Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, February 27, 2009

Intelektual

Peran Kaum Intelektual Dalam Perubahan Sosial
Oleh James Petras

Pengantar
Membicarakan atau menulis tentang “kaum intelektual” hari ini, kita harus merujuk pada tataran posisi politik, mulai dari sayap kanan ekstrim (neoliberal-neokonservatif), melewati kanan-tengah (sosial-liberal), lalu menapak pada kiri-tengah (sosial demokrat), hingga sampai pada kiri-revolusioner (Marxis). Di dalam dan di luar kategori politik ini, kita juga memasuki dataran ekologi politik, feminis, gay, ras dan identitas etnik.

Sebagai tambahan, intelektual politik ini berada dalam latar (setting) kelembagaan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah pemimpin-pemimpin dalam NGO (organisasi non-pemerintah), yang lain ditemukan di dunia akademik. Sebagian lainnya berkutat sebagai “intelektual publik,” wartawan, profesor, penasehat-penasehat serikat buruh, pemimpin-pemimpin partai politik, agamawan dan penulis lepas.

Untuk tujuan paper ini, saya ingin memberikan fokus pada kaum intelektual kiri-tengah (center-left/CL) dan intelektual kiri-revolusioner (revolutionary-left/RL). Fokus pada dua kelompok intelektual ini karena keduanya paling mudah diidentifikasikan dengan proses perubahan sosial yang progresif. Kaum CL umumnya bermain dalam latar kelembagaan. Sementara intelektual RL ditemukan terutama sebagai “intelektual publik” dan di universitas-universitas.

Pembedaan antara intelektual CL dan intelektual RL adalah jauh dari tetap seperti pada massa-masa sebelumnya. Faktanya, gambaran utama intelektual kiri adalah “cair/fluidity” atau “bergerak” di antara identitas politik. Pergeseran terbesar adalah pergeseran dari RL menjadi CL dan selanjutnya menjadi kanan-tengah (liberalisme sosial) dan akhirnya menjadi neoliberal. Ada beberapa mantan gerilya di kawasan Amerika Latin, yang pada 1960an dan 1970an adalah seorang revolusioner. Tapi, kini mereka telah menjadi menteri neoliberal, senator dan wakil rakyat. Mereka juga menjadi pembela militerisme, imperialisme, sektor agribisnis dan kontra-pemberontakan. Sebaliknya, sebagian kecil yang dianggap sebagai intelektual kanan-tengah kini bergerak menuju kiri-revolusioner, khususnya setelah dekade 1990an, lebih khusus lagi setelah mereka berumur di atas 50 tahun.

Apapun pergerakan dalam politik dan loyalitas politiknya, kaum intelektual secara relatif memiliki peranan penting dalam politik, khususnya di Amerika latin – di bawah kondisi-kondisi tertentu. Kaum intelektual memang tidak selalu secara langsung membengaruhi politik massa, tidak juga mereka memimpin atau mengorganisir perjuangan massa, kecuali klaim-klaim dan pretensi-pretensi sebagian dari mereka.

Intelektual menjadi penting karena (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial dan politisasi klas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik dan program-program bagi rejim, gerakan dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi dan berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.

Dalam paper ini, saya ingin fokus pada dan secara kritis membandingkan peran intelektual kiri-tengah (CL) dan intelektual kiri revolusioner (RL) dalam menyediakan kepada gerakan dan partai sebuah diagnosa dan solusi-solusi politik.


Metode dan Analisis

Diskusi kita akan fokus pada peran intelektual CL dan RL di Amerika Latin, setelah lebih dari 25 tahun. Kita akan fokus pada dua garis pembatas: (a) peran intelektual reformis dan intelektual revolusioner dengan merujuk pada beberapa peristiwa penting; dan (b) analisis kritis atas konsep-konsep prinsipiil yang diuraikan oleh intelektual CL dan RL.

Terdapat empat peristiwa penting yang akan kita diskusikan: (a) “transisi” dari kekuasaan militer ke politisi-politisi sipil yang terpilih melalui pemilu; (b) kebangkitan dari apa yang disebut “gerakan sosial baru/new social movement” pada dekade 1980an (identitas gerakan) dan dekade 1990an (massa tani, pengangguran dan gerakan Indian); (c) kemunculan rejim-rejim “kiri-tengah” yang terpilih melalui pemilu pada milenium baru; dan (d) ekspansi kapital ke seluruh dunia dan peningkatan secara cepat perang imperial.

Konsep, yang dipopulerkan oleh intelektual CL akan dihadapkan dengan konsep yang digunakan oleh intelektual RL. Ini termasuk diskusi tentang “transisi demokrasi/democratic transition” versus “transisi menuju politik elektoral otoritarian/transition to authoritarian electoral politics”: gerakan sosial baru dengan “basis identitas”/new “identity-based” social movement” versus “gerakan sosial berbasis kelas/class-based social movement”: dan “globalisasi/globalization” versus “imperialisme/imperialism.” Pada bagian terakhir paper ini, saya akan mengevaluasi performa intelektual CL intelektual RL dalam pengertian diagnosis politik mereka, solusi-solusi politik yang ditawarkannya dan konsekuensinya bagi perubahan sosial.

Intelektual Reformis dan Intelektual Revolusioner: Menguji Peristiwa-peristiwa Kunci.

Baiklah kita mulai dari catatan selama periode diskusi (1980-2005), dimana mayoritas terbesar intelektual kiri berada di barisan kaum reformis: kiri-revolusioner pada masa itu dan hingga kini jumlahnya minoritas. Tapi ini bukan dasar dari paper ini untuk menganalisa dan menjabarkan mengapa kasus ini terjadi. Tujuan saya adalah menganalisasi relevansi dan validitas posisi-posisi politik yang diserap oleh kedua kelompok intelektual dimaksud.


Transisi Menuju Demokrasi

Intelektual reformis berpendapat, “transisi menuju demokrasi” ditandai oleh pergeseran kekuasaan dari militer ke politisi sipil hasil pemilu. Mereka berpendapat, legalisasi partai, pers, pemilihan umum dan kebebasan individual merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk kepentingan “demokrasi.” Kiri-revolusioner mencatat, keberlanjutan struktur kelas, aparatus ngara (militer, pengadilan, intelijen dan bank sentral), model ekonomi dan pengambilan keputusan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, merupakan penentu utama kebijakan sosio-makroekonomi.

Kaum reformis tidak sulit untuk menerima argumen yang disodorkan oleh kelompok kiri-revolusioner bahwa struktur yang otoritarian tidak berubah dan mendesakkan pembatasan-pembatasan dalam sistem politik. Tetapi mereka menilai, “perubahan pesat” adalah mungkin dan selanjutnya secara bertahap akan terjadi keadilan yang lebih besar. Sebaliknya intelektual revolusioner berpendapat, kerangka kerja politik elektoral berada dalam posisi subordinat dari lembaga-lembaga negara kapitalis dan kelas berkuasa (ruling class) dan secara organik tidak memiliki kapasitas untuk mentransformasikan masyarakat atau bahkan dalam menyebarkan kemakmuran dan meningkatkan standar kehidupan.

Sebuah survey yang lebih detil mengenai 24 tahun politik elektoral di Amerika Latin menunjukkan, asumsi-asumsi kalangan intelektual CL, bahwa politik elektoral merupakan instrumen bagi perubahan sosial terbukti gagal. Selama seperempat abad, seluruh variasi regim politik di seluruh Amerika Latin, gagal dalam meningkatkan standar hidup, redistribusi kemakmuran, mempromosikan pembangunan nasional atau menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti perumahan, distribusi tanah, pekerjaan dan denasionalisasi ekonomi. Sebaliknya, rejim elektoral menjadi semakin tergantung pada negara imperialis dan paket kebijakannya semakin buruk. Kepemilikan tanah semakin lebih terkonsentrasi; perbedaan antara 10 persen teratas dan 50 persen terbawah semakin lebar; sebagian besar perusahaan-perusahaan publik telah diprivatisasi dan didenasionalisasi; dan ratusan miliar dollar dirampas dari buruh dan ditransfer ke bank-bank asing untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo.

Di semua tempat dan di semua negara, sistem elektoral mengekspresikan karakter kelas yang dominan – mengkonfirmasikan analisis kiri-revolusioner. Seluruh “reformis kiri” yang masuk ke dalam rejim pada akhirnya menghasilkan kebijakan-kebijakan administratif yang buruk dan mendapat tekanan dari rakyat yang menentangnya. Telah jelas bahwa analisa dan solusi-solusi yang diberikan oleh kiri-reformis – transisi demokrasi bermakna politik elektoral akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial adalah keliru dan gagal. Sebaliknya, analisis kiri-revolusioner menjelaskan tentang keberlanjutan kekuasaan borjuis dan kapitalis telah membatasi “transisi: adalah benar dan masuk akal.


Gerakan Sosial Baru
Dalam perkembangan selanjutnya, para intelektual kiri yang terlibat dalam proses elektoral tidak memimpin untuk perubahan sosial, tapi membangun apa yang disebut “gerakan sosial baru.” Sekali lagi, muncul perdebatan tentang bagaimana komposisi sosial dan agenda sosial gerakan ini. Kalangan “reformis” – sering juga disebut “post-modernis” – menekankan “identitas sosial” sebagai lawan dari definisi kelas. Selama periode 1970-1980an, intelektual reformis mengklaim bahwa “identitas” baru – sebagai basis gerakan telah menggantikan gerakan yang berbasis-kelas, seperti gerakan yang berbasis ekologi, etnis, feminis dan gerakan gay. Intelektual revolusioner, walaupun tidak menolak kelompok identitas, mencatat bahwa perjuangan massa dari gerakan sosial berbasis kelas-etnik, seperti CONAINE di Ekuador, Cocaleros di Bolivia, Zapatista di Meksiko dan gerakan pedesaan berbasis klas di Brazil seperti MST, merupakan kekuatan pendorong bagi perubahan sosial. Kaum intelektual reformis selalu mencatat keuntungan yang terbatas dari perubahan yang dilakukan oleh segelinter “elite” di dalam kelompok “indentitas.” Sebaliknya, gerakan sosial berbasis kelas sangat berhasil dalam merealisasikan beberapa perubahan mendasar, dalam menjatuhkan rejim neoliberal dan memblok undang-undang dan peraturan pemerintah yang merugikan.

MST di Brazil, yang berbasis pada perjuangan kelas, memaksa pendudukan terhadap jutaan hektar tanah dan memindahkan 350 ribu keluarga (lebih dari 1,3 juta orang) ke sektor pertanian. CONAINE sukses menjatuhkan dua presiden neo-liberal; pekerja pengangguran dan kelas menengah yang dimiskinkan di Argentinga, berhasil memaksa presiden Fernanado De La Rua untuk keluar dari istana; buruh dan gerakan petani di Bolivia juga sukses menjatuhkan presiden Sanchez de Losada dalam mempertahankan industri perminyakan negeri itu.


Politik Elektoral dan Kiri-Tengah
Perdebatan di antara intelektual-intelektual reformis dan revolusioner semakin mendalam, khususnya bersangkut dengan masalah “jalan elektoral atau jalan revolusioner menuju kekuasaan politik dan perubahan sosial.” Sebagian terbesar intelektual reformis dan dan lebih banyak lagi intelektual “revolusioner” mendukung kandidat dari kiri-tengah yang terlibat dalam pemilu, termasuk Toledo di Peru, Gutierrez di Ekuador, Lua Da Silva di Brazil, Vazquez di Uruguay dan Kirchner di Argentina, sebagai intrumen reform sosial. Sebagian kecil minoritas intelelektual revolusioner, menolak para politisi itu. Mereka berpendapat, para politisi tersebut dan partainya memang tidak terlalu jauh dari kiri tetapi, telah bergerak ke kanan dan mengadposi IMF, neoliberalisme dan ALCA.

Para intelektual reformis mempengaruhi para pemimpin gerakan sosial dan massa pendukungnya untuk mendukung politisi-politisi kiri-tengah. Sementara para intelektual kiri-revolusioner sangat sedikit dan tidak memiliki pengaruh ketika pemilu dilangsungkan dan sesudahnya. Hasilnya sekarang telah kita saksikan: Lula, Gutierrez, Toledo dan mereka yang mendaur ulang kekirian, telah berbalik menjadi seorang neoliberal yang memperdalam dan memperluas privatisasi, mempromosikan perluasan agro-bisnis di atas penderitaan petani skala kecil dan buruh tuna-tanah, memindahkan ratusan miliar dollar ke bank-bank internasional, menyetujui undang-undang ketenagakerjaan yang memasung buruh dan hak pensiunnya dan mempromosikan penghisapan Amazon di atas penderitaan masyarakat adat. Konsekuensi dari strategi intelektual reformis yang mendukung “kiri-tengah” adalah hancurnya gerakan sosial. Di Ekuador, serikat buruh minyak di tindas, CONAINE kehilangan dukungan dari anggota-anggota terpercayanya ketika para pemimpinnya berhasil dikooptasi oleh Gutierrez. Di Brazil, MST mengalami disorientasi politik, menderita represi dan terusir dari tanah yang telah didudukinya. Di Uruguay, rejim Vazquez mengikuti petunjuk-petunjuk IMF, mendukung investasi asing oleh pencemar-pencemar besar (perusahaan selulosa) dan memaksakan upah umum yang “terbatas” terhadap serikat buruh. Semua itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan para pemimpin serikat buruh prestisius dan intelektual kiri-reformis yang mendukungnya.

Setelah tahun-tahun penerapan kebijakan brutal neoliberal, banyak dari para intelektual-reformis yang pada dasarnya mendukung partai kiri-tengah berkuasa menjadi kritis terhadap rejim. Mereka lebih aktif mengkritisi kebijakan-kebijakan rejim yang salah (mistaken policies), ketimbang mengikuti kritik sistematik yang dilakukan oleh intelektual revolusioner. Sementara itu, para intelektual kiri-revolusioner, karena validitas diagnosanya, pengaruhnya semakin meningkat di kalangan sektor-sektor yang sebelumnya terilusi oleh intelektual reformis. Penyelesaian masalah (prescriptions) melalui tindakan politik revolusioner bagi perubahan sosial yang diadvokasikan oleh intelektual kiri-revolusioner mulai memperoleh getarannya pada beberapa sektor gerakan massa. Para pemimpin gerakan-gerakan massa itu menerima metode perjuangan revolusioner tapi, tidak dengan sendirinya bertujuan revolusioner.


Globalisasi atau Imperialisme
Arena perdebatan keempat antara intelektual reformis dan intelektual revolusioner adalah menyangkut diagnosa mereka mengenai watak dan motor penggerak kapitalisme global. Kaum reformis berbicara tentang globalisasi dan penciptaan sebuah tata dunia baru yang didominasi oleh korporasi-korporasi multinasional (MNC) yang melintasi batas-batas negara. Mereka mengadakan perlawanan terhadap globalisasi ini dengan cara menggalang pertemuan “raksasa” yang tidak mengandung muatan kelas dalam pertemuan “forum sosial” atau menjadi demonstran setia dalam setiap ajang pertemuan yang dilakukan oleh elite-elite internasional.

Intelektual revolusioner berpendapat, gambaran utama dalam epos kita hari ini adalah bangkitnya kekuatan militer imperialis Amerika yang berhadapan dengan imperialisme Eropa dan Jepang, untuk mengontrol dunia. Kebangkitan militer itu ditandai dengan kebijakan negara imperial yang agresif memelopori perang dan penaklukan kapitalis. Kalangan reformis fokus pada ekspansi ekonomi MNC tanpa mengantisipasi perang imperialis di Yugoslavia, Afghanistan dan Iraq, intervensi CIA dalam kudeta di Venezuela dan ancaman perang bergelombang Amerika di Timur Tengah. Sementara itu, kalangan intelektual revolusioner fokus pada sentralitas negara imperial, perang imperial dan pendudukan kolonial. Bagi kalangan intelektual RL, inilah bukti yang lebih relevan untuk memahami watak dan motor penggerak dunia kontemporer.

Lebih dari itu, analisa kelas dari kalangan intelektual revolusioner lebih berdayaguna sebagai alat untuk memahami watak dari efektivitas perlawanan terhadap imperialisme, ketimbang konsep yang tidak jelas dari “massa.” Gerakan massa pengangguran di Iraq, misalnya, menjadi tulang punggung perlawanan bersenjata terhadap pendudukan kolonial Amerika. Petani, buruh dan pengangguran di Amerika Latin menjadi pemimpin dalam mengalahkan klien-klien imperial dan mencegah privatisasi listrik (Meksiko), air (Bolivia) dan pelabuhan (Uruguai). Sejumlah besar petani-bersenjata melawan imperialisme dan neoliberalisme di Kolumbia, Nepal dan Filipina. Sekali lagi, ideolog-ideolog reformis globalisasi gagal memberikan diagnosis yang memadai dan aksi-aksi politik yang efektif. Forum Sosial dan pertemuan massa terbukti kehilangan efektivitasnya. Sementara itu, intelektual revolusioner yang fokus pada imerialisme dan perlawanan kelas-nasional, sanggup mendapatkan penerimaan yang luas karena korespondensinya dengan realitas.

Pendekatan konseptual-teoritis yang saling bertentangan antara intelektual revolusioner dan intelektual reformis ini memberikan pnegaruh yang besar pada perjuangan untuk perubahan sosial. Kami telah menunjukkan tipikal pendekatan kalangan reformis yang sangat mempengaruhi para pemimpin gerakan massa dan massa ketimbang analisis kiri-revolusioner. Namun demikian seiring berjalannya waktu, kami menemukan bahwa diagnosa, deskripsi, prediksi dan praktek intelektual reformis telah menyebabkan kekacauan ekonomi dan konsekuensi politik yang merusak. Hasilnya adalah penguatan rejim “neoliberal” baru dan aliansinya dengan imperialisme, yang selanjutnya menghasilkan penyebaran dan disorientasi gerakan sosial.

Sebaliknya, diagnosa dan solusi untuk perubahan sosial yang dikemukakan oleh intelektual kiri-revolusioner semakin populer di kalangan pemimpin rakyat dan sedikit demi sedikit berdampak pada massa. Semakin hari, pengaruh mereka semakin meningkat, khususnya ketika analisa itu mereka kemukakan kepada gerakan sosial, gerakan akar rumput dan di kalangan intelektual. Masalah kunci yang dihadapi oleh beberapa intelektual revolusioner adalah mereka terisolasi dari perjuangan massa dan mereka tidak mempunyai akses kepada media untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.

Konsekuensinya, perubahan sosial akan tiba jika ada titik hubung antara intelektual revolusioner dan gerakan massa. Di sini dibutuhkan perjuangan untuk mengatasi reform-reform mendesak melalui metode kepemimpinan revolusioner menuju perjuangan untuk kekuasaan negara oleh organisasi kelas yang independen. Hanya rejim revolusionerlah yang mau melakukan perubahan struktural dalam hubungan kepemilikan, struktur kelas dan negara yang permanen dan berkelanjutan.


6 Maret, 2005
Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli "Role of the Intellectuals in social change," dalam http://www.rebelion.org.

SUMBER: http://coenpontoh.wordpress.com/2005/10/15/peran-kaum-intelektual-dalam-perubahan-sosial/


Thursday, February 26, 2009

Keyakinan

Salam.
Di bawah ini merupakan dokumen diskusi akhir 2007 yang terdapat dalam milis: ikhwanusshafa@yahoogroups.com. Mudah-mudahan bermanfaat dan mencerahkan.
Wassalam.


DISKUSI Tentang Perilaku Penertiban Keyakinan

Oleh Ibn Ghifarie
ibn_ghifarie wrote:

Apa pun alasannya mengumpat, mencaci-maki, menghancurkan tempat ibadah
tertentu, hingga menghilangkan nyawa orang lain, tak termasuk dalam kategori perbuatan baik. Diridhoi oleh Tuhan apalagi, jelas tidak.

Terlebih lagi, hanya karena beda pemahaman dalam menafsirkan sumber umat Islam (al-Quran dan hadis). Rasanya tak pantas bila kita > menyelesaikan persoalan beda pendapat dengan budaya preman. Mengerikan sekali.

Kedengaranya perbuatal lalim itu tak mugkin terjadi, tapi kuatnya arus
modernitas dan lemahnya keimanan acapkali perlakuan tak terpuji itu
menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dalam menuntaskan persoalan
yang dihadapi.

Di tengah-tengah keterpurukan umat Islam dan krirsis kepemimpinan,
masih banyak kelompok tertentu melakukan perbuatak senonoh dalam
menyelesaikan persoalan dengan jalan pintas. Adalah budaya baku hantam
menjadi jurus pamungkas guna menumpas semua golongan yang berbeda.

Sekedar Catatan Kecil dan Terlupakan di Tubuh Islam. > Pertama, Hery dan Ahyari; Islam Sejati Menuai Badai adalah aliran Islam Sejati, di Desa Nyompok, Kecamatan Kopo, Serang
> Banten. Konon, kemunculan pemahaman ini dianggap meresahkan
> masyarakat, hingga menafikan Tuhan. Pasalnya, mereka mengajarkan
> pemahaman di antaranya; Pertama, shalat menghadap 4 arah mata angin,> yakni utara, barat, timur dan selatan.
>
> Salah satu alasannya karena perbuatan ini dikenal sebagai shalat > mencari rezeki. Kedua, shalatnya dilakukan 3 waktu (3 kali) dalam > sehari. Ketiga, Keyakinan bahwa bulan 6 (Juni) 2007 akan terjadi
> kiamat. Tidak diketahui secara pasti tanggal terjadinya. [Tim Derap> hukum SCTV]
>
> Kedua, Agus Yulianto.; Pondok Alif. > Kali ini, peristiwa naas itu terjadi pada kelompok pengajian alif di
> Blok D Vila Siberi Desa Banjarejo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal,
> Jawa Tengah. Alih-alih menyebarkan risalah yang dapat meresahkan
> masyarakat luas sekaligus menjerumus kepada kegiatan teroris.
> Setahun setelah musala berdiri munculah kelompok Alif di bawah
> pimpinan ustad Agus Yulianto. Mereka menggelar pengajian setiap Ahad.
> Selama itu kegiatan golongan Alif tak pernah menuai masalah.
> Belakangan barulah sebagian warga merasa terganggu dengan kegiatan
> ini. `Kalau shalat tidak pakai doa qunut, Yasinan dan tahlilan
> apalagi` ungkap Darmaji, warga.
>
> Ketidak hadiran qunut dalam sholat atau tradisi Yasinan dan tahlilan> mendorong warga untuk melarang kelompok Alif menjalankan kegiatan di > musala Baitussalam. Memagarai tajug pula menjadi jalan pamungkas> supaya pengikut alif berhenti memanfaatkan Baitussalam. [Suara Medeka,
> 24/06/07]
>
> Ketiga, Wahidiyah. > Seratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) mendatangi salah satu
> rumah yang dianggap sebagai pusat pertemuan kelompok Wahidiyah di
> Kampung Keretek, Mangkubumi, Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (11/9)
> sekitar pukul 15.00 WIB. Kepada warga setempat, FPI menyatakan akan
> membersihkan daerah itu karena Wahidiyah dinilah telah merusak
> kesucian Islam.
>
> Di rumah tersebut, FPI tidak menemukan anggota Wahidiyah. Anggota FPI
> kemudian mencabut spanduk berlambang Wahidiyah dan membakarnya. Aksi
> pembakaran ini didiamkan oleh polisi yang berjaga di rumah itu. Usai
> aksi pembakaran, anggota FPI melempari rumah itu dengan batu serta
> telur busuk. Melihat itu, polisi pun segera menghentikan dan kelompok
> FPI segera membubarkan diri.
>
> Untuk diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tasikmalaya,
> Jabar, telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan Wahidiyah sebagai
> aliran sesat. Salah satu alasannya, karena pimpinan Wahidiyah bisa
> menentukan keimanan seseorang.[liputan6, 12/09/07]
>
> Keempat, Ahmad Mushaddeq; Al Qiyadah Al Islamiyah. > Majelis Ulama Indonesia Pusat menegaskan ajaran Al-Qiyadah yang dianut> oleh sebagian warga Padang, Sumatra Barat, menyimpang dari ajaran
> Islam. Namun demikian, MUI tidak membenarkan tindakan anarkis terhadap para pengikut ajaran itu.
>
> "Aliran ini [Al-Qiyadah] sesat, pada masyarakat saya memberikan > imbauan supaya tidak bertindak sendiri," ucap kata Ketua MUI Pusat > Ma'ruf Amin di Jakarta, Kamis (4/10). Pernyataan Ma'ruf Amin ini hanya> penegasan dari fatwa MUI Sumbar yang dilansir September silam.
>
> Sementara warga menilai Al-Qiyadah menyimpang karena mengajarkan salat > hanya sekali sehari dan Nabi Muhammad bukan rasul terakhir. Warga pun > marah dan mengusir pemimpin serta pengikut ajaran Al-Qiyadah [baca:> Ricuh, Demonstrasi Menuntut Pembubaran Aliran Sesat].
>
> Hingga kini polisi memeriksa pemimpin Al-Qiyadah Dedi Supriyadi dan 12
> pengikutnya. Apabila terbukti bersalah, maka akan dijerat pasal
> tentang penodaan agama dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
> [baca: Pemimpin dan Pengikut Al-Qiyadah Diperiksa Polisi].[ Tim
> Liputan 6 SCTV]
>
> Kelima, Al-Quran Suci. > Aliran Alquran Suci memiliki modus sama dengan NII, yang diduga kuat
> buatan pemerintah. Aliran ini juga merupakan bagian dari rekayasa
> intelijen dan merupakan bagian dari kegiatan pemerintah yang legal,
> untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka.
>
> "Aliran-aliran sesat ini termasuk Alquran Suci merupakan rekayasa
> intelijen, mungkin bisa dikonfirmasi ke pejabat intelijen. Pemerintah
> sengaja membentuk ini untuk memecah nasionalisme Indonesia dan
> mengambil jalur Islam," ujar Dosen Universitas Malikul Saleh,
> Lhoksemauwe, Al Chaidar yang juga mantan pengikut aliran Negara Islam > Indonesia (NII) pada okezone, Sabtu (6/10/07).
>
> Menurutnya, ajaran aliran baru Alquran Suci ini mirip sekali dengan
> NII yang tidak mengakui adanya hadist hingga sunah-sunah rasul. Selain
> itu, kedua aliran itu sama-sama mewajibkan infak sebagai kewajiban utama.
>
> "Bagi mereka salat bukanlah kewajiban, puasa belum saatnya, haji belum
> saatnya yang ada kewajiban syahadat saja," jelasnya lagi.
>
> Bagi Al Chaidar percuma jika sang korban melaporkan hal ini pada pihak
> kepolisian untuk menanganinya. Sebab, lembaga penegak hukum justru
> telah melakukan kongkalikong agar jaringan yang telah tertata apik ini
> tidak terbongkar.
>
> "Percuma lapor polisi tidak akan selesai masalahnya. Para korban cuma
> bisa disadarkan dengan rasionalistis. Mereka harus disadarkan oleh
> orang-orang yang pernah juga ikut dalam aliran itu. Para korban harus
> berani menggertak," katanya.
>
> Ia juga mengatakan kebanyakan dana nonbudgeter pada pemerintah
> diperoleh dari hasil pemasukan infak para korban, yang diwajibkan
> memberikan setoran sebesar Rp.3 juta/orang tiap bulannya.
>
> "Kebanyakan uang itu masuk sebagai dana nonbudgeter yang digunakan
> oleh oknum untuk menjalankan program-program pemerintah itu. Jadi, ini
> memang suatu program yang sengaja dibentuk pemerintah" tandasnya lagi.
> [Tempo, 07/10/07]
>
> Keenam, Mirja Gulam Ahmad; Ahmadiyyah.> Tasikmalaya--Tindakan anarkis menyikapi perbedaan keyakinan kembali > dilakukan. Kali ini rumah ibadah jemaah Ahmadiyah di Kampung Sukajaya,
> Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang dirusak massa, Rabu
> (19/12) petang. Akibatnya, kaca jendela dan genteng hancur berantakan.
>
> Menurut warga sekitar, aksi ini dilakukan sekitar 30 orang, namun
> belum diketahui asal mereka. Polisi yang datang langsung mengamankan
> lokasi dengan memasang garis polisi. Hingga malam ini belum ada
> keterangan resmi dari pihak kepolisian tentang penyebab pengrusakan.
> Diduga tindakan ini disebabkan digunakannya kembali tempat tersebut
> setelah disegel sejak tiga bulan lalu. [liputan6,20/12/07]
>
Kuningan- Pondok Pesantren Miftahul Huda di Desa Baros, Kecamatan
> Baros, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (13/12), dibakar warga. Warga
> melakukan itu karena menduga pimpinan pondok pesantren telah
> menyebarkan aliran sesat kepada para santrinya.
>
> Menurut warga, ketika terjadi penyerangan dan pembakaran seluruh
> santri dan pimpinan pondok pesantren telah melarikan diri. Mereka
> telah mengetahui akan adanya penyerangan. Saat ini Majelis Ulama
> Indonesia Banten belum mengeluarkan fatwa larangan terhadap Pondok
> Pesantren Miftahul Huda yang dibakar tersebut [Metro, 14/14/07]
>
> Pedoman Penetapan Satu Aliran Sesat Versi MUI
> Maraknya aksi 'penertiban' keyakinan oleh sebagian golongan mayoritas
> terhadap minoritas. Sudah tentu 'mengamini' adagium homo homoni lupus
> . Siapa yang kuat dia pasti berkuasa.
>
> Terlebih lagi, saat para ulama `bermain mafa` dengan para penguasa.
> Niscaya keragaman menjadi sesuatu yang mustahil ada. Apalagi dengan
> adanya pedoman penetapan satu aliran sesat.
>
> Tentunya hasil Rapat Kerja Nasional 2007 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
> ini salah satunya menjadi rekomendasi pihak aparat keamanan untuk
> menindak kelompok aliran sesat. > Zainut Tauhid Saadi, Sekretaris MUI Pusat menuturkan pedoman itu di antaranya berisi pengertian aliran sesat. Menurut MUI, pengertian
> aliran sesat adalah kelompok yang menganut dan mengamalkan faham atau
> pemikiran yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Artinya,
> sebuah kelompok dinyatakan aliran sesat jika menyimpang berdasarkan
> dalil Syar`i.

> Selain itu, juga disebutkan 10 kriteria sesat. Satu faham dinyatakan
> sesat apabila memenuhi salah satu dari 10 kriteria ini, di antaranya
> menyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil
> Syar`i. Selain itu mereka mengingkari salah satu dari Rukun Iman dan
> Rukun Islam.
>
> MUI menegaskan, penetapan pedoman ini pendapat pribadi perorangan,
> namun merujuk pada Al-Quran dan hadist Nabi. Rakernas MUI juga mengeluarkan 14 rekomendasi ekstern. Pedoman ini berisi > seruan kepada pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi kontrol dan
> antisipasi terhadap kecenderungan gerakan yang memperkeruh kehidupan
> beragama, seperti aliran Al Qiyadah Al Ilsmiyah dan lainnya.[Merto TV,
> 06/11/0]
>
> Tertutupnya Ruang Dialog dan Saling Menghargai
> Mencermati perseteruan antara kelompok dalam islam itu, membuat kita
> mengerutkan kening. Pasalnya, sulut untuk mengurai benang kusut
tersebut.
>
> Adalah tertutupnya kebiasaan berdialog manakala iningmenyelesaikan
> pesoalan. Perbedaan pendapat pun menjadi jurang pemisah sekaligus
> penyulit konfil.
>
> Kendati mereka tidak meninggal. Namun, kerusakan fisif dan fisikis tak
> terelakn lagi. Lebih parahnya lagi, hamper kemunculan `aliran ganjil'
> setiap para pengikutnya ingin kembali ke ajaran sebelumnya selalu
> mendapatkan bimbingan lebih dari pemuka agama setempat. Termasuk MUI
> menjadi juru selamat atas perbuatan ganjil ini. Hingga memberikan
> pengajaran dua kalimat syahadat lagi kepada mereka supaya bersyahadat
> lagi. Karena mereka telah dianggap menyimpang dan keluar dari Islam.
> Ironis memeng.
>
> Padahal Rasulullah sangat mengecam perbuatan itu, dengan mengeluarkan
> sabdanya, "Mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya
> juga kafir." (H R Bukhari-Muslim).
>
> Kalau begitu, apalah artinya petuah Rasulullah mengenai perbedaan
> sebagai rahmat. Jelas hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan
> hati kita. Sebab kita masih berkeyakinan bahwa dengan keseragaman
> (monolitik) kita bisa mengentaskan segala permasalahan yang kita
> hadapi dengan dalih mudah dikendalikan dan teratur.
>
> Sejatinya kehadiran pewaris nabi harus menjadi perekat sekaligus
> memperkuat temali silaturahmi antar golongan dalam umat Islam, bukan
> memperburuk kondisi masyarakat.
>
> Hal ini tak lain guna membangun rasa penghargaan satu sama lain dalam
> bertukar fikiran. Dengan munculnya Fatwa MUI itu tak ada jaminan akan
> memperbaiki ukhuwah di antara kedua aliran tersebut. Malahan akan
> menyulitkan persoalan akut itu. Hingga terjadilah budaya saling
> bunuh-membunuh.
>
> Dengan demikian, mari kita sama-sama belajar menghargai perbedaan
> pendapat, baik dalam kelompok maupun di luar golongannya.
>
> Jika perbuatan beradab itu tak menjadi bagian keseharian kita maka
> tunggulah perpecahan di umat Muhammad ini. Dus, kaum iman minoritas
> pun menjadi satu kelompok yang terpingirkan lagi.
>
> inilah potret buram `penertiban keyakinan' oleh kelompok tertentu.
> Segala persoalan apapun selalu diakhiri ngengan pengrusakan tempat
> ibadah, komplek aliran ganjil itu. Semoga dengan adanya pergantian
> tahun ini, berahir pula kekerasan atas nama agama tersebut. `Selamat
> menyambut tahun 2008 sebagai tahun kebebasan beragama'.
>
> Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 21/12/07;15.36 Wib.


--- ahmad sahidin wrote:
>
> Laporan yang bagus...namun ada sisi analisis yang kurang diangkat...
> Mengapa dan kenapa? atau adakah kepetingan politis di balik itu
semua? itu yang belum Anda bahas....?> Adakah yang berani mengguarnya?


ibn_ghifarie wrote:
Memang tak ada niatan lain dalam tulisan itu selain keinginan untuk menunjukan bahwa tak selamanya 'kebenaran' itu hanya di milik oleh satu kelompok tertentu.

Namun, kebajikan akan selalu hadir pula pada 'komunitas ganjil' sekalipun.

Ikhtiar inilah yang tetap membakar semangatku untuk menuliskan sekedar Catatan Akhir Tahun ini. Kendati coretan ini menuali pelbagai kemelut. Tapi aku masih yakin soal keimanan hanya dia dan Tuhanya yang lebih mengetahui daripada orang lain.

Sebelumya saya ucapkan terimaksih atas komentarnya.


Komunitas Ganjil, Benarkah Ada Kebajikan?
ahmad sahidin wrote:

Kiyai Ghifarie, kau ini masih seperti anak mahasiswa saja. Yakin akan kepastian orang lain. Tanya saja dirimu, apakah kau dapat jaminan kelak pasca mati. Atau apakah kau yakin dengan pasti bahwa yang kau perjuangkan itu sebuah kebenaran? TIdak, itu semata-mata hanya pra duga Antum.

Seperti yang telah kuutarakan sebelumnya, bahwa kebenaran itu bukan milik kita dan juga orang lain. Hanyalah sebuah klaim, atau setidaknya ngaku-ngaku saja. Karena di atas aku " bener" ini ada yang Maha Aku, Yang Bener. Jika kau yakin padaNYa, kukira tak semraut pikirannmu itu.

Sebuah keniscayaan yang tak tergugah, bila seorang yang mengaku beragama masih beranggapan ada kyakinan pada yang lain. Sungguh ironi.

Bagiku pluralis itu sebuah pengakuan alias mengakui mereka sebagai yangt bener. Yang kupahami, adalah bagaimana aku bisa hidup damai dan sejahtera bersama yang berbeda dan yang lain. Itu saja prinsipnya.

Jika Kiyai Ghifarie masih tetap memagang itu, kukira sebuah intelectual snobism yang oleh Muthahhari dianggap sebagai bagian dari kegilaan bertuhan. Hal ini dikarenakan is tak punya jiwa yang mandiri, yang kokoh dan tangguh, sehingga ketika berhadapan dengan yang lain, tak cukup kuat untuk mempertahankan nilai atau "keyakinannya".

Ghifarie, Antum harus banyak lagi baca tentang tasykik wujud. Sebab di sana akan mengetahui mana yang terbener, mana yang sekedar percikan, dan yang tak termasuk bagian ilahiyah.

Persoalan kebajikan memang ada pada tiap orang. Imam Ali memang bicara, bahkan pada seorang munafik. Tapi itu hanyalah sebuah nilai, yang kedudukannya sama seperti dari pengalaman yang telah kita lalui. Saat berlalu sebuah peristiwa, kadang ada yang muncul dalam benak kita: sebuah kearifan atas apa yang kita kerjakan atau alami. Inilah hikmah, yang ku sebut sebagai nilai dari peristiwa. Komunitas ganjil, memang ada nilainnya. Tapi dalam kebenaran dan keyakinan yang hakikiyah, aku belum berani bilang ada padanya. Bagiku tetap Islam is way of life go to the God.

AHMAD SAHIDIN
http://ahmadsahidin.wordpress.com

Monday, February 23, 2009

Hati

Sirnanya Kecerdasan Hati
Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

Adalah filosuf Prancis Rene Descartes (1596-1650) dengan postulat cogito, ergo sum-nya yang terkenal yang menjadi pilar utama bagi perkembangan ilmu dan dunia modern.
Terjemahan bahasa Indonesia postulat ini adalah: Saya berpikir, karena itu saya ada. Dengan postulat ini apa yang kemudian dikenal dengan 'Kecerdasan Intelektual' (KI) atau 'Kecerdasan Otak' (KO) menjadi sangat dominan.
Sebagai seorang yang pernah dididik dalam lingkungan Katolik, Descartes masih mempercayai eksistensi Tuhan sebagai pencipta dua kelas substansi yang membentuk keseluruhan realitas. Satu kelas adalah substansi berpikir, atau minda (minds), dan yang lain adalah substansi yang diperluas (extended substances), atau benda/raga (bodies). Menurut Descartes, minda sebagai kekuatan berpikir merupakan prasyarat bagi keberadaan manusia. Dengan kata lain, manusia yang tidak berpikir sama saja dengan tidak ada.

Dampak postulat ini terhadap perkembangan ilmu dan teknologi modern sungguh dahsyat. Alam tidak saja untuk dijinakkan, tetapi sekaligus ditaklukkan dengan segala akibatnya bagi lingkungan hidup manusia yang semakin kehilangan keseimbangan. Apa yang dikenal dengan bencana alam sebagian disebabkan oleh kerakusan manusia dalam mengeksploitasinya sampai batas-batas yang sangat jauh. Jika demikian, semata bergantung dan berpedoman kepada KI atau KO sama sekali tidak memadai. Dunia modern ternyata tidak semakin ramah. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan bentuk kecerdasan lain yang dapat membuahkan kearifan, simpati, empati, dan rasa tanggung jawab yang seluruhnya bertahta dalam domain 'Kecerdasan Hati' (KH). Psikologi dan kajian keagamaan modern umumnya menggunakan ungkapan 'Kecerdasan Emosional' (KE) dan 'Kecerdasan Spiritual' (KS). Resonansi ini menawarkan istilah lain dengan substansi yang tidak jauh berbeda berupa KH.

Untuk menghemat ruang, saya tidak akan larut dalam berbagai teori tentang kecerdasan ini. Saya ingin segera turun ke dunia perpolitikan Indonesia kontemporer yang tampaknya telah semakin kehilangan KH. Saya mengamati bahwa prinsip pragmatisme politik telah menjadi acuan prilaku harian sebagian besar politisi kita. Sedikit sekali di antara elite yang sedang menguasai panggung wacana sekarang ini yang secara serius mengaitkan langkah-langkah strategisnya dalam bingkai yang lebih luas: kepentingan masa depan yang jauh dari bangsa dan negara ini. Kritik terhadap prilaku yang tidak sehat ini hampir saban hari kita ikuti dalam berbagai media cetak dan elektronik, tetapi pengarunya tidak kunjung terasa dalam peningkatan kualitas perpolitikan kita. Padahal, demokrasi Indonesia yang banyak dipuji pengamat luar itu bisa saja gagal memberi keadilan dan kesejahteraan kepada rakyat banyak, jika para pemainnya sunyi dari KH. Sirnanya KH dalam cara kita mengurus masyarakat, bangsa, dan negara pasti akan berbuntut panjang yang sarat risiko: masa depan Indonesia telah diperjudikan dengan cara yang latah.

Siapa di antara kita yang masih risau dengan kenyataan bahwa kedaulatan bangsa dan negara ini telah semakin digerogoti oleh pihak asing melalui berbagai cara dan agen-agen domestiknya? Di mana kini nasionalisme yang dulu sangat anti penindasan, eksploitasi, dan diskriminasi? Tersisa berapa persen dari pemimpin sekarang ini yang masih sadar akan makna sentralnya alinea pertama UUD 1945: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.

Dengan penjualan aset-aset negara secara besar-besaran kepada pihak asing secara tidak bertanggung jawab, bukankah itu sama artinya dengan membiarkan batang leher kita digorok oleh sistem penjajahan yang dulu menjadi musuh utama nasionalisme Indonesia?

Dari domain KH-lah terutama, bukan dari domain-domain lain-lain, mengalirnya kearifan, rasa tanggung jawab, kesediaan belajar dari kekurangan dan kegagalan masa lampau untuk segera diperbaiki. Politik yang tunakearifan dan tunarasa tanggung jawab jelas akan semakin menjauhkan bangsa ini dari realisasi cita-cita luhurnya yang telah dirumuskan dengan bijak oleh para tokoh pergerakan nasional.

Kesimpulannya: harus muncul kekuatan-kekuatan sipil guna terus menghidupkan kepekaan sejarah dan rasa tanggung jawab secara sungguh-sungguh demi melawan tarikan pragmatisme politik di tengah-tengah kesunyian KH.

http://republika.co.id/koran/28


Islam

Salam. Tanggapan yang dibuat Iu Rusliana atas artikel "Islam Bukan Arabisme" direspon balik oleh Ahsa.Wassalam.
Tanggapan Balik Persoalan Islam Bukan Arabisme
Oleh AHSA

Salam.

SAYA kira persoalannya adalah tafsir. Kang Iu boleh saja seperti itu karena memang kafasitasnya begitu. Bagi sama, tidak bisa disamaratakan zaman sekarang dengan zaman dahulu; tetap saja mesti ada "proses" untuk menerapkannya karena konteks dan momentum yang berbeda.

Teman-teman Jaringan Islam Liberal saya kira sudah bagus karena mau melakukan rasionalisasi ketimbang FPI dn lainnya, yang saklek hingga Islam berwajah kekerasan.

Saya menemukan kalimat yang bagus dari Anda, "Dalam upaya memahaminya (Alquran) pun, manusia terus bertahap dan belum sepenuhnya mampu memahaminya.” Dari kalimat itu sudah jelas bahwa Anda setuju bahwa kita umat Islam tidak bisa langsung klaim; bahwa dirinya yang paling benar ber-islam.

Persoalan Quran itu lintas zaman dan saya kira Anda perlu membuktikannnya lagi .Karena kalau memang Al-Quran itu menjadi pedoman yang utuh atau abadi hingga akhir zaman, seharusnya bisa mencerahkan dan memecahkan persoalan kiwari. Saya lihat, dari catatan sejarah hingga sekarang: perkara tafsir al-Quran saja tak pernah ada standar, berbeda dan saling bertentangan. Artinya, bagaimana nash-nash itu bisa diandalkan kalau tafsir atau pemahamannya saja saling serang dan berbeda. Saya tidak mendukung kalangan liberal, saya hanya ingin menegaskan bahwa Islam itu produk Tuhan yang multi persoalan dan sangat historis.

Wassalam.

www.ahmadsahidin.wordpress.com

Islam

Salam. Artikel yang ditulis oleh Ahsa (Ahmad Sahidin) yang dimuat dalam blog ini dengan judul “Islam Bukan Arabisme” mendapat tanggapan kritis dan kontruktif di bawah ini dari seorang dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Iu Rusliana. Wassalam.

Cara Pandang Lain:
Tanggapan untuk “Islam Bukan Arabisme”

Oleh IU RUSLIANA

Salam.

Kang Ahmad, saya mungkin melihatnya lain. Pertama, pemisalan
akang menggunakan baju, menurut saya kurang pas, karena alQuran
sebagai kalamullah salih fi kulli zaman wa makan. Karena itu, nggak
pas pake pemisalan, baju besar dan kecil. Tentunya tidak efel to efel
atuh kang. Saya juga kesulitan mencari pemisalan yang pas.
Kedua, kalau syariat Islam menjadi solusi mengapa tidak? Emang
demokrasi atau pemikiran Islam modern, liberal, pembebasan, dll juga
solusi. Bukan kan? Kita tahu bahwa itu semua adalah opsi solusi.


Karena itu, kalau pun kita menganggap syariat Islam yang digemborkan
beberapa harakah bukan solusi, ya, tentu biarlah mereka tumbuh bersama
pemikirannya itu, kita pun demikian. Kelak waktu lah yang membuktikan
mana yang baik. Biarlah umat memilih, karena itu biarlah kita
melakukan dialog bukan hanya menggunakan akal tapi juga hati nurani
dan doa agar Allah membukakan pintu kebenaran kepada kita, ngapain
urusin orang lain untuk dibukakan hidayah.

Saya juga tidak setuju, alQuran dipandang sebagai respon atas realitas
kultural di Arab saat itu. Pertama, kalau argumentasinya adalah
asbabunnuzul, akang juga tahu hanya sebagian kecil saja ayat yang ada
asbabunnuzul. Kedua, ajaran alquran secara substantif dan formal
berlaku untuk seluruh zaman, karena kita percaya, alQuran diwahyukan
kepada Rasulullah Saw yang juga sebagai khataminnabiyyin. Artinya,
alQuran disiapkan untuk manusia sampai akhir zaman. Dalam upaya
memahaminya pun, manusia terus bertahap dan belum sepenuhnya mampu
memahaminya.

Ketiga, akang terlalu menggunakan hermenetika dan pendekatan
feminisme. Saya kira, hermenetika hanya metode saja. Akang juga
harusnya belajar falsafah bahasa Arab yang menyatakan bahwa penggunaan
hu, lahu, huwa, kalau dalam bahasa Arab bermakna laki-laki juga
perempuan, atau keseluruhan. Itu lah uniknya bahasa Arab. Ya, bahasa
Inggris juga kan membedakan itu semua, such as aktor, aktris, dll. Or
Indonesian Language, Karyawan-Karyawati.

Perkara Tuhan menggunakan kata hu, akan sulit bagi kita memahami
maksudnya. Pendekatan sosio historis dan demografis yang Akang lakukan membuat
alQuran dikerangkeng di masa itu, atau dalam bahasa akang, menggunakan
pendekatan Arabisme. AlQuran menjadi dikecilkan. Padahal dia adalah
hudan bagi orang-orang bertaqwa.

Saya menyampaikan ini hanyalah sekedar mengingatkan kang, Umat Islam,
kaum intelektualnya, kaum mudanya lebih senang ribut dengan saudara
sendiri, apalagi kawan-kawan JIL seperti nggak ada kerjaan nyerang
terus MUI. Saya agak bingung, kok waktu Sutiyoso melarang orang
merokok di tempat umum mereka tak bereaksi. Tapi ketika MUI
memfatwakan haram di tempat umum langsung ribut. Naudzubillah. Kalau
pun memang para ulama itu salah, mereka adalah ulama, yang harus kita
hormati. Ilmu AlQuran dan alhaditsnya sangat hebat-hebat. Kita mah
shalat ge tidak rajin, apalagi, boro-boro hapal, rajin baca al-Quran
aja tidak.

Sedih saya mah kang. Kesedihan saya bukan karena ada sekelompok umat
yang hendak mendirikan syariat Islam, tapi kepada kelakuan kita
bersama yang sedang ribut dengan saudara sendiri. Sementara, kepada
mereka yang jelas-jelas menjajah pikiran, ekonomi dan politik kita
kita membungkuk-bungkuk, menikmati kucuran dana dari negara kafir,
membingungkan umat dengan segala kontroversi isu tanpa memberikan
solusi.

Kenapa kita tidak mendiskusikan bagaimana soal pendidikan umat yang
makin terbelakang, umat yang jauh dari sejahtera, umat yang kurang
melek secara ilmu pengetahuan. Kita tengah dihegemoni dalam bentuk
konspirasi kang. Ini harus diakui. Kita diadu domba dan merasa bangga
kalau sudah melecehkan ulama atau mengkritisi AlQuran. Naudzubillah.

Wassalam.


Agama

Dari Persoalan Agama hingga Tujuh Tafsir
Oleh AHMAD SAHIDIN

Tulisan ini merupakan ulasan sebuah diskusi di sebuah milis yang diikuti beberapa cendekiawan, kalangan akademisi, jurnalis, pekerja buku, mahasiswa, aktivis politik, dan masyarakat umum. Karena materi diskusinya menarik dan ditanggapi oleh orang-orang luar biasa, maka saya tulis ulang dengan bahasa sendiri dan tambahan sedikit dalam ulasannya. Semoga mereka yang terlibat dalam diskusi di milis berkenan (ridha) dengan tulisan ini.

Saat berselancar mencari forum yang bernuansa agama, saya menemukannya. Saya merasa senang bergabung karena milis tersebut telah memberikan “ruang” untuk anggotanya dalam menyampaikan opini atau beradu argumen. Forum yang mencerahkan seperti inilah yang seharusnya dikembangkan lebih lanjut di luar dunia maya, karena akan sangat besar manfaatnya bagi masyarakat.
Setelah saya diterima menjadi anggota milis tersebut, dan karena kebiasan saya yang selalu lempar wacana, saya posting sebuah tulisan tentang agama “yang benar” yang ditulis seorang dosen UIN Bandung di HU.Pikiran Rakyat Bandung, beberapa waktu lalu. Setelah diposting, muncul seorang guru besar dari Islamic Center for Advanted Studies (ICAS) Jakarta dan beberapa penanggap dengan komentar yang cerdas dan kritis.

Diskusi yang awalnya membahas persoalan aliran sempalan yang muncul di Indonesia dan kebenaran agama itu berkembang ke masalah ijtihad yang mendasari lahirnya fatwa-fatwa. Salah seorang doktor filsafat Islam, bersikukuh tidak bisa menerima pendapat seorang jurnalis yang menyebut ijtihad sama dengan critical thingking dan bisa dilakukan siapa saja.

Doktor itu bilang bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan sembarang orang, tapi khusus bagi orang-orang yang memiliki kafasitas keilmuan agama yang di atas rata-rata. Karena ijtihad, yang dalam hal ini mengeluarkan fatwa atas suatu persoalan, sudah masuk wilayah profesionalitas hukum Islam (fiqh) sehingga dibutuhkan syarat-syarat untuk dapat berijtihad. Di antaranya adalah: menguasai bahasa Arab yang baik, menguasai Al-Quran dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, menguasai hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits (sunnah Rasulullah saw), menguasai fatwa-fatwa fiqh ulama sebelumnya (ijma' al-taftisyi), dan lain sebagainya.

Lalu muncul seorang guru besar ilmu budaya dan sastra, yang menilai bahwa syarat ijtihad termasuk hal yang berat; yang sama dengan seseorang yang ingin memperoleh gelar Ph.D. Meskipun memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, keyakinan yang kuat dan niat yang bersih, tapi tetap saja tiap ulama (yang memenuhi syarat) dalam ber-ijtihad hasilnya akan selalu berbeda. Karena dalam ijtihad, seorang ulama atau mereka yang memenuhi syarat, tidak akan lepas dari kepentingan dan tujuan dari ijtihad tersebut. Menafsirkan Al-Quran adalah juga ijtihad, sekaligus jihad. Tetapi bagi yang tidak mampu, disarankan memilih jalan ijtihad ulama dan ulil albab mana yang dirasakan benar dan relevan. Memilih tidak sekadar memilih, tetapi dipenuhi rasa tanggung jawab. Tetapi jika memang sudah siap berijtihad, silakan berijtihad. Tentu ijtihad yang baik disertai tanggung jawab bukan saja kepada diri sendiri, tetapi juga kepada masyarakat. Jika ijtihad di bidang agama, kepada Tuhan yang kita imani harus dipertanggungjawabkannya. Seperti kata pepatah Melayu,`tidak lempar batu sembunyi tangan!`.

Kemudian, seorang pekerja buku hadir menambahkan, bahwa kadang lahirnya ijtihad dalam bentuk fatwa-fatwa agama itu merupakan pesanan dari pihak yang sedang berkuasa atau yang memiliki kepentingan ekonomis dan politis terhadap fatwa tersebut. Sejarah Islam pasca wafat Rasulullah saw hingga kini banyak diisi oleh fatwa-fatwa yang bersifat pesanan. Bahkan, dalam satu mazhab atau organisasi Islam saja para ulama yang berada di dalamnya tidak pernah sama dan berbeda dalam menghasilkan produk ijtihadnya. Karena ijtihad sendiri merupakan bagian dari tafsir dari nash agama untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi, tapi tidak terdapat dalil agama yang menegaskannya. Jadi, setiap ulama atau cendekiawan Muslim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut agama dan lainnya, bersifat tidak mutlak kebenarannya. Ijtihad hanyalah sebuah pemahaman (tafsir) dan tidak menjamin seratus persen dapat mengantarkan seorang muqalid (pengikut ijtihad) ke surga. Karena itu, produk ijtihad seorang mujtahid (ulama) tidak bersifat mutlak dan boleh ditinggalkan atau dikritik, termasuk 24 fatwa yang keluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama III MUI di Padangpanjang, Sumatera Barat, akhir Januari 2009.

Selanjutnya, diskusi yang berlangsung berhari-hari itu memusat ke masalah tafsir dan kebenarannya. Seorang pekerja buku mengatakan, dalam penafsiran nash-nash agama sangat banyak bentuk tafsir yang dihasilkan. Bahkan, dari tafsir itu sendiri kadang melahirkan penafsiran-penafsiran yang beraneka ragam dari karya tafsir tersebut. Ia mengutip pernyataan Abu Ja`far—ayah Imam Ja`far Ash-Shadiq—bahwa dalam satu ayat Al-Quran memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirannya mengandung beberapa penafsiran lagi.

Sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Tafsir Sufi Al Fatihah: Mukadimah—diterbitkan PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal: 22-23—“Bahwa Al-Quran mengandung makna lahiriah dan batiniah disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh semua mazhab dalam Islam. Jabir bin Yazid al-Ja'fi berkunjung pada gurunya, Imam Muhammad al-Baqir as. Ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Abu Ja'far a.s sesuatu yang yang berkenaan dengan tafsir. Ia menjawab pertanyaanku. Kemudian, untuk kedua kalinya aku bertanya hal yang sama, dan ia memberikan jawaban yang lain. Aku berkata, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, engkau menjawabku untuk masalah ini dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban sebelum ini’. Imam berkata, ‘Hai Jabir, sesungguhnya Al-Quran ini ada batinnya. Setiap batin ada batinnya lagi. Al-Quran juga ada lahirnya. Setiap lahir ada lahirnya lagi’.”

Menurut Kang Jalal, yang dikatakan Imam Baqir itu merujuk kepada hadis Nabi Muhammad saw yang terkenal, ‘Ina lil qur-aani dhohron wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin (sesungguhnya Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya lagi, sampai tujuh batin). Hadis ini terdapat dalam kitab Kanz al-`Ummal (jilid I, hal: 550), Al-Itqan (jilid 2, hal: 486), Furu` al-Kafi (jilid 4, hal: 459), `Ilal al-Syara`i (hal: 606), Ushul al-Kafi (jilid I, hal: 374), Tafsir al-`Iyyasyi (jilid I, hal: 2,11,12), al-Khishal (jilid 2, hal: 358), al-Mahasin (hal: 300), Bashaa-ir al-Darajat (hal: 196), Shahih Bukhari (jilid 4, hal: 227), Shahih Muslim (jilid I, hal: 561) dan lainya.

Persoalan tafsir memang tidak pernah selesai hingga muncul Hari Akhir kehidupan dunia. Selama manusia membaca, menelaah, dan memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama (Islam), akan banyak melahirkan berbagai macam tafsir atau pemahaman agama yang beraneka ragam. Dari perbadaan itu melahirkan kelompok atau mazhab; dan dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk sekte-sekte kecil yang berpisah karena berbeda dalam memahami pemahaman dari sebuah tafsir atas nash-nash agama—yang dipahami pemuka agama (ulama) sebelumnya. Wajar jika Abdul Karim Soroush, cendekiawan Muslim Iran, mengatakan bahwa pemahaman agama dan ilmu-ilmu agama bersifat tidak sakral dan dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zamannya.

Persoalan agama dan hal-hal yang berkaitan dengan agama, memang selalu tidak pernah usang diperbincangkan manusia. Dari mulai kiyai, ustadz, dosen, guru, petani, pekerja bangunan, jurnalis, insinyur, pebisnis, pekerja buku (editor, desainer, ghost-writer dsb), ibu rumah tangga, mahasiswa, dan lainnya, pasti pernah membincangkannya. Adakah wacana yang terus hidup dalam kehidupan manusia, selain wacana yang berkenaan dengan agama?


AHMAD SAHIDIN,
Pekerja buku

Thursday, February 19, 2009

Asyura

Asyura di Nusantara
Oleh ABU ZAHRA

Adalah tak terbantahkan bahwa Syi'ah punya pengaruh besar di Indonesia. Selain bahwa sejarah masuknya Islam ke Indonesia diwamai ajaran Syi'ah yang dicerminkan dalam pendirian kerajaan Islam pertama di Indonesia, Pasai, hingga kini pun kultur Syi'ah masih kuat dalam masyarakat Islam Indonesia, terutama di kalangan Muslim tradisional.
Ritual tahlil, maulid, haul, tawasul, ziarah kubur dan sebagainya yang mengakar luas dalam masyarakat Islam Indonesia, betapapun tak persis sama seperti yang dilakukan masyarakat Syi'ah, tetapi tidak dapat ditolak bahwa ia terpengaruh oleh tradisi keagamaan masyarakat Syi'ah, sehingga populer ucapan Gus Dur bahwa NU meskipun menganut ajaran Ahlu Sunnah wa Jama'ah tapi secara kultural adalah Syi'ah.

Di antara tradisi keagamaan yang meskipun tidak dapat dibilang sebagai tradisi Syi'ah mumi karena hampir semua ummat Islam menjunjungnya atau paling tidak pemah menaruh perhatian kepadanya yang hingga kini terus dilakukan masyarakat Islam Indonesia dengan sesuatu dan lain cara ialah peringatan wafat atau syahidnya cucu Nabi tercinta, Imam Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib di Karbala pada tahun 61 H, yang lazim disebut Asyura atau Karbala.

Di Jawa ada Bubur Suro. Di Aceh (Sumatra) ada Kanji atau Bubur Asyura. Di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatra Barat, ada upacara Hoyak Tabuik (Tabut) atau Hoyak Husain. Bahkan masyarakat Jawa dan juga masyarakat lainnya menyebut bulan Muharram dengan sebutan bulan Suro. (dari kata Asyura yang berarti hari kesepuluh bulan Muharram, hari terjadinya pembantaian terhadap Imam Husain)

Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala yang dilaksanakan masyarakat.Padang Pariaman di Sumatra Barat dan masyarakat Bengkulu yang dimulai dari hari pertama Muharram hingga hari kesepuluh memiliki kemiripan dengan yang dilakukan masyarakat Syi'ah, di berbagai negara. Bahkan istilah-istilah yang digunakan pun sama, seperti matam, panja, dan sebagainya.

Bubur Suro di Jawa atau Kanji Asyura di Sumatra yang dibuat dalam dua wama, merah dan putih, mempunyai makna darah dan kesucian. Merah melambangkan darah Imam Husain dan keluarganya yang tumpah di Karbala. Merah juga melambangkan keberanian pasukan Karbala melawan penguasa zalim. Sementara putih melambangkan kesucian diri dan perjuangan Imam Husain melawan kezaliman. Biasanya Bubur Suro atau Kanji Asyura ini diberikan kepada sanak keluarga, kerabat, fakir miskin, terutama anak-anak, atau bahkan dibawa ke masjid dan balai desa untuk disantap bersama sebagai lambang kasih sayang kepada keluarga Imam Husain yang menderita karena ditinggal pengayom-pengayom mereka.

Bubur suro dibuat dari bahan-bahan antara lain kacang polong, beras, jagung dan santan. Ada pula yang menaruh kelapa parut. sedangkan Kanji Asyura dibuat dari beras, santan, gula, kelapa, buah-buahan, pepaya, delima, pisang, dan ubi jalar.

Sementara itu Upacara Tabut di masyarakat Bengkulu dan Padang Pariaman digelar cukup semarak. Bahkan ada keyakinan pada sebagian masyarakat Padang Pariaman dan Bengkulu, jika tidak melakukan ritual ini mereka akan mendapat kualat.

Tidak ada catatan pasti kapan ritual ini mulai masuk ke kedua kota di sumatara itu. Sebagian mengkaitkannya dengan Syeikh Burhanuddin, pembawa Islam ke Minangkabau pada abad ke-16 M., yang kuburannya hingga kini banyak diziarahi orang. Tapi menurut sebagian ahli, ritual Tabut baru dimulai pada pertengahan abad ke-19, yaitu ketika sejumlah di tentara Inggris keturunan India yang bermazhab syi'ah menyelenggarakan uapacara Tabut saat Inggris berkuasa di Bengkulu, kemudian dari situ merambat ke Pariaman bahkan ke Pidie, Aceh. Para keturunan orang-orang India ini disebut kaum Sipai atau Sipahi (bahasa Persia/Urdu yang berarti laskar).

Hoyak Tabuik dimulai dari tanggal 1 Muharram, yaitu dengan mengambillumpur dari sungai di tengah malam. Para pengambil lumpur harus berpakaian putih. Lumpur dikumpulkan ke dalam periuk yang ditutup kain putih, kemudian dibawa ke sebuah tempat yang disebut Daraga yang besamya 3x3 meter yang juga ditutup kain putih. Pengambilan lumpur melambangkan pengumpulan bagian-bagian tubuh Imam Husain yang terpotong. Daraga melambangkan makam suci Imam Husain, sedangkan kain putih adalah perlambang kesucian Imam Husain. Pada tangga15 Muharram mereka menebang batang pisang dengan pedang yang sangat tajam. Batang pisang itu harus tumbang sekali tebas.Penebangan batangpisang ini melambangkan kehebatan putra Imam Husain, Qasim, yang bertempur bersenjatakan pedang di tanah Karbala. Pada tanggal 7 Muharram, persis di tengah hari, panja atau potongan jari-jari Imam Husain yang sudah dibuat sebelumnya dibawa ke jalan-jalan dalam sebuah belanga bersama dengan Daraga.

Biasanya orang menangis penuh kesedihan karena teringat tragedi Karbala yang mengenaskan. Pada hari kesembilan Muharram serban atau penutup kepala wama putih yang melambangkan serban Imam Husain diarak jalan-jalan untuk menunjukkan betapa hebatnya Imam Husain dalam membela Islam. Dan pada tanggal 10 Muharram ritual Tabuik mencapai puncaknya. Di pagi hari Tabut yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Daraga, Panja dan serban diarak keliling kota dalam suatu pawai besar yang disaksikan oleh ribuan bahkan puluhan ribu penonton yang datang dari berbagai penjuru. Orang-orang pun berkabung dan berteriak Hoyak Tabuik, Hoyak Husain. Sore hari menjelang matahari terbenam saat arak-arakan selesai, semua benda-benda di atas diarak ke laut kemudian dibuang di tengah laut, lalu mereka pulang sambil melantunkan Ali Bidaya... Ali Bidaya, Ya Ali, Ya Ali, dan Ya Husain.

SUMBER: Risalah Asyura, Jakarta.


Tuesday, February 17, 2009

Diskusi

BEDAH BUKU “Gelegar Otak”

Himpunan Mahasiswa Pendidikan Fisika (HMP FISIKA) 
Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
menggelar:

BEDAH BUKU:
“Gelegar Otak”  
(Penerbit Salamadani)

HARI/TANGGAL:
Kamis, 26 Februari 2009

WAKTU:
 Jam 09.00 – 11.00 WIB

TEMPAT:
Auditorium UIN Sunan Gunung Djati Bandung

PEMBICARA: 
Dr.Tauhid Nur Azhar, M.Kes. (Penulis)
Prof.Dr.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. (Cendekiawan Muslim)

MODERATOR: 
Ridwan Efendi, S.Pd.

PESERTA:
Mahasiswa dan Umum

INFO: http://hmpfisikauinsgd.blogspot.com/2009/01/gebyar-fisika-eureka-fisika-viii.html




Monday, February 16, 2009

Budak

Ospek dan Relasi "Tuan-Budak"
Oleh SUKRON ABDILAH

Meninggalnya Dwiyanto Wisnugroho, seorang mahasiswa Geodesi ITB saat mengikuti orientasi studi pengenalan kampus (ospek) menyisakan duka mendung bagi dunia pendidikan. Kegiatan yang digelar Ikatan Mahasiswa Geodesi (IMG) ini sebetulnya termasuk ilegal karena sejak 1995 dilarang Kampus ITB.

Mahasiswa baru ketika mengikuti kegiatan ospek (dipaksa) berjalan dari Dago menuju Desa Pagerwangi, Lembang. Nah, di tengah simpang siur penyebab meninggalnya korban, saya teringat buku Man Search for Meaning, yang ditulis Victor L Frankle untuk mengisahkan pengalaman pahit selama mendekam di kamp konsentrasi Auschwitz.

Kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia dibangun Nazi pimpinan Adolf Hitler untuk mengonsentrasikan massa agar dapat dijadikan buruh kasar. Semenjak 1940-1945, Nazi menangkap setiap orang yang mengancam eksistensi Nazi dari seluruh penjuru Eropa untuk dibawa ke kamp kematian ini. Waktu itu, kamp konsentrasi Auschwitz mendapat julukan the death factory (pabrik pembantaian) karena dari bangunan ini terjadi proses pembantaian yang dilakukan secara efisien dan efektif layaknya kegiatan produksi di pabrik.

Kekerasan

Relasi antarmanusia mestinya berdasarkan atas pandangan membiarkan yang lain menjadi "si liyan" yang tidak bisa dikenali, didefinisikan, atau dimengerti sepenuhnya. Sebab, pemahaman memaksa atas yang lain mengakibatkan lahirnya penindasan. Inilah Emmanuel Levinas, hubungan manusia yang simetris, di mana hubungan dua insan atau lebih, terjadi timbal balik yang mendominasi antara satu individu dan individu lain.

Orang lain, dalam pemahamannya bukanlah dirinya dan sangat berbeda dengannya. Perbedaan itu lenyap, ketika seseorang berpikir bahwa ia dan orang lain adalah sama. Di dalam relasi simetris juga, seseorang bertanggung jawab atas eksistensi orang lain. Namun, tanggung jawab yang dipikulnya jauh lebih berat ketimbang hak dan kebebasannya untuk menjadi manusia merdeka dan bebas. Dengan tanggung jawab yang berat ini, individu atau mahasiswa tidak dapat memperlakukan diri setara dengan orang lain. Alhasil, terjadi hubungan dominan pada kegiatan ospek di setiap perguruan tinggi.

Misalnya, relasi mahasiswa baru dengan senior, dalam kasus ospek yang menelan korban jiwa, diselubungi praktik relasi subjek sadistis dan masokis. Mahasiswa baru posisinya bagai subjek masokis yang memahami kebebasan melalui kenikmatan didiskriminasi, (maaf) disiksa orang lain dan dikebiri kebebasannya. Sebab, dari dalam diri mahasiswa baru, realisasi kebebasan, otonomi maupun totalitasnya sebagai individu merdeka dikalahkan mahasiswa yang lebih senior. Sementara itu, mahasiswa senior sebagai seorang subjek sadistis bebas melakukan dominasi sampai pada tahap melakukan kekerasan kepada peserta.

Dalam praktik orientasi jurusan, mahasiswa senior lebih banyak mendominasi dengan melakukan kekerasan sebagai tanda superioritas. Kekerasan tersebut tidak hanya bersifat fisik. Tapi, bisa berupa melontarkan kata-kata kotor yang tidak sopan, merendahkan dan memberlakukan aturan ketat "berat sebelah" yang tidak boleh dilanggar peserta.

Hubungan dalam orientasi kampus, bagi Levinas, seharusnya setiap mahasiswa diperlakukan sama dengan melakukan relasi a-simetris. Dalam relasi ini, mahasiswa senior berbeda dengan mahasiswa junior, tidak setara dengannya, tetapi menyadari tanggung jawab etisnya. Dengan kesadaran ini, tanggung jawab tidak membebaninya, tapi kerelaan yang lahir dari kebebasannya membuat individu rela menyerahkan apa yang dimiliki bagi orang lain. Levinas, merumuskannya menjadi "saya-ada-untuk-yang-lain".

Praktik ospek kalau mengadopsi gagasan Levinas berarti suatu kondisi, ketika seseorang memperlakukan orang lain lebih mulia dan terhormat melebihi apa yang dilakukan bagi diri sendiri. Itulah yang diistilahkan dalam Islam dengan "rahmatan lil-insaniyiin", rahmat bagi seluruh umat manusia. Relasi "tuan-budak" di dalam kegiatan ospek mahasiswa, semestinya dikemas secara etis dengan memperlakukan manusia lain secara mulia dan terhormat. Jadi, eksistensi mahasiswa senior "ada-untuk-menjaga-kebebasan-mahasiswa lain" bukan "ada-untuk-mengeksploitasi-kebebasan-mahasiswa liyan".

Pencegahan kekerasan

Saya pikir perguruan tinggi sebagai pencetak tokoh publik, sudah semestinya memahami pencegahan kekerasan berkedok kaderisasi atau ospek secara lebih aktif dan kontinu. Termasuk mengatasi agar tidak terulang lagi korban jiwa yang diakibatkan kegiatan mahasiswa berbau perpeloncoan. Dalam ospek, rawan terjadi semacam pemusnahan kebebasan dan nyawa mahasiswa. Kampus, dalam perspektif saya, bukan lembaga yang menelurkan manusia budak nonesensial, bahkan bukan juga lembaga yang mencetak manusia bermental tuan yang biadab. Dari lembaga pendidikan tinggilah semestinya lahir sekelompok manusia beradab.

Dalam bahasa lain, kampus tidak bisa dan tidak boleh disamakan dengan kamp pembantaian. Ya, lembaga perguruan tinggi bukan kampus pembantaian (the death university). Saya salut dengan pemecatan ketua jurusan oleh birokrat kampus ITB, karena ketegasan ini diharapkan ospek –sebelum dan setelah disetujui– bisa diawasi dan diarahkan kepada hal-hal positif. Utamanya, manipulasi dan kekerasan (baik simbolik maupun fisik) dapat dicegah secara efektif dan efisien.

Memang betul jika kegiatan ospek awal mulanya dilakukan perguruan tinggi dengan tujuan baik, yakni melatih kemandirian, menanamkan solidaritas, dan cara-cara belajar di perguruan tinggi. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya, mahasiswa hasil godokan berubah menjadi mahasiswa tidak kritis, mandiri dalam melakukan kekerasan, tidak mementingkan orang banyak, dan prestasinya kian merosot. Dalam kasus kali ini, ada semacam kesalahan menerjemahkan metode pelaksanaan ospek di perguruan tinggi.

Misalnya, peserta ospek dituntut memeras tenaga sehingga kecapekan, kehabisan tenaga, napas, bahkan sampai menelan korban jiwa. Padahal metode pelaksanaan orientasi mahasiswa bisa dikemas dengan baik, misalnya, menyertakan permainan yang mengasyikkan. Outbound yang mengasyikkan adalah salah satu kegiatan yang bisa menumbuhkan kemandirian, kolektivisme, dan daya kritis mahasiswa. Dan, paling penting, outbound ini terlihat lebih manusiawi karena setelah selesai mengikuti orientasi, mahasiswa akan mendapatkan pengalaman berharga. Dengan metode ini juga setiap mahasiswa akan menjalin keakraban, keintiman, dan kemelakatan relasi antara satu sama lain, sehingga kedamaian tidak hanya basa-basi belaka. ***

Penulis, editor lepas DAR!Mizan, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Barat, alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung

Watt

SEKILAS TENTANG WILLIAM MONTGOMERY WATT
Oleh FIRMAN MAHARDIKA

Dua tahun sudah W. Montgomery Watt meninggalkan kita, Islamolog asal Skotlandia.ada semacam kesedihan yang amat besar bagi kita semua, dunia kesarjanaan barat umumnya dan dunia islam khususnya amat kehilangan pemikir dan sejarawan ternama ini.

Bagi mahasiswa dan sarjana bidang studi ilmu agama agama besar, nama beliau bukanlah nama yang asing.Profesor Watt mewakafkan hidupnya di Edinburgh University, Inggris.Dia masternya ilmu ilmu keagamaan islam khususnya, karena wawasannya yang luas, institusi mempercayainya sebagai Kepala Departemen Bahasa arab Dan studi Islam
Banyak sekali karya karya watt yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia diantaranya; pengantar studi Al Quran, Muhammad Nabi dan Negarawan, Titik temu islam Kristen, Fundamentalis dan Modernitas Dalam Islam, Studi islam Klasik, Dan islam dan Peradaban Dunia. Dan masih banyak lagi karya Watt lainnya yang saya tahu tapi belum sempat saya baca seperti: Muhammad at Mecca, Muhammad at Medina, Islam and Christianity Today, Islam and the Integration of Society, Free Will and Predestination in Early Islam, Islamic Political Thought: The Basic Concepts, dan Islamic Philosophy and Theology.


Jujur saja, karena kurangnya penguasaan saya dalam bahasa inggrislah yang menyebabkan saya tersendat untuk membacanya.Namun tidak mengurangi semangat dan progresifitas saya dalam melahap karya karya Watt

Watt adalah sedikit dari sarjana Barat yang sering disebut Orientalis, tapi ia sendiri tidak menggunakan label itu, saya sendiri tak begitu sepakat dengan gelar itu, mengingat dari sudut harfiah istilah tersebut sudah mengalami pergeseran makna terutama oleh sebagian muslim yang sentimen terhadap mereka. Orientalis dianggap sebagai kelompok yang memandang islam secara negatif, pandangannya tehadap islam merupakan sebuah sikap menjelek jelekkan, menghina dan mencaci maki Islam. Padahal tak semuanya pemikir orientalis berusaha melakukan tindakan act provocating.Montgomery Watt salah satunya.

Watt juga mendalami bahasa Arab dan giat menggali sumber-sumber dasar Islam untuk meramunya menjadi karya yang kaya fakta dan analisis yang mencerahkan. Watt juga sarjara Barat yang simpatik terhadap kehidupan Nabi Muhamad dan optimistis tentang hubungan Islam dan Kristen. Karena itu, Watt menulis bagaimana Islam mempengaruhi peradaban Eropa.
Watt setuju tantangan zaman modern adalah menjalin hubungan harmonis antara Muslim dan Kristen. Salah satu caranya adalah dengan menggali sejarah perjalanan kedua penganut agama ini dari sumber-sumber aslinya. Pengkajian yang lebih ”obyektif” terhadap keduanya sangat penting, karena kebanyakan tokoh dan penganut kedua agama ini lebih mengedepankan apologi teologis semata-mata.

Watt secara khusus telah menulis adanya persepsi dan mispersepsi dalam hubungan Islam dan Kristen. Dia menawarkan pemikiran dan praktek yang berguna bagi dialog Islam-Kristen. Mengenai fundamentalisme Islam, Watt berpendapat itu merupakan fenomena modern. Sejarah Islam awal juga mengenal pertentangan teologis yang diawali oleh pertentangan politik. Bagi Watt, perbedaan teologis Islam zaman awal, yang berdampak sampai sekarang, pada dasarnya bersifat politis, yaitu perselisihan tentang kepemimpinan.

Secara pribadi saya senang menikmati karya karya para orientalis, karena selain mencerahkan, karya karya mereka juga selalu di perketat dengan sumber sumber yang akurasinya sangat jelas dan dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah.selain itu karya para orietalis jauh lebih bermutu dibandingkan para sarjana islam sendiri.memang banyak juga mahakarya sejarah nabi yang ditulis para sarjana muslim seperti, Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husein Haekal, Atau Al Muassanah Fil Hayat Muhammad Karya Abul Hayyan At Tauhidi. Namun diantara mereka hanya karya orintalis sajalah yang memiliki mutu kualitas tinggi dimata saya
Kita tengok saja “Muhammad sang nabi” karya mantan biarawati asal inggris Karen Armstrong, membaca bukunya membuat saya terasa nikmat, inspiratif dan amat menyegarkan.
pernyataannya tak jauh dari Watt yang amat simpatik terhadap islam terutama nabi Muhammad. Saya amat terpana dan terkagum kagum ketika membaca karyanya, kok bisa sih sejarah nabi muhammad ditulis dengan sangat indah oleh kalangan diluar muslim?.selain Armtrong banyak juga tokoh orientalis lainnya yang tak kalah simpatik dari Watt seperti Martin Lings, Maxime Rodinson, Toshihiku Izutsu. Semuanya mengkaji islam dan menulis biografi Nabi dengan penuh nuansa persahabatan. .bahkan diantara mereka ada yang sampai masuk Agama Islam seperti Abdul Malik Germanus dari Hongaria, Vincent Monteil dari Perancis dan Fritjof Schouf dari Austria, mereka adalah para orientalis kelas kakap di zamannya, tentu saja ini membuat geger dunia orientalisme.

Namun dari semua orientalis tersebut saya tetap memiliki ketertarikan yang lebih terhadap sosok Montgomery Watt. Diantara beberapa pandangan Watt yang begitu memikat saya adalah, dia mengakui secara jelas mengenai pandangannya akan realitas yang dihadirkan tuhan oleh Al Quran adalah benar dan berasal dari tuhan, dan karenanya Muhammad adalah seorang nabi yang benar. Ia juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa islam tak lebih dari suatu bentuk penyimpangan dari sistem sitem pemikiran monoteistik yang telah mapan sebelumnya, baik kristen atau yahudi.namun disisi lain Watt juga mengungkapkan bahwa Al Quran merupakan Hotch potch, yaitu pencampurbauran unsur unsur perjanjian lama, perjanjian baru dan Sumber Sumber kitab suci lainnya.Mungkin ini sedikit pandangan dari Watt yang Problematis, cukup beralasan apa yang dialami Watt ini, mengingat pengkajiannya dalam islam berangkat dari keyakinan yang berbeda dengan kita, Dia merupakan seorang Kriten Yang sangat Relijius, sehebat apapun seorang orientalis mempelajari islam tentu ekspektasi emosionalnya tak akan sebaik kita.

Watt adalah seorang pengkaji yang serius dan amat teliti dalam melakukan observasinya, kerja kerasnya selama 40 tahun dalam mengenal islam dibuktikannya dalam sikap keterbukaannya yang sangat luar biasa. Syekh ahmad Zaki, pemikir islam timur tengah mengatakan:”bahwa Watt telah mencapai tingkatan tertinggi dalam hal keterbukaan”.

Kini Watt telah tiada, namun kontribusi dan dedikasinya terhadap umat islam tetap bermanfaat besar bagi perkembangan khazanah keilmuan kita, terlalu bodoh menurut saya bersikap skeptis dan apriori apalagi curiga yang berlebihan terhadap ketulusannya.

Selamat jalan Profesor Watt….
Bandung, 18-12-2008

Pluralisme

Pluralisme dalam Al-Quran
oleh Jalaluddin Rakhmat

“Mereka berkata: Tidak masuk surga kecuali Yahudi atau Nashara. Itulah angan-angan hampa mereka. Katakan: Tunjukkan buktimu, jika kalian benar.

“Sungguh, orang yang pasrah sepenuhnya kepada Allah sambil berbuat baik, maka baginya pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidaklah mereka berdukacita. ”


“Berkata Yahudi: Nashara tidak akan mendapatkan apa-apa. Berkata Nashara: Yahudi tidak mendapatkan apa-apa. Padahal mereka membaca. Seperti itu juga berkata orang-orang yang tidak mengerti, seperti pembicaraan mereka. Maka Allah akan menyelesaikan pada hari kiamat apa yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah 111-113)

Gamal al-Banna adalah aktivis Muslim, anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Kita mungkin menyebutnya fundamentalis dan anti-Barat. Ia berjuang untuk menegakkan “negara tawhid”, negara yang berdasarkan kalimat La ilaha Ilallah. Perjalanan hidupnya, riwayat perjuangannya, dan kisah-kisah kegagalannya mengantarkannya kepada sebuah refleksi yang mendalam. Ia “mengunjungi kembali” pemikiran Islamnya. Di balik terali penjara, dalam ancaman penguasa (Muslim) yang tidak berperi kemanusiaan, di tengah-tengah hiruk pikuk Kairo yang menyesakkan, ia menemukan epifani. Ia melihat dunia dengan cara yang baru. Marilah kita ikuti permenungannya:

Di negara-negara yang tidak memeluk Islam, masyarakatnya bekerja dengan gigih dan ikhlas. Mereka memiliki kejujuran dalam berkata, profesionalisme, menepati janji dan akhlak-akhlak baik lainnya. Mereka juga menganggap kebohongan pejabat dalam memberikan keterangan atas satu perkara di depan pengadilan atau institusi negara merupakan kejahatan besar yang tidak bisa diampuni kecuali dengan pemecatan. Contohnya adalah kasus yang menimpa Nixon yang menuduh musuh politiknya melakukan tindakan mata-mata. Begitu juga dengan Clinton yang memiliki ‘hubungan khusus’ dengan salah seorang pegawai gedung putih. Mereka menerima celaan, cacian dan denda yang tidak sedikit. Sedangkan sebagian besar pemimpin di negara-negara muslim selalu melakukan kebohongan publik dan penyelewengan. Kerja mereka hanya menindas dan mengekang. Atas dasar alasan ini, maka masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah dan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengaku sebagai pemeluk Islam.

Saya ingat masa ketika saya berada dalam tahanan di Tursina bersama orang-orang ikhwanul Muslimin pada tahun 1948. Ketika itu tempat tahanan berada di tengah padang pasir yang di malam hari terang dengan berbagai cahaya lampu yang dipasang untuk mempermudah penjagaan. Pemasangan lampu itu dilakukan oleh para tahanan yang memiliki keahlian dalam kelistrikan. Mereka juga menggunakan listrik untuk memanaskan air, mandi dan memasak. Saya berkata kepada mereka bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk surga karena telah menemukan lampu yang kemudian digunakan oleh manusia sebagai penerang. Mendengar ucapan saya, mereka menolak dengan keras, “Tidak, karena dia tidak beriman kepada Allah dan RasulNya.” Mereka seolah menganggap bahwa Islam telah dikenal di Amerika dan Rasulullah telah mengajak Edison kepada Islam. Oleh karena itu mereka menolak pendapat saya.

Saya membalas penolakan mereka dengan mengutip firman Allah,

“Katakanlah, ‘Andai kalian menguasai gudang-gudang rahmat Tuhanku, kalian pasti akan menahannya karena takut untukk berderma. Sesungguhnya manusia sangat kikir’.” (QS.Al-Isra: 100)

Sudah saatnya bagi para dai Islam untuk mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang yang beragama selain Islam. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan di tangan mereka. Sikap seperti itu merupakan pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Yang dituntut dari para dai, setelah al-Quran mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, diri kalian adalah tanggung jawab kalian. Orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendapat petunjuk,” (QS. Al-Maidah:105) adalah menjadi ‘saksi atas manusia”. Para dai hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Urusan konversi agama tidak hanya menyangkut iman dan teori. Ini juga menyangkut hubungan sosial dan konsekuensi-konsekuensi selanjutnya. Hidayah hanya datang dari Allah, bukan dari seorang rasul[1].

Gamal al-Banna berubah dari seorang eksklusif menjadi seorang pluralis. Secara sederhana, umat beragama yang eksklusif berpendapat bahwa hanya pemeluk agamanya saja yang selamat dan masuk surga. Di luar lingkungan agama kita, semuanya masuk neraka. Dalam bahasa Gamal al-Banna, seorang ekslusivis merasa “menguasai gudang-gudang rahmat Tuhan” dan menahannya hanya untuk kelompoknya saja. Rahmat Tuhan itu meliputi langit dan bumi, tetapi kasih sayang kaum ekslusivis terbatas pada rumahnya sendiri. Mereka berkata: Yang masuk surga hanya orang Islam saja. Sebagian lagi menyatakan: itu pun tidak semua orang Islam. Umat Islam akan pecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka, kecuali golonganku. Lebih lanjut, dalam golonganku, semuanya masuk neraka keuali mereka yang ikut kepada Ustaz Fulan saja. Maka rahmat Allah yang meliputi langit dan bumi sekarang diselipkan di sudut surau yang sempit.

Bertentangan dengan kaum eksklusivis adalah kaum pluralis. Mereka berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Each one is valid within its particular culture. Mereka percaya rahmat Allah itu luas. “Al-Khalqu ‘iyâli”, firman Tuhan dalam hadis Qudsi. Semua makhluk itu keluarga besar Tuhan. Mereka tidak mengerti mengapa ada manusia yang berani membatasi kasih sayang Tuhan. Mereka heran mengapa ada orang yang mengambil alih wewenang Tuhan. Al-Banna bertanya:

“Keberanian yang luar biasa dalam merampas wewenang Allah! Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang menenggelamkan manusia ke dalam neraka? Atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu? Bagaimana kesadaran mereka atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan? Kasih sayang seorang ibu hanyalah satu dari seratus kasih sayang-Nya. Dia tidak akan menenggelamkan manusia ke dalam neraka, kecuali manusia-manusia pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi ini.”[2]

Pertanyaan Al-Banna adalah juga pertanyaanku sekian lama. Jawabanku sama seperti jawaban Al-Banna. Kasih sayang Tuhan jauh lebih luas dari kasih sayang ibu kepada anak-anaknya. Tetapi apakah itu punya dasar dalam Al-Quran? Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan sebagian dari dalil-dalil pluralisme dalam Al-Quran dan komentar para ahli tafsir berkenaan dengannya. Saya memilih dua buah tafsir saja. Pertama, Tafsir , yang ditulis oleh Sayyid Husseyn Fadhlullah, tokoh Hizbullah Lebanon, mewakili mazhab Ahlul Bayt; kedua, Tafsir Al-Manar yang ditulis oleh Sayyid Rasyid Ridha, tokoh pembaharu Islam yang dikenal sebagai fundamentalis, mewakili mazhab Ahlu al-Sunnah;

Ayat-ayat Pluralisme
Apakah orang-orang “kafir” –non-Muslim- menerima pahala amal salehnya? Benar, menurut Al-Baqarah 62, yang diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada Al-Maidah 69 dan Al-Hajj 17.

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shabi-in[3], siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. “

Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya menjelaskan:
“Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama iniyang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh (garis bawah dari penulis).”

Ayat-ayat itu memang sangat jelas untuk mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir yang eksklusif mengakui makna ayat-ayat itu sebagaimana dijelaskan oleh Husseyn Fadhlullah, tetapi mereka menganggap ayat-ayat itu dihapus (mansukh) oleh Ali Imran 85: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Mereka bersandar pada hadis –yang lemah- dari Ibnu Abbas (Lihat, misalnya, Tafsir Thabari).

Menurut Sayyid Husseyn Fadhlullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang kita bicarakan. Karena itu, tidak ada ayat yang dimansukh. Islam pada Ali Imran 85 adalah Islam yang “umum, yang meliputi semua risalah langit, bukan Islam dalam arti istilah”, bukan Islam dalam arti agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kesimpulan itu diambil Fadhlullah dari konteks ayat itu. Pada Ali Imran 19, Tuhan berfirman: Sesungguhnya agama itu di sisi Allah adalah Islam. Menurut Al-Quran, semua agama itu Islam. Ini diperkuat dengan ayat-ayat yang lain: Ingatlah ketika Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku Islam kepada Tuhan Pemelihara semesta Alam. Dan ketika Ibrahim dan Ya’qub berwasiat dengannya kepada anak-anaknya: Wahai anak-anaku, sesungguhnya Allah telah memilih bagi kamu agama, maka janganlah kamu mati kecuali kamu menjadi orang-orang Islam (Al-Baqarah 131-132).

Seperti Fadhlullah, saya pun berpendapat bahwa Islam dalam Ali Imran 85 adalah “kepasrahan total” (untuk uraian yang lebih dalam tentang makna “al-din” dan “al-islam” dapat dilihat pada buku Islam dan Pluralisme karya Jalaluddin Rakhmat -peny). Lebih lanjut, Fadhlullah mengatakan bahwa Al-Baqarah 62 dimaksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Ia menyindir orang yang merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah saja. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepada Allah dan amal saleh. Dalam Al-Quran orang-orang yang berpegang pada keselamatan karena nama disindir sebagai bersandar pada angan-angan: (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah (Al-Nisa 123)[4].

Ayat ini, Al-Nisa 123, juga disebut oleh Sayyid Rasyid Ridha[5] ketika menjelaskan Al-Baqarah 62, bahwa “Artinya: hukum Allah itu adil dan sama. Ia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunnah yang sama, tidak berpihak pada satu kelompok dan menzalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunnah ini ialah bahwa bagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan Rasul mereka.”

Ayat ini menjelaskan sunnah Allah swt dalam meperlakukan umat-umat baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Allah swt: (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam sorga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun. (Al-Nisa 123-124).

Tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi saw. Ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai Nabi dan wahyunya masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan pasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nashara, atau Shabiah, misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan (jinsiyyah diniyyah). Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia. Karena itu, tertolaklah anggapan bahwa keputusan Allah bergantung pada angan-angan orang Islam dan angan-angan Ahli Kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan Allah bergantung pada amal baik dan iman yang benar.

Dikeluarkan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim dari Al-Suddi. Ia berkata: Orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Yahudi dan Nashara. Orang Yahudi berkata kepada orang Islam: Kami lebih baik dari kalian. Agama kami sebelum agama kalian dan Kitab kami sebelum kitab kalian. Nabi kami sebelum Nabi kalian. Kami mengikuti agama Ibrahim. Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi. Berkata juga orang Nashara seperti itu. Maka berkatalah orang Islam: Kitab kami sesudah kitab kalian, Nabi kami sesudah Nabi kalian, dan agama kami sesudah agama kalian. Kalian telah diperintahkan untuk mengikuti kami dan meninggalkan urusan kalian. Kami lebih baik dari kalian.Kami berada pada agama Ibrahim, Ismail, dan Ishaq. Tidak akan masuk surga kecuali orang yang memeluk agama kami. Allah menolak perkataan mereka dan berfirman: Bukanlah angan-angan kamu dan bukan juga angan-angan Ahli Kitab… Seperti itu juga diriwayatkan dari Masruq dan Qatadah. Juga Al-Bukhari meriwayatkan dalam Al-Tarikh dari hadis Anas sampai kepada Nabi saw: Bukanlah iman dengan angan-angan, tetapi dengan apa yang terhunjam dalam hati dan dibenarkan oleh amal.

Ada orang yang dilalaikan oleh angan-angan akan mendapat ampunan sampai ia keluar meninggalkan dunia tanpa kebaikan padanya. Mereka berkata: Kami berbaik sangka kepada Allah. Mereka bohong. Kalau berbaik sangka kepada Allah pasti mereka beramal baik. Pelajaran yang berharga dari Allah adalah kecamannya kepada orang-orang yang terbuai dengan punya hubungan dengan agama walaupun secara lahiriah. Keterbuaian (bahwa orang akan selamat hanya karena menganut agama Islam –jalal) inilah yang memalingkan mereka dari amal, sehingga merasa cukup dengan menisbahkan dirinya pada kelompok agamanya.

Walhasil, menurut Ridha, orang yang merasa pasti akan selamat hanya karena dia Islam, Nasrani, atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrin) dengan nama. Keselamatan, untuk mengulangi lagi yang sudah terlalu jelas, bergantung pada tiga syarat: keimanan kepada Allah, keimanan pada hari pembalasan, dan amal saleh.

Bantahan Kaum Eksklusivis
Ada tiga cara untuk membantah ayat yang membenarkan pluralisme ini. Pertama, mereka mengatakan bahwa ayat ini sudah dimansukh dengan Ali Imran 85 (Sudah dijawab Fadhlullah di atas). Kedua, ayat ini hanya berlaku untuk orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiin sebelum kedatangan Nabi saw. Jadi orang Islam pada zaman Islam, orang Nashrani, Yahudi, dan Shabiin pada zamannya masing-masing akan memperoleh pahala dari amal salehnya. Zaman ini zaman Islam. Karena itu, selain Islam, semua agama kehilangan validitasnya, sebagaimana kedatangan uang Republik menyebabkan uang Belanda tidak berlaku. Argumentasi berdasarkan analogi ini tidak punya dalil yang memperkuatnya dalam Al-Quran dan Sunnah. Sebuah ayat yang bermakna umum tidak boleh diartikan khusus kecuali dengan keterangan yang kuat.

Ketiga, mereka menafsirkan “beriman kepada Allah” sebagai beriman kepada ajaran Islam, karena Allah adalah konsep khusus untuk Islam. Allah adalah Tuhan bagi orang islam. Kristus Tuhan bagi umat Kristiani. Wisnu Tuhan bagi orang Hindu. Dan sebagainya. Erat kaitannya dengan argumentasi ini adalah keimanan kepada hari akhir dan amal saleh. Hari akhir yang harus diimani adalah hari akhir menurut penjelasan syariat Islam. Amal saleh juga adalah amal yang berdasarkan syariat Islam. Dengan penafsiran seperti ini, kita melihat perubahan drastis dari ayat pluralis menjadi ayat eksklusivis. Secara terperinci ayat ini berarti “Sesungguhnya orang-orang Islam, orang Yahudi, Nashrani dan Shabiin yang kemudian masuk Islam (dengan beriman kepada Tuhan orang Islam, dan aqidah Islam serta beramal sesuai dengan syariat Islam) akan memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka”.

Lepas dari redundansi yang menggelikan dari segi bahasa, kita akan membuktikan bahwa menurut Al-Quran Allah itu adalah Tuhan yang sama seperti yang diimani oleh Ahli Kitab bahkan orang musyrik. Simaklah ayat-ayat Al-Quran di bawah ini:

Al-Quran 29:46, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman pada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhamu adalah satu. Dan kami hanya kepadanya berserah diri.”

Al-Quran 29:61, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan dari jalan yang benar.”

Al-Quran 43:87, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah).”

Mengapa Harus Ada Berbagai Agama?
Kalau semua agama itu valid, kenapa Tuhan repot-repot bikin agama yang bermacam-macam. Kenapa tidak dijadikanNya semua agama itu satu saja? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Al-Quran menjawabnya dengan indah:

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya. Lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (Al-Maidah 48).

Dari ayat ini kita menyimpulkan beberapa hal:
1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (syariat) dan pandangan hidupnya (aqidah). Karena itu, pluralisme sama sekali tidak berati semua agama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan. 2. Tuhan tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannnya adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan (al-khayrat). 3. Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nashrani, Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.

Wallahu ‘alam bi al-Shawab

Catatan:
[1] Gamal al-Banna, al-Ta’addudiyah fi al-Mujtama’ al-Islamiy. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Taufik Damas Lc, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran. Bekasi: Penerbit Menara, 2006, hal. 38-40 [2] Ibid, hal. 41 [3] Shabiin, berdasarkan kitab-kitab tafsir, bisa menunjuk pada berbagai agama selain Islam [4] Sayyid Muhammad Huseyn Fadhlullah, Tafsir Min Wahy al-Qur’an. Beyrut: Dar al-Malak, 1998, hal. 70. [5] Sayyid Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar. Beyrut: Dar al-Ma’rifah, tanpa tahun. 1:336-338.


Wednesday, February 11, 2009

Pancasila

Paradoks Pancasila
Oleh JAKOB SUMARDJO

Pancasila adalah sebuah konsep paradoks positif, bukan paradoks sebagai sebuah negasi. Konsep Pancasila sekarang adalah konsep modern yang menilai paradoks sebagai sebuah negasi. Akibatnya, Pancasila hanya hiasan bibir belaka.

Dimulainya tahun 1945 ketika Soekarno dan Muhammad Yamin mempersoalkan filosofi negara yang akan dibentuk. Pada waktu itu rumusannya amat sederhana, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme. Bahkan, kedudukan Ketuhanan ditaruh sebagai sila kelima, bukan pertama. Namun, dalam perkembangannya, rumusan Pancasila dipasang dalam konsep modernis sehingga konsep paradoksnya semakin kabur.

Persoalannya, bagaimana hubungan kelima sila itu satu sama lain? Pancasila itu satu entitas, bukan lima, meski terdiri dari lima pokok, yang kalau diperhatikan justru saling bertentangan satu dengan lainnya. Jadi, dasar negara itu mau demokrasi atau sosialis? Mau nasional atau global? Atau sebenarnya hanya satu entitas saja, yakni negara Ketuhanan? Bagaimana sistem hubungan antara kelima sila tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang dapat dipahami secara rasional?

Dualistik antagonistik
Kini, penerimaan kita adalah Pancasila merupakan kumpulan urutan sila-sila yang pemahamannya campur aduk seperti gado-gado. Inilah tabiat buruk bangsa ini, yaitu suka mengoleksi nasihat dari berbagai sumber tanpa menukik pada asas dasarnya. Bangsa ini gemar sekali kedangkalan. Terima saja semua nilai yang kita anggap positif, lalu hafalkan dan hubungkan sendiri.

Itulah makna Pancasila kita sekarang ini, kumpulan ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, ”keadilan sosial bagi seluruh bangsa”, dan lain-lain, yang membingungkan kalau dijadikan satu keseluruhan. Itulah sebabnya Ketuhanan Yang Maha Esa kemudian ditafsirkan sebagai agama.

Jika benar bahwa Pancasila bersumber dari kebudayaan nenek moyang Indonesia, dan telah berlaku sejak zaman dahulu kala, konsep dasarnya adalah paradoks. Bahwa lima itu tunggal dan tunggal itu bisa tiga, bisa lima, bisa delapan (astabrata), bisa tiga puluh tiga. Kelihatan satu padahal dua, tampak dua sebenarnya satu. Dwitunggal abadi kita. Mangrwa, kata Tantular. Dualistik antagonistik sekaligus komplementer.

Itulah sebabnya rumusan asalnya amat sederhana dan mendasar. Negara ini didasarkan atas demokrasi, kebebasan, tetapi sekaligus sosialistik, keterikatan. Didasarkan pada kebangsaan, kelokalan, sekaligus keuniversalan, global. Persoalan global-lokal sebenarnya sudah ada sejak Pancasila ada. Dan, hasil dari seni perpaduan paradoks itu adalah Keesaan yang bernilai transenden, yang kita sempitkan dalam pengertian ”Tuhan”.

Cara berpikir modern yang hanya mengenal kebenaran tunggal dari segala dualisme akhirnya luput menangkap pemikiran paradoks semacam itu. Itu sebabnya Pancasila menjadi semacam gado-gado, dari ”hal-hal yang paling baik”. Pancasila itu berarti lima secara harfiah, bukan lima paradoks yang bermakna tunggal. Lalu, apa arti dwitunggal, tritunggal, pancasila, mencapat kalimo pancer, tigo tungku sajarangan, dalihan nan tolu?

Mengandung dualisme

Konsep kebenaran paradoksal Indonesia ini dengan bagus sekali dirumuskan dalam Kropak 422 yang berhuruf Sunda lama dan bahasa Sunda lama. Bunyinya: Aku adalah kau sebagai aku, atau aku adalah dia sebagai aku. Maka, paradoks Pancasila dapat dibaca sebagai: Lokal adalah global sebagai lokal, global adalah lokal sebagai global. Kebebasan adalah keterikatan sebagai kebebasan, keterikatan adalah kebebasan sebagai keterikatan. Yang partikuler adalah universal sebagai partikulernya, dan universal adalah partikuler sebagai universal. Buah dari seni paradoks tadi adalah sesuatu yang baru, segar, belum ada sebelumnya, yang di luar semuanya, yang mengatasi semuanya, yakni sesuatu yang transenden. Itulah Esa yang sejati.

Karena Esa itu paradoks, maka kebebasan mengandung keterikatan, kasih sayang mengandung ketegasan, keserakahan kapitalisme mengandung kedermawanan sosialistik, yang tremendum itu fascinosum (menakutkan sekaligus memesona), yang tunggal mengandung yang banyak, politik terbuka itu mengandung ketertutupan, otonomi itu mengandung sentralisasi, banyak partai itu satu tujuan, ramah-tamah itu kelugasan sekaligus, bineka itu eka dan eka itu bineka.

Dalam cara berpikir ini, kejaran Pancasila itu adalah Eka, Esa. Dan, Esa itu mengandung dualisme-dualisme yang harus dicari titik temunya. Jadi, dinamikanya sentripetal, memusat, membikin pancer, menciptakan yang tunggal itu. Dari realitas mencapai kualitas. Atau sebaliknya, yakni dinamik sentrifugal, dari kualitas nilai tertentu disebarkan dalam segala yang dualistik itu.

Membela kehidupan
Konsep Pancasila itu membela kehidupan, merangkul semua yang ada. Kenyataannya, dunia ini selalu dipenuhi oleh hal-hal yang saling bertentangan. Cara berpikir modern yang linear adalah matikan musuhmu kalau kau mau hidup. Yang lain itu tak punya hak hidup. Yang boleh hidup itu hanya yang menang. Kebenaran itu tunggal, yakni kebenaran milik si pemenang. Karena kita ini Pancasila modern, kita tak henti-hentinya bertengkar saling meniadakan.

Ternyata praktik Pancasila itu malah dilakukan negara-negara yang tidak memiliki Pancasila. Partai-partai boleh berbeda konsep, tetapi target akhirnya tetap sama, yakni kesejahteraan bangsa dan negara. Kesetiaanku pada partai berhenti ketika kesetiaan pada negaraku memintanya, kata negarawan Inggris.

Pancasila adalah sesuatu yang being sekaligus becoming.

JAKOB SUMARDJO, budayawan dan pembina LPIK UIN SGD Bandung

SUMBER: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/31/03571261/paradoks.pancasila