Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, January 30, 2009

Teologi

Belajar Teologi dari Kuncen Kampus
Oleh AHMAD SAHIDIN

SABTU (11/10/2008) sore itu saya langsung naik ke lantai empat. Masuk ke ruangan tempat guru bertapa. Saat didatangi ternyata guru saya sedang bercanda ria dengan temannya dalam chat. Setelah bersalaman dengan guru dan temannya yang duduk bersebelahan meja, guru saya yang lama mengajar teologi dan filsafat di almamater langsung bertanya, “Jadi, apa itu teologi?”

“Sistem keyakinan plus pemikiran.”

“Menurut guru?”

“Sebuah disiplin yang mengkaji persoalan Tuhan, metafisika, akidah, tauhid, yang didasarkan pada teks suci. Sebuah tafsir atas teks-teks suci yang berupaya memahami hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan.”

“Ooo…”

“Mana karyamu?”

“Ini guru,” kata saya sambil menyerahkan setumpuk kertas print out. Guru memegangnya. Membuka halaman demi halaman. Kembali membuka bagian pengantar penerbit dan pendahuluannya. Diam beberapa saat. Melihat layar laptop. Melihat kembali pada kertas yang dipegangnya.

“Rajin. Tapi ini hanya membahas teologi Islam dari sisi sejarah dan konteks sosial politik. Tak ada yang baru.”

“Maksud guru?”

“Ya, berbicara teologi itu bicara hal-hal berat. Tidak semua orang mampu.”

Guru terdiam. Tangannya mengambil kopi dan menyeruputnya dan kembali memelototi situs yang sedang dibukanya.

“Apakah teologi berangkat dari keinginan memahami teks suci? Dalam sejarah Islam, kan lahir karena pertikaian politik?”

“Ya, tapi juga tak dipungkiri, setelah dari politik itu berkembang ke upaya memahami teks yang juga sebagai upaya mempertahankan pendapatnya sehingga ia mencari rujukan dalam teks suci. Sejarah Islam banyak memuat fakta tersebut.”

“Jadi, apa itu teologi?”

“Seperti yang kau bilang, dari upaya memahami teks suci terbentuklah corak pemikiran yang kemudian menjadi disiplin ilmu teologi. Tiap pemikiran teologi yang lahir berbeda satu sama lain hingga kemudian menjadi sekte, mazhab atau aliran teologi tersendiri. Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah, Asyariah, Syi`ah dan lainnya.”

Guru terdiam. Mengambil rokok dan membakarnya. Pelan-pelan mengisapnya. Tenang dan damai terlihat di wajahnya.

Saya diam. Menunggu kelanjutan kuliah teologi yang diberikannya. Ah, luar biasa tertinggalnya saya dalam khazanah Islam, gumam saya saat melihat catatan yang tergeletak di meja. Sebuah tulisan guru tentang eksistensialisme dan pluralitas dalam pemikiran teologi yang cukup ‘berat’ dipahami karena banyak menggunakan bahasa filsafat dan teologi.

Saya lihat guru membuka sebuah file yang berjudul tauhid. “Nah, ini tulisan yang terbaru. Namun belum selesai. Tentang teologi Islam yang berpijak pada konsep manusia sebagai khalifah Allah. Tulisan ini diawali dari konsep asal muasal kehadiran manusia,” kata guru sambil menyeruput kopi dan melanjutkan pembicaraannya, “Entah selesai atau tidak, tapi ini baru sekitar 80 halaman. Tapi harus selesai, entah kapan?”

“Jadi, yang membedakan teologi klasik dan teologi kontemporer itu apa?”

“Bedanya tipis. Klasik itu bicaranya persoalan teoritis seperti sifat Allah, kufur, kafir, dosa, dan lainnya. Sedangkan kontemporer lahir dari upaya menjawab konteks social yang ada dan bentuknya praktis. Teologi pembebasan, lingkungan, humanistic dan lain-lainnya. Intinya, teologi klasik mencoba menjelaskan perihal ketuhanan atau dasar atau pokok ajaran agama dengan pemahaman nalar yang merujuk pada tekstual nash. Sedangkan teologi kontemporer tidak bersifat teoritis, hanya menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau dihadapinya. Seperti katamu, ketika teologi itu dianut dan kemudian menjadi way of life maka terjeratlah dalam kotak yang disebut mazhab atau sekte. Dari sinilah sekte teologi tersebut biasanya terjebak atau berpotensi menjadi agama baru. Tepatnya, keluar dari agama ‘mainstrem’ yang menjadi induknya.”

“Oh, jadi lahirnya Ahmadiyah, Baha`iyah, Komunitas Eden, Al-Qiyadah Islamiyah dan lainnya itu karena keluar dari agama ‘maenstrem’. Terus, mengapa pada abad pertengahan Islam di Sunni teologi terhenti. Tepatnya saat muncul Al-Ghazali?”

“Ya, karena sudah jenuh dan konteks serta momentumnya beda. Mereka jenuh dengan hal-hal teoritis sehingga beralih ke yang aplikatif seperti fiqh, sufisme, dan pengamalan akhlak. Ini yang terjadi di kalangan Sunni. Tapi berbeda dengan di kalangan Syi`ah, yang justru malah berkembang. Bahkan, memadukan teologi dengan tasawuf dan filsafat seperti Mulla Shadra, Suhrawardi Al-Maqtul, Ath-Thusi, dan lainnya. Sebenarnya bila ditelusuri atau dikaji, khazanah sufisme yang ada di dunia Sunni pun memiliki konsep teologis juga. Hanya tidak kentara karena sulit untuk dipilahnya. Bedanya adalah, bila teologi itu berpijak pada nash dan sufisme itu pengalaman spiritual (dzauq); sedangkan filsafat berdasarkan pada nalar (akal). Tapi kalau dilihat dari produknya, tetap saja itu karya atau intelektual Islam. Bedanya hanya pada epistemologi saja. Hasilnya tetap saja jadi bagian dari khazanah Islam atau produk pemikiran manusia, yang kebenarannya tidak seratus persen,” jelas guru.

“Hmmm… sepertinya harus menulis buku teologi Islam yang sifatnya tematis ya?”.

“Ya, mungkin. Tapi berat dan butuh waktu. Tapi sekarang lagi memulainya dengan tulisan ini,” jawab guru sambil memperlihatkan tulisan yang berjudul ‘Adabul Ikhtilaf’ dan ‘Tauhid’.

Memang di beberapa blognya saya sempat melihat beberapa tulisan bernuansa filsafat, agama, pendidikan, teologi, dan budaya yang ditulis guru. Yang hampir semuanya panjang-panjang dan mengernyitkan kening. Mungkin hanya mereka yang terbiasa dengan wacana akademis saja yang bisa mencernanya. Padahal, di Indonesia, umat Islam yang mengenyam pendidikan sarjana dan master baru sedikit. Kalau diterbitkan, tulian-tulisan seperti itu yang merespon tidak akan banyak. Peminatnya terbatas: hanya kaum akademisi dan peminatnya saja.

“Guru, mau kopi?” .

“Ya”

Saya bergegas pergi ke ruang dapur antik. Di sana saya seduh kopi hitam. Tiga cangkir yang saya buat: untuk guru, temannya, dan saya. Usai menyajikan kopi, saya ke toilet untuk wudhu karena adzan Isya telah berkumandang.

“Ya, kelewat lagi maghrib. Tapi tak mengapa, bukankah dalam salah satu mazhab fiqh ada yang membolehkan menggabungkan dua shalat,” gumam saya sambil langsung menggelar sajadah dan memulai shalat.

Setelah shalat dan saat masih dalam keadaan menduduki sajadah, pikiran saya melayang pada pernyataan yang disampaikan guru. Yakni tentang perbedaan teologi Islam klasik dan kontemporer.

“Ah, saya tuliskan saja dulu biar bisa terpetakan,” gumam saya sambil bergegas ke meja komputer. Saya hidupkan dan buka program untuk mengetik. Lalu memijit tombol-tombol keyboard dan mulai menulis: perkembangan sejarah pemikiran Islam dan wacana teologi Islam pada masa sekarang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Para cendekiawan Muslim tampak sudah mulai melakukan kajian dan penafsiran yang lebih mendalam dan kontekstual atas sumber-sumber teologi Islam—Al-Quran dan As-Sunnah—dengan lebih kritis dan ilmiah.

Bentuk teologi Islam yang dikajinya berbeda dengan teologi Islam klasik, terutama dari pokok bahasan dan bentuk karyanya. Bila dalam teologi Islam klasik yang dibahas adalah persoalan hakikat yang berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah saw yang berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, dan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan teologi Islam kontemporer yang dibahas adalah persoalan bagaimana mewujudkan nilai dan ajaran Islam dalam konteks praktis dan aksi kemanusiaan yang sedang dihadapi umat Islam, sehingga bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Contohnya adalah Farid Essack di Afrika Utara yang mengembangkan teologi pembebasan dan pluralisme. Dengan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Al-Quran, Essack mampu membangkitkan semangat perlawanan orang-orang dhu`afa dan para petani miskin terhadap penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah dan berhasil menciptakan kehidupan perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih baik.

Begitu juga Murtadha Muthahhari, Ali Syari`ati, dan Imam Khomeini. Dengan kekuatan nalar dan tafsir aktual yang bersumberkan ajaran Islam dan tradisi Sy`iah, mereka sukses menggerakkan masyarakat Muslim Iran untuk keluar menggulingkan pemerintahan rezim Pahlevi dan menggantinya dengan pemerintahan Islam khas teologi Sy`iah yang dikenal dengan istilah ‘teodemokrasi’ atau wilayah faqih.

Contoh lainnya, yang bersifat sosial kemasyarakatan adalah Muhammad Yunus dan aksi Grameent Bank-nya di Bangladesh, yang berhasil memberdayakan kaum dhu`afa dan orang-orang miskin, terutama wanita. Yunus melalui Grameent Bank memberikan pinjaman modal dengan pembayaran yang ringan dan terjun membimbing masyarakat miskin Bangladesh dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi mikro hingga mereka terlepas dari jeratan rentenir dan tengkulak. Bila dilihat secara nash, aktivitasnya itu merupakan perwujudan atau tafsir aplikatif surat Al-Balad yang memerintahkan untuk membebaskan perbudakan dan tafsir aktual dari surat Al-Ma`un yang memerintahkan agar menyantuni anak yatim dan miskin; yang dalam penafsiran Muhammad Yunus berarti membebaskan orang dari jeratan atau perbudakan yang dilakukan rentenir yang menghisap ‘darah’ masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah dengan pinjaman-pinjaman yang berbunga. Bahkan, Yunus pun terjun ke masyarakat untuk mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha dan bekerja secara mandiri dengan menciptakan produk-produk khas daerah dan industri rumah tangga. Inilah bentuk teologi Islam kontemporer yang berorientasi untuk transformasi sosial masyarakat.

Memang bila dilihat dari fakta, aliran teologi Islam baik itu yang klasik atau kontemporer, pada dasarnya memang membingungkan kalangan umat Islam ‘yang awam’ karena biasanya terjerat dengan kotak mazhab atau firqah. Tapi bila dilihat secara jernih, ternyata aliran-aliran tersebut telah menunjukkan betapa kaya dan beragamnya pemikiran dan penafsiran umat Islam terhadap sumber dan ajaran Islam.

Ya, harus diakui bahwa teologi Islam merupakan karya para ulama Islam terdahulu yang berupaya memecahkan persoalan zamannya dengan kiprahnya dalam khazanah intelektual yang sangat beragam. Sehingga dengan khazanah itulah kita bisa melihat dan menilai langkah apa saja yang telah mereka lakukan untuk Islam.

Malam kian larut. Hawa dingin gelayuti gedung-gedung tinggi. Mentereng. Sepi. Hanya mereka yang ‘tapa’ saja yang mengisinya: menunggu setia para pencari ilmu.

(12 Oktober 2008/Jam: 00.10.wibb)
www.ahmadsahidin.wordpress.com


IJABI

IJABI sebagai Gerakan Sosial-Keagamaan
Oleh A.M. SAFWAN

Mukaddimah
Perjalanan sejarah nusantara hingga republik kita hari ini ditandai dengan berbagai unsur kebudayaan yang berinteraksi dengan paham keagamaan yang masuk. Salah satu yang menonjol dan sering menimbulkan banyak perdebatan adalah tradisi masyarakat di nusantara dalam sejarah Islam awal di nusantara. Sehingga polemik sejarah itu tak kunjung usai antara fakta dan mitos.

Dalam konteks sejarah perkembangan gerakan ahlulbait atau lebih spesifik paham keagamaan syi’ah di nusantara, kita mendengar dan membaca ada kesan yang tidak tuntas. Tidak sedikit yang mendukung analisis bahwa perkembangan Islam di Indonesia pada awalnya adalah dipelopori oleh Islam syi’ah, tetapi terdapat juga pandangan yang melihat adanya hipotesis tersebut oleh karena merunut pada kesamaan tradisi saja tanpa memiliki signifikansi dengan kerangka teologi dan ideologi politik syi’ah. Contoh yang paling sering dikutip adalah tradisi perayaan hari Asyura, peringatan syahidnya Imam Husain as. di Padang Karbala pada tanggal 10 Muharram 61 H, peringatan ini di Aceh dikenal bahwa bulan tersebut sebagai bulan “Asan Usen”, di Sumatera Barat dikenal sebagai “bulan tabuik”, di Jawa sebagai bulan “Suro”.

Untuk pembahasan yang detail lihat artikel Azyumardi Azra, Syi’ah di Indonesia; Antara Mitos dan Realitas, Jurnal Ulumul Qur’an No. 4,Vol.VI, Tahun 1995. Apapun, sejarah kebudayaan Islam di Indonesia memiliki tradisi seperti dalam tradisi ahlulbait dan bahkan isi kebudayaan mereka misalnya tidak lepas kepada pengkhidmatan kepada AhlulBayt Nabi as. Persoalan apakah itu dibentuk dan dikembangkan oleh kaum Syi’ah atau tidak tidak menjadi masalah. Kita tidak mementingkan klaim tetapi nilai sebuah kebudayaan itu sendiri.

Gerakan AhlulBait di Indonesia Kontemporer
Di Indonesia kontemporer, perkembangan gerakan AhlulBait tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Revolusi Islam Iran 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini yang merupakan seorang pencinta AhlulBayt dari kalangan Syi’ah Imamiyah.

Pengaruh revolusi ini begitu kuat terutama dengan publikasi-publikasi tulisan Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari dan Imam Khomeini sendiri ke dalam bahasa Indonesia yang mendapat respon besar dari pembaca Indonesia, terbukti dari ramainya perbincangan mengenai revolusi dan dasar pemikiran Imam Khomeini mulai paruh tahun 1980. Salah satu tokoh intelektual di Indonesia yang kemudian banyak menjadi referensi dalam perbincangan mengenai Iran dan Syi’ah oleh publik kita adalah Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Dia banyak menulis dan memberi tanggapan mengenai pemikiran Syi’ah dan juga menjadi pembicara dalam berbagai seminar di Indonesia.

Oleh karena itu, peran besar Jalaluddin Rakhmat tidak dapat dilepaskan dalam perkembangan ahlulbait di Indonesia. Penerbitan yang bertema sekitar madzhab ahlulbayt ini juga sangat intens, awalnya oleh penerbit Mizan, terus berkembang dan didukung oleh penerbit lainnya, misalnya, Pustaka Hidayah dan Lentera.

Penerbit Mizan sendiri misalnya menerbitkan buku Dialog Sunnah Syiah yang dicetak hingga beberapa kali . Penerbitan buku-buku bertema ahlulbait (berbahasa Indonesia) hingga kini terus saja berlangsung, tidak kurang dari 373 judul yang telah diterbitkan mengenai AhlulBayt oleh 59 penerbit yang ada di Indonesia hingga Februari 2001 (Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr) .

Berikut ini tabel penerbitan buku bertema ahlulbait oleh 4 penerbit besar. Penerbit Dengan Jumlah Judul Buku Terbanyak NO. Nama Penerbit Jumlah Judul 1. Pustaka Hidayah 60 2. Mizan 56 3. Lentera 50 4. YAPI Jakarta 31 Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr Pengiriman pelajar ke Hawzah Ilmiyyah (semacam pondok pesantren) Qum, Iran, juga terlaksana dan hingga kini pengiriman pelajar terus berlangsung demikian hal dengan kembalinya beberapa pelajar yang kemudian mengajarksn pemikiran ahlulbait di Indonesia, mereka berpartisipasi melalui kelompok pengajian dan yayasan yang dibentuk oleh para pencinta ahlulbait karena didorong oleh kepentingan perkembangan jamaah dan kebutuhan untuk melakukan sosialisasi pemikiran ahlulbait secara terorganisasi.

Berikut ini adalah data perkembangan gerakan ahlulbait melalui yayasan dan kelompok pengajian Jenis Kegiatan Jumlah Yayasan 36 Kelompok Pengajian 43 Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr Penyebaran kelompok pengajian dan yayasan-yayasan ahlulbait di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut ini : Daerah Jumlah TK I (Propinsi) 21 TKII (Kabupaten/Kota) 33 Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr Faktor globalisasi dan iklim sosial-politik Indonesia tentunya sangat mendukung perkembangan tersebut. Secara global, lahirnya berbagai madzhab pemikiran sosial di dunia menunjukkan kepentingan untuk mencari solusi akan berbagai permasalahan manusia yang ternyata, katanya, banyak pemikiran yang ada sekarang tidak mampu menjawabnya.

Oleh karena itu, lahir dan berkembangnya berbagai wacana keagamaan menjadi bahan yang menarik bagi banyak kalangan. Dalam konteks Indonesia, kita melihat mulai meningkatnya jumlah masyarakat yang terdidik secara modern tetapi memiliki social origin Islam. Hal ini memungkinkan sekali adanya penggalian wacana keagamaan kita secara kritis dan terbuka serta positif dan historis.

Munculnya IJABI
Pada tanggal 1 Juli 2000 di Gedung Merdeka Bandung dideklarasikanlah berdirinya organisasi massa Ikatan Jamaah Ahlu Bait Indonesia. Ormas ini dipelopori oleh tokoh intelektual Indonesia Dr. Jaluluddin Rakhmat, M.Sc yang kini duduk sebagai ketua Dewan Syuro’.

Kang Jalal (akrab disebut demikian) yang pakar komunikasi ini juga dikenal sebagai cendikiawan muslim Indonesia. Kang Jalal mendirikan bersama beberapa orang diantaranya dua orang doktor dari ITB yaitu Dimitri Mahayana dan Hadi Suwastio Pendirian IJABI tersebut tentunya didasarkan pada perkembangan yang digambarkan di atas. IJABI terdaftar secara resmi di Departemen Dalam Negeri melalui Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat nomor : 127 Tahun 2000/D.I tanggal 11 Agustus 2000.

Pendirian dan pengembangan IJABI ini memang banyak dipelopori oleh para pencinta ahlulbait dari kalangan Syi’ah (imamiyah) tetapi misi IJABI adalah menghimpun seluruh pencinta ahlulbait dari kalangan manapun untuk melakukan kerja-kerja pemberdayaan mustadha’afin dan pencerahan pemikiran umat, yang tampaknya dengan ormas yang ada sekarang akan sulit efektif karena banyaknya kontaminasi politik yang bias konflik politik..

Tujuan IJABI secara eksplisit dijabarkan dalam AD/ART, salah satu keunikan tujuan itu adalah mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diriwayatkan melalui jalur keluarga Nabi SAWW. Keunikan inilah yang menantang ormas ini untuk membuktikan bagaimana epistemologi dan implikasi aksiologis dari kecintaan kepada AhlulBait Nabi SAWW.

Dengan asas kecintaaan kepada AhlulBait Nabi SAWW, IJABI merumuskan metode pergerakannya dengan pendekatan cinta (tasawwuf, irfan). Pendekatan ini adalah kajian tasawuf -filosofis, jadi pengembangan konsep cinta itu dibentuk oleh dasar-dasar teologis-rasional. Dalam kajian ahlulbait, pengembangan gerakan sosial manusia dibentuk oleh gerakan yang berkembang dalam diri manusia sendiri.

Pengenalan terhadap diri adalah kunci mengenal Allah SWT. Pengenalan kepada Allah SWT tidak dapat hanya melalui wahyu semata (tekstualitas nash) tetapi juga dengan kebenaran akliah. Secara sederhana, pengembangan gerakan sosial harus didukung bukan saja oleh perangkat analisis sosial dan dukungan masyarakat tetapi juga harus didukung oleh manusia yang takzim kepada Allah SWT dan Rasulullah SAWW.

Di sinilah peran Imamah (kepemimpinan) menjadi kajian selanjutnya yang harus dipahami oleh para pencinta ahlulbait dengan dasar-dasar teologis-rasional. Dalam konteks itu, maka sikap terhadap keberagaman adalah terbuka, karena kita percaya keterbukaan adalah syarat untuk menguji sebuah pemikiran. Pengujian ini sesungguhnya inheren dalam kritisisme ahlulbait sebagaimana dalam gambaran penantian (okultisme) kepada Al-Mahdi as. Demikian gambaran singkat mengenai perkembangan gerakan ahlulbait di Indonesia dan serba sedikit tentang analisis pergerakannya. Wallahu’alam bi al-Shawab.


PENULIS adalah Pengurus Wilayah IJABI Yogyakarta

(Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Panel bertema “Khazanah Keberagaman Islam, Bagaimana Memahami dan Mensikapinya, Dilaksanakan oleh HMI Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, 21 Februari 2001)




Tuesday, January 27, 2009

Minor

Dari Minoritas Sampai Ironi Religiusitas (Maklumat “Sang Lalat”)
Oleh BADRU TAMAM MIFKA

“Agama memiliki sembilan nyawa…” demikian Goenawan Muhammad bicara. Ia tak pernah mati-mati meskipun manusia—atau apapun namanya—menusuknya berulangkali. Bahkan nun di belahan dunia lain konon para sosiolog seperti Peter Berger, Jose Cassanova, dan Rodney Stark percaya bahwa dunia kita bukannya sedang mendekati kepada satu titik yang sekular, tapi justru kepada titik di mana agama-agama menjalani kebangkitannya…

Betapa takjub saya menulisnya kembali, di sebuah taman yang lurus menghadap mesjid besar, sembari saya melihat orang-orang berbondong-bondong dan memenuhi mesjid. Ketika saya sempatkan diri masuk lebih dalam, saya dengar suara orang-orang ramai melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, dan setelah itu bicara tentang pribadi yang takzim pada agamanya yang besar; seperti juga yang kerap saya dengar dari ceramah dalam acara-acara keagamaan. Lalu di tempat lain, saya juga temukan ormas-ormas Islam, partai-partai Islam, komunitas-komunitas Islam, dan lainnya. Ternyata dimanapun orang masih menyimpan ingatan tentang agamanya dalam pelbagai bentuk. Ternyata denyut nadi “agama” masih hidup ditengah arus dunia yang sebenarnya mencemaskan iman. Toh disini keberagamaan umat tetap seksi, riuh dan terkadang hadir berlebihan dalam banyak ragam. Tapi rutinitas keberagamaan acapkali jadi lingkaran yang membuat saya tak bisa menemukan tikungan Islam yang sebenarnya. Banyak umat sudah kehilangan nikmat iman dan mereka melarikan kenyataan itu pada kemewahan mengekspresikan agama. Kita telah begitu jauh mempercantik iman dengan dunia. Harga mahal untuk merayakan ekspresi keberagamaan. Atau muncullah sebuah kecintaan yang berlebih pada agama sendiri: inilah agama yang paling suci, maka sayapun suci. Saya khawatir kecintaan pada diri sendiri dan apapun yang saya miliki menjadikan saya merasa selalu benar. Karena agama saya paling benar. Karena saya bagian dari umat terpilih yang mesti menjalankan amar ma’ruf nahyi munkar, bahkan dengan kekerasan, kemarahan dan ketololan sekalipun…

Bahwa kemudian bisa dimengerti, tak mesti orang yang beragama secara otomatis benar dan baik. Karena pada dasarnya, beragama juga proses, seperti halnya orang yang mengaku tidak beragama dan berusaha merumuskan ajaran moral sendiri, tetapi di saat yang sama keduanya memang tidak dengan serta merta lengkap melunasinya. Selalu ada hal yang membuat orang khianat dari konsepsi moral, harmonitas dan konsistensi iman. Sebab manusia memiliki dua karakter negatif yang dapat membahayakan; yaitu ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antarsesama manusia). Qaaluu ataj ‘alu fitha man yufsidu fiiha wa yasfikud-dima’? Tak heran jika Quran menggambarkan protes malaikat seperti itu akan rencana penciptaan manusia. Dan kita tahu, semua orang dapat kalah oleh kedua potensi destruktif diatas. Disitulah manusia selalu ada dalam keadaan perang dengan bayangannya sendiri. Jika dua potensi yang telah disebutkan tadi lebih unggul menguasai lebih banyak bagian diri kita, saat itulah manusia berada dalam keadaan kalah oleh dirinya sendiri. Terlepas apakah dia beragama ataupun tidak. Karena intinya, beragama dan tidak beragama adalah proses kerja keras untuk menafsir, memahami dan melaksanakan apa yang mereka imani. Jika saya mengatakan orang tak beragama celaka dengan pilihannya untuk tak-beragama, maka pantas juga saya mempertanyakan apakah umat muslimin dapat celaka karena keliru menjalankan dan mengekspresikan agamanya? Atau justeru sebaliknya, orang yang mengaku atheis bisa lebih manusiawi daripada orang yang mengaku beragama?

Mayoritas Memangkas Minoritas

Memilih berdiri dibawah kibaran agama, dosa tidak lebih popular ketimbang pahala. Agama dianggap jaminan mutlak-kesucian bagi perilaku penganutnya. Wilayah sakralisasi kuasa dalam eksklusifitas keberagamaan kita dapat dengan tiba-tiba membuat segala hal mejadi halal dalam sentuhan tangan kita—seperti halnya Midas yang menyentuh apapun menjadi emas. Termasuk ketika darah saudara sendiri menjadi halal karena perbedaan iman dan pendapat dalam menafsirkan kitab suci. Dalam satu agama saja, perpecahan bisa terjadi. Muncullah kelompok yang selalu mengatakan di luar dirinya adalah kafir—di luar mazhabnya, di luar pendapat teologisnya, di luar agamanya. Islam jadi tampak begitu angkuh dan serakah. Egoisme pengetahuan kelompok dihunuskan dengan perangkat kekuasaan. Barangkali Faucoult telah bicara tentang power and knowledge. Dan kita kelak mafhum bahwa sebagian umat berada dalam sebuah labirin lokus politik yang berambisi untuk semacam ketakjuban sebuah harapan ad-dien wad-daulah, misalnya. Tapi gentarkah kita jika agama yang begitu lamat terdengar dari lubuk hati tiba-tiba harus bermetamorfosis menjadi raksasa yang bernama kekuasaan, menggerakan iman, dan menggerus iman yang lain dalam mekanika ideologis yang mengerikan. Drama kepongahan mayoritas-arus utama terhadap minoritas-pinggiran tak dapat dielakkan. Fatwa dijadikan kendaraan untuk melabrak-ratakan keyakinan-keyakinan minor yang tak memiliki power. Kaum minoritas agama lain, kaum minoritas yang punya pendapat lain dalam tubuh agama yang sama, berulangkali akan menjadi korban. Darah dan amarah bisa menjadi sah dalam pertarungan iman. Sesama saudara saling cakar merebut benar, demikian kutipan puisi Bisri menggambarkan kegilaan itu. Al-insan asykala ‘alaihil insan, keluh Abu Hayyan At-tauhidi; tak segan manusia memangsa yang lainnya hanya karena ingin paling benar. Klaim kebenaran agama (truth claim) secara berlebihan yang diteriakkan pemeluk agama harus ditempatkan sebagai penyebab utama dan jadi titik awal kajian tentang praktik pengingkaran manusia atas kesucian agama, setidaknya itulah yang diungkapkan Charles Kimball.

Pemutlakan kebenaran dalam kunyah harfiah-literalis ketika memahami teks-teks kitab suci membuka celah bagi penyalahgunaan atasnya. Literalisme menghadirkan tafsir-tunggal yang memonopoli kebenaran dan kelak jadi sarana justifikasi teologis bagi praktik pengafiran (takfir) serta penyingkiran siapa pun yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda. Sikap dan pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah melahirkan anak-anak iman yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perbedaan, kenyataan dunia dan hubungan antaragama serta ideologi dalam skala global.

Berulangkali kitab suci dibuka dengan dada yang bergemuruh. Ayat-ayat dibuatnya menyala. Ayat-ayat diseret-seret, diteriak-teriakkan, dikerdilkan tak berkembang, dibekukan tak cair. Dalam hal ini, menarik apa yang pernah diucapkan Sayyidina Ali, bahwa kitalah, sang pembaca, yang membunyikan kitab suci. Kitalah yang bersuara, bukan kitab suci. Ayat-ayat pun bisa ditajamkan, seperti pedang, seperti makian. Sehingga—meminjam ungkapan Caknun—yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri. Akibatnya, perselisihan luar-dalam ditumbuhkan dengan dalih perbedaan. Sementara di pihak lain, upaya untuk menggelar dialog antar-agama berulang-ulang dilakukan. Suara-suaranya berat bergema di ruang-ruang diskusi, seminar, dan di ruang yang megah. Namun umat yang bergumul dibawahnya nyaris tak melakukan hal yang sama. Akibatnya, terjadilah fenomena paradoksal, di mana pada satu sisi para elite agama berdialog dengan ongkos yang mahal, namun pada sisi yang lain kekerasan antar-agama terus terjadi pada level grass root. Semakin membara.

Agama, kekerasan, Tuhan, ketakutan, berbaur menjadi satu. Umat yang kuat angkuh dengan tafsirnya. Di pihak lain, kaum minoritas ditebas-tebas batas imannya. Padahal penghormatan dan penghargaan terhadap keyakinan agama lain dengan serta merta adalah penghormatan dan penghargaan terhadap umat yang berbeda pendapat dalam agama sendiri. Bahkan, there will be no peace for our world unless there is peace among the religion, demikian Hans Kung berkata, tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa kedamaian di antara agama-agama…

Berani Mewartakan Ironi

Orang beragama sekalipun punya potensi untuk melakuakan hal yang negatif. Tentu saja bukan karena ajaran agamanya jelek, tetapi karena manusia gagal memahami substansi dan mengerjakan ajaran agamanya. Sayakunu ba’di min ummati qaumun yaqra’unal Qur’an, laa yujawwizu halaaqii-mahum, hum syarrul khalq wal khaliiqah, demikian Sang Nabi meramalkan. Begitulah, hari ini terbukti tak sedikit orang sudah banyak membaca Qur’an ataupun mengerjakan ibadah-ibadah ritual agamanya, namun tidak mendapatkan substansinya. Pada titik inilah kita menemukan apa yang dinamakan ironi religiusitas. Orang bisa melakukan “kebodohan-moral” dengan agama. Orang bisa penuh dengki, kebencian dan melakukan kekerasan atas nama agama. Orang bisa lebih sekuler karena berlebihan mengekspresikan agamanya. Orang bisa lebih sombong ketimbang athesime ketika ia merasa bahwa agamanya paling suci dan penganut agama lain salah kaprah. Orang bisa jadi penindas atas nama agama, dan seterusnya…

Setumpuk ironi itulah yang coba direkam oleh kegelisahan Ibn Ghifarie dalam kumpulan catatan hariannya ini. Kegelisahan yang ingin mengatakan pada kita bahwa refleksi kritis terhadap sikap keberagamaan kita mesti selalu berdenyut hidup, terus memberi kritik pada agama dalam kapasitasnya sebagai doktrin yang berada dalam sejarah dan menyejarah. Tak henti mengupas doktrin-doktrin keagamaan secara kritis agar agama tidak lagi dipahami sebagai dokumen teologis belaka. Tetapi menyangkut juga kompleksitas problem kemanusiaan, kesadaran mengamalkan dengan baik dan adil setiap makna-makna ibadah dan religiusitas kita di tengah-tengah umat. Hingga kelak mafhum bahwa hakikat ibadah (beragama) bukanlah terletak pada seberapa banyak aktivitas ritual keagamaan yang bersifat seremonial; tetapi seberapa mantap kita membangun harmonitas hidup. Setelah itu, tak ada lagi politisasi agama, manipulasi agama, komersialisasi agama, fanatisme agama, radikalisme agama, sakralisasi kekerasan karena perbedaan keyakinan menafsir kitab suci, kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya. Hingga kita paham juga bahwa Tuhan tak memerlukan kemewahan ekspresi beragama hambanya. Maka seseorang yang telah menjalankan aktivitas keagamaan tetapi belum menemukan harmonitas hidup berarti ia masih belum sampai pada esensi ibadah.

Untuk memunculkan kesadaran kritis akan keberagamaan dalam rangka menuju cita-cita harmonitas hidup, barangkali kita sedikit belajar dan diskusi bareng dengan Ibn Ghifarie dalam catatan hariannya kali ini. Setidaknya ia salah seorang—dari banyak penulis—yang berani mengajukan kritik dan mewartakan kabar tentang pelbagai ironi keagamaan. Dikemas dalam bentuk tulisan esei dan feature, kegelisahan Ibn Ghifarie bicara dari mulai ormas radikal berwatak barbar, iman minoritas, pudarnya pesan dan hikmah ritualitas keberagamaan dalam keseharian, sampai menyindir setiap ironi-ironi tingkah laku keberagamaan kita. Kumpulan catatan harian seperti ini tiba-tiba mengingatkan saya pada anak-anak muda yang berani kritis lewat catatan-catatan hariannya. Ingatan saya sampai pada catatan harian seorang Ahmad Wahib (AW). Hampir sama dengan Soe Hok Gie adik dari Soe Hok Djin (Arief Budiman) yang membuat catatan harian mengenai pemikiran kritisnya. Mereka adalah anak-anak muda yang kritis dan berani berpikir diluar mainstream ideologi yang telah eksis pada zamannya. Keberanian mereka untuk kritis telah menginspirasi kaum muda saat itu dan sekarang

Bagitupun tulisan-tulisan yang kritis dan tajam buah tangan Ibn Ghifarie ini perlu kita baca menjadi semacam diskusi yang lebih dalam. Karena fenomena-fenomena yang direkam dalam catatan harian ini ada kemungkinan akan tumbuh terus dalam ragam bentuk, dan menjadi tanggung jawab kita untuk senantiasa mengamati, meneliti, memahami dan tak henti mengajukan kritik terhadapnya. Hingga kemudian agama tak lagi dijadikan sebagai alat untuk menghalalkan segala cara, tetapi kehadirannya tidak lain untuk mengikis sikap arogansi manusia yang cenderung berbuat kerusakan, memicu konflik antarsesama dan bersikap negatif. Hingga kemudian, semua pribadatan dalam Islam dapat diproyeksikan untuk menjaga harmonitas sesama manusia, dan pemeluknya agar tetap dalam koridor sifat kemanusiaan (humanisme) yang harmonis.

Walhasil, tradisi berpikir kritis seperti Ibn Ghfarie ini mesti kita lestarikan. Hingga kesewenangan-wenangan dan tingkah tak terpuji dalam beragama dapat perlahan teraba dan kelak—mudah-mudahan—terkikis. Tanpa kesadaran kritis seperti ini, kita akan tetap berada dalam lembah kegelapan dalam beragama. Kalau boleh meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, kita ini terlalu lama hidup dalam kegelapan, sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya, sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang…Bahkan, kita tak becus membedakan mana nasi dan tinja. Maka kinilah saatnya kita mafhum bahwa tak ada kesadaran akan noda dan kegelapan (dzulumat) dalam sikap keberagamaan kita tanpa terbuka sedikitpun pada kritik. Mudah-mudahan, catatan-catatan kecil ini menjadi semacam interupsi dan maklumat dari “sang lalat” yang senantiasa mengganggu lelapnya waktu “tidur” kita dan tak henti mengajukan kritik pada gelapnya lubang borok kesadaran kita. Ya, mudah-mudahan… []

Ciromed, 19 April 2008

Monday, January 26, 2009

Asyura

Asyura, Karbala, dan Gaza
Oleh AHMAD SAHIDIN

SALAH seorang sahabat Nabi Muhammad saw, Abdullah Ibn Abbas menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad saw datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari Asyura. Rasulullah saw bertanya, “Hari apa ini?”
Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini.”

Setelah mendengar penjelasan itu Nabi Muhammad saw berkata, “Saya lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian (kaum Yahudi).” Maka saat itu beliau berpuasa pada hari Asyura itu dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya. (Shahih Bukhari No.1900)

Hadis mengenai puasa Asyura ini diterima juga oleh Aisyah binti Abu Bakar, yang menyampaikan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, (bersabda) barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka.” (HR.Bukhari No.1897)

Menurut Ustadz Abdullah Beik, MA—Ketua Departemen Pendidikan Islamic Center Al-Huda Jakarta—puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad saw biasanya berkaitan dengan hari-hari bahagia atau berkaitan dengan ritual Islam seperti Senin yang merupakan hari kelahiran Nabi, puasa tanggal 9 Dzulhijjah berkaitan dengan wukuf arafah, puasa ayyamul bidh tanggal 13,14,15 bulan komariah, dan lainnya. Asyura bukanlah hari bahagia, tapi hari kesedihan atas wafatnya cucu Rasulullah saw yang dibantai pasukan musuh Islam. Karena itu, dalam mazhab Ahlulbait dilarang berpuasa pada hari Asyura, yang ada hanya dianjurkan untuk imsak (baca: tidak makan dan tidak minum) sampai waktu zuhur dalam rangka meresapi dan merasakan kehausan yang dialami oleh Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, keluarga dan sahabatnya saat menjalani perang melawan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala.

Memang sering disebutkan alasan-alasan dianjurkannya berpuasa pada 10 Muharram. Namun banyak ulama, Ahlulbait khususnya, yang menyatakan bahwa hadis-hadis tentang keutamaan puasa Asyura tersebut tidak benar karena para perawinya tidak terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat.

“Contohnya tentang bumi yang diciptakan pada 10 Muharram. Ini betul-betul sangat aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama. Yang kedua, andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun pasca kesyahidan Imam Husain tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka yang menimpa keluarga Rasulullah tidak ada bandingannya. Sehingga kesedihan yang seharusnya dirasakan seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai Rasulullah dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan menyenangkan di atas,” tegasnya.


Di Indonesia, memperingati Asyura dengan menjalankan puasa seringkali dianggap sunnah Nabi saw. Mungkin karena tidak memahami ilmu-ilmu hadis, sehingga sumber yang tak jelas pun dianggap benar. Padahal, bila ditelusuri secara akal sehat, isi hadis keutamaan 10 Muharram itu tidak rasional dan tampak dibuat-buat.

Ada tiga alasan mengapa hadis tentang puasa Asyura yang dimuat di awal tulisan harus diragukan kebenarannya.

Pertama, Rasulullah saw datang pertama kali ke Madinah bulan Rabiul Awal, bukan bulan Muaharram. Jadi, tak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan Rabiul Awwal. Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksudkan datangya Nabi Muhammad saw ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahu tahun terakhir (masa hidup Rasulullah) saat mengetahui kebiasaan kaum Yahudi. Itu pun tak mungkin baru mengetahui kalau sudah menetap di Madinah cukup lama. Bukankah hadis tentang puasa Asyura ini hadirnya beberapa hari menjelang wafat Rasulullah saw. Ketiga, tidak mungkin Rasulullah saw mengikuti kebiasaan Yahudi. Bukankah sudah ada aturan ibadah yang penentuannya jelas dari Allah. Karena itu, tak mungkin Rasulullah saw mengikuti syariat terdahulu yang tidak jelas perintahnya.

Lalu, mengapa ada hadis-hadis tersebut? Mengapa hari Asyura dianjurkan puasa? Adakah sisi politis dari perawi saat proses tadwin (pengumpulan) hadis?

Dalam sejarah Islam pasca-Rasulullah saw dan khulafarrasyidun, 10 Muharram merupakan hari bersejarah karena terjadi sebuah peristiwa yang memilukan. Cucu Nabi Muhammad saw, Imam Husain Ibn Abu Thalib dipenggal kepalanya—termasuk keluarga dan pengikutnya pun dihabisi—secara keji di Karbala oleh pasukan Yazid Ibn Muawiyah, penguasa zalim berkedok Islam.

Mungkin dari peristiwa Karbala ini, penguasa Bani Umayyah menciptakan hadis-hadis palsu untuk menutupi keburukan dan kekejaman yang dilakukan terhadap keturunan Rasulullah saw dan para pengikutnya. Sehingga umat Islam melupakan tragedi karbala dan khusyuk dengan menghayati atau menjalankan ritual yang diciptakan mereka.

Semangat membela kebenaran dan memuliakan ajaran Islam tidak boleh lepas lekang dari waktu. Dari waktu ke waktu semangat itu harus muncul dalam diri kaum Muslim. Terlebih sekarang ini di Gaza, saudara kita—warga Palestina—sedang dizalimi bangsa Yahudi Israel (yang terkutuk). Sudah selayaknya memberikan bantuan, sedikitnya dengan doa-doa setiap ba`da shalat fardhu dan mengirimkan bacaan surah fathihah.

Ya Allah, menangkanlah saudara kami dan binasakanlah musuh yang terkutuk!

SUMBER: www.ahmadsahidin.wordpress.com

Friday, January 23, 2009

Jihad

Mengkritisi Effektifitas Jihad Ke Palestina
Oleh ALINUR

Kirim berjihad ke Lapindo saja… tidak perlu jauh-jauh sampai Israel… ongkos mahal, kalo ke Lapindo jalan kaki saja bisa sampai… ngirit dana, berani ke Lapindo nggak?

Itulah kata-kata spontan teman saya ketika kami menonton televisi yang menyiarkan ramainya beberapa organisasi Islam di Indonesia membuka pendaftaran untuk berjihad ke Palestina.

Memangnya, tak lama setelah pasukan Israel menyerang Palestina secara brutal dan menimbulkan banyak korban jiwa diawal tahun baru hijriah, masyarakat Muslim Indonesia langsung bereaksi. Ada dua reaksi keras dari umat Islam Indonesia yang banyak menyita perhatian media massa baik itu televisi maupun koran ketika Israel memulai serangan. Pertama, adanya unjuk perasaan di hampir seluruh kota besar di Indonesia menentang agresi Israel ke Palestina tersebut. Mereka menuntut organisasi dunia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan juga Amerika untuk mengecam dan memaksa Israel menghentikan agresinya. Unjuk perasaan terbesar adalah yang dilakukan oleh simpatisan dan anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dihadiri lebih dari 200 ribu orang.

Anggota PKS unjuk perasaan di depan kedutaan Amerika Sarikat di Jakarta karena negeri Paman Sam itu dianggap mendukung serangan tersebut. Bahkan Amerika dengan tega memveto resolusi dewan keamanan PBB agar kedua hala mengadakan gencatan senjata (ceasefire).

Kedua, adanya pembukaan pendaftaran berjihad ke Palestina yang diorganisir oleh beberapa organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Kantor FPI di Jember dan Bandung misalkan didatangi ratusan orang yang siap menjadi relawan untuk dikirim ke Palestina. Begitu juga MMI mendaftar lebih dari 1000 orang dari berbagai kota seperti Solo, Surabaya, Jakarta, Yogyakarta dan Padang yang siap berjihad.

Tentu saja solidaritas yang dilakukan oleh PKS dan organisasi-organisasi Islam di Indonesia itu perlu dihargai dan dibanggakan. Ikatan emosional sebagai Muslim (brotherhood) tentunya telah mendorong mereka untuk merasakan penderitaan saudaranya di Palestina. Dalam sejarah Indonesia, negara-negara Timur Tengah termasuk Palestina adalah negara yang pertama-tama mengakui kemerdekaan nusantara pada tahun 1945. Artinya, situasi Palestina sekarang hampir sama dengan situasi Indonesia diawal kemerdekaan yang memerlukan dukungan di arena politik internasional. Maka wajar kalau rakyat Indonesia sangat prihatin dengan nasib rakyat Palestina sekarang.

Hanya saja, selain bangga atas solidaritas kemanusian mereka, ada hal yang perlu dikritisi dan dipertanyakan.

Dalam kasus unjuk perasaan PKS, banyak orang yang memuji bahwa PKS adalah satu-satunya partai politik di Indonesia yang berani terjun ke jalan mendukung Palestina. Padahal ada lebih dari empat puluh partai politik di Indonesia yang siap bertanding pada pilihan raya tahun ini. Tapi ada juga yang mengkritisi bahwa PKS hanya memanfaatkan situasi gejolak di Palestina untuk kepentingan politik menjelang pilihan raya.

Memang ratusan ribu anggota dan simpatisan PKS yang melakukan unjuk perasaan banyak yang membawa bendera PKS sambil mengangkat nomor urut PKS dalam pemilu yaitu nomor lapan (8). Komentar negatif bahwa PKS menggunakan isu Palestina untuk kepentingan kampen dibantah oleh presiden PKS Tifatul Sembiring. ”Itu tuduhan tidak benar! Kalau aksi PKS hanya saat ini sahaja, mungkin benar adanya. Tapi perhatikan konsistensi PKS! Ada pilihan raya atau tidak PKS tetap melakukan aksi solidaritas ke Palestina,” ujar Tifatul.

Tifatul kelihatannya benar karena sejak tahun 2006, PKS sering melakukan unjuk perasaan untuk mendukung Palestina dengan programnya ”One Man One Dollar to Save Palestina”. Dalam unjuk perasaan tahun ini, PKS mengklaim berhasil mengumpulkan uang sebesar 2 milyar rupiah dari para pendukungnya yang siap dikirim untuk membantu Palestina.

Sementara itu, pendaftaran jihad oleh berbagai organisasi Islam di Indonesia juga perlu dikritisi dan dipertanyakan effektifitasnya. Salah satunya adalah seperti komentar teman saya diawal tulisan ini yaitu bahwa sebaiknya para relawan yang siap berjihad ke Palestina itu perlu berpikir ulang.

Selain tentunya susah mendapatkan ijin dari pemerintah Indonesia dan Israel untuk berangkat ke Gaza, medan pertempuran di Gaza juga perlu diperhatikan oleh para relawan jihad. Janganlah keberangkatan ke Palestine seolah olah membiarkan diri untuk mati konyol karena tidak tahu medan dan tidak tahu cara berperang apalagi tanpa senjata.

Artinya, emosi sesaat ingin membantu sesama saudara Muslim di Palestina tanpa perhitungan yang matang adalah kurang baik. Karenanya, setiap solidaritas kemanusiaan baik itu yang dilakukan oleh PKS ataupun organisasi-organisasi Islam seperti HTI, FPI dan MMI perlu dilakukan secara proporsional dan profesional.

Artinya, kalau PKS peduli dengan masyarakat Palestina yang jauh di Timur Tengah sehingga bisa mengumpulkan uang miliyaran rupiah, PKS juga harus mampu ikut berpartisipasi mengumpulkan dana untuk membantu masyarakat miskin di Indonesia yang ada dalam kesulitan. Kalau alasannya adalah persaudaraan (brotherhood), bukankah persaudaraan sesama warga Indonesia yang jaraknya lebih dekat jauh lebih penting.

Akan lebih terasa manfaatnya kalau PKS bisa membantu saudara-saudara sebangsa yang ada di Sidoarjo yang sampai sekarang masih belum bisa keluar dari kesulitan karena musibah lumpur.

Beranikah PKS unjuk perasaan besar-besaran seperti ditunjukan ketika demo Palestina untuk mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan kasus lumpur Lapindo yang berlarut-larut?

Begitu juga semangat berkorban untuk berjihad para sukarelawan (volunteers) dari FPI, HTI dan MMI. Beranikah para relawan itu berjihad di Indonesia dalam bentuk lain seperti ikhlas mengajar tanpa bayaran anak-anak jalanan dan anak miskin yang tidak bisa belajar di bangku sekolah karena tidak mampu membayar iuran? Bukankah mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada mereka yang membutuhkan merupakan bagian dari jihad juga?

Ketika masyarakat Muslim Indonesia dengan suka rela berlomba-lomba mengumpulkan uang sumbangan untuk mengirim obat-obatan ke Palestina, beranikah mereka dengan suka rela mengumpulkan uang untuk membantu sesama warga Indonesia yang miskin, kekurangan gizi, sakit-sakitan dan tidak mampu berobat karena tak ada biaya. Artinya, selain peka terhadap penderitaan saudara Muslim di Palestina, masyarakat yang siap berjihad ke Gaza itu juga harus peka terhadap penderitaan sesama warga Indonesia di tanah air.

Tentunya bukan berarti solidaritas terhadap Palestina yang ditunjukkan oleh PKS dan organisasi-organisasi itu tidak berguna. Hanya saja, mereka juga perlu merenung sejauhmana pengorbanan mereka akan effektif membantu rakyat Palestina. Solidaritas dan semangat untuk membantu rakyat Palestina juga harus ditunjukan dalam membantu sesama warga Indonesia. Janganlah ada kesan bahwa mereka lebih peduli kepada penderitaan orang lain yang jauh di Timur Tengah tetapi tidak peduli dengan penderitaan saudara-saudaranya yang lebih dekat. Janganlah ungkapan penderitaan kuman diseberang lautan (penderitaan rakyat Palestina) kelihatan, sementara penderitaan gajah (sesama warga negara) dipelupuk mata tidak kelihatan.

HHM

Haji Hasan Mustapa, Lokalitas, Spiritualisme
Oleh ASEP SALAHUDIN

Hampir tidak ada yang menyangsikan kebesaran nama Haji Hasan Mustapa dalam tradisi dan budaya Sunda. Haji Hasan Mustapa inilah yang pada hari Rabu tanggal 21 Januari 2009 dalam sebuah seminar dikaji di al-Jamiah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung atas kerja sama UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Monash University, dan Pusat Studi Sunda.

Haji Hasan Mustapa disebut-sebut sebagai The Great Sundanese Mystic (Seorang Sufi Besar Sunda). Ajip Rosidi mendeskripsikannya sebagai mistikus dan filsuf Islam yang hanya dapat dihitung dan berkembang di lingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan Sunda.

Perhatian Haji Hasan Mustapa sangat luas membentang mulai persoalan tasawuf sampai etnografi Sunda. Tema-tema yang dibahasnya dielaborasi dengan perenungan mendalam dan dibalut dengan gaya ungkap metaforis sehingga seringkali memberikan ruang bagi pemaknaan yang beragam di samping kemungkinan untuk diapresiasi dengan salah paham.

Di tangan Haji Hasan Mustapa, tradisi bukan sebagai sesuatu yang statis, namun benar-benar dihidupkan kembali dengan muatan makna baru termasuk tradisi keislaman. Ketika cerita Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi dikedepankan, ada muatan makna religiositas lokal yang mencuat.

Pribumisasi

Seandainya pada 1980-an, Abdurrahman Wahid pertama kali melontarkan gagasan pribumisasi Islam yang menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing sehingga tidak perlu lagi ada yang namanya agenda pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah, maka sesunggunya kalau kita cermati jauh sebelum itu kesadaran yang sama telah tumbuh dalam jiwa Haji Hasan Mustapa tentu saja dengan ideom yang berbeda.

Bagaimana misalnya, Haji Hasan Mustapa menegaskan tentang keniscayaan Islam berdialog secara kreatif dengan tradisi lokal (Sunda). Ketika Islam datang ke tatar Pasundan, kedatangannya itu tidak identik dengan proses peminggiran terhadap budaya lokal yang sudah hidup ratusan tahun lamanya, tetapi justru harus mengakomodasi budaya yang hidup. Dalam ungkapannya yang menarik, "Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab. Jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab." Dalam pemaknaan Islam pribumi, Islam dibebaskan dari puritanisme, radikalisme, dan segala bentuk pemurnian Islam dan pada saat yang sama kearifan lokal tetap terjaga tanpa menghilangkan identitas normatif Islam.

Perkawinan budaya

Proses kreatif mengawinkan Islam dengan budaya lokal inilah yang seringkali menimbulkan salah pengertian bahkan ketegangan di antara para ulama, apalagi Islam yang dikembangkan Haji Hasan Mustapa bukanlah Islam eksoteris (fikih), namun Islam esoteris (tasawuf). Ia kerap dituduh sebagai zindik dan kapir seperti dalam pengakuannya: beja majarkeun kaula//geus leungit elmuning santri//geus ngaruksakeun agama//jadi kapir jadi zindik//zindikna jadi mungkir//kana tutur lampah rasul//kana salat puasa//ana malik kula nyeuri//kahuruan ngajawab jeung handuruan. Namun akhirnya, Haji Hasan Mustapa sebagai seorang pemikir soliter hanya cukup mengapresiasi ketidaksetujuan ulama lainnya itu dengan ungkapan:

Kiwari tacan arusum
Nepi kana pamake kami
Heulaanan kuring mundur deui
Tacan tega ka barudak urang
Basana serab pangilo
Sapedah kula kitu
Matak risi nu sisip budi
Budi daya kula
Geus tepi ka kitu
Dongkap ka masyaallohna
Kajen teuing hararemeng galih
Moal matak doraka



Bahkan, ia juga dengan atraktif menyerukan kepada alim ulama dan para khatib untuk setia dan terus berkhutbah dan berceramah dengan menggunakan media bahasa Sunda sebelum dua tahun yang lalu Ajip Rosidi menegaskan bahwa agama adalah rasa dan yang paling efektif untuk menyampaikannya adalah dengan bahasa rasa (bahasa Sunda) sehingga tidak perlu khatib ceramah memakai bahasa Melayu jika tidak justru mereka ikut ambil bagian dalam proses sakratulmautnya bahasa Sunda. Haji Hasan Mustapa menulis:

""Pondokna wae, ngawalatrakeun pangaji Kuranul Adim, Alloh jeung para Nabina sing walatra kahartina kasurtina, sugan sabasa-sabasana. Jadi diurangna pangheulana hutbah mending ku basa Sunda. Barangtangtu panglaerna jampe wudu, jampe adus, telikin ku basa Sunda".

Manusia kosmopolit

Kedalaman perenungan keagamaan Haji Hasan Mustapa sedikit banyak dipengaruhi oleh track record dirinya yang cukup tuntas mendalami ilmu-ilmu agama mulai dari fikih, nahwu, sharaf, tauhid, sampai tasawuf. Belajar tidak hanya di nusantara kepada Kiai Haji Hasan Basri (Kiara Koneng, Garut), Kiai Haji Yahya (Garut), Kiai Abdul Hasan (Tanjungsari, Sumedang), Kiai Muhamad (Cibunut Garut), Muhamad Ijra`I (murid Kiai Abdulkadir, Dasarema, Surabaya) dan Kiai Khalil (Bangkalan, Madura), namun sampai ke luar negeri ke Syekh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, Sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi yang ada di Mekah.

Haji Hasan Mustapa pada sisi lain, juga merupakan cermin manusia kosmopolit yang tidak kehilangan jati diri kesundaannya. Ia tuntas memahami kultur Sunda, Arab, dan juga kultur lainnya seperti Jawa dan Madura. Tiga yang terakhir itu dilakukan ketika melakukan lawatan budaya secara intens bersama karibnya tahun 1889 Snouck Hurgronye keliling Jawa dan Madura seperti didokumentasikannya dalam Aantekeningen over Islam en Volklore in West en Midden Java.

Kekayaan pengalaman ini pada gilirannya telah membentuk Haji Hasan Mustapa menjadi pribadi yang toleran, bijak, dan selalu berpikir dengan paradigma ragam banyak kemungkinan. Paradigma seperti ini yang dengan penuh kesadaran, membuat Haji Hasan Mustapa lebih tertarik untuk mengemas pemahamannya dalam bentuk dangding dan guguritan di samping dialog imajinatif yang cerdas dan jenaka. ***

ASEP SALAHUDIN, Pemerhati kebudayaan Sunda, mahasiswa doktoral Unpad Bandung. {Pikiran Rakyat, 24 Januari 2009]

Toleran

Bercermin Toleransi dari Kelenteng
Oleh IBN GHIFARIE*

Judul dan subtansi tulisan ini terinspirasi oleh hasil laporan bedah buku Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir karya Trias Kuncahyono, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Kompas di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung yang dimuat di Harian Kompas Biro Jawa Barat, Jumat (5/12) tentang indahnya keragaman dan pentingnya toleransi yang mulai terkikis dari kehidupan keseharian antarumat beragama di Nusantara ini.

Di akui atau tidak kemerdekaan, keadilan, dan sikap keterbukaan menjadi barang langka di Bumi Pertiwi. Urusan keimanan saja pemerintah masih ikut mencampurinya. Mengerikan memang.

Mampukah kehadiran Imlek (1 Imlek 2560) yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2009 kita akan mendapatkan pengalaman (sikap keberagamaan) yang terbuka, ramah, toleran, inklusif, adil dan pengakui perbedaan keyakinan (sekte, madzab, denominasi, aliran) untuk tumbuh dan berkembangnya dialog intra religius.

Nilai Nabi Kongzu
Salah satu pelajaran berhagra yang bisa kita petik dengan adanya pergantian tahun China ini adalah Kelenteng. Pasalnya, dari tempat ibadah ini terpancar sikap keterbukaan, toleransi, dan keragaman.

Semula pra di cabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 oleh Presiden Abdurrahman Wahid Kelenteng selalu di identikan dengan Vihara (Budha). Kini, tidak lagi. Bahkan masyarakat keturunan China pun dengan leluasa dapat bersembahyang di depan Altar Langit (Thian Than) Sang Nabi.

Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa sekaligus upaya memelihara, menjungjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kongzu. Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Budha, Tao atau Konghucu. Yang jelas mereka keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan kebijaksanaan tersebut.

Adalah Kongzi, Khongcu atau Confucius hidup pada jaman Dinasti Zhou (551-479 sM). Kala itu, ia menganjurkan agar Dinasti Zhou kembali menggunakan Kalender Xia, sebab tahun barunya jatuh pada musim semi, sehingga cocok dijadikan pedoman bercocok tanam. Namun nasihat ini baru dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 sM) pada 104 sM. Semenjak itulah Kalender Xia dipakai. Kini dikenal dengan sebagai Kalender Imlek.

Upaya penghormatan kepada Kongzi, perhitungan tahun pertama Kalender Imlek ditetapkan oleh Han Wu Di dihitung sejak kelahiran Kongzi, yaitu sejak tahun 551 sM. Itulah sebabnya Kalender Imlek lebih awal 551 tahun ketimbang Kalender Masehi. Jika sekarang Kalender Masehi bertahunkan 2009, maka Kalender Imlek bertahunkan 2009+551=2560. Pada saat bersamaan agama Khonghucu (Ru Jiao) ditetapkan Han Wu Di sebagai agama negara. Sejak saat itu penanggalan Imlek juga dikenal sebagai Kongli (Penanggalan Kongzi).

Kebaikan Nabi Kongzi tu, termaktub dalam Kitab Tiong Yong (XXX : 4) /Zhong Yong, “Maka gema namanya meliput seluruh Tiongkok, terberita sampai ke tempat Bangsa Ban/Man, dan Bek/Mo, sampai kemana saja perahu dan kereta dapat mencapainya, tenaga manusia dapat menempuhnya, yang dinaungi langit, yang didukung bumi, yang disinari matahari dan bulan, yang ditimpa salju dan embun, semua makhluk yang berdarah dan bernafas, tiada yang tidak menjunjung dan mencintaiNya.” (www.matakin-indonesia.org)

Dalam kontek Jawa Barat, terdapat sekitar 100 Kelenteng yang tersebar di Kabupaten/Kota. Vihara Satya Budhi (Yayasan Satya Budhi) merupakan Kelenteng tertua dan terbesar di Bandung yang dibangun pada tahun 1885, Jalan Klenteng No. 2, 23 A Kota Bandung, Jawa Barat. (Kompas, 15/01)

Kunci Perdamaian
Tibanya Imlek bagi umat Khonghucu harus menjadi momentum lambang semangat perjuangan dan kemenangan di dalam berusaha membina kehidupan agamanya. Juga Menjadi lambang persaudaraan di antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.

Sekali lagi, perilaku toleran itu terlihat saat praktik Ibadah di Altar Langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Memang indah dan sahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Budha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih baik lagi.

Menurut Muhammad Dawam Rahardjo dalam buku Demi Toleransi, Demi Pluralisme (2007) toleransi merupakan kunci perdamain dan kedamaian, kunci dari persamaan serta kunci proresifitas. Toleransi bukan berarti lemah dalam agama. Bahkan dengan toleransi dapat dipahami keyakinan orang lain lebih baik tanpa harus percaya.

Toleransi erat kaitanya dengan pluralisme. Melalui pluralisme kita bisa saling memahami. Saya berbeda pendapat, keyakinan, pemahaman dengan orang lain tanpa harus memusuhi. Baginya, dalam pelbagai diskusi yang dilakukan dengan banyak orang Ia merasa bahwa banyak temen-temen yang takut dengan pluralisme. Seolah-olah pluralisme sebuah ancaman atau menempatkan diri dalam dunia ancaman. Tetapi pengalaman saya tidak.Justru pluralisme dan toleransi membuat saya lebih damai.

Inilah pelajaran berharga dari Kelenteng bagi dialog intra religius. Kiranya, sabda Kongzi pun layak kita dengungkan “Bila suatu kali engkau menjadi baru maka tetaplah jaga agar engkau senantiasa baru (Da Xue II, 1) dan Gan Yan/Yan Yuan, bertanya bagaimana mengatur pemerintahan. Nabi bersabda, “Pakailah penanggalan Dinasti He” Kitab Lun Gi/Lun Yu,XV :11).

Sungguh perkataan Nabi Khongcu--yang di dalam seluruh hidupnya mencurahkan perhatian sebagai upaya mense sejahterakan dan membahagiaan rakyat. Sanagtlah wajar bila Ia bersabda kepada Gan Hwee/Yan Hui, tentang pemerintahan yang baik dianjurkan menggunakan penanggalan Dinasti He. Semoga keindahan dalam perbedaan mewujud di Indonesia. Selamat Hari Raya Imlek 2560/2009. Gong XI Fa Cai.

* IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Biro Jabar, Sabtu 24 Januari 2009

Emas

Cerita Pendek CIAN IBNU SINA SJ
Emas 24 Karat

SUNGGUH berharga sekerat emas, walau hanya secuil dimiliki. Tak ada seorang pun yang tak mengetahui perhiasan ini, apalagi menolaknya jika diberi secara cuma-cuma. ”Tak harus terburu-buru lah Nak, tak memakai perhiasan emas juga tak mengapa. Tak usah risau, apalagi gusar. Memang betul Nak, emas adalah ukuran barang bagus, simbol utama; kaya miskin banyak orang pakai emas, meski hanya ¼ gram yang hanya dipasang di sebelah telinga kirinya. Santai lah Nak, Ayah mu belum ada duit untuk membeli gelang emas permintaan mu itu”.


Berkali-kali sang Ibu menasehati anaknya, sudah sering meneteskan air mata hingga kering. Tetapi sang buah hati masih keras kemauan meminta emas untuk dijadikan gelang sebagai perhiasan di tangannya. Mungkin benar di zaman sekarang ini, anak sangat terbeban menanggung malu bila tak memakai perhiasan dari emas. Setiap hari setiap waktu, menjerit hanya inginkan perhiasan emas. Tak siang tak malam, air mata terus diteteskan demi mendapatkannya.

”Jangan pura-pura lah Bu, sekarang kan zaman modern, sudah bukan zaman kerajaan lagi. Sudah lah Bu, beliin aku sikit saja, tak usah banyak-banyak yang penting aku pakai gelang dari emas.”

Sang Ibunya hanya menatap lembaran acara di televisi, asyiknya mengintip Audisi Penyanyi Indonesia, sebuah televisi swasta. Apakah dengan memakai perhiasan emas adalah suatu kewajiban bagi perempuan yang memang tak bisa ditawar-tawar lagi?

Nampaknya penasaran bener terhadap perhiasan yang kuning ini, tak habis pikir. Ibu yang cerdas, selalu berbincang dengan nuraninya. Bagaimana kalau buah hatinya di ajak jalan-jalan, biar melihat bagaimana sebenarnya perhiasan kuning itu. Gayung pun bersambut, suami dari Ibu yang cerdas tentu lelaki cerdas juga. Ia mengizinkan istrinya untuk membawa jalan-jalan belahan jiwanya itu.

Hari berganti sunyi, sepi menghilangkan ramai. Matahari masih mamayungi seisi bumi, tak ditunda-tunda lagi. Demi sang buah hati, apa pun dikorbankan untuk kebahagiannya. Yang jauh terasa dekat, begitu lah yang dekat semakin tiada jarak lagi. Sehabis memikir sambil meneguk jamu hasil ramuannya sendiri, sambil menulis agenda hariannya. Engku Putri mengajak Rara untuk bepergian ke luar negeri, sekadar menatap bagaimana di manca negara sebenarnya perhiasan itu digunakan.

”Sudah lah Nak! Tak baik pula menangis terus, sekarang berangkat sama Ibu ke negeri jiran. Untuk melihat emas, siapa tahu kamu suka dengan emas di negeri seberang sana”.

“Mari lah Bu! Aku juga sudah tak tahan ingin memiliki emas untuk perhiasan gelang, kelak aku pakai di tangan kanan dan kiri”. Keduanya setuju untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Engku Putri membawa ke tiga tempat saja, berangkat dari Singapura menepi di Beijing.

Lalu meneruskan perjalanannya ke Yerusalem, Palestina. “Lihat lah Nak, yang bundar besar di atas bangunan suci ini. Ini masjid kaum muslimin sejak dahulu, ini berumur ratusan tahun. Dahulu dibangun pada tahun 690 Masehi. Nama masjid ini adalah masjid Qubbah As-Sakhirah atau biasa dijuluki dengan sebutan; Dome of The Rock. Tampak dari sini Nak, bukan kah yang besar di atas itu terbuat dari emas?”

Rara hanya bisa menatap, lalu membenarkan perkataan Ibunya, setelah menikmati hidangan sarapan ala Israel. Mereka berdua sejenak melepas lelah di sudut waktu, dekat Al-Aqsa. Di pinggiran masjid itu nampak banyak orang yang lumpuh mengayuh tubuhnya, hanya minta-minta sekadar untuk makan. “Bu, apakah orang-orang lumpuh ini sejak lahir atau karena suatu peristiwa dan kenapa dibiarkan begitu saja?”. Pertanyaan yang cerdas, membangkitkan memory Engku Puteri ke masa silam. “Mereka lumpuh karena perang Nak, karena kebiadaban orang-orang Yahudi Israel”.

Hanya sebentar saja mereka berdua berbincang soal emas besar itu, tak lama kemudian, keduanya membersihkan sisa lelah yang terpenggal pada lembaran perjalanan. Kemudian membeli tiket melanjutkan perjalanan ke negeri lain. “Sudah dulu ya Nak, diskusinya nanti kita teruskan lagi. Sekarang kita harus meramu waktu agar sampai di tanah minyak, segera menepi di negeri suci Syi'i.

Tepat di sebuah negeri “seribu satu malam” itu, Engku Puteri dan Rara berhenti di tepian diskotik milik Hajjah Fatimah Nurul Qashrie. Sambil meneguk arak timur, sedikit berbincang-bincang soal perjalanannya. Namun disela-sela perbincangan, sudah nampak di pelupuk mata Rara sebuah bangunan besar, persis seperti yang ia lihat kemarin hari di Palestina. “Bu kok bangunan itu sama seperti yang kemarin, kita mendekat yu?”. Rupanya sudah tak sabar ingin melihat yang kedua kalinya. “Sabar lah Nak, sekarang malam mau menutup cahaya siang, besok pagi kita mendekat tepat ke arah sana”.

Ditemani pagi yang cerah, tanpa tetesan hujan tanpa irisan angin. Keduanya bergegas menyulam memori semalam yang telah lewat. Secepatnya membungkus cerita kemarin bersama Hajjah Fatimah Nurul Qashrie. Lalu pamit meninggalkan diskotik tua itu, Rara tak ketinggalan melipat anggur timur yang segar itu di kantong kecilnya. Sedangkan Engku Puteri tidak sempat melupakan arak timur jauh yang seperti jamu itu, ia bahkan teringat saat meneguk jamu ramuannya sendiri, tiga hari sebelum pergi.

Keduanya menunggang keledai sewaan seharga 120 dirham, bersama sengat siang mereka menepi di pembaringan terik matahari. Tak jauh dari bangunan besar itu, mereka berhenti. Lalu berjalan perlahan, sambil menatap bangunan tua itu. Selangkah demi selangkah menapaki tanah kering itu, tiba lah mereka berdua tepat di depan bangunan itu. ”Bu nampaknya bagunan ini sama seperti yang aku lihat kemarin di Yerusalem, ini juga terbuat dari emas sebesar ini? Aneh, kok masih banyak juga orang-orang miskin keliaran menjejali dinding nasib di negeri ini”.

Rara mulai senang sekaligus bimbang, ia baru merasakan kalau apa yang dilihatnya kurang begitu meyakinkan hati nuraninya. Sedangkan Engku Puteri mulai merasa lega, ia berhasil membawa Rara ke hamparan nalar yang mapan selama ribuan tahun. Ia sukses membawa jalan-jalan anak kesayangannya menemukan keindahan, sekaligus duka yang mendalam yang pernah disaksikan langsung oleh buah hatinya.

Baru lah kali ini, Rara lupa kalau ia sesungguhnya sedang menginginkan sangat emas itu. Akan tetapi, Engku Puteri yakin bahwa lupa anaknya adalah justru sangat ingat tentang emas yang diinginkannya itu. Ia yakin bahwa lupa sebenarnya ingat yang sangat mendalam. Karenanya, ia membawa ke tiga tempat itu. ”Sudah lah Nak! Tak usah melamun, besok kita sambung lagi perjalanan ke tanah Melayu. “Tidak lah Bu! Beri tahu lah aku terlebih dahulu”.

Begitu gembiranya hati Engku Puteri, hingga tak sempat banyak menjelaskan kepada Rara seperti saat di Palestina. “Oh ya, maafkan Ibu Nak! Ini namanya masjid Hasan Al-Askari, di bangun pada tahun 944 Masehi. Daerah ini namanya Samara, nama negaranya Irak berdekatan dengan negara Iran. Penamaan masjid ini disandarkan kepada cucu Rasulullah saw, yaitu Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib. Masjid ini merupakan bangunan suci kaum Syi'i; pengagum sahabat Rasulullah saw. Yang menantunya sendiri, ia adalah Imam Ali Bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah”.

Surut lah sudah keinginan keras Rara memiliki perhiasan emas, tapi belum habis penasaran di hatinya. Sambil termenung sepanjang jalan, keduanya meneruskan ke tanah Melayu. Berlabuh di Bandar Sri Begawan, beramah tamah dengan negeri kerajaan Melayu itu. Hidangan ramah tamah negeri seribu minyak ini, mengingatkan ke kampung halaman. Selain karena dekatnya dengan tempat keduanya tinggal, juga bahasanya masih sama. Seleranya mirip dengan budaya sendiri, senantiasa akrab saling menyapa setiap menemui orang yang diajak berbincang.

Bagunan ketiga ini juga besar, terbuat dari emas murni. Indah dipandang, meski tak sempat bagaimana rasanya. Rara menganggapnya demikian, soalnya pikir Rara, dua tempat sebelumnya, ada emas besar itu justru berbarengan orang-orang sekitar miskin yang papa itu. “Bu kalau masjid yang satu ini aku tahu; dibangun tahun 1980-an, ada 29 kubah berlapis emas 24 murni karat. Namanya masjid Jami'e Al-Asr atau masjid Bandar Sri Begawan, luasnya 2 hektar, ke mana lagi kita melihat emas lebih besar lagi, masih ada?”.

Mulai terbuka luas cakrawala kehidupan duniawi di mata Rara, Engku Puteri bergembira mendengar keluhan buah hatinya itu. Tak lama keduanya bergegas menuju bandara, langsung meluncur menuju Jakarta. Setibanya di Bandara internasional Soekarno-Hatta, lalu melanjutkan perjalanannya ke Depok dan bermalam di sana. “Besok kita sambung terus ke Cinere Nak, melihat indahnya bagunan yang paling baru, emasnya tak kalah lebih besar dari yang sebelumnya”. Tanpa mengasah lelah atau menjumput ragu. Dengan penuh kasih sayang yang harmonis, Ibu dan anak itu menuju Cinere.

“Alamak besar sangat Bu! Kapan masjid Indonesia ini dibangun?”. Spontan rasa penasaran menghadang Rara saat melirik ke bilik parkir di halaman bagunan megah itu. “Marilah kita masuk, kita tanyakan kepada mereka tentang masjid ini.”

Belum sempat mengucapkan salam, keduanya telah diterima sebagai tamu. Lalu masuk menuju ruangan masjid, melirik ke sana ke mari. Dengan penuh senyum, penjaga masjid itu lalu menjamu berbagai hidangan ala Sunda. “Ini tanah Pasundan, silakan mencoba makanan khas kami. Setelah shalat berjama'ah, nanti saya jelaskan sejarah masjid ini.”

Setelah menikmati jamuan, si penjaga masjid menghilang ke kamar, nampaknya ada sesuatu yang tertinggal.

Setelah kembali dari kamar itu, ia berganti dari seragam penjaga masjid menjadi pakaian biasa khas Indonesia. “Maaf agak lama sedikit, bagini lah ceritanya: namanya sesuai pemiliknya, masjid ini bernama Masjid Dian Al-Mahri. Kepunyaan Hajjah Dian Juriah Al-Rasyid Al-Mahri, seorang wanita kaya-raya. Dibangun pada tahun 1999, dan diresmikan pada tahun 2006. Bagunan seluas 8000 meter ini, berdiri di atas tanah 70 hektar. Halaman dalamnya berukuran 45 x 75 meter, mampu menampung jama'ah sebanyak 10000 orang, dengan altar marmer impor dari Turki”.

Mendengar penerangan penjaga masjid ini, Rara hanya termengu mendesap aneh luar biasa. Kaget penuh keheranan. Berdampingan dengan Ibunya, Rara tak banyak tanya tentang masjid ini. Bahkan memberi isyarat dengan bahasa tubuh untuk setuju saja menyimak penjelasan dari penjaga masjid selanjutnya. Sang Ibu pun tak bisa berbuat banyak, pikirnya lebih selamat membimbing kesayangannya dalam bahasa diam. Sambil menikmati suasana senja, sementara si penjaga masjid seakan tak sabar ingin terus melanjutkan ceritanya. Ia pun mohon diri untuk meneruskan, maklum banyak kesibukan yang harus dikerjakan lagi.

”Kemudian enam menara berbentuk segi enam ini, yang menjulang ke atas setinggi 40 meter itu, adalah perlambang rukun Iman. Semua menara ini dibalut dengan batu granit yang indah berwarna abu-abu, ini impor dari Itali dan Brazil. Di tengah ruangan masjid bergantung lampu megah dari kuningan berlapis emas murni, beratnya 2, 7 ton. Lampu ini dikerjakan oleh tenaga ahli orang asing, masih impor pula dari Itali. Sementara luas areal parkir hanya 700 meter, cukup untuk 300 mobil besar dan 1400 kendaraan kecil. Yang berdekatan dengan masjid itu adalah gedung serba guna, sanggup menampung 25000 jama'ah”.

Bersama senja menuju larutnya malam, penjelasan si penjaga masjid belum habis. Hilir mudik orang keluar masuk masjid, membuat tempat ini ramai. Indah megah menawan mata memandang, seperti istana di kerajaan tempo dulu. Nampaknya, desain arsitektur gaya Timur melekat pada bangunan ini. Jama'ah pun bukan hanya nyaman memasuki ruangan ini, malah begong seribu tanya. Setiap orang masuk, saat itu pula mata memudar menatap sekeliling seni ornamen di masjid itu. Orang-orang pun selalu kebingungan benar kah ini masjid yang sedemikian megah ini?

Rara yang duduk dihimpit Ibunya, menatap tajam ke arah si penjaga masjid itu. Penuh sugesti, betapa dunia tengah dinikmati aneka impor-an. Nyaris tidak ada barang yang memukau yang asli dari tanah air. “Bu semua bangunan nampaknya dari negeri jauh ya Bu?”. Engku Puteri hanya cukup menegaskan kalau ucapan anaknya itu benar. “Kamu benar Nak! Bangsa kita memang bangsa impor, hampir semua di impor dari negeri orang”. Ditemani hingar bingar udara senja yang semakin menyurut, keduanya semakin serius menyimak cerita dari penjaga masjid; kemegahan, keindahan, dan keluarbiasaan adalah inti dari cerita.

Penjaga masjid melanjutkan tentang masjid megah itu, setelah meneguk teh manis yang juga kiriman dari Itali. Matanya mengedip pejam terbuka, tanda menikmati teh dari negeri mafia itu. Kedua tamunya tak dihiraukan, saat merasakan selera dari teh itu. “Sementara kubah besar itu berlapis emas murni 24 karat, dengan berat 2000 ton. Ini masjid kubah emas keempat, sekaligus terbesar dunia setelah Palestina, Yerusalem, dan Brunei Darusalam. Keseluruhan berat lapisan emas semuanya hanya 200 kwintal”.

Hingga tuntas penjaga masjid berturtur, Rara menyimak dengan diam seribu bahasa. Ia menaruh kewaspadaan yang mendalam sangat. “Mengapa membuat bumi Allah Swt ini dengan begitu mahal, menghabiskan milyaran bahkan tryliunan rupiah. Sementara masih banyak orang-orang berada di bawah garis kemiskinan; pendidikan, ekonomi, dan kesehatan?”. Meski dikatakan dalam hati yang terdalam, namun seorang Ibu tahu apa yang terlintas dalam jiwa anaknya. Lalu menyapa Rara dengan nada yang sungguh mesra.

“Begitu lah Nak, emas digunakan untuk menghiasi kubah masjid yang besar-besar. Sebagai persembahan hamba kepada pencipta-Nya. Apakah tangan kamu mau Ibu pakaikan emas juga, seperti kubah itu?” Setelah pamit meninggalkan halaman masjid Dian Al-Mahri itu, baru lah Rara menjawab sapaan Ibunya. .

“Tidak mau, Aku tidak mau lagi Bu! Aku tak suka ditangan ku ada gemilang emas, namun disampingku malah banyak kaum papa; masih banyak yang tertindas, terbelakang (ekonomi dan pendidikan), dan terpinggirkan. Aku sungguh tak kuasa beribadah yang disampingnya banyak kaum lemah, Apakah aku harus ibadah di atas penderitaan orang lain dengan semegah ini ?”. Katanya sambil menoleh manis kepada ibunya.*** [Batam Pos, Minggu, 28 Desember 2008]

Menulis

Telisik Lengkap Ghost Writer
Oleh BAMBANG TRIM

APAKAH ada hantu dalam jagat penulisan? Ya benar, hantu itu sering disebut ghost writer--para penulis profesional yang bergentayangan di dunia tulis- menulis. Para ghost writer ini benar-benar paham bahwa menulis bukan lagi pekerjaan, melainkan sebuah bisnis.

Apa itu ghost writer? Saya kutipkan saja defenisi dari wikipedia berikut ini. Anda upayakan sendiri terjemahannya, ya.

(A ghostwriter is a professional writer who is paid to write books, articles, stories, reports, or other content which are officially credited to another person. Celebrities, executives, and political leaders often hire ghostwriters to draft or edit autobiographies, magazine articles, or other written material. In music, ghostwriters are used in classical music, film score composition, and popular music such as top 40, country, and hip-hop. The ghostwriter is sometimes acknowledged by the author or publisher for his or her writing services.)

Penulis bayangan (demikian padanannya menurut saya, bukan penulis hantu) adalah seorang penulis profesional. Artinya, dia memang sudah malang melintang di dunia kepenulisan dan bukan seorang penulis pemula. Ada yang spesialis pada bidang tertentu dan ada pula yang cenderung generalis. Mereka dibayar untuk menuliskan sesuatu dengan langsung menyerahkan hak cipta (termasuk hak ekonomi dan hak moral penulisan) kepada si pemesan. Dengan demikian, urusan eksploitasi naskah tersebut menjadi produk bisnis dan nama pencipta yang dicantumkan sudah menjadi hak si pemesan.

Ghost writer sebatas dibayar dengan tarif tertentu untuk menuliskan naskah dan dia memang pada umumnya tidak disebut-sebut sebagai penulis naskah itu atau namanya tidak tercantum di cover buku. Pada beberapa kasus, namanya disebut dengan ungkapan "with ..." (Dian Putri dengan Bambang Trim) ataupun "as told to ..." (Seperti yang Diungkapkan kepada Bambang Trim). Ada lagi yang namanya disebut dalam halaman ucapan terima kasih (acknowledgement) , ada yang disebut sebagai kontributor ataupun asisten periset.

Pekerjaan yang biasa diberikan kepada seorang ghost writer adalah menulis naskah, sekaligus terkadang juga menyunting naskah. Untuk kerja profesional ini, ia pun harus mampu bekerja layaknya seorang jurnalis dan periset. Beberapa naskah memang membutuhkan aktivitas wawancara dan riset yang intensif. Terkadang seorang ghost writer hanya menerima draft naskah mentah dari seorang penulis dan tugas beratnya adalah mewujudkan draft tersebut menjadi naskah yang sempurna.

Ghost writer tidak sama dengan co-writer ataupun co-author. Co-writer adalah penulis pendamping (profesional juga) yang biasa diajak oleh seseorang untuk menulis buku bersama-sama. Misalnya, Jack Canfield mengajak Mark Victor Hansen untuk menulis buku Chicken Soup. Alasannya, Jack Canfield bukan seorang penulis, melainkan seorang trainer dan penggagas saja. Nama c0-writer sebagai penulis jelas dicantumkan dan biasanya menjadi nama kedua setelah penggagas (author).

Ada beberapa kompetensi penting yang perlu dimiliki seorang ghost writer (menurut saya) :

1) kemampuan berbahasa yang baik dan benar, termasuk menguasai ejaan; 2) keterampilan dan kecepatan menulis di atas rata-rata; 3) kemampuan jurnalistik; 4) kemampuan berkomunikasi dengan semua kalangan; 5) kemampuan dan keterampilan editing; 6) wawasan kepenulisan dan dunia penerbitan; 7) kemampuan menggunakan teknologi tinggi.

Ghost writer dapat bekerja secara mandiri (one man show) ataupun bergabung di dalam lembaga jasa alihdaya penerbitan (publishing service) . Tentu setiap pilihan ada untung dan ruginya. Jikalau memilih bekerja sendiri, paling tidak harus disiapkan peralatan berbasis teknologi tinggi, seperti laptop untuk mobile, mobile modem untuk akses internet, mobile phone (diupayakan smart phone seperti communicator ), tape recorder atau yang lebih canggih digital recorder, kamera digital minimal 8 megapixel, dan tentunya PC di rumah serta buku-buku referensi. Namun, bekerja sendiri tentu lebih mengundang kepuasan, termasuk dalam soal penghasilan. Adapun bekerja bersama lembaga, tentu segala sesuatu seperti peralatan sudah disediakan. Namun, dari sisi penghasilan hanya mendapatkan gaji, plus bonus bagi hasil.


Telisik Tarif
Adakah standar tarif seorang ghost writer? Mari kita lihat dulu basis penentuan tarif penulisan seperti yang berlaku di dunia kepenulisan.

1) Tarif dibayarkan per kata (biasanya untuk tulisan ringan atau sedikit halaman, seperti artikel, feature, dan resensi). Tarif per kata di luar negeri bisa mencapai $4 per kata. Wah, mahal sekali! Di Indonesia, tarif per kata bisa kita sebutkan Rp500 per kata. Jika asumsi dalam satu halaman A4 (1,5 spasi) ada 300 kata, berarti Rp150.000 per halaman. Tarif ini bisa lebih rendah lagi. Adapun tarif untuk editing Rp25 per kata dengan asumsi Rp7.500 per halaman. Untuk seorang profesional, jumlah ini termasuk minim.

2) Tarif dibayarkan per halaman biasanya untuk penulisan buku yang memang tebal dan memerlukan riset. Lembaga jasa alihdaya (outsource) penerbitan di India memberlakukan tarif $12-$18 per halaman atau dengan kurs saat ini (rata-rata Rp12.000) bisa mencapai Rp144.000 per halaman. Hmm... lumayan banget karena menulis 10 halaman saja sudah hampir sama dengan UMK di daerah Bandung, padahal jasa alihdaya di India ini termasuk sangat murah (bisa hemat 50% dari jasa sejenis di Eropa-Amerika) . Untuk Indonesia, tarif per halaman ini bervariasi minimal di Rp25.000 per halaman dengan asumsi Rp250.000 per sepuluh halaman.

3) Tarif kombinasi dalam hal ini seorang ghostwriter mendapatkan advance fee dengan jumlah tertentu dan selanjutnya mendapatkan bagian royalti antara 2%-3% dari total royalti misalnya 10%. 4) Tarif total yaitu tarif yang ditetapkan langsung per proyek atau per buku. Seorang ghost writer di Eropa-Amerika dibayar flat per buku antara $12.000-$28. 000. Di Kanada ditetapkan flat fee minimum untuk ghost writing yaitu $25.000 untuk buku dengan tebal 200-300 halaman. Biaya flat fee minimum ini di luar biaya riset yang dikategorikan extra charge. Di Jerman, seorang ghost writer untuk penulisan kategori confidential ditetapkan dengan bayaran $100 per halaman. Di India, tarif per buku lebih murah lagi antara $3.000-$5.000 untuk buku dengan ketebalan 200 halaman. Koran The New York Times membayar ghost writer untuk buku biografi Hillary Clinton hingga angka $500.000! Di Indonesia, masih banyak penerbit yang menetapkan tarif flat fee untuk naskah dengan ketebalan 80-120 halaman sebesar harga bandrol Rp3 jutaan-Rp5 jutaan. Bahkan, Depdiknas lewat program BSE-nya membandrol harga buku dengan sistem flat fee untuk penguasaan selama 10-15 tahun sebesar Rp40-Rp100 juta. Jumlah ini dikatakan sangat layak membantu kehidupan para penulis, tetapi jika Anda bandingkan tarif di luar negeri sangat kurang layak menurut saya untuk sebuah buku pelajaran yang digunakan oleh jutaan siswa di Indonesia dan ditetapkan sebagai public domain.

Telisik Aturan Kerja
Pengguna jasa ghost writer ini, termasuk di Indonesia. Banyak orang yang ingin mencurahkan pemikiran atau gagasannya ke dalam tulisan, tetapi tidak mampu. Karena itu, orang-orang seperti ini cenderung akan menggunakan jasa ghost writer.

Seorang Yusril Ihza Mahendra populer sebagai seorang ghost writer pidato untuk Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Megawati, bahkan juga Presiden SBY. Dulu kita mengenal almarhum Ramadhan KH sebagai spesialis penulis buku biografi para pejabat. Saya kira pun kini banyak ghost writer yang bergentayangan di Indonesia ini, termasuk saya sendiri.

Ghost writer harus memahami aturan dan kode etik sebagai penulis. Dalam hal ini ghost writer hendaknya mengikat perjanjian tertulis dengan klien ataupun paling tidak mendapat surat perintah kerja (SPK) resmi dari klien. Dalam hal ini patut dipahami perbedaan pekerjaan menulis dan menyunting dan pekerjaan meriset. Anda sebagai ghost writer bisa menetapkan tarif khusus untuk tulisan, sedangkan meriset menjadi extra charge atau ditanggung pembiayaa nnya oleh klien di luar penulisan, seperti akomodasi, transportasi, maupun pembelian buku- buku referensi.

Hal utama yang harus dijaga oleh seorang ghost writer adalah kerahasiaan content buku ataupun kerahasiaan klien apabila diminta. Ghost writer tidak boleh sembarangan mengumbar pekerjaannya kepada publik secara detail. Hal ini biasanya diungkapkan di dalam perjanjian.

Setelah menerima permintaan klien, ghost writer perlu membuat proposal penulisan buku dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan, riset yang akan dilakukan, serta penawaran tarif sesuai dengan basis yang diinginkan. Jaminan yang dipertaruhkan adalah jaminan kualitas, content yang akurat, serta ketepatan deadline. Kendala utama ghost writer biasanya kendala waktu untuk mengejar deadline karena terkadang harus menyesuaikan waktu dengan narasumber ataupun klien.

Ghost writer juga harus mempertimbangkan apakah dirinya sanggup menulis di bidang yang memang bukan bidang keahliannya. Sikap profesional perlu ditunjukkan termasuk kejujuran apabila memang tidak mampu.


Jejak Pengalaman Saya
Saya menjadi ghost writer tidak pernah disengaja. Awalnya memang terdorong dari kemampuan menulis yang sudah saya miliki. Di perusahaan tempat saya bekerja, saya dilanggan untuk menulis berbagai macam dokumen, dari mulai surat dinas, proposal, makalah, hingga pidato untuk atasan saya. Semua saya kerjakan dengan senang hati. Lalu, order tulisan pun mengalir ke bentuk lain, seperti puisi ucapan selamat ulang tahun, ucapan selamat lebaran, hingga termasuk surat pengunduran diri dan surat minta naik gaji (he-he-he). Secara tidak langsung, order tulisan ini meskipun saat itu baru dibayar dengan sebatang coklat ataupun ditraktir makan siang, sangat membantu mengasah kemampuan saya menulis berbagai hal--menjadi generalis.

Di Penerbit Rosda, tempat awal saya berkarier, saya mulai membantu merancang berbagai teks iklan buku. Alhasil, saya pun menjadi seorang copy writer. Selain itu, saya mulai banyak menulis artikel, feature, dan resensi untuk beberapa media massa.

Saya lalu membantu kakak saya yang kebetulan pemusik untuk membuat syair lagu. Satu syair lagu saya buat untuk Dimensi Band. Lalu, saya pun membuat beberapa syair untuk jingle iklan dan mars perusahaan. Untuk hal ini, saya baru dibayar ratusan ribu rupiah.

Di MQS, saya menjadi ghost writer untuk sebagian buku-buku karya Aa Gym. Saya mulai menimbang-nimbang menjadi profesional dalam dunia tulis-menulis untuk membantu beberapa orang tokoh.

Saya pernah menjadi ghost writer untuk buku yang ditulis oleh seorang dokter militer tentang manajemen rumah sakit. Buku ini memberi kesan tersendiri bagi saya karena saat buku ini terbit, saat itu pula terakhir sang dokter tersenyum. Operasi jantung beliau gagal sehingga buku tersebut mengiringi kepergiannya.

Kini saya tengah mengerjakan sekitar dua proyek buku pesanan dengan posisi sebagai ghost writer. Ada juga satu proyek editing buku spiritual. Jumlah ini belum termasuk buku pesanan dengan posisi saya sebagai penulis murni.

Berapa tarif saya? Saya menetapkan tarif tertinggi untuk satu halaman (saya mengambil basis halaman) Rp250.000 dan sudah ada yang deal untuk jumlah tersebut. Lalu, ada juga tarif Rp100.000 per halaman dan juga sudah ada yang deal. Tarif terendah yang saya tetapkan untuk buku adalah Rp50.000 per halaman. Rata-rata ketebalan halaman adalah 160 hingga 250 halaman naskah dengan format A4 dan spasi 1,5. Harga demikian di luar extra charge untuk akomodasi serta transportasi yang menjadi beban klien.

Untuk tarif penyuntingan, saya tetapkan minimum adalah Rp10.000 per halaman dalam kategori copyediting. Namun, untuk editing total (termasuk substantive editing) adalah Rp20.000-Rp25. 000 per halaman. He-he-he mengutip iklan: harga sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Prosedur yang saya berlakukan untuk menangani klien adalah: 1) tahap penjajakan yaitu pertemuan untuk menelisik kebutuhan dan harapan klien terhadap naskah yang akan dibuat atau melihat draft naskah; 2) tahap pengajuan proposal dan negosiasi untuk mencapai kesepakatan, baik tarif maupun deadline; 3) tahap penandatanganan perjanjian dan penerimaan SPK; 4) tahap penulisan dengan memberikan rencana penulisan serta draft outline.

Kadang-kadang ada juga proyek sosial yaitu jasa penulisan yang saya berikan kepada beberapa kolega ataupun sahabat tanpa dibayar ataupun dengan biaya minim. Bisa jadi saya mengerjakan juga beberapa buku anak dengan bayarang bandrol Rp3 jutaan ataupun makalah dengan bayaran ditraktir makan. Untuk soal ini, bagi saya silaturahmi lebih penting daripada tarif secara profesional. Nah, saya kira pun ada ghost writer lain yang lebih berpengalaman dengan tarif lebih besar dari yang saya tetapkan. Albertine Endah, misalnya, saya kira tarif beliau lebih tinggi karena spesialis menangani buku- buku para selebritas, seperti Krisdayanti dan almarhum Chrisye.

Menjelang Pemilu 2009 nanti, peran ghost writer tampaknya akan semakin signifikan dan mungkin laris manis. Saya kira para calon presiden ataupun calon wakil presiden tidak akan ragu-ragu merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah buku bermutu ataupun artikel berbobot di media massa. Tidak pelak sebuah tulisan membuat posisi intelektual mereka akan naik di mata publik.

Anda berminat menjadi ghost writer? Mengapa tidak? Writing is not a job; it's a business.


BAMBANG TRIM,
Ketua Forum Editor Indonesia


Islam

Firqatun Naajiyah
Oleh AHMAD DIMYATI

SAAT di sekolah Madrasah Aliyah (MA) saya diajari seorang guru, suatu paham yang mengubah peta politik dan budaya Hijaz khususnya Saudi Arabia. Pencetus ajaran tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab. Guru saya tersebut membagikan dengan gratis sebuah buku kecil berwarna (kalau tidak salah) hijau dengan judul “Al-Fiqrqatun An-Naajiyah” dengan tulisan berbahasa Arab dan seluruh isi kitab tersebut berbahasa Arab gundul (tidak berharokat).

Waktu itu, saya dan teman-teman bersikap polos dan mengikuti pengajian yang dirancang guru tersebut dengan keinginan kuat untuk menguasai Bahasa Arab. Sehingga sampai akhir studi tidak banyak perubahan pada diri saya dan teman-teman berkaitan dengan pemahaman dan pengamalan agama. Namun, saat ini saya tertarik untuk membahas judul buku tersebut, yaitu “Al-Fiqrqatun An-Naajiyah” yang artinya golongan yang selamat.

Kata firqah dan naajiyah mengacu kepada sabda Rasulullah yang mengabarkan bahwa umat Islam akan berpecah kepada 73 golongan (sekte), sebagaimana mana kaum Nashrani dan Yahudi yang berpecah ke dalam 71 atau 72 golongan. Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa semua golongan umat Islam tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Selanjutnya, banyak kaum cendekia muslim yang mengatakan bahwa nominal 71, 72, atau 73 tersebut menunjukkan makna banyak. Artinya, ada kemungkinan sebenarnya golongan umat Islam yang saling berbeda pendapat itu banyak sekali. Bahkan saya sendiri mendapat kabar ada yang mengatakan di Indonesia saat ini hampir ada ribuan kelompok (sekte) umat Islam. Di antara ribuan itu saling ada perbedaan pemahaman, tetapi ada yang tajam sekali dan ada yang tidak.

Sebagaimana telah saya tulis sebelumnya, bahwa kata firqah mengandung konotasi pandangan bahwa golongan saya atau kami benar dan golongan orang lain salah. Berbeda dengan istilah madzhab yang berkonotasi pandangan bahwa saya atau kami benar dan mungkin yang lain juga benar. Selain itu, firqah mengandung makna bahwa perbedaan adalah “laknat”, sedangkan madzhab mengandung makna perbedaan adalah “rahmat”.

Dengan demikian al-Firqah an-Naajiyah mengandung makna hanya satu golongan yang paling benar dan akan masuk surga, sedangkan golongan lain pasti salah dan masuk neraka. Namun masalahnya, siapa atau apa yang termasuk golongan selamat itu? Di sinilah akhirnya kembali terjadi konflik kepentingan antar golongan yang saling mengklaim dirinya atau golongan dirinya yang benar. Tambah-tambah ada bumbu yang menambah tajamnya konflik tersebut, di antaranya kepentingan politik penguasa. Akhirnya pertentangan kelompok yang misalnya disebabkan perbedaan fikih (paktik ibadah) dapat menjadi pemicu adanya konflik baik vertikal (antara umat dan penguasa) maupun horizontal (antara umat dengan umat). Di tengah kondisi umat yang sudah kondusif dalam memahami perbedaan paham, sudah selayaknya kita membuang jauh-jauh ta’assub (fanatisme) kelompok tanpa dasar yang kuat. Sudah sewajarnya para ulama mulai melakukan usaha untuk menghilangkan penyebab terpecahnya umat, di antaranya terpecahnya atau kurang silaturahmi-nya antarulama (atau ustadz).

Menurut saya, kini akan lebih elok jika seorang ustadz berkata di depan pendengarnya tentang kelebihan (kebaikan) ustadz lain daripada membicarakan kekurangan (kesalahan) mereka. Jika hal ini dilakukan umat tidak akan bingung dalam mencari ilmu kepada setiap ustadz yang dianggap layak diambil ilmunya. Kini pun saya merindukan para ustadz sebulan sekali berkumpul di satu forum untuk diskusi atau belajar bareng. Misalnya, bulan pertama berkumpul di seorang ustadz yang ahli di bidang tafsir atau hadits, bulan berikutnya di tempat ustadz yang ahli di bidang bahasa Arab, teknologi, dan lain-lain. Saya setuju pendapat Astri Ivo yang mengatakan keteladanan lebih bernilai dari 1000 nasihat.

Oleh karena itu selayaknya para ustadz jangan hanya meminta umat untuk mengaji, tetapi para ustadz juga harus terus belajar agar ilmunya semakin bertambah. Bukankah, mencari ilmu itu wajib sejak lahir sampai meninggal dunia?

AHMAD DIMYATI,
Pemimpin Majelis Ilmu dan Pengusaha Kecil Bandung

Filsafat

Gen Yahudi dan Co-Creator
Oleh AHMAD SAHIDIN


Alhamdulillah, Jumat pagi kemarin saya bisa mendapatkan pencerahan dari seorang penulis dan saintis Dr. Tauhid Nur Azhar. Bapak tiga putra ini datang ke kantor dengan gaya dan ke-khas-an yang tetap melekat padanya. Sosok yang berperawakan tinggi dan full senyum itu langsung naik ke lantai dua, bersalaman, dan duduk di kursi meja rapat tempat kami berkumpul.

Salah seorang teman saya, yang kini menempati jabatan cukup strategis dalam penerbit tempat saya bekerja ini, langsung menyambut dan memberikan informasi tentang maksud dihadirkannya Dr.Tauhid NA dalam acara koordinasi pekanan kali ini. Setelah dibacakan profil Dr.Tauhid NA, dimulailah “ceramah” yang mencerahkan itu.

Seperti biasa, Dr.Tauhid mengawali pembicaraannya itu tidak lepas dengan humor-humor. Awalnya ia memaparkan tentang hijrah dan makna-maknanya, termasuk hijrah dalam konteks “gen” manusia dan gen Yahudi.

Menurutnya, gen itu merupakan potensi (dasar) manusia yang sudah tertanam bersamaan dengan lahirnya manusia ke alam dunia. Tiap bayi yang lahir pasi memiliki gen (asli) yang, seiring dengan perkembangan tubuh dan otaknya, mengalami perubahan hingga mengerucut pada salah salah satu “gen” yang ada dalam diri manusia.

“Manusia memiliki gen yang bermacam-macam. Ada gen yang bisa berkembang menjadi orang baik dan juga terdapat potensi yang dapat menjadikan diri manusia itu zalim atau berakhlak buruk. Seperti Yahudi, hakikatnya bukan bangsa, tapi gen atau sifat dasar manusia terburuk yang ada pada manusia. Sehingga karakter culas, tidak menepati janji, anti kemanusiaan, licik, bisa pula melekat pada diri kita. Jika kita berperilaku itu, ya berarti bisa disebut Yahudi,” paparnya.

Bila diri kita tidak ingin seperti Yahudi, lanjutnya, maka energi negatif berupa sifat-sifat buruk dalam diri manusia itu harus dikendalikan (manage) dengan energi positif kita sehingga menghasilkan energi suportif. Misalnya tentang kemalasan, yang biasanya menjadi karakter yang sulit dilepaskan dari manusia, bila terus dipacu dengan motivasi yang baik bisa berubah menjadi rajin.

“Tanaman yang kurang perhatian manusia atau hanya dipupuk saja, hasilnya beda dengan yang tanaman yang dipupuk dan diberi sentuhan kasih sayang atau perhatian manusia. Pasti lebih segar dan tumbuhnya bagus ketimbang yang tidak diperhatikan,” katanya.

Karena itu, menurutnya, seorang manusia (Muslim) haruslah melakukan hijrah agar kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Yakni dengan mengenali hakikat diri dan hal-hal di luar diri, sehingga dalam proses berjalannya bisa lebih baik dan dapat terdeteksi ke ara mana langkah kita. Menuju ke arah yang membinasakan atau justru yang melejitkan diri kita menjadi manusia yang berprestasi. Untuk meraih itu, manusia tidak boleh tetap bersikukuh memegang pemahaman lama, tapi harus mencoba menghasilkan sesuatu yang baru dengan senantiasa pro-aktif.

Paradigma “jemput bola” atau pro-aktif ini oleh Dr.Tauhid disebut dengan istilah co-creator. Ia mendefinisikannya sebagai “metode” gabungan antara realitas (kondisi riil) dengan cita-cita (hasrat) dalam rangka menghasilkan kesimpulan atau keputusan sehingga dari sana bisa menghasilkan produk. “Sudah bukan zamannya lagi kita memaksakan bacaan atau buku kepada orang agar dibeli atau dinilai berguna. Karena tiap orang kebutuhan bacanya beda, jadi tak bisa dipaksakan. Karena itu sebaiknya penerbit coba menggunakan metdode co-creator dalam menghasilkan buku bacaan. Yakni dengan melakukan riset kebutuhan pasar dan dari fakta itu redaksi bisa memulai bekerja,” kata doktor lulusan Universitas Sains Malaysia ini.

Sebenarnya, banyak point-point penting dikemukakan oleh Dr.Tauhid NA, termasuk tentang buku terbarunya tentang “DNA Rasulullah saw” yang akan diterbitkan Penerbit Salamadani pertengahan tahun ini. Buku Dr.Tauhid NA yang telah diterbitkan Salamadani adalah “Love for All”, “Haram Bikin Seram”, ”Ajaib bin Aneh”, ”Simbol-simbol Shalat”, “Berkawan dengan Malaikat Maut”, “Gelegar Otak”, dan “Jejak Kuliner”.

Meskipun dari judul-judulnya tampak sederhana, tapi isinya masih tidak bisa lepas dari nuansa sains (ilmiah). Bahkan, dalam ceramah atau diskusi yang sempat saya hadiri, meskipun tema acara itu membahas philanthropy, tetap saja ada nuansa sainstis. Mungkin sudah menjadi icon dari sosok Dr.Tauhid NA. Karena bernuansa sains, bagi pembaca seperti saya yang kurang memahami dunia sains menjadi sebuah wawasan baru; pencerahan yang menyadarkan tentang pentingnya memahami persoalan dari berbagai perspektif.

Kembali ke wacana co-creator. Gagasan tentang co-creator yang dikemukakan Dr.Tauhid NA bukan hal yang baru dalam khazanah filsafat Islam. Sebut saja penyair dan filsuf Muslim modern Muhammad Iqbal. Dalam pemikiran filsafat manusia, Iqbal menjelaskan tentang co-creator. Menurutnya, manusia dalam mengembangkan jati diri (insaniyah) yang berperan sebagai khalifatullah sebenarnya adalah co-creator yang memiliki potensi sama dengan yang dilakukan Tuhan. Namun bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan Tuhan. Tapi hanya berperan sebagai pengembang dari ciptaan Tuhan. Contohnya tentang kelahiran manusia baru. Kelahiran bayi (manusia baru) bisa terjadi bila ada hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Aktivitas seks yang hingga membuat hamil istri dan kemudian lahirlah manusia baru ke dunia ini—dalam konsep penciptaan—bisa disebut co-creator; yang maknanya bahwa manusia itu memiliki sifat Creator Tuhan dalam menghasilkan manusia baru.

Mengapa bisa terjadi? Bukankah banyak pasangan suami-istri yang bertahun-tahun menikah tapi belum dikaruniai anak? Jawabannya: belum ada kesatuan kehendak dengan Tuhan. Meskipun manusia bermohon-mohon, bila tidak ada kehendak dari Tuhan tidaklah terjadi. Jadi, konsep co-creator bisa terwujud bila ada kesatuan kehendak: antara keinginan manusia dan keridhaan Ilahi. Sehingga wajar bila umat Islam oleh Rasulullah saw diperintah untuk selalu mendekatkan diri dengan Allah; karena Dia merupakan sumber dari terjadinya alam semesta dan kehidupan manusia. Dia merupakan wujud asal dari semua wujud yang tanpak di alam semesta ini; Dia yang menjadikan segalanya tercipta dan terjadi hanya dengan Kun faya kun.

Gagasan tentang co-creator ini dalam wacana filsafat kontemporer mengalami perkembangan yang mulai mengerucut ke arah filsafat integralisme; yang mencoba menyatukan pengetahuan atau disiplin ilmu-ilmu dalam satu paradigma universal. Di negeri kita, gagasan integralisme ini telah diawali oleh Armahedi Mazhar—guru besar ilmu fisika ITB—yang menulis buku “Filsafat Integralisme” (yang diterbitkan oleh Pustaka ITB dan edisi revisi oleh Mizan); Husein Heriyanto—dosen UI Jakarta—yang menulis buku “Paradigma Holistik” (diterbitkan oleh Teraju); dan pakar filsafat Islam Dr.Mulyadi Kartanegara yang menulis buku “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik” (diterbitkan oleh Mizan). Dalam buku yang terakhir ini, diulas tentang landasan-landasan untuk menyatukan kembali khazanah ilmu-ilmu agama dan sekular (umum); dengan merujuk klasifikasi ilmu-ilmu dari para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Mulla Shadra, dan lainnya. Dan kabarnya, wacana tersebut kini menjadi salah satu disiplin (ilmu) yang diajarkan di pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

AHMAD SAHIDIN, alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung