk menuntutnya.

Ada beberapa hadits yang menjadi rujukan mengenai hal tersebut. Di antaranya adalah “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (HR.Bukhari); “Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penunutu ilmu tanda ridha dengan yang dia perbuat”(HR.Muslim); “Barangsiapa keluar dalam rangka mencari ilmu, maka dia berada di dalam jalan Allah hingga kembali” (HR. Tirmidzi); dan dalam hadits yang diriwayatkan Ar Rabii’, Rasulullah SAW bersabda, “Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Sedangkan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat.”

Bahkan dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menegaskan pentingnya mencari, mempelajari, dan menjadi orang berilmu. Di antaranya ” …Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S.Al-Mujaadilah [58] : 11); ”Katakanlah: ’Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Q.S. Az-Zumar [39]: 9); “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang yang berilmu (ulama)” (Q.S.Fathir [35]: 28); dan ayat-ayat lainnya.

Ilmu yang bermanfaat
Meski memang sangat dianjurkan, namun dalam menuntutnya tidak sembarang ilmu. Ilmu yang wajib dituntut oleh umat Islam adalah ilmu yang bermanfaat, yang benar, yang bisa mendekatkan kepada Allah, dan mendapatkan kebahagiaan bagi diri, keluarga, dan masyarakat, serta bermanfaat di dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak cucu Adam wafat, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholih yang mendoakan orangtuanya” (HR.Muslim). Salah satu jenis ilmu yang termasuk dalam hadits tersebut, adalah ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lainnya yang banyak bersinggungan dengan kehidupan umat Islam. Adapun ilmu yang tidak manfaat, bahkan terlarang adalah ilmu sihir, ilmu meramal (astrologi), ilmu-ilmu umum atau teknologi yang digunakan di jalan kemaksiatan, kedurhakaan, atau yang dapat menghancurkan bangsa.

Mengingat pentingnya menuntut ilmu yang bermanfaat, Rasulullah SAW sendiri dalam sebauh riwayat pernah memohon dalam salah satu doanya, “Allaahumma inni a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u (Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).

Ada dialog Nabi Daud a.s yang menerima wahyu dari Allah. Allah berfirman, “Wahai, Dawud, pelajarilah ilmu yang bermanfaat.”

“Ya, Rabbi, apakah ilmu yang bermanfaat itu?” tanya Nabi Daud a.s.

Allah berfirman, “Ialah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui keluhuran, keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan engkau kepada-Ku”.

Jelas dari hadits qudsi ini bahwa ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang bisa membuat kita semakin mengenal Allah, dekat kepada Allah, dan yang bisa meningkatkan keimanan kita kepada Allah Ta`ala.

Hikmah menuntut ilmu
Selain bisa mengangkat derajat, ilmu juga bisa menurunkan derajat manusia hingga membawa kehancuran. Nuklir atau senjata modern yang digunakan menghancurkan negara yang tak jelas dosanya, menjadikan pelakunya mendapat cemoohan dan hujatan, sehingga wibawa kemanusiaanya tak dihargai lagi dunia. Contohnya Amerika Serikat dan Israel serta sekutunya, hingga kini citranya buruk di mata dunia.

Hikmah lainnya, ilmu menjadi bukti kontribusi bagi peradaban dunia. Sejarah Islam telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya tentang ilmu al-jabar atau algoritma dikembangkan oleh Al-Khawarizmi; bidang kedokteran oleh Avicenna (Ibnu Sinna); bidang ilmu sosial dan filsafat oleh Averroes (Ibnu Rusyd); bidang sejarah dan sosiologi oleh Ibnu Khaldun; bidang ilmu jiwa dan spiritual oleh Imam Al-Ghazali; bidang politik dan kosmologi oleh Farabi dan Al-Kindi; bidang hukum dan ekonomi Islam oleh para fuqaha(Imam Ja`far Ash-Shadiq, Imam Asy-Syafi`i, Imam Ahmad bin Hambali, Imam Malik bin Anas, dan Abu Hanifah); bidang sastra dan bahasa oleh Ibnu Thufail; dan tokoh-tokoh muslim lainnya.

Di masa sekarang pun kita mengetahui beberapa tokoh muslim yang berhasil mendapatkan penghargaan dunia atau nobel, seperti Abdussalam dalam bidang sains dan Muhammad Yunus di bidang pemberdayaan masyarakat.

Mereka menjadi terkenal di dunia ilmu pengetahuan karena ketekunannya dalam menuntut ilmu sehingga berhasil meraih prestasi yang gemilang. Para tokoh tersebut tetap saja dikenang meski telah wafat. Jelaslah bahwa dengan menuntut ilmu dan belajar, derajat manusia terangkat dan menjadi teladan sepanjang sejarah. Karena itu, sungguh tidak sesuai dengan landasan agama bila seorang muslim tidak belajar atau menuntut ilmu sepanjang hidupnya.

*Alumni SPI (Sejarah dan Peradaban Islam) Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung

Sains

Sains dan Agama dalam Sketsa
Oleh Arken

Historiografi Sains dan Agama

Pertemuan sains dan agama pada dasarnya tidaklah selalu mengkerucut ke dalam anggapan akan pertemuan dua ranah yang berbeda, sebab keduanya seolah membaur dalam keseharian yang hampir tidak dapat dicerna secara terpilah. Bahkan untuk menentukan manakah dari keduanya yang lebih dulu merasuki kehidupan manusia, juga tidaklah pernah mendapat jawabannya yang pasti.

Dalam hal ini tentu istilah sains dan agama sendiri lebih dirujukkan pada pengertian awalnya yakni; yang pertama, penyelidikan dan penafsiran atas semesta hingga bisa diketahui jawaban dari pelbagai fenomena yang terjadi, dan yang kedua sikap dan pemikiran yang menempatkan rasa ketuhanan dalam kehidupan. Namun, membahas sains dan agama dengan melibatkan seluruh historiografi pengetahuan dan religiusitas manusia, tentu di sini bukanlah tempat yang tepat mengingat banyaknya data yang dibutuhkan untuk melengkapi penelitian ini.

Henry Smith Williams dalam “A History of Science”, misalnya, telah menunjukkan pada kita bahwa sains dalam pengertian itu sebenarnya telah ada dalam masa yang hampir tidak bisa dipastikan usulnya, terkecuali dengan mengadakan pemotongan data historis tentang perkembangan mula sains. Mengingat bahwa istilah sains sendiri adalah istilah yang selalu berdengung dalam keseharian kita, meskipun belum tentu setiap orang bisa menjelaskannya dengan baik, maka uraian tentang istilah sains sendiri mutlak diperlukan. [1]

Istilah sains, mengikuti penjelasan lanjut H. Smith Williams, adalah sebuah kata yang mengandung beberapa hal yaitu: pertama, bundelan pengetahuan yang didapatkan melalui observasi (gathering knowledge through observation); kedua, sains adalah klasifikasi pengetahuan tertentu yang dielaborasi dari prinsip-prinsip dan gagasan umum (classification of such knowledege, and through this classification, the elaboration of general ideas or principles); atau dalam definisi Herbert Spencer, sains adalah pengetahuan yang terorganisir (organized knowledge). [2]

Pada abad pertengahan istilah sains tentu belum dikenal dan merujuk pada pengertian sebagaimana yang terpahami pada saat sekarang. Sebab, pada masa itu istilah sains merupakan bagian dari pembahasan tentang filsafat alam. Buku yang ditulis oleh Sir Isaac Newton: Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam, mencerminkan bagaimana asingnya istilah sains kala itu. Rumusan tentang filsafat alam sendiri berasal dari kategorisasi filosofis Aristoteles tentang ilmu pengetahuan. Meskipun begitu, filsafat (ilmu) alam yang akan menjadi cikal bakal rumusan sains modern, sudah tampil dalam kemasan epistemologis yang dibedakan secara jelas dengan metafisika. Filsafat sebagai ilmu reflektif pada titik ini sedikit banyak akan kehilangan sisi holistik perenungannya terhadap semesta realitas. Dari sini sebenarnya bisa dipahami mengapa filsafat disebut sebagai rahim pengetahuan manusia sebelum banyak bidang pembahasan yang melepaskan diri darinya.

Sejarah sains sendiri bermula sejak lebih dari ribuan tahun sebelum masehi. Babylonia, Egypt, bahkan bangsa-bangsa yang sampai pada kita hanya jejak fosil peradabannya, pada dasarnya sudah mempunyai tradisi pengetahuan dan teknologi sendiri. Meskipun, pada akhirnya wacana yang berkembang sekarang lebih memantapkan tradisi filsafat Yunani sebagai cikal bakal perkembangan sains.

Hal seperti ini juga terjadi pada agama. Ia hadir semenjak mula kehadiran manusia di muka bumi. Meskipun tidak dalam pengertian pelembagaan spiritualitas dan ritus yang sistematis, namun perenungan-perenungan awal manusia, sejatinya tidak pernah terlepas dari kisaran kosmologis dan teologis. Sebagaimana halnya doktrin yang sampai pada kita yang beragama sekarang, Tuhan sudah selalu menurunkan rasul-Nya di setiap zaman dan tempat.

Melacak perkembangan keduanya dalam pengertian yang jauh, pada akhirnya akan menyeret kita pada logika sederhana pertautan perenungan kosmologis dan teologis. Hal inilah yang sekiranya tampak pada masa keramaian pembongkaran mitos di Yunani oleh filsafat. Masyarakat yang mulanya terbiasa berpikir mitis pada akhirnya dibongkar paksa kejumudannya oleh tradisi baru berpikir logis yakni, Filsafat. Thales, Empidocles, Heraclitus, Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak lagi nama lainnya adalah sedikit dari orang-orang yang telah mengenalkan tradisi baru tersebut. Paradigma mitologis yang mengolah daya pikir masyarakat dalam melihat fenomena hanya sebatas penerimaan atas warisan dongeng dan takhayul, diganti dengan paradigma kosmologis yang berusaha menjejaki seluruh fenomena lewat analisa rasional, koheren dan logis. Efek dari hal ini tentu saja adanya perubahan konsepsi secara mendasar orang-orang tentang alam, kedirian, dan Tuhan. Ketegangan yang terjadi pun tidak hanya berkisar pada ranah politis, epistemologis, ataupun sosiologis, akan tetapi juga pada ranah teologis. Hanya saja jalinan cerita perjalanan upaya manusia menyibak rahasia semesta tersebut, tidak selalu tampil dalam kondisi yang diwarnai adanya konflik antara pemikiran filosofis di satu sisi, dan keyakinan teologis di sisi lain.

Tradisi baru ini pun menyebar ke berbagai pelosok dan berhasil membawa angin segar bagi perkembangan intelektualitas masyarakat di segala bidang. Hal ini bisa kita lihat pada dunia Arab-Islam dengan keunggulan peradaban dan tradisi pemikiran filosofis-teologisnya. Ada banyak ilmuwan yang lahir dari rahim penggabungan dua tradisi ini. Al Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, hingga Ibn Rusyd dalam bidang religio-filosofis. Serta Al Biruni, Jabir ibn Hayyan, Ibn Rabban al Tabari, Al Khawarizmi, hingga Al Battani yang secara gemilang telah membuat penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ranah “sains”. [3]

Hal yang perlu dicermati kemudian pada masa ini adalah perenungan filosofis, dan pemikiran teologis tidak didudukkan secara diametral, bertentangan, melainkan dalam kerangka yang saling mendukung satu sama lainnya. Terdapat kesinambungan yang luar biasa antara doktrin religius di satu sisi dan semangat elaborasi intelektualitas di sisi yang lain. Point ini tentu akan menjadi penting tatkala pada nantinya kita harus melacak perkembangan pertemuan antara sains dan agama di dataran geografis yang lain. Sebab, apa yang terjadi di dunia Barat (Eropa) misalnya, akan menuai hasil dan cerminan yang berbeda dari apa yang terjadi di dunia Arab-Islam.

Barat, selama abad kegelapan pada dasarnya adalah antonim dari dunia Arab-Islam. Sebab, tradisi religio-filosofis yang sama tidak berlaku selain berada dalam lajur kejumudan doktrin dan kekerasan otoritas gereja. Saat dunia Arab-Islam diselimuti masa keemasan peradabannya, Eropa justru berada dalam masa yang paling menakutkan; masa inkuisisi. Kalangan agamawan lewat otoritas doktrin dan gereja yang disalahgunakan meraja-lela dalam menyingkirkan siapa pun yang tidak sehaluan dengan kepercayaan mereka. Sejarah pun pada akhirnya menuturkan bahwa ada banyak konflik dan ketegangan yang menghiasi keseharian masyarakat di sana. Hal ini tentu saja mengakibatkan terhentinya perkembangan pengetahuan serta terputusnya tradisi logis pemikiran. Meskipun demikian, sebab adanya kontak dengan dunia luar saat “crusades” berlangsung misalnya, pada akhirnya akan membawa dunia Barat pada benih-benih abad pencerahan (aukflarung). Hal lain yang dituturkan sejarah juga adalah lahirnya beberapa tokoh pelopor utama terjadinya pembalikan radikal tradisi pemikiran filosofis di Barat. Nicolas Copernicus, Tycho Brahe, Galileo Galilei, Johannes kepler, Rene Descartes, Francis bacon, hingga Isaac Newton merupakan orang-orang yang pemikirannya pada nantinya menjadi tonggak utama kemajuan pemikiran saintifik dan tradisi filosofis dunia Barat (Eropa). [4]

Abad Pencerahan dan Revolusi Saintifik

Sebelum abad pencerahan digelar, sistematika astronomi Ptolemaeus pada dasarnya adalah astronomi yang diterima secara umum oleh masyarakat Barat vis a vis doktrin kitab suci dan otoritas gereja yang meyakini bahwa manusia merupakan pusat semesta. Hal ini kemudian juga sejalan dengan filsafat alam Aristoteles yang memang dianggap sebagai pemegang otoritas pengetahuan ilmiah. Namun, sejak tragedi Galileo yang evidensi empirik teleskopnya lebih mempercayai skema Copernicus, maka sedikit banyak pandangan orang-orang pun terpicu menuju perubahan dasariah akan antroposentrisme otoritas agama dan pengembangan tradisi pengetahuan fisik yang baru. [5] Hal ini kemudian ditambah oleh lagi oleh sikap gereja yang tidak lagi fair menghadapi letupan-letupan kritik hasil tradisi pikir yang logis-empirik sehingga memunculkan kegerahan masyarakat ilmiah pada otoritas gereja secara umum, serta berbagai perkembangan baru dalam bidang filsafat alam.

Meluasnya penerimaan atas mekanika Newton, adanya terapan tradisi ilmiah yang mewujud dalam bentuk praktis-teknologis oleh semisal, James Watt, hingga kesumat harapan masyarakat yang menginginkan sebentuk paradigma pikir yang baru, pada akhirnya menghantarkan Barat pada masa pencerahan. Sayangnya, bidang filsafat alam juga mulai menemukan benih-benih yang akan menceraikannya dari induknya (filsafat) dan menjadi disiplin tersendiri yang berbeda. Revolusi yang diidam-idamkan pun terjadi. Masyarakat ilmiah dapat dengan bebas melanggengkan tradisi pengamatan empiris. Ini juga diadaptasi oleh kalangan filsuf dan sebagian teolog yang ikut andil dalam merumuskan bagaimana seharusnya sikap agama dan doktrin ketuhanan yang mesti dijalankan via revolusi ilmiah. Akan tetapi, secara umum para ilmuwan pada masa ini ini sebenarnya merupakan para penganut agama yang taat. Sehingga, adanya konflik antara masyarakat ilmiah dengan otoritas gereja, lebih ditafsirkan sebagai pertentangan antara ilmuwan dan kalangan literalis biblikal.

Kemunculan Darwin pada abad 19 dengan teori evolusinya adalah persoalan yang paling mendapatkan sorotan dalam kerangka pertemuan sains dan agama. Sebab, apa yang dikemukakan oleh evidensi empiris Darwin benar-benar mengguncang hampir keseluruhan kerangka doktrinal agama. Dalam hal ini, Ian G. Barbour sendiri menyebutkan bahwa ada 3 isu utama yang berkembang seiring dengan kelahiran teori evolusi Darwin yaitu: 1) tantangan terhadap literalisme biblikal; 2) tantangan terhadap martabat manusia, dan; 3) tantangan atas desain ilahi. Pada yang pertama, teori evolusi dijelaskan sebagai pandangan yang mengandung gagasan semisal tentang adanya perubahan evolusioner dalam perjalanan penciptaan alam semesta yang memakan kurun waktu yang lama (jutaan tahun) dan tentu saja berlawanan dengan diktrin kitab suci yang menyatakan bahwa penciptaan dilangsungkan dalam hitungan saat yang sebentar: tujuh hari.

Meskipun dalam hal ini sebagian teolog mengakui perlunya interpretasi simbolis atas kitab suci, namun pada dasarnya mereka lebih memilih untuk menolak teori evolusi (sikap yang sama dengan kalangan literalis), karena menekankan keistimewaan penciptaan ruh manusia. Sedang pada point kedua, teori evolusi dipahami sebagai pandangan yang merendahkan usul keunggulan rasionalitas, keabadian jiwa dan moral manusia. Karena, implikasi dari teori ini adalah, manusia hanya dihargai sebagai bagian alam yang sama seperti makhluk lain. Tidak ada perbedaan antara manusia dengan binatang dalam sisi perkembangan sejarah maupun dalam sifat kekiniannya. Dan ketiga, teori evolusi dianggap menyerang pandangan statis alam semesta, yakni, di mana fungsi dan kompleksitas keharmonisan alam merupakan batas argumentatif adanya Pencipta, dengan hipotesis Darwin yang menyatakan bahwa hal tersebut dapat dijelaskan lewat proses variasi dan seleksi alam yang tan-pribadi. [6]

Singkat kata, kelahiran teori evolusi, yang kemudian diperluas konvergensinya dalam bidang sosiologi, dan bidang-bidang lainnya, sedikit banyak telah membawa cakrawala baru kompleksitas hubungan sains dan agama. Akan tetapi secara umum, pelbagai temuan baru dunia ilmiah dan pengukuhan sains akan dirinya yang proses pembuktian kebenarannya lebih valid dan mendasar dibanding filsafat dan agama, pada akhirnya telah membawa sains menjadi disiplin yang diterima sebagai pandangan hidup masyarakat Barat, alih-alih doktrin religi.

Bagaimana proses rasionalisasi saintisme masyarakat modern sendiri sebenarnya bisa dilacak usulnya dari kelahiran positivisme ilmiah yang dicanangkan oleh August Comte. Ia membagi konteks paradigmatis masyarakat menjadi 3 tahapan linier yaitu: teologis atau mitis, metafisis dan yang terakhir positivis. [7] Pada tahap yang terakhir inilah, August Comte meneruskan, kita seharusnya berada. Dan hal itu hanya mesti diselengggarakan dalam bentuk menjadikan sains dan teknologi sebagai kerangka utama untuk landasan peradaban. Positivisme ini memandang bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kebenaran, atau dengan kata lain cara-cara berpikir non-logis selain cara pikir saintifik harus diberangus agar pengetahuan bisa diraih. Walhasil yang tersirat kemudian adalah bahwa bentuk penalaran sebagaimana yang diujarakan agama ataupun filsafat idealistik hanyalah ‘sampah’ yang tidak mempunyai kegunaan apapun.

Apa yang disimpulkan oleh August Comte ini kemudian seolah menjadi zeitgeist baru masyarakat modern. Bahwa sains dan metode ilmiah adalah bentuk penalaran “netral” yang mesti dipegang oleh masyarakat modern. Bahkan kalaupun kita harus memiliki keimanan, maka itu hanya keimanan terhadap sains. Ia bahkan semakin menemukan ruangnya, sebab masyarakat modern seolah sudah terbius dengan pola pikir yang sebelumnya telah diolah oleh rasionalisme metodis Rene Descartes dan rumusan metodis evidensi empirik Isaac Newton. [8]

Kedua tokoh ini menjadi fondasi utama tegaknya rasionalisme-saintifik dalam cara pandang masyarakat modern karena beberapa hal diantaranya: pertama, pelbagai revolusi monumental dalam konteks pencerahan dan setelahnya (revolusi ilmiah, revolusi industri, revolusi teknologi dan lainnya) tak lepas dari pengaruh kedua tokoh ini; kedua, Rene Descartes sudah diakui secara luas sebagai bapak filsafat modern, sementara Isaac Newton merumuskan bibit sains modern dengan mekanika klasiknya; dan ketiga, adanya pelbagai titik singgung dan kesamaan prinsip-prinsip dalam pemikiran keduanya yang saling mengisi dan berhasil menjadi karakteristik utama pola pandang dan pikir masyarakat modern. [9] Rumusan keduanya pada akhirnya menjadi, mengikut istilah Thomas Kuhn sebagai, “paradigma” komunitas masyarakat modern. [10]

Seiring dengan tertanamnya jenis paradigma ini di benak masyarakat modern, maka cara pandang yang positivistik, materialistik, dan dualistik pun juga ikut bersemayam di dalamnya. Akibat langsung dari hal tersebut adalah masyarakat modern semakin terbiasa untuk mendudukkan segala sesuatu dalam kerangka dualistik-materialistik. Sehingga mau tak mau, cara pandang lain yang idealistik-spiritualistik tanpa mekanisme penalaran ilmiah dianggap sebagai cara pandang yang mitis, penuh takhayul dan mustahil untuk menemukan kebenaran. Agama pun pada juntrungnya seringkali harus diletakkan pada posisi yang berlawanan dengan sains. [11] Adanya konflik antara keduanya berulangkali berawal dari cara pandang seperti ini. Meskipun kita tentu saja tidak bisa mengesampingkan bahwa adanya historiografi, model, prinsip, serta paradigma yang berbeda antara keduanya juga ikut membentuk sedari awal kompleksitas pertautan yang terjadi. [12]

Paradigma Baru Sains dan Teologi

Menjelang milenium ketiga, saat laju modernitas mencapai titik global, masyarakat ilmiah dan sains berkembang sedemikian pesat. Beragam fenomena kebaruan semesta dan peristiwa selalu diiringi pula dengan runtutan teori yang menjelaskannya. Kompleksitas dan keluasan alam tak lebih kalkulasi fisik yang bisa dibongkar dan diutak-atik setiap saat. Sains seakan menjadi finalitas dan satu-satunya jawaban bagi segala permasalahan. Sebab, dengannya ruang, waktu bahkan hidup seolah bisa diukur, dirinci setiap saat. Ia pun menjadi world view masyarakat modern dalam hampir segala bidang. Sebab, apa yang dibuahkannya benar-benar menyentuh laju keseharian yang berwujud dalam praktisasi teknologis.

Hal ini bisa dimaklumi, bukan hanya karena rasionalitas-ilmiah yang ditanamkannya seiring dengan maklumat logis perenungan manusia, namun juga karena di sisi lain baik agama atau pun filsafat tak lagi mampu berbenah dalam mengolah dirinya agar bisa menyediakan detail jawaban yang dibutuhkan masyarakat untuk melanjutkan hidup. Meskipun begitu, anggapan tentang apakah laju sains atau ilmu pengetahuan secara umum berjalan secara linier atau tidak masih menjadi bahan pembicaraan kalangan akademis tanpa jawaban final. Sebab, ada banyak implikasi negatif yang pada akhirnya timbul sejak ditetapkannya paradigma Cartesian-Newtonian menjadi world view masyarakat modern, atau cara pandang rasionalistik-saintifik secara umum. Di satu sisi ia memang telah memukau kita dengan mengilhamkan imajinasi bangkitnya peradaban manusia melalui sains dan teknologi, namun di sisi yang lain, pelbagai krisis global yang menghinggapi masyarakat modern sekarang justru juga berusul darinya. Maka, di abad 20 ini, tak heran banyak pemikir yang timbul dan secara bertubi-tubi mulai melancarkan serangan atas paradigma tersebut. Beberapa prinsip dasar yang melekat secara inheren dalam paradigma sains pun mulai dipertanyakan. Mulai dari asumsi dan prinsip mendasar tentang alam semesta statis, determinisme, dualisme subjek-objek, mekanisme metode ilmiah, materialisme-atomistik, reduksionisme, prinsip objektivikasi sains, dan secara lebih umum adalah positivisme ilmiah. [13]

Sejalan dengan itu, sains juga mengalami revolusi pemikiran yang demikian menakjubkan. Lahirnya teori relativitas oleh Albert Einstein, seakan menjadi tonggak awal dipertanyakan implikasi filosofis sains Newtonian, dan runtuhnya tetapan fisika klasik tentang keberadaan ruang-waktu. Berlanjut pula dengan kemunculan dan perluasan disiplin-disiplin tertentu semisal; biologi molekular, neurosains, dissipative structures, Genetika, chaos theory hingga mekanika kuantum, walhasil fisika klasik pun berhasil disempurnakan keruntuhannya. [14]

Sementara itu, beberapa kecenderungan yang mulai lahir di masyarakat modern, bahkan merupakan terusan penting penyikapan atas fenomena modernitas yang digugat. Bangkitnya jenis-jenis spiritualitas baru hingga diliriknya bentuk-bentuk kearifan dan ajaran-ajaran kuno (juga dalam kalangan ilmuwan sendiri), adalah rentetan upaya manusia modern untuk mengobati perihal krisis yang telah disebabkan oleh cara pandang paradigma modern. [15] Point-point penting dari fenomena-fenomena tersebut yang perlu digaris bawahi kemudian adalah, a) timbulnya gugatan atas paradigma modern; b) adanya perkembangan baru dalam hubungan sains dan agama disebabkan beberapa temuan baru dalam dunia sains seolah mengisyaratkan dikembalikannya Tuhan dalam sains modern; serta c) mulai dirumuskannya bentuk-bentuk teologi yang lebih berafiliasi dengan interpretasi filosofis sains modern. [16]

Berkaitan dengan persoalan bagaimana terusan nasib hubungan antara sains dan agama, maka adanya pelbagai rekonstruksi konsep filosofis dari sains modern dan teologi sendiri, seolah membuka cakrawala baru bagi semakin tersedianya ruang dialog antar keduanya. Sebab, formula filosofis baru yang ditawarkan oleh sains modern serta perkembangan pemikiran teologis, memang menuai karakteristik yang saling mempertimbangkan. Meskipun disamping itu, tentu saja kita juga tidak bisa melepaskan perhatian akan tetap adanya sikap mempertahankan materialisme-ateistis dalam penafsiran para ilmuwan dalam sains modern, serta konservatisme sebagian kalangan teolog dalam memandang logika keduanya. Namun, secara umum kecenderungan yang terjadi mengarah pada sisi positif hubungan keduanya.

___________________________________

1. Elaborasi lengkap bagaimana historisitas sains dan pelbagai usul tradisi pengetahuan di beberapa peradaban baik klasik maupun modern bisa dibaca dalam: Henry Smith William, M.D., L.L.D History of Science, Vol. 1, The Beginnings of Science, (e-text, http://www.lib.virginia.edu)
2. Ibid. History of Science, Chapter 1, Prehistoric Science. (e-text, http://www.lib.virginia.edu).
3. Sebagai catatan dalam point ini, banyak kalangan pemikir muslim, terkait proyek Islamisasi ilmu dan upaya menemukan sains Islam, yang membuat karakteristik perbandingan antara sains Barat dan sains Islam. Ziauddin Sardar misalnya dalam “Exploration in Islamic Science”, yang dikutip oleh Nasim Butt, membuat daftar perbedaaan karakteristik antara sains Islam dan sains Barat, yakni; karakter sains modern (Barat) adalah: a) percaya pada rasionalitas; b) sains untuk sains; c) satu-satunya metode untuk mengetahui realitas; d) netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas; e) tidak memihak; f) tidak adanya bias; g) penggantungan pendapat; h) reduksionisme; i) fragmentasi; j) universalisme; j) individualisme; k) netralitas; l) loyalitas kelompok; m) kebebasan absolut; dan n) tujuan membenarkan sarana, sementara ukuran sains Islam adalah: a) percaya pada wahyu; b) sains adalah sarana untuk mendapatkan keridhoaan Allah; c) banyak metode berlandaskan akal dan wahyu; d) komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial; e) pemihakan pada kebenaran; f) adanya subjektifitas; g) menguji pendapat; h) sintesis; i) holistik; j) universalisme; k) orientasi masyarakat; l) orientasi nilai; m) loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya; n) manajemen sains merupakan sumber yang tidak terhingga nilainya; o) tujuan untuk membenarkan sarana. Point-point tersebut dijabarkan secara lengkap dalam: Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Bandung, Pustaka hidayah, 1996. hal. 73 - 76.
4. Beberapa catatan tentang tokoh-tokoh tersebut adalah: Nicolas Copernicus, merupakan orang yang merintis revolusi ilmiah dunia modern dengan mengalihkan tatanan astronomi geosentris ke heliosentris; Johannes Kepler, adalah ilmuwan yang mendukung sistem Copernicus lewat perumusan hukum tiga gerak lintasan planet. Ia, dalam ungkapan Nasr, adalah orang pertama yang mengganti teologi langit Skolatisisme menjadi fisika langit; sedang Galileo adalah ilmuwan yang merintis tetapan bahasa matematis sebagai bahasa sains, sehingga rumusan Copernicus bisa diterima secara umum di kalangan ilmuwan. (lih. Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta, Teraju, 2003. hal. 37 - 3 8)
5. Tafsiran-tafsiran seputar kasus yang menimpa Galileo ini adalah: bahwa meskipun pada akhirnya Galileo menyerah di pengadilan dan setuju untuk menarik kembali pendapatnya yang menyalahi pandangan otoritas gereja saat itu, akan tetapi ia tetap melakukan meneruskan kegiatan ilmiahnya dan mengingkari putusannya di pengadilan dengan menuliskan hal tersebut pada putrinya lewat surat-menyurat. Hal ini akan berbeda andaikata Galileo menuruti pernyataan Osiander dalam pengatar buku Copernicus de Revolutionibus, bahwa; “tidaklah perlu hipotesa ini benar, atau bahkan mirip-mirip kebenaran, cukuplah bahwa ia menyediakan kalkulasi yang sesuai dengan pengamatan”. Hanya saja Galileo ternyata percaya bahwa tata Copernicus bukan cuma perangkat instrumental untuk penelitian, melainkan pandangan yang sungguh-sungguh benar tentang dunia.
6. Karya monumental Charles Darwin tersebut adalah: “Origin of Species” (1859), “Descent of Men” (1871), dan “Voyage of The Beagle” (1909). Penjelasan lengkap dari perkembangan dan efek dari 3 isu utama seiring kelahiran teori evolusi Darwin ini terhadap interaksi sains dan agama bisa dibaca dalam: Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama (diterjemahkan dari: When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners?), Bandung, Mizan, 2002. hal 50 - 54
7. 3 hal di atas disebut juga sebagai hukum tiga tahap yakni: tahap teologis, di mana terjadi dominasi penjelasan antropomorfis dan animistis atas realitas; tahap metafisik atau tahap di mana realitas diuraikan menurut hukum-hukum umum tentang alam. Tahap ini juga merupakan lanjutan dari tahap pertama atau tahap dimana kehendak pada tahap pertama didepersonalisasi dan diabstraksi. Dan tahap positif, atau tahap di mana realitas dijelaskan secara ilmiah, diuraikan berdasarkan kalkulasi matematis, dan dirincikan dengan logika saintifik. (lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia pustaka Utama, 2000. hal. 864 - 865)
8. Descartes dalam formula filosofisnya sangat menekankan aspek subjektifitas yang mengacu pada aktivitas rasio subjek. Kesadaran tentang ke-ego-an yang sadar (cogito ergo sum) inilah yang menjadi landasan filsafat rasionalisme-nya. Ia (kesadaran cogito) juga bersifat apriori, sebab ia dicanangkan setelah melalui tahap keraguan metodis, yakni bahwa keberadaan segala sesuatu dapat diragukan kecuali kesadaran tentang keraguan itu sendiri. Maka secara tidak langsung kesadaran melalu aktivitas keraguan telah membuktikan keberadaannya sendiri (self-evident). Ini kemudian menjadi jalan bagi rasionalisme Descartes dalam upaya memperoleh kebenaran pengetahuan secara jelas dan terpilah (clearly and distinctly). Sebab sistematika filsafatnya itu, serta pandangannya yang sangat menekankan kebenaran matematis, maka Descartes juga dikenal sebagai tokoh yang mempunyai gagasan untuk mematematisasi alam. Hal ini kemudian mendorongnya pada kesimpulan bahwa alam tak lebih dari mesin raksasa yang bergerak lewat hukum-hukum mekanis. Darinya keseluruhan alam bisa dimengerti hanya dengan meneliti bagiannya (reduksionisme-mekanistik). Sementara Isaac Newton, adalah ilmuwan penting abad pertengahan yang berhasil merangkum seluruh prestasi pendahulunya (Kepler, Bacon, Galileo) dalam satu formula yang disempurnakan atas landasan filsafat Descartes. Mekanika yang dirampungkannya pada hakikatnya adalah penggabungan rasionalisme Descartes dan empirisme Bacon. Meskipun dalam sejarahnya Newton banyak mengkritik Descartes dan tidak menyetujui gagasan-gagasan filosofisnya, namun Descartes mempunyai pengaruh besar atas Newton. Mengikut Morris Berman, meski fakta-fakta ilmiah Descartes salah, dan teorinya tidak didukung oleh Newton, akan tetapi gagasan sentral Descartes bahwa dunia ini ibarat mesin raksasa yang terdiri dari materi dan gerak dan tunduk pada hukum-hukum matematika, sepenuhnya divalidasi oleh karya mekanika Newton. (lihat penjelasan lengkapnya dalam: Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta, Teraju, 2003. hal. 31 - 42).
9. Ibid, hal. 30 - 31. Hal yang perlu dicatat di sini juga adalah proses hegemoni paradigma yang dihasilkan dari keduanya. Bagaimana ia kemudian bisa tertanam dan mengakar pada masyarakat modern. Dalam ungkapan Berman, bahwa sebuah sistem gagasan tidaklah lahir dari suatu kevakuman sosio-kultur, maka amatlah penting untuk memahami bagaimana historisitas yang melingkari proses hegemoni ini. (Uraian lengkapnya baca: Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, … hal. 25 -71).
10. Penggunaan istilah paradigma dalam konsepsi Thomas Kuhn sebenarnya berada dalam multi-arti, di antaranya: model atau pola pikir, matriks disipliner, ataupun pandangan dunia yang dimiliki oleh kalangan ilmuwan. Namun dalam pengertian umum, istilah paradigma mengacu pada perangkat kerja saintifik yang dibentuk dari suatu set konsepsi dan asumsi metodologis dan dianut secara bersama dalam suatu komunitas ilmiah tertentu. Hanya saja, istilah paradigma yang digunakan di atas adalah istilah yang diperluas cakupan arti dan fungsinya (uraian jelasnya bagaimana sebuah paradigma bisa dibentuk dan bagaimana ia berdaya-guna dalam proses pembentukan serta kaitannya dengan revolusi di dunia saintifik bisa dibaca dalam: Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains (diterjemahkan dari: The Structure of Scientific Revolution), Bandung, Remaja RosdaKarya, 1993).
11. Singkat kata sains seringkali didefinisikan sebagai sesuatu yang objektif, universal, terbuka, kumulatif dan progressif. Sementara agama dipandang sebagai lawannya yakni; subjektif, tertutup, parokial, anti-kritik (uncritical), dan kaku atau jumud (resistant to change). (lih, Ian G. Barbour, Religion in an Age of Science, The Gifford Lectures 1989 - 1991, Vol. 1, San Francisco: Harper & Row,1990. hal. 5).
12. Ian G. Barbour sendiri dalam bukunya “Religion in an Age of Science” (San Francisco: Harper & Row, 1990) telah menjelaskan perbedaan struktur, model dan paradigma yang membentuk keduanya secara historis. Menurut Barbour secara struktural, sains berlandaskan pada dua komponen utama yakni: data dan teori, sementara agama pada: kepercayaan (iman) dan pengalaman religius. Pada sains, lanjut Barbour, model-model yang digunakan bersifat analogis. Dengan kata lain, analog menjadi point penting bagi ilmuwan untuk menjelaskan teori yang mereka punya, yang kemudian model-model tersebut mempunyai signifikansi tersendiri dalam perluasan sebuah teori. Model-model itu pada dasarnya juga bisa dipahami sebagai unit-unit yang memberikan gambaran mental bagi ilmuwan untuk lebih memahami keseluruhan kompleksitas hubungan antar teori, ataupun realitas. Sedang pada Agama, meskipun juga memakai analog, namun ia diterapkan dalam kerangka bahasa dan bahasan yang berbeda. Model-model tersebut merupakan satu kesatuan konseptual yang bisa diwujudkan dalam bentuk metafor, simbol, ataupun parabilitas (cerita perumpamaan) yang tentu saja dapat mengalami perluasan (extensible) dalam penggunaannya sesuai dengan lingkup tuntutan persoalan dan batasan kaidah keagamaan yang berlaku. Sementara itu, dalam persoalan paradigma yang melandasi keduanya, Barbour menyimpulkan bahwa, baik data teoritis (dalam sains) maupun pengalaman religius (dalam agama) keduanya selalu berada dalam lingkup paradigma tertentu yang bersifat dependen. Meskipun kemudian, tentu saja tetap ada sebagian data atau pengalaman religius yang bisa diterima dan disepakati oleh penganut paradigma lain. Paradigma keduanya juga sangat rentan terhadap falsifikasi, karena bagaimanapun baik konsepsi teoritis saintifik maupun interpretasi teologis tetap bersifat temporal dan kontekstual, yang berarti selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Dan yang terakhir, pada keduanya tidak ada aturan atau kaidah khusus untuk memilih suatu paradigma tertentu, walaupun di sana ada beberapa kriteria untuk menilai dan mengevaluasi suatu paradigma. (Penjelasan lengkap tentang hal ini bisa dilihat dalam: Ian G. Barbour, Religion in an Age of Science, The Gifford Lectures 1989 - 1991, Vol. 1, San Francisco: Harper & Row, 1990).
13. Dalam hal ini, kita bisa mencermatinya dari upaya kalangan filosof dan pemikir kontemporer semisal Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, Karl Popper yang telah menelurkan pemikiran brilian seputar kritik tersebut. Di antaranya: kritik epistemologi sains oleh Popper, anti-metode oleh Feyerabend dan adanya gagasan tentang “revolusi paradigma saintifik” oleh Thomas Kuhn. Bagi Popper, metode induksi dan verifikasi yang begitu menonjol dan prinsipiil dalam sains sebenarnya mempunyai cacatnya sendiri. Sebab, keilmiahan ilmu pengetahuan bukan terletak pada apakah ia sudah dibuktikan atau belum, melainkan pada apakah ia dapat diuji atau tidak. Ungkapan seperti: “semua angsa berwarna putih”, akan mendapatkan validitasnya selama ia dapat diuji dengan percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Tugas metode ilmu pengetahuan bagi Popper adalah mencari kesalahan dari setiap ‘ungkapan’ yang dibangunnya. Darinya, prinsip induktif epistemologi saintifik, yang dianggap sebagai garis demarkasi antara ilmu empiris dan yang lain, oleh Popper mestilah diganti dengan metode deduktif-falsifiabilitif. Dengan kata lain, kalau metode induktif membangun kesimpulannya dari penarikan pernyataan universal dari hal yang singular, seperti terungkap dalam modus ponens (kalau p maka q, yang ada q, maka kesimpulannya p) dalam logika, maka falsifiabilitas itu muncul atas dasar modus tollens (kalau p maka q, yang ada -q, maka kesimpulannya -p) yakni suatu pernyataan universal mesti dapat dikontradiksikan oleh pernyataan singular, agar bisa diketahui mungkinnya keberadaan kepalsuan di dalamnya. Selain itu, Popper pada dasarnya ingin mengajukan prinsip falsifikasi sebagai pengganti prinsip verifikasi, yakni prinsip bahwa sebuah teori ilmiah bisa dipegang, namun mesti selalu digempurkan dengan realitas yang bisa menggugurkannya agar bisa terus diuji keabsahannya. Sementara itu, Thomas Kuhn, seorang pemikir brilian lainnya, juga menguraikan bahwa kenyataan kesimpulan saintifik adalah kenyataan tentatif yang sangat terkait dengan banyak hal; lokalitas, subjektifitas, serta lingkup konvensi paradigmatik yang mengelilinginya. Perjalanan sains adalah perjalanan perubahan revolusioner pelbagai paradigma yang berbeda. Dengan ini Kuhn menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah sebenarnya sangat rentan dan tergantung pada anomali yang menyebabkan terjadinya revolusi pemikiran di dalamnya. Sedang Feyerabend bergerak lebih jauh lagi dengan menihilkan segala bentuk metode, yang mengklaim objektifitas murni, perolehan pengetahuan ilmiah, sebab baginya prinsip relativitas lebih bisa diterima dalam penjelajahan manusia akan realitas dan ilmu pengetahuan. (lih. Karl Popper, Objective Knowledge, A Realist View of Logic, Physic, and History, Clarendon Press, 1966. dan Paul Feyerabend, Against Method, Outline of An Anarchistic Theory of Knowledge, Humanitities Press, 1975. Kedua e-text tersebut diambil dari http://www.marxist.org/referrence/subject/).
14. Beberapa ikhtisar filosofis singkat dari kemunculan dan perkembangan disiplin serta teori baru tersebut adalah: a) teori relativitas umum dan gagasan tentang kontinum ruang-waktu membawa kita pada pengertian alam semesta yang dinamis dan primasi relasi terhadap entitas; b) mekanika kuantum dengan derivasi gagasan tentang prinsip ketidakpastian dan prinsip komplementaris telah merusak pandangan akan determinisme, dan dualisme subjek-objek mekanika klasik; c) biologi molekular dan genetika lewat pandangan tentang entitas sebagai suatu organisme biologis, mekanisme penyampaian informasi secara genetik, dan pembuktiannya akan eksitensi riil jiwa, pada akhirnya memberikan konsepsi baru dalam memandang interaksi pikiran dan tubuh serta peran sang Pencipta dalam proses evolusi; d) teori dissipative structures yang melihat adanya proses swa-pengaturan tiap entitas eksistensial telah mengusung alternatif pendapat untuk membaca alam semesta (realitas) secara sistemik sebagai sebuah tatanan yang kompleks. (tabel lengkapnya bisa dilihat dalam: Husain Heriyanto, Paradigma Holistik,… hal. 130).
15. Fenomena ini mungkin lebih tepat untuk digambarkan sebagai, mengutip Capra, turning point yakni; terjadinya titik balik arah dan kecenderungan masyarakat serta pola pandang dalam masyarakat Barat modern yang mengarah pada bentuk warisan tradisional seperti kearifan Timur klasik (Tao, Zen dll). Hal ini seringkali berlangsung sebab masyarakat modern sudah dijangkiti virus sublimasi kedirian pada teknologi, alienasi, reifikasi dan kekeringan spiritualitas. Perubahan fundamental tentang pandangan dunia ini, lanjut Capra, tak ubahnya seperti revolusi Copernikan, meskipun ia belum menjangkau sebagian besar benak orang-orang untuk mengubah persepsi mereka tentang dunia.dan satu-satunya solusi yang bisa diandalkan adalah solusi yang berkelanjutan (sustainable). (Uraian lengkap tentang hal bisa dibaca dalam: Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2001, lihat juga, Fritjof Capra, Menyatu Dalam Semesta, Menyingkap Batas Antara Sains dan Spiritualitas, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 1999).
16. Paling tidak ada 3 bentuk utama teologi yang ikut dalam perbincangan perihal pertautan sains dan agama ini yakni; natural theology, theology of nature, dan sintesis sistematis. Yang pertama, menyudutkan bahasan pada anggapan bahwa desain alam mencerminkan kecerdasan dan ketelitian tertentu yang bisa menjadi argumen bagi adanya Tuhan; kedua, pada dasarnya argumen dan validitas teologi yang dibangun lebih banyak berurusan dengan hal-hal di luar sains, namun perkembangan dunia saintifik dan segenap temuan baru di dalamnya serta implikasi filosofis yang dikandungnya bisa memberi muatan dan pertimbangan bagi teologi ini; sedang pada yang ketiga, baik sains maupun agama pada saling memberikan kontribusi pandangan, sehingga bisa dimunculkan alternatif semisal metafisika inklusif sebagaimana filsafat proses A.N. Whitehead (lih. Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Bandung, Mizan, 2002. hal. 82 - 83).