Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, March 27, 2009

Bermain

Mengapa Manusia Suka Bermain?
Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

SETELAH filsafat manusia mengenal banyak sebutan untuk menamai atau menyebut identitas yang menjadi ciri khas pada manusia. Dua istilah dalam antropologi filsafat seperti homo erectus (manusia tegak) dan homo sapiens (manusia bijak), misalnya, selalu dipakai untuk menjelaskan kedudukan istimewa yang melekat pada manusia. Yaitu, karena kemampuan intelegensinya,manusia bisa mengatasi, menguasai dan memperdaya hewan dan alam ciptaan lainnya seperti homo faber (manusia tukang) dan homo economicus (manusia hemat). Dua istilah ini mau dipakai untuk menunjukkan keterampilan manusia dalam menciptakan alat-alat dan keuletannya dalam mempertahankan hidup.

Terhadap bakat manusia untuk mengadakan hubungan dengan Yang Transenden dipakailah sebutan homo religiusus (manusia religius). Tetapisejak tahun 1938-an sebutan baru sebagai homo luden (manusia bermain) yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh sejarahwan Belanda, Prof. Johan Huizinga (1872-1945) harus diberikan pada manusia. Dengan demikian, kalau kita sekarang mendapat pertanyaan tentang siapakah manusia itu atau manakah identitasnya, maka dengan mudah kita akan bisa menjawabnya: Manusia adalah makhluk hidup yang (suka) bermain.


Universal, Serius dan Spontan
Manusia suka bermain. Saya pikir, terhadap pernyataan ini kiranya tak ada orang yang tidak menyetujuinya. Sebab, bermain merupakan satu kegiatan yang khas manusiawi yang sifatnya universal. Permainann dan aktivitas bermain selalu ditemukan di mana-mana pada setiap bangsa dan kebudayaan. Ruang lingkup kegiatan bermain dan permainan itu sendiri secar obyektif mampu menembus batas-batas usia dan jenis kelamin.

Keyakinan yang kini masih melekat pada beberapa orang, bermain hanya merupakan kegiatan yang khas terdapat pada dunia anak-anak, sama sekali tidak benar. Pengalaman kita sehari-hari bisa memperlihatkan, betapa banyak pula orang-orang dewasa bahkan mereka yang sudah berpredikat sebagai kakek-nenek pun sering kali sangat suka mengisi waktu senggangnya dengan bermain kartu atau catur.

Kini kita harus bertanya: Bermain, ini merupakan sebuah kegiatan yang sifatnya serius atau tidak? Saya cenderung untuk mengatakan sebagai kegiatan serius. Untuk menanggapi pertanyaan itu, baiklah kita menengok kosa kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia yaitu tiga pasang kata “main”, “bermain” dan “main-main”.

Makna literer yang terkandung pada masing-masing kata tersebut jelas berbeda satu sama lain. Dua kata yang terakhir yakni main dan main-main cenderung bernada peyoratif dan memberi kesan tidak serius atau sekedar iseng-iseng. Sedangkan aktivitas bermain hampir selalu dilakukan sebagai sebuah kegiatan yang serius, meskipun dalam praktiknya kegiatran tersebut sering dikemas rapi dalam suasana rileks dan lucu.

Fakta, setiap bentuk dan wujud permainan itu sifatnya serius barangkali sering dijelaskan demikian. Kita bisa menyaksikan sendiri, setiap orang yang terlibat aktif dalam kegiatan bermain itu dalam arti tertentu wajib memainkan satu peran atau memainkan benda-benda permainan anak-anak tradisional Jawa seperti pasaran.

Dalam permainan itu terlihat dengan jelas betpa anak-anak putri dengan serius menekuni perannya sebagai mbakyul bakul, embok-embok dan seterusnya. Demikian juga kalau orang dewasa sedang main brigde. Ketrampilan dan keseriusan dalam memainkan kartu-kartu itu jelas merupakan hal yang tak dapat ditawar untujk tidak dilakukan.
Sikap serius dalam bermain menjadi sangat tampak dan lebih jelas pada jenis-jenis permainan tertentu yang mengandung unsur kompetitif atau perlombaan. Disini keseriusan merupakan hal yang mutlak. Ini rup0anya berkaitan erat dengan unsur kompetitif atau persaingan yang melekat pada permainan itu sendiri, yakni keharusan untuk memenangkan persaingan di antara pihak-pihak yangh bermain.

Bisa juga dikatakan, keseriusan saat bermain adalah mutlak demi tegaknya sebuah bangunan nilai tertentu yang dengan sendirinya akan muncul ketika permainan itu dimulai. Masalahnya, bila orang tidak bersikap dan bertindak serius, maka bangunan nilai yang berupa aturan-aturan permainan itu pasti akan ambrol dan permainan itu sendiri akhirnya tidak bisa dijalankan lagi. Kini menjadi jelas, dalam bermain orang tidak bisa main-main. Demikian misalnya, anak-anak yang sedang bermain petak umpat akan selalu bersikap serius dalam memikirkan satu halyakni bagaimana mereka dapat bersembunyi tanpa harus diketahui musuh.


Menikmati Ketegangan
Disadari atau tidak, keseriusan dalam bermain ternyata mampu menciptakan sebuah ketegangan atau suasana tegang. Dalam arti tertentu hal itu malah mampu mnyuguhkan kenikmatan atau kepuasan. Menarik disimak kenyataan , ternyata orang senang mengalami dan merasakan ketegangan itu.

Banyak orang sangat betah dengan suasana permainan yang menumbuhkan ketegangan dan merasakan ketegangan itu sebagai kenikmatan, maka orang lalu memperoleh kepuasaan batin. Ini terjadi justru karena ketegangan itu baru bisa dibangun dan dicapai lewat sebuah perjuangan tertentu yaitu usaha keras dan keseriusan. Ibarat orang yang suka naik gunung ia akan mendapatkan kepuasaan batin yang sulit dicari gantinya, justru karena kepuasaan itu dicapai dengan usaha keras dan keseriusan.

Dalam permaian-permainan yang mengandung unsur kompetitif seperti adu ketangkasan, keterampilan, gerak cepat, kekuatan fisik atau kecepatan berpikir, persaingan dalam memenangkan permainan akan menjadi unsur dominan. Dalam konteks ini harus disebut, perlombaan dan pertandingan-pertandingan olah raga sebenarnya merupakan bentuk-bentuk permainan. Tetapi disini harus diberikan catatan penting. Sejauh mana pertandingan-pertandingan olahraga tersebut boleh disebut murni sebagai permaian?
Kiranya kriteria berikut ini bisa dipakai sebagai tolok ukur. Sejauh kegiatan olah raga itu betul-betul diadakan hanya demi sebuah permainan antarmanusia dan tidak menghilangkan ciri khas setiap permainan, uinsur spontanitas serta bebas dari unsur bisnis atau bukan demi satu prestise tertentu, maka kegiatan itu masih bisa disebut permaian.

Menjadi jelas, memang sangatlah lebar jurang perbedaan antar permainan spontan homo ludens sebagaima yang dimaksud Huizinga yakni bermain sebagai kegemaran manusia yang sifatnya arkais dan yang muncul dari kodrat asali kita sebagai manusia di satu pihak dengan kebiasaan bermain dalam pertandingan-pertandingan olah raga, baik yang amatir maupun lebih yang profesional di lain pihak. Dalam permainan-permainan jenis terakhir ini, yang berbucara bukan lagi unsur spontanitas sebuah permainan melainkan lebih-lebih pertimbangan praktis-ekonomis seperti demi sebuah prestasi atau demi fulus atau duit.


Suka Bermain
Mengapa manusia suka bermain? Kiranya jawaban atas pertanyaan ini sebaiknya kita gali dari pengalaman kita sehari-hari dalam menjalankan aktivitas bermain. Untuk itu, baiklah kita bertanya: Perasaan macam apa yang biasa kita peroleh setelah bermain? Jawabannya tentu saja bisa beragam. Orang dapat ,mengatakannya sebagi kepuasaan, kenikmatan, kesegeran kembali, perasaan plong, dan seterusnya. Kiranya memang unsur-unsur perasaan itulah yang secar tidak langsung mau dicari orang bila ia bermain atau aktif terlibat dalam aneka macam bentuk permainan.

Menarik disimak kenyataan, berbagai bentuk kepuasan di atas justru bisa diperoleh karena dalam bermain orang boleh-bahkan sering kali malah diharuskan-membangun sebuah dunia rekaan baru yang lain sama sekali dari kenyataan sehari-hari. Dengan demikian, orang seakan harus pindah beralih dari kenyataan yang faktual ada menuju pada sebuah dunia lain yang buisa menjanjikan sesuatu, seperti misalnya kepuasan batin.

Dengan cara itu, segala urusan tektek bengek sehari-hari bisa sedikit terlupakan dan dengan masuk ke dalam dunia rekaan ini, orang pun lantas merasa tertarik untuk mengejar kepuasan batin. Dalam arti ini memang bisa dikatakan, permainan bisa membius orang, tetapi tentu saja dalam arti yang sangat positif. Sebab, dengan bermain manusia justru bisa mengalami variasi dalam hidupnya. Bisa dibayangkan betapa manusia akan menjadi bosan kalau hidup dalam sebuah rutinitas melulu tanpa adanya variasi dalam hidupnya. Variatio delectat, variasi itu menyenangkan orang, demikian bunyi pepatah Latin.

Satu-satunya cara agar dunia rekaan itu tetap eksis dalam permainan, maka setiap orang yang terlibat dalam permainan itu juga haraus menjaga keseriusan. Setiap pihak harus patuh dalam bersikap yakni memelihara agar bangunan nilai yang berupa aturan-aturan main itu sungguh ditaati. Kalaupun melanggar harus ada sanksinya. Sekali saja orang tidak mau patuh dan melanggar aturan permainan tetapi tidak mau menerima sanksinya, runtuhlah semua pilar-pilar yang menyangga bangunan dunia rekaan itu.


Bukan Monopoli Manusia
Dalam kata pengantar bukunya, Homo ludens. Proeve eener bepaling van het spel-element der cultuur (Manusia Bermain. Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya), Prof. J. Huizinga mengatakan, julukan baru untuk manusia sebagai homo ludens (manusia bermain) sudah selayaknya perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan sebutan-sebutan lain untuk manusia yang sudah ada sebelumnya. Komentar seperti ini jelas mengartikan, bermain merupakan unsur konstitutif dalam eksistensi manusia dan mencirikan siapa manusia itu sesungguhnya.

Tetapi kita tergoda untuk bertanya lebih lanjut: Apakah bermain itu hanya kegiatan yang dimonopoli manusia saja? Jawaban atas pertanyaan ini kiranya jelas: tidak. Sebab, binatang pun sering bermain. Bukan saja hal itu dilakukan sendiri, melainkan seringkali malah dalam sebuah kelompok. Demikianlah misalnya, dua anak kucing yang bermain-main dengan saling mencakar dan saling mengejar antar mereka sendiri. Kucing pun bisa asyik dalam sebuah permainan.

Unsur apa yang membedakan antara kegiatan bermain pada manusia dan permainan pada binatang? Kiranya harus disebut begini. Permainan dalam dunia hewan menampilkan fakta, binatang melakukan hal itu sebagai kegiatan main-main saja. Kita lihat, misalnya, kejadian dimana dua atau tiga ekor kucing sedang bermain. Bilamana satu anak kucing sudah mulai mengeong tajam karena gigitan temannya pada lehernya dirasa terlalu keras, maka secara spontan kucing satunya akan melepaskan gigitan itu. Dan kemudian mereka bermain lagi.

Sedangkan permainan dalam dunia manusia ternyata menampilkan fakta yang berbeda. Bermain pada umumnya merupakan kegiatan serius, dalam arti dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semua ini dilakukan demi mendapatkan fun yakni gabungan unsur lucu dan menyenangkan. Meski dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh, unsur fun akan selalu tetap eksis dalam setiap permainan manusia. Dan memang inilah ciri khas paling unik pada setiap permainan manusia. Kiranya jelas, justru karena adanya unsur fun ini pada setiap permainan, maka saya, anda dan kita semua pasti sangat suka diajak teman untuk bermain.


PENULIS adalah dosen filsafat di Fakultas Filsafat dan Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Hunung Djati Bandung


cahaya

Misykat

Allah nur langit dan bumi
CahyaNya bagaikan misykat
wadahnya pelita
Nurun ala nur

cahaya di atas cahaya
gelap selimuti kami
sepi sunyi pagut kami
Rindukan cahaya pancaran cinta
DariMu kekasih abadi

reff:
Kami laron2 kecil
Terbang dari relung2
Gelap kehidupan menuju misykat
Pelita cahya Ilahi
Bakar sayap2 kami
Jadi satu nyala api
Tenggelamkan diri samudra fana
Filaa ilahailallah
Kami hadapkan Muhammad rembulan mentari suci
Bersama A'immah kami ayun langkah di jalan cinta sejati

(Jalaluddin Rakhmat)

Wednesday, March 25, 2009

Sunda

Agama Islam dan Budaya Sunda
Oleh DADANG KAHMAD

I
KEBUDAYAAN yang dianut oleh masyarakat Sunda bisa disebut dengan Kebudayaan Sunda. Ia berupa semua sistem gagasan, aktifitas dan hasil karya manusia Sunda yang terwujud sebagai hasil interaksi terus menerus antara manusia Sunda sebagai pelaku dengan latar tempat ia hidup, dalam rentang waktu yang sangat panjang dan suasana yang bermacam-macam dialaminya. Boleh dikatakan bahwa kebudayaan Sunda adalah milik masyarakat Sunda yang diperoleh dari hasil proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terus menerus dalam jangka waktu yang sangat lama. Perubahan terhadap setiap unsurnya dan hubungan unsur-unsur itu satu sama lainnya berpengaruh kepada kebudayaan Sunda secara keseluruhan.

Ketika seorang manusia Sunda mencoba mengabaikan atau menolak budaya Sunda maka manusia Sunda tersebut telah mengabaikan atau menolak seperangkat nilai yang terbentuk dari hasil proses adaptasi kolektif manusia Sunda dengan lingkungannya yang sudah sekian lama diakui sangat ampuh sebagai alat untuk melindungi masyarakat Sunda dari kerusakan ketika mereka berhadapan dengan berbagai perubahan lingkungan fisik dan nonfisik. Dengan kata lain, budaya Sunda adalah perangkat yang memberikan daya tahan kepada masyarakat Sunda untuk tetap lestari.

Kebudayaan Sunda adalah sumber kerangka acuan masyarakat Sunda ketika mereka berhadapan dengan berbagai perubahan. Suatu perubahan itu ditolak atau diterima oleh masyarakat tergantung kepada sejauh mana perubahan itu bisa diterima oleh kebudayaaanya. Oleh karena itu suatu perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat Sunda mestilah mempertimbangkan aspek tradisi dan kebudayaan masyarakat Sunda itu sendiri. Ketika suatu perubahan yang berasal dari suatu unsur kebudayaan asing terlalu berbeda jauh dengan kebudayaan Sunda maka perubahan itu akan sangat lama diterima untuk menjadi bagian dari kebudayaan Sunda. Pertama-tama perubahan itu akan ditolak karena dianggap kontra budaya atau unsur budaya yang berlainan, tapi lambat laun perubahan itu sedikit demi sedikit akan diterima menjadi sub budaya dan selanjutnya, dalam waktu yang relatif lama, akan diterima menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Sunda.

Begitu pula halnya mengenai agama orang Sunda. Semua agama yang masuk ke tatar Sunda akan diseleksi mana yang sesuai (tidak jauh berbeda) dengan kepribadian budaya Sunda dan mana yang berlainan (sangat jauh) dengan kepribadian budaya Sunda. Sebab agama yang datang ke tatar Sunda adalah agama yang sudah dibungkus dengan kebudayaan dimana agama itu berasal. Termasuk Agama Islam ketika datang ke tatar Sunda pada awalnya disebarkan oleh orang-orang yang berasal dari tempat yang mempunyai kebudayaan tertentu seperti dari India, Arab dan Persia, yang secara otomatis telah menjadi warna dan ciri tersendiri dari ajaran Islam itu sendiri. Proses Islamisasi bisa dipandang sebagai suatu proses pertemuan antar dua kebudayaan atau lebih, yaitu antar kebudayaan penyebar agama Islam dengan kebudayaan penerima agama Islam. Oleh karena itu, proses penyebaran agama Islam di tatar Sunda adalah suatu bentuk proses asimilasi, akulturasi dari berbagai budaya yang datang (Arab, Persia, dan India) dengan budaya lokal Sunda yang membentuk kebudayaan Sunda Islam kiwari seperti yang kita saksikan sekarang.

Agama Islam begitu mudah diterima oleh urang Sunda. karena karakter agama Islam tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda yang ada pada waktu itu. Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan agama Islam mudah dipeluk oleh urang Sunda. Yang pertama, ajaran Islam itu sendiri yang sederhana dan mudah diterima oleh kebudayaan Sunda yang juga sederhana. Ajaran tentang akidah, ibadah terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa urang Sunda yang dinamis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi “bungkus” agama Islam adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi urang Sunda. Oleh karena itu, ketika urang Sunda membentuk jati dirinya berbarengan dengan proses Islamisasi, maka agama Islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas kesundaan mereka.

Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat sunda melalui pendidikan dan dakwah, bukan dengan jalan penaklukan. Hal tersebut membuat wajah Islam di tatar Sunda berbeda dengan Islam yang disebarkan dengan cara peperangan (paksaan). Kalau di daerah lain agama Islam dianggap sebagai kekuatan asing yang sukar bersatu dengan kebudayaan setempat, maka di masyarakat Sunda, Islam dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sejak diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Syarif Hidayatullah (1470M) di sebelah timur dan kesultanan Banten di sebelah barat, agama Islam terus menyebar ke seluruh pelosok tatar Sunda dengan tanpa hambatan yang berarti. Dengan tidak terasa orang sunda memeluk Islam seperti belajar kebudayaan sendiri, lambat tapi pasti Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Menurut hasil sensus penduduk tahun 2000 agama Islam di Jawa Barat dipeluk oleh 37.606.317 orang yang merupakan 98% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Tercatat pula 172.523 buah mesjid, 4.772 buah pesantren, 150.927 orang Kiyai, 35.495 orang Ulama, dan 36.201 orang mubaligh yang tersebar merata di seluruh pelosok JawaBarat. Dengan keadaan seperti tersebut di atas dapat di katakan bahwa rakyat Jawa Barat (Sunda) hampir seluruhnya beragama Islam atau dengan kata lain bahwa agama orang Jawa Barat (Sunda) adalah agama Islam.

II
Para pengamat banyak yang mengatakan bahwa kebudayaan Sunda sekarang sulit dipisahkan dengan ajaran agama Islam, sehingga ada ungkapan bahwa Sunda adalah Islam. Ungkapan tersebut untuk pertama kali dilontarkan oleh almarhum Endang.Saefuddin.Anshori, salah seorang Intektual Sunda walaupun beliau bukan keturunan Sunda tetapi lahir dan dibesarkan di tatar Sunda juga berbicara sehari-hari memakai bahasa Sunda. Ungkapan tersebut kemudian menjadi keniscayaan di tengah masyarakat Sunda. aneh lamun aya urang Sunda lain Islam. Hal tersebut lebih memberi tekanan kepada fakta bahwa mayoritas masyarakat Sunda adalah beragama Islam atau kebanyakan urang sunda berkeyakinan tauhid kepada Allah.

Asimilasi dan akulturasi antar dua kebudayaan atau lebih akan melahirkan suatu bentuk kebudayaan baru yang merupakan hasil titik temu dari proses pembauran terus menerus antara berbagai kebudayaan yang berbeda tersebut. Titik temu antara nilai-nilai Sunda dengan nilai-nilai Islam adalah lebih banyak pada etika atau tatakrama. Sistem muamalah yang diajarkan Islam menemukan realitas empirisnya dalam kehidupan masyarakat Sunda. Apa yang dicita-citakan oleh masyarakat Sunda tentang cageur bageur, someah ka semah, nyaah ka sasasama sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip-prinsip ulah ngarawu ku siku dalam pemilikan harta dan jabatan, ulah kaleuleuwihi dalam makan dan minum menemukan kaidah Zuhud dan Qonaah dalam .ajaran tasawuf.

Dan dalam tingkatan tertentu pengaruh agama Islam pada kehidupan orang-orang Sunda dapat dilihat dari beberapa hukum adat yang mereka praktekan dalam bermasyarakat. Hampir di seluruh tempat yang dihuni oleh orang Sunda di Jawa Barat penyelenggaraan hukum waris diatur menurut ajaran faraidh fiqh Islam. Dalam perkawinan juga dilaksanakan secara fiqh Islam yang dipadukan dengan upacara adat, seperti: nyeuyeuk seureuh, buka pintu, sawer, dan huaplingkung. Meskipun, umumnya upacara adat seperti itu dilakukan setelah akad nikah dilangsungkan.

Yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia juga dikenal dengan upacara lingkaran hidup (circle life), yaitu upacara untuk menangkal malapetaka yang mungkin muncul saat manusia berada dalam waktu-waktu krisis. Mulai manusia masih dalam kandungan ibunya sampai manusia itu mati diadakan upacara, misalnya babarik, opat bulan jeung tujuh bulan, mahinum, nyusur tanah, tiluna, tujuhna, matangpuluh, natus, merupakan upacara adat yang dipadukan dengan do’a-do’a dari ajaran Islam. Dalam kesempatan itu, para pemimpin agama yang bijaksana biasanya memberitahukan kepada para hadirin, bahwa upacara adat tersebut bukan merupakan kewajiban utama yang harus dilakukan oleh orang Islam. Demikian juga dalam masalah jual beli, pola makan di beberapa tempat, ajaran Islam telihat melekat di dalamnya.

Di samping itu ada suatu kebiasaan pada sebagian orang Sunda yang suka memuliakan waktu atau tanggal tertentu, yang dianggapnya lebih mulia dari waktu yang lainnya, seperti bulan Maulud (Mulud menurut lafal orang Sunda). Menurut kepercayaan orang kampung di Priangan, bulan Mulud merupakan bulan yang istimewa. Dalam bulan ini banyak sekali anjuran dan sekaligus banyak pula pantangannya bagi aktivitas tertentu. Bagi orang yang ingin mematangkan satu ilmu, maka dianjurkan untuk dilaksanakan pada bulan Maulud. Misalnya untuk mematangkan ilmu penca, ilmu kebal atau ilmu kedigdayaan lainnya. Oleh karena itu, dikampung-kampung di wilayah Priangan ada istilah “ngamuludkeun” (membersih-kan dalam bulan Maulud) barang-barang pusaka atau kramat, seperti keris, gung, payung; atau mandi di sungai dengan kembang tujuh warna dan sebagainya. Sebaliknya banyak yang percaya bahwa pada bulan ini, harimaupun akan mengasah kukunya, khususnya pada tanggal 14 Maulud waktu bulan purnama.

Dalam sistem kepercayaan orang Sunda terdapat kepercayaan kepada kekuatan super natural yang paling tinggi, yang sangat berkuasa dan menentukan segalanya. Yaitu Gusti Allah, Pangeran murbeng alam. Kepada tuhanlah seluruh manusia harus berbakti dan mengabdi dengan sungguh-sungguh. Allah murba wisesa, dalam arti sempurna kepandaiannya. Walaupun di kalangan tertentu masih terdapat kepercayaan sisa-sisa agama terdahulu tetapi pada umumnya orang sunda telah memberikan hatinya untuk Iman kepada gusti Allah dan meyakini aqiedah Islam yang lainnya. Kangjeng Nabi Muhammad adalah sebutan penghormatan kepada Nabi Muhammad, yang diyakini sebagi nabi terakhir. Muludan adalah suatu perayaan untuk menghormati kelahiran nabi Muhammad yang diisi oleh sidekah mulud dan pengajian bersekala besar dengan mengundang mubaligh dari daerah lain yang lebih terkenal.

Al-qur’an menjadi bacaan wajib bagi kebanyakan masyarakat sunda. Hampir dipastikan anak-anak mulai berumur tujuh tahun telah diperkenalkan membaca al-qur’an walaupun dengan cara sederhana ( alip-alipan, ngejah, narabas ). Terutama di daerah pedesaan belajar al-qur’an biasanya pada sore hari atau setelah sholat (sambeyang) maghrib. Pada waktu-waktu tersebut akan terdengar dari seluruh pelosok kampung suara anak-anak membaca al-qur’an dengan suara nyaring . Ketika seorang anak telah menamatkan bacaan al-qur’an tigapuluh juz, maka orang tuanya mengadakan perayaan khataman, yaitu acara salametan dengan mengundang tetangga untuk hadir di rumah atau di mesjid untuk mendengarkan bacaan terakhir anak yang khatam qur’an dan diikuti oleh makan nasi tumpeng bersama dengan lauknya daging ayam yang dipanggang ( bakakak).

Dalam bidang arsitektur masjid di tatar sunda berbeda dengan arsitektur mesjid di negara timur tengah yang di dominasi oleh garis lengkung dan berkubah. Kebanyakan masjid dan tajug di tatar sunda berupa bangunan sederhana dengan arsitektur yang kalau dilihat secara sepintas tidak jauh berbeda dengan bentuk rumah penduduk. Bentuk yang paling banyak adalah dalam bentuk atap tumpang dua atau tiga dengan model nyungcung . Oleh karena itu, mesjid-mesjid di tatar sunda dikenal juga dengan sebutan Bale Nyungcung. Sebelum ada Kantor Urusan Agama (KUA) mesjid dipakai untuk kegiatan acara ijab qobul pernikahan, sebagai bale nyungcung mesjid di tatar Sunda identik dengan kegiatan perkawinan.

Walhasil, dalam kasus-kasus di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip ajaran Islam dapat mengakomodasikan nilai-nilai budaya Sunda, dan prinsip budaya Sunda dapat mengakomodasikan nilai ajaran Islam. Maka sekarang, persoalannya bukan terletak pada bagaimana menyundakan Islam dan meng Islamkan Sunda, tetapi bagaimana antara keduanya dapat bersinergi melahirkan sosok insan kamil, luhung elmuna pengkuh agamana jembar budayana. Islam adalah ajaran yang universal melintasi batas-batas etnis, ras dan budaya, sedangkan budaya Sunda adalah budaya yang sangat terbuka dan merespon positif setiap nilai baru yang memungkinkan dirinya untuk lebih maju dan dinamis. Sebagai orang Sunda, tantangan terbesar adalah, bagaimana orang Sunda dapat tampil ke muka dengan segala identitas keSundaan yang mempunyai jiwa kosmopolitan ajaran Islam. Dan kewajiban bagi setiap orang Islam Sunda untuk membuktikan bahwa dengan semangat jihad Islamlah, Sunda akan terus nanjung, dan dengan kekayaan budaya Sundalah, Islam akan tetap agung.


III
Agama ( termasuk Islam) adalah mencakup sistem kepercayaan (iman) yang diwujudkan dalam sistem perilaku sosial para pemeluknya. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, keagamaan yang bersifat subyektif, dapat diobyektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami.

Terdapat hubungan interdependensi yang terusmenerus antara agama dan masyarakat, dan terdapat pengaruh timbal balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok “keagamaan spesifik” yang baru atau pada norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal itu, faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaan dan sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.

Dengan demikian, dimensi esoterik dari sesuatu agama atau kepercayaan tertentu pada dasarnya tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana sesuatu keyakinan itu dimanifestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, di samping pada sisi yang berbeda, ia dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi disekitar kebudayaan para pemeluknya. Sebagi contoh, orang Sunda dalam beragama tidak terlalu menonjolkan formalisme agama, tetapi mereka lebih menyukai subtansi agama yang telah diwujudkan dalam kehidupan sehari hari dengan nama yang bukan agama. Selain itu, orang Sunda lebih fleksibel dalam mensikapi berbagai macam aliran keagamaan yang berkembang di lingkungannya. Sehingga mereka bisa menerima kehadiran berbagai kelompok kegamaan selama mereka tidak menyimpang terlalu jauh dari tradisi kesundaan.

Agama sangat berhubungan dengan persoalan mentalitas. Dalam mentalitas budaya Sunda mempunyai dua dimensi yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Di satu sisi mentalitas budaya yang bersumber dari cita-cita dan harapan orang Sunda sebagaimana yang tercermin dalam tradisi lisan yang beredar di kalangan masyarakat Sunda. dan di sisi lain mentalitas budaya itu sebagaimana yang dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Sunda dewasa ini.

Aspek yang pertama, mentalitas sebagai semangat budaya atau sistem nilai budaya, tergambar dari sejumlah kecenderungan masyarakat dalam memandang kehidupan, tentang tujuan dan harapan-harapan masyarakat. Di Sunda pandangan terhadap kehidupan ini tergambar dalam sistem nilai yang terungkap dalam “uga”. Sementara itu, mentalitas tergambar dalam pola interaksi sosial, bahasa, pola perilaku yang terkristalisasi dalam pantangan dan pamali.

Dalam tradisi masyarakat Sunda, kedua aspek ini teramu dalam suatu gambaran satu tokoh yang dikenal hampir di seluruh masyarakat Sunda, yaitu ceritera rakyat Sikabayan. Suatu tokoh yang menurut, Utuy Tatang Sontani sebagai manifestasi pribadi manusia yang sudah menemukan puncak kesehatan lahir bathin, yaitu pribadi yang sudah “ teu naon-naon ku naon-naon”. Sosok individu yang telah memiliki integritas diri yang telah tidak terpengaruh aspek-aspek luar, khususnya aspek duniawi. Si Kabayan dapat memandang kehidupan dunia ini sebagai “ Heuheuy jeung deudeuh” artinya kehidupan dunia ini adalah sendagurau dan kasih sayang. Hal tersebut cocok dengan ayat al-qur’an “ Innal hayata dunya laibun wa lahwun” dan hadits nabi “sayangilah yang ada di bumi nicaya engkau akan disayangi oleh zat yang ada di langit”. Selanjutnya, Utuy T. Sontani menjelaskan bahwa tokoh Si Kabayan merupakan manifestasi jiwa orang Sunda yang “cageur jeung bener” (sehat lahir bathin).

IV
Di era modern, gerakan modernisme, yang kadang lebih bernuansa westernis-me (kebarat-baratan) menggejala diseluruh pelosok dunia dan mempengaruhi bahkan mengubah struktur dan sistem nilai budaya lokal, termasuk sistem nilai agama dalam masyarakat Sunda. Secara radikal, sesungguhnya bukan hanya terjadi saat gerakan modernisme, akan tetapi terjadi sejak masa penguasaan Sunda oleh mataram. Masuknya Mataram ke tatar Sunda, ternyata bukan hanya terjadi proses Islamisasi, sebagai dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Djati (Cirebon), akan tetapi juga terjadi “jawanisasi” yang bernuansakan primodialisme. Sistem nilai budaya egalitarian, kesederhanaan (tradisi huma) dan spiritualisme masyarakat Sunda beralih pada sistem nilai “sawah” dan sistem nilai feodal. Hal ini tampaknya dan terasa sampai sekarang dengan munculnya fenomena kebahasaan. Undak-unduk bahasa Sunda sebelumnya tidak dikenal masyarakat Sunda (lihat struktur bahasa Sunda Banten, atau sejumlah struktur bahasa Sunda yang ditemukan didaerah-daerah tertentu). Undak-unduk bahasa yang kadang dijadikan indikasi kesopanan dan kelas sosial masyarakat ini, pada kenyataannya lebih menggambarkan kelas sosial yang bernuansa primodalistik.

Perubahan nilai budaya tersebut, diperkuat dan dilanjutkan oleh kolonialisme Belanda. Kultur Feodal mendapatkan legitimasi dan kekuasaan kolonial, karena kultur feodal lebih memudahkan proses penaklukan wilayah jajahan, koloni. Dan selanjutnya gerakan modernisasi yang merambah dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, telah semakin menjauhkan masyarakat Sunda dari akar budayanya. Distansi tersebut telah melemahkan kekuasaan spiritual-budaya masyarakat Sunda.

Karakteristik modernism yang rasionalistik, dan pragmatis (materialistik) telah semakin menjauhkan budaya Sunda pada mainstream, nilai-nilai primordial. Keadaan ini didukung oleh miskinnya artefak budaya masa lalu masyarakat Sunda, sebagai jejak merekatkan batinnnya pada masa lalunya. Sejarah masa lalu menjadi hanya tidak sekedar mitos atau legenda belaka. Mitologis sejarah budaya Sunda, telah meletakkan sejarah masa lalunya dengan paham Islam modern yang tidak pernah bisa berkompromi dengan pandangan-pandangan mitologis.

Tingkat akomodasi budaya Sunda terhadap ajaran Islam dan tingkat akomodasi terhadap bahasa Sunda mengalami kelemahan, bahkan mengalami keruntuhan. Pada akhirnya terjadi “gap” antara budayawan Sunda dengan para santrinya.

Namun demikian, ternyata, karakteristik masyarakat Sunda tidak memiliki kekuatan yang prima untuk berhadapan dengan kultur modernisme. Hal ini tergambar dari fenomena spiritualisme dikalangan masyarakat Sunda. Realitas seperti ini ditandai dengan menjamurnya kecenderungan masyarakat Sunda untuk masuk tarekat. Baik dari kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Bahkan fenomena ini pun ditemukan dari kalangan intelektual. Dengan demikian para aura primordial Sunda sesungguhnya masih berhembus kencang dikalangan masyarakat Sunda. Aura yang muncul dari pandangan cosmologies masyarakat Sunda yang feminist. Suatu pandangan kosmologis yang melahirkan dua kecenderungan bathini dalam masyarakat Sunda yaitu kecenderungan mutual struggle dan mutual id. Mutual struggle, merupakan suatu ethos yang muncul dari bawah sadar sistem nilai budaya dan individual masyarakat untuk berusaha senantiasa bertahan, mempertahankan integrasi individu dari tekanan-tekanan dari luar. Dan mutasi id, suatu pola pertahanan yang dikembangkan melalui kekuatan komunal, saling bantu dan tolong menolong. Komunitas dijadikan kekuatan dan dasar individu untuk bersandar dari gempuran sistem nilai budaya dan lingkungan fisik lainnya



DADANG KAHMAD,
Guru Besar Sosiologi Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dewan Pendiri Pusat Studi Sunda

Rasulullah saw

Kesalahpahaman Terhadap Rasulullah saw
Oleh AHMAD SAHIDIN

Alhamdulillah, pada Senin pagi kemarin (09/03/2009) menghadiri sebuah acara Maulid Nabi Muhammad saw di sebuah pertokoan Muslim di kawasan BKR Lingkar Selatan Bandung. Hari libur itu saya mendapatkan wawasan luar biasa mengenai sejarah Islam, khususnya pemahaman tentang Rasulullah saw, dari seorang ustadz muda lulusan dari Iran yang bernama Miftah Fauzi Rakhmat, Lc. Beliau adalah putra Jalaluddin Rakhmat, cendekiawan Muslim yang juga ahli komunikasi dan tasawuf, yang hadir menggantikan Ustadz Jalal yang seharusnya menjadi narasumber dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad saw saat itu. Namun, dikarenakan jadwal yang bentrok, akhirnya putranya sendiri yang menjadi penggantinya.

Saya lihat jamaah yang hadir tampak memenuhi ruangan lantai dua yang cukup luas. Ketika sang pembawa acara menyampaikan permohonan maaf karena Ustadz Jalal tak bisa hadir, saya lihat wajah-wajah para jamaah sedikit kecewa.

Ustadz Miftah memulai kajiannya dengan melemparkan tiga pertanyaan kepada jamaah. Setiap jamaah yang bisa menjawabnya mendapatkan buku Ustadz Jalal yang dibawanya, yang berjudul “Al-Musthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan”.

Pertanyaan pertama yang dilontarkannya adalah: di daerah manakah Rasulullah saw lahir? Sebutkan lima silsilah Nabi saw lima ke atas dan lima ke bawah? Dan siapa yang paling duluan datang ke majelis tersebut?

Jawaban yang ketiga diketahui melalui daftar hadir. Untuk jawaban pertama dan kedua tampaknya sangat sulit bagi jamaah yang hadir. Meski agak lama, tapi ternyata ada juga yang bisa menjawabnya. Yakni bahwa Rasulullah saw lahir di kaki gunung Qubaisyi, kampung Suqullail, Makkah. Kini rumah tempat kelahirannya itu menjadi perpustakaan umum yang tidak pernah dibuka. Perpustakaan tersebut, menurut Ustadz Miftah, setiap kali datang ke sana selalu dalam keadaan tutup. Kondisinya pun cukup memperihatinkan karena berada di belakang lokasi tempat kelahiran Rasulullah saw terdapat terminal yang kebersihannya tidak terjaga.

Menurut Ustadz Miftah, perhatian umat Islam—dalam hal ini diwakili pemerintah Arab Saudi—terhadap warisan sejarah, khususnya rumah tempat kelahiran Nabi saw sangat kurang. Berbeda dengan kaum Nasrani (Kristen) yang hingga kini lokasi tempat lahirnya Yesus Kristus atau Nabi Isa as di Bathlehem, sangat terpelihara dan dirawat dengan baik.

Jawaban yang kedua bahwa silsilah Nabi Muhammad saw ke atas adalah Ibnu Abdullah (wafat sebelum 571 Masehi), Ibnu Abdul Muthalib (500-580 Masehi), Ibnu Hasyim, Ibnu Abdul Manaf, Ibnu Qusayy, Ibnu Kilab, Ibnu Murrah, Ibnu Ka`ab, Ibnu Lu`ay, Ibnu Galib, Ibnu Fihr (Al-Quraisy), Ibnu Malik, Ibnu An-Nadr, Ibnu Kinanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mudrikah, Ibnu Ilyas, Ibnu Mudar, Ibnu Nizar, Ibnu Ma`add, Ibnu Adnan, Ibnu Udad, Ibnu Muqawwam, Ibnu Nahur, Ibnu Tairah, Ibnu Ya`rub, Ibnu Yasyjub, Ibnu Nabit, Ibnu Ismail, Ibnu Ibrahim, Ibnu Tarih (Azar), Ibnu Nahur, Ibnu Sarug, Ibnu Ra`u, Ibnu Falikh, Ibnu Aibar, Ibnu Syalikh, Ibnu Arfakhsyaz, Ibnu Sam, Ibnu Nuh, Ibnu Lamk, Ibnu Mattusyalakh, Ibnu Akhnukh (Idris), Ibnu Yard, Ibnu Mahlil, Ibnu Qainan, Ibnu Yanis, Ibnu Syith, Ibnu Adam (nabi pertama). Sedangkan silsilah Nabi Muhammad saw ke bawah adalah Fatimah Az-Zahra (wafat 632), Hasan Al-Mujtaba (625–669), Husain Asy-Syahidusyuhada (626–680), Ali Zainal Abidin (658–713), Muhammad Al-Baqir (676–743), Jafar Ash-Shadiq (703–765), Musa Al-Kazhim (745–799), Ali Ar-Ridha (765–818), Muhammad Al-Jawad (810–835), Ali Al-Hadi (827–868), Hasan Al-Askari (846–874), Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazhar yang mengalami kegaiban pada 874.

Menurut Ustadz Miftah, bagaimana bisa dikatakan mencintai Rasulullah saw jika tidak mengetahui semua yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw, termasuk keluarga dan tempat tanggal lahirnya. Mengenai lahirnya Nabi Muhammad saw ada dua versi: 12 Rabiul Awwal dan 17 Rabiul Awwal tahun Gajah.

Memang ada sebagian umat Islam yang memandang peringatan Maulid Nabi Muhammad saw sebagai perbuatan bid`ah. Tapi apabila ditelusuri dari dimensi hakikat, justru itu merupakan bentuk kecintaan atas lahirnya Rasulullah saw ke dunia ini. “Nikmat iman dan nikmat Islam itu secara lahiriah berasal dari Rasulullah saw,” katanya.

Ustadz Miftah juga mengulas tentang betapa banyak umat Islam yang salah paham dalam memahami Rasulullah saw. Salah satunya adalah tentang pernikahan dini Rasulullah saw dengan Aisyah binti Abu Bakar. Umat Islam hingga kini masih percaya bahwa Nabi menikahinya saat usia 6 atau 9 tahun. Yang benar adalah usia 17-19 an dan dicampuri pada usia 21 tahun. Juga tentang istri pertama Nabi saw, Khadijah, bahwa usianya tidak terlalu jauh dari usia Rasulullah saw dan bukan seorang janda.

Begitu pula tentang Nabi saw yang tidak bisa baca tulis. Menurutnya, kata “ummi” yang biasanya diartikan tidak bisa baca tulis adalah salah karena arti “ummi” di sana merujuk pada asal kota kelahirannya.

“Makkah pada masa itu disebut ummul qurra, dan orang-orang menyebut mereka yang berasal dari Makkah dengan sebutan ‘ummi’. Karena Rasulullah saw berasal dari Makkah, maka disebut ‘ummi’. Ini pendapat Dr.Muhammad Iqbal. Dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi saw juga banyak melakukan aktivitas perdagangan dan banyak mengutang. Dan dalam Al-Quran sendiri masalah utang atau perjanjian diperintahkan oleh Allah untuk menuliskannya. Seperti ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menulisnya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Allahnya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya dan lemah (keadaannya) atau ia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki atau seorang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu, (tulislah mu`amalah itu), kecuali mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu jual-beli. Dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarimu dan Allah mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Allahnya, dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS al-Baqarah [2]: 282-283). Bahkan, saat akan menghembuskan nafas terakhir Nabi saw meminta kertas dan pena. Bukankah Nabi saw itu sempurna. Sangat tidak mungkin manusia sempurna tidak mengerti urusan baca tulis,” tegasnya.

Mengenai riwayat Nabi Muhammad saw meminta kertas dan pena terdapat dalam hadits riwayat Muslim (book 013, number 4016): Ibn Abbas reported: When Allah’s Messenger (may peace be upon him) was about to leave this world, there were persons (around him) in his house, ‘Umar b. al-Khattab being one of them. Allah’s Apostle (may peace be upon him) said: Come, I may write for you a document; you would not go astray after that. Thereupon Umar said: Verily Allah’s Messenger (may peace be upon him) is deeply has lost his consciousness. You have the Qur’an with you. The Book of Allah is sufficient for us. Those who were present in the house differed. Some of them said: Bring him (the writing material) so that Allah’s Messenger (may peace be upon him) may write a document for you and you would never go astray after him And some among them said what ‘Umar had (already) said. When they indulged in nonsense and began to dispute in the presence of Allah’s Messenger (may peace be upon him), he said: Get up (and go away) ‘Ubaidullah said: Ibn Abbas used to say: There was a heavy loss, indeed a heavy loss, that, due to their dispute and noise. Allah’s Messenger (may peace be upon him) could not write (or dictate) the document for them. (lihat http://www.usc. edu/schools/ college/crcc/ engagement/ resources/ texts/muslim/ hadith/muslim/ 013.smt.html).

Hal lainnya yang dibahas adalah tentang perbedaan Ahlu Sunnah (Sunni) dan Ahlu Bait (Syiah), dan masalah kawin kontrak (muth`ah). Mengenai yang terakhir ini, Ustadz Miftah mengatakan, “Pernikahan di Indonesia yang resmi itu sebenarnya nikah kontrak atau muth`ah, karena setelah ijab-qabul ada pembacaan sighah talaq. Dan saya juga baca itu waktu nikah. Di Iran, nikah da`im dan muth`ah itu sama-sama dicatat. Bedanya, yang satu tidak menggunakan syarat dalam akad dan satunya lagi menggunakan syarat.”

Karena waktu sudah masuk dzuhur, walaupun banyak pertanyaan dari jamaah yang belum dijawab, akhirnya peringatan Maulid Nabi Muhammad saw yang mencerahkan itu berakhir. Dan, saya pun lantas pulang bersama istri tercinta. Subhanallah, liburan yang mencerahkan.

AHMAD SAHIDIN,
pekerja buku dan jamaah milis ikhwan-al-shafa</span>

Monday, March 16, 2009

Abu Zayd

Pencerahan dari Abu Zayd: Hermeneutika Bukan Sebuah Teori
Oleh TOLIB ROHMATILLAH

SEKADAR berbagi pengalaman, Prof. Nasr Hamid Abu Zayd dan kami,anggota IYL 3, membuat kesepakatan untuk mendapatkan course gratis darinya selama satu tahun terakhir ini tentang berbagai isu, baik itu sosial, politik, sejarah dan tentunya keahlian beliau dalam ilmu-ilmu Al-Quran.

Pertemuan pertama membahas isu tentang Al-Quran dan gagasan-gagasan beliau selama ini. Antusiasme beliau terhdap permintaan kami dikarenakan beliau merasa punya hubungan khusus dengan kawan-kawan di Indonesia, baik yang pro maupun kontra terhadap pemikirannya. Apalagi ada kasus saat beliau di demo atau ditentang kedatangannya saat ke Indonesia karena dianggap menyebarkan pemikiran yang berbahaya dan merusak keimanan dan keyakinan umat Islam.

Dari diskusi perdana itu saya mendapatkan beberapa point yang dapat dianggap sebagai
pencerahan. Beliau menerangkan bagaimana beliau tertarik kepada bidang studi
Al-Quran. Ini dimulai sejak beliau menempa ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia mengatakan bahwa ia mulai menekuni bidang ini setelah melakukan kajian dan
penelitian tentang interpretasi Al-Quran yang dilakukan oleh kaum Mu'tazilah untuk tesis masternya (S-2) dan dilanjutkan dengan riset untuk disertasi (S-3) beliau yang juga sama, namun kali ini dari sisi sufisme. Abu Zayd mengatakan, ia menggabungkan pendekatan rasional dari teologi Mu'tazilah dan spiritualitas dari kaum sufi. Ia mengatakan bahwa hermeneutika yang menjadi metodenya dalam kajian-kajian Al-Quran dan studi Islam hadir sepanjang hidup; karena hidup tidak mungkin bisa tanpa melakukan penafsiran (hermeneutik).

Menurutnya, hermeneutik dalam bahasa Arab padanannya adalah ta'wil, yang tentunya berbeda dengan tafsir. Ta'wil adalah interpretasi yang mendalam setelah tafsir. Tafsir adalah hanya tahap awal sebelum melangkah ke ta'wil. Menurut Abu Zayd, dalam Al-Quran sendiri kata tafsir hanya disebut satu kali saja, sementara kata ta'wil itu 17 kali. Ta'wil atau hermeneutika bukanlah teori, tapi sebuah cara bagaimana membaca tanda (ayat) dan untuk mengertinya itu hanya bisa dilakukan dengan metode hermeneutika; dan itu bisa dilakukan oleh kita setiap saat.

Abu Zayd juga menerangkan mengapa ta'wil ini ditolak oleh umat Islam. Dalam sejarahnya, ta'wil atau hemeneutik ini sebenarnya diterima dengan baik oleh umat Islam, bahkan apa yang kita sebut sebagai tafsir Ath-Thabari, sebenarnya judulnya bukan tafsir tapi ta'wil; karena ia menghasilkan karyanya beberapa tahun atau abad sebelum konsep ta'wil ini secara sosio-politis menjadi jelek hingga sekarang. Ini akibat konflik politik dan pendiskreditan dalam sejarah.

Beliau menyimpulkan, hermeneutika itu bukanlah sebuah teori belaka, tapi sebuah keniscayaan; karena kita dalam melakukan seluruh kehidupan melakukan interpretasi. Pada zaman klasik dan oleh para agamawan, hermeneutika dijadikan “alat” untuk membaca teks (agama) dan pada zaman modern ini berkembang atau digunakan pula untuk menafsirkan gambar atau lukisan, karya seni, sastra, dan sebagai pelengkap untuk disiplin ilmu humaniora dan lainnya.

TOLIB ROHMATILLAH,
alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Bandung dan kini sedang menempuh program Master di Belanda, serta jamaah milis ikhwan-al-shafa


Mutasi Meme

Melacak Mutasi-Mutasi Meme
Oleh ARMAHEDI MAHZAR

Budaya manusia tampaknya merupakan sistem yang paling kompleks di jagad raya ini. Itulah sebabnya, menurut kaum humaniora, kebudayaan tak bisa dirumuskan secara tuntas dengan menggunakan sains kuantitatif belaka. Munculnya fenomenologi, hermeneutika dan pos-strukturalisme di abad lalu, misalnya, merupakan upaya untuk memahami kompleksitas budaya itu secara rasional kualitatif. Ketiga pendekatan tersebut merupakan upaya-upaya mutakhir kaum humaniora untuk merasionalkan pemahaman mereka tentang budaya.
Namun demikian, para ilmuwan tetap saja mencoba mereduksi budaya sebagai gejala biologis berupa adaptasi organisme manusia terhadap lingkungannya. Hanya saja, mereka kesulitan untuk menjelaskan mengapa manusia beradaptasi melalui pengubahan lingkungan, yang kita kenal sebagai peradaban, yang berubah semakin lama semakin dipercepat. Padahal makhluk-makhluk biologis lain menyesuaikan dirinya secara morfologis, fisiologis dan etologis. Hal itu dilakukan mereka dengan cara melalui reproduksi genetik yang sangat lambat.
Untuk menanggulangi kesulitan tersebut, maka para antropolog mencari unit kebudayaan yang dapat digunakan untuk memahami budaya manusia secara khas. Banyak pengertian telah diajukan mereka selama satu setengah abad belakangan ini. Misalnya “tema,” “konfigurasi,” “kompleks,” dan “pola” telah diajukan pada tingkat organisasi budaya. Sementara itu pada tingkat yang lebih mendasar telah diajukan “gagasan,” “kepercayaan,” “nilai-nilai,” “aturan,” “prinsip-prinsip,” “lambang,” “konsep-konsep,” dan yang lain sejenisnya.
Sementara itu, di paruh abad lalu, banyak biolog yang mencoba mereduksi unit-unit budaya itu menjadi konfigurasi dari unit-unit prilaku hewani yang disebut naluri. Pendekatan ini disebut sebagai sosiobiologi. Jika ini memang benar maka pada akhirnya unit-unit budaya ini akan dapat diterangkan sebagai konfigurasi dari unit-unit informasi pada reproduksi biologis yang disebut gene. Dengan demikian, pada akhirnya, kebudayaan dapat dikatakan sebagai fenomena permukaan bagi fenomena biologis yang lebih dalam. Kebudayaan bukan lagi merupakan karya cipta bebas umat manusia.
Namun, tidak semua biolog bersepakat dalam hal ini. Setidak-tidaknya seorang biolog Inggris yang bernama Richard Dawkins sama sekali tidak setuju. Menurut dia evolusi budaya adalah baru dalam evolusi manusia. Evolusi budaya akhirnya membebaskan diri dari determinisme biogenetika. Soalnya, pada tingkat manusia, dalam perkembangan evolusi biologis mutakhir, justru muncul satu unit transmisi budaya yang baru. Unit itu disebutnya sebagai meme.

RICHARD DAWKINS: DARI GENE KE MEME
Dalam buku Richard Dawkins The Selfish Gene,[1] Bab 11 diberinya judul Memes: the new replicators. Asal-muasal konsep meme ini sendiri, sebenarnya, terletak pada kekecewaan Dawkins pada rekan-rekannya ahli biologi yang mencoba mereduksi perilaku budaya menjadi kepentingan-kepentingan biologis organisme manusia. Bagi Dawkins, untuk mempelajari evolusi peradaban manusia, kita harus mulai dengan membuang konsep gene sebagai satu-satunya penyebab evolusi manusia. Soalnya, menurut Dawkins, evolusi budaya manusia terlalu cepat untuk diterangkan dengan konsep gene. Oleh karena itu, diperlukan konsep baru yaitu “meme” yang merupakan analogi kultural bagi “gene” yang biologis. Istilah meme itu, menurut Dawkins, sengaja dicari agar bersajak dengan kata gene.
Seperti halnya gene, menurut Dawkins, meme adalah sebuah replikator yaitu makhluk yang memperbanyak diri. Jika gene diturunkan melalui reproduksi biologis, meme diturunkan melalui proses pembelajaran budaya yaitu peniruan. Meme sebagai unit transmisi kultural, seperti gene yang merupakan unit transmisi biologis, mengalami mutasi, kombinasi dan seleksi oleh lingkungan alam. Contoh-contoh yang diberikan Dawkins sebagai meme adalah lagu, gagasan, ucapan popular, mode busana, cara-cara membuat keramik dan membuat bangunan arsitektur. Semua unsur budaya ini, menurut Dawkins, terletak dalam otak manusia, seperti halnya gen dalam sel organisme. Konon, kata Dawkins, meme itu meloncat dari satu otak ke otak manusia lain melalui proses peniruan.
Dengan menggunakan analogi budaya dan biologi, maka Dawkins kemudian bisa menerapkan teori evolusi Darwin, dalam interpretasi ultra-darwinisme yang dianutnya, ke dalam evolusi budaya manusia. Dalam paham ultra-darwinisme, unit replikasi dalam evolusi bukanlah makhluk hidup atau organisme, melainkan gene yang ada pada kromosom suatu organisme. Dalam interpretasi ultra-darwinisme ini, organisme hanyalah merupakan wahana senjata bagi gene yang bersaing memperbanyak dirinya dalam gelanggang persaingan eksistensial evolusi kehidupan. Gene itu sendiri merupakan program-program yang membangun wahana-wahana senjata itu. Jadi, ultra-darwinisme telah menggeser pusat evolusi dari organisme ke gene, seperti yang dilakukan oleh Kopernikus yang menggeser pusat jagad raya dari bumi ke matahari.
Berdasarkan analogi ultra-darwinisme ini, maka semua karya budaya manusia dari seni hingga teknologi, dari pakaian hingga organisasi sosial, sebenarnya hanyalah merupakan senjata-senjata bagi meme untuk memperbanyak dirinya bersaing dengan meme yang lain. Proses perbanyakan diri atau replikasi meme tak lain tak bukan dari imitasi alias peniruan. Seperti halnya dalam biologi tidak semua gene dapat mereplikasi secara berhasil, begitu pula tak semua meme dapat berhasil memperbanyak dirinya. Inilah yang merupakan analog bagi seleksi alami dalam tataran kebudayaan.
Sementara itu, ada beberapa jenis meme, seperti halnya ada beberapa jenis gene, yang dalam jangka pendek dapat berkembang biak secara cepat namun cepat pula lenyap sehingga tidak menyumbang banyak dalam khazanah budaya atau kolam gene. Lagu-lagu pop adalah contoh-contoh budaya yang paling kita kenal. Jenis meme yang lain seperti misalnya tatacara peribadatan dan hukum-hukum agama, sebaliknya dapat menyebar dan bertahan sampai ribuan tahun. Tampaknya meme yang bisa bertahan jangka panjang bergabung secara kolektif membentuk suatu kompleks meme yang bereplikasi secara serentak. Kompleks meme inilah yang biasanya kita kenal sehari-hari sebagai ide yang bercokol dalam otak banyak manusia. Karena itu Dawkins menyebutnya sebagai “idea-meme”
Jika sejumlah gene yang membentuk taring, cakar dan alat-alat indra bergabung bersama berevolusi dalam kolam gene karnivora, sejumlah karakteristik yang selalu muncul bersamaan juga muncul dalam kolam gen herbivora. Apakah meme tentang tuhan menjadi bersekutu dengan meme khusus yang lain agar dapat bertahan hidup bersamaan? Barangkali kita dapat menganggap sebuah organisasi gereja beserta gaya arsitekturnya, dan juga ritus-ritusnya, musiknya, serta seni dan tradisi tertulisnya yang terkait merupakan kumpulan sejumlah meme yang koadaptif dan kooperatif. Dengan kata lain sebuah kompleks meme.
Richard Dawkins dalam bukunya itu membuat hipotesa bahwa kompleks meme adaptif berevolusi serupa dengan evolusi kompleks gene yang adaptif. Mereka mirip antara satu sama lainnya, tetapi mereka bebas satu dari yang lainnya. Evolusi meme dan evolusi gene bisa saling mendukung, tetapi juga saling bersaing. Jika gene memperebutkan ruang, maka meme memperebutkan waktu. Otak manusia beserta tubuh yang dikendalikannya hanya dapat berbuat satu atau sedikit pekerjaan secara bersamaan. Jika satu meme mendominasi sebuah otak, dia hanya bisa demikian jika menyingkirkan meme yang lain. Secara lebih luas meme budaya itu bersaing berebut waktu radio dan televisi, kolom koran dan ruang rak perpustakaan.
Inilah dua kalimat terakhir buku Dawkins yang menghebohkan itu
We are built as gene machines and cultured as meme machines, but we have the power to turn against our own creators. We, alone on earth, can rebel against the tyranny of the selfish replicators.[2]
Begitulah nasib diri manusia, menurut Dawkins, terpenjara dalam dua buah mesin, mesin informasi biologis dan mesin informasi sosiologis. Tapi apakah diri itu sebenarnya? Di mana diri itu berada? Sains tak dapat menemukannya. Akan tetapi filsuf Inggris Daniell Dennett justru menemukannya dalam kumpulan meme itu sendiri. Dia mencari jawabannya pada konsep mesin informasi Dawkins dan itu tak lain adalah komputer. Menurut Dennett, diri manusia adalah komputer virtual sekuensial yang bekerja dalam komputer paralel bernama otak manusia.

DANIEL DENNETT: DARI MEME JADI MEME-PLEX
Daniel Dennett adalah seorang filosof neo-darwinisme dari Inggris yang mempopulerkan konsep meme dari Dawkins dalam kedua bukunya Consciousness Explained[3] dan Darwin's Dangerous Idea[4]. Dalam buku yang disebut pertama, dia telah mendekonstruksi konsep kesadaran tunggal manusia yaitu substansi diri atau “aku” menjadi sekedar kumpulan meme yang beredar di dalam otak manusia. Menurut Dennett, secara provokatif, manusia dalah monyet yang otaknya kejangkitan banyak meme.
Kepribadian kita dengan segala kemampuan dan keunikannya, bagi Dennett, terbentuk karena permainan antar replikator. Berbeda dengan Dawkins yang mengatakan meme itu melompat dari satu otak ke otak yang lain, maka Dennett telah membuat meme pun bergerak dan berinteraksi dalam otak manusia sendiri. Maka meme berubah dari unit budaya menjadi unit psikologis. `Aku' manusia, bagi Dennett, adalah salah satu dari banyak kompleks meme yang saling menyesuaikan.
Dalam bukunya kedua, Dennett's mengajukan sebuah menara proses pembelajaran yang disebut sebagai menara pembuatan dan pengujian. Pada dasar menara itu ada proses adaptasi Darwinian dimana makhluk-makhluk biologis itu dibuat oleh seleksi alam lalu mati. Diatasnya ada proses Skinnerian di mana makhluk-makhluk hidup dapat belajar melalui coba dan salah sehingga dia bisa mcmbuang atau meneruskan kebiasaannya hingga dia bisa terus hidup.
Di atasnya lagi terdapat proses Popperian di mana makhluk-makhluk biologis itu dapat melakukan uji coba dalam khayalannya sehingga belajarnya menjadi lebih efektif. Puncak menara adalah proses Gregorian di mana makhluk-makhluk biologis itu bisa mengajarkan kepandaiannya pada yang lain sehingga tak semua organisme harus belajar dari mula. Setiap tingkat menara itu dibangun berdasarkan proses di bawahnya. Proses pembelajaran puncak itulah yang menjadi rumah bagi meme.
Menurut Dennett, mengikuti Dawkins, meme itu semacam virus, yaitu virus pikiran. Menurut Dawkins mem budaya dapat dipandang sebagai parasit. Sebagai parasit mereka lebih mirip dengan virus yang sederhana ketimbang cacing. Pada dasarnya sebuah virus adalah sebuah untai DNA atau RNA dengan kecenderungan tertentu. Begitu juga meme adalah paket informasi yang mempunyai kecenderungan tertentu berupa semua kebiasaan dan pepakaian manusia, baik estetik maupun teknik, sebagai analog budaya bagi fenotipe organisme.
Jadi analogi dengan biologi, meme dapat dianggap sebagai parasit budaya yang menguasai organisme untuk kepentingan replikatifnya. Namun kita harus kita ingat bahwa ada tiga jenis bentuk simbiosa di mana simbiosa parasitis hanyalah salah satunya. Kedua bentuk simbiosa yang lain adalah simbiosa komensalis, di mana kehadiran simbion tamu tidak mengganggu tuan rumahnya, dan simbiosa mutualistis, di mana para simbion justru meningkatkan kebugaran baik tamu maupun tuan rumahnya. Jadi meme merupakan simbion secara umum. Dan dalam satu tuan bisa terdapat sejumlah meme membentuk kompleks mem koadaptif yang disebut Dennett sebagai meme-plex.

SUSAN BLACKMORE: DARI MEME-PLEX KE SELF-PLEX
Susan Blackmore adalah seorang psikolog, dari Universitas West of England di Bristol Inggris, yang menggunakan kata-majemuk baru dari Dawkins The Meme Machine. Dalam bukunya itu dia mencatat ada dua buah definisi meme.
First, Dawkins, who coined the term meme, described memes as units of cultural transmission which "propagate themselves in the meme pool by ... a process which, in the broad sense, can be called imitation" (Dawkins, 1976 p 192). Second, the Oxford English Dictionary defines a meme as follows: "meme (mi:m), n. Biol. (shortened from mimeme ... that which is imitated, after GENE n.). An element of a culture that may be considered to be passed on by non-genetic means, esp. imitation".[5]
Menurut Blackmore ada 3 macam jenis proses pembelajaran: individual, sosial dan kultural. Yang dimaksud dengan pembelajaran individual ialah belajar yang langsung menyesuaikan dengan lingkungan, seperti pengkondisian klasik Pavlov dan pengkondisian operan Skinner. Pembelajaran sosial adalah proses belajar yang dibantu oleh orang lain. Proses ketiga adalah proses pembelajaran kultural yang memerlukan kemampuan meniru. Ada tiga macam pembelajaran kultural: (1) yang meniru perbuatan secara langsung, (2) yang diajarkan melalui kata-kata dan (3) yang membutuhkan kerjasama antar pribadi. Pembelajaran kultural inilah yang merupakan metoda transmisi meme dari satu otak ke otak yang lain.
Tempat hunian meme adalah otak manusia. Otak manusia itu walaupun beratnya hanya 2% dari seluruh tubuh manusia, namun ia menggunakan 20% dari seluruh energi yang dimiliki tubuh. Berbeda dengan struktur DNA yang spiral sebagai penyimpan informasi genetik, di dalam otak tak terdapat molekul-molekul khusus yang menyimpan informasi. Berbagai neurolog telah sia-sia mencari struktur selular atau molekuler yang setara dengan gen dalam otak manusia. Namun, kemungkinan besar penyimpanan informasi itu dalam konfigurasi jaringan sel-sel saraf di dalam otak yang bernama neuron.
Neuron-neuron itu dalam sejarahnya dibantu oleh media penyimpanan informasi di luar tubuh manusia. Mulai dari lukisan dinding di gua, lembar-lembar papyrus, buku-buku, pita rekaman dan kini berupa disket atau CD dan DVD. Begitu juga mereka kini tidak saja dihubungkan satu sama lain dalam diri manusia, tetapi juga dengan neuron-neuron di luar diri manusia yang berjauhan melalui berbagai media telekomunikasi massa, mulai dari telegraf, telepon, mesin faksimil, radio, televisi hingga kini internet. Maka lalu lintas mem antar manusia pun semakin lama semakin cepat.
Seperti Dawkins dan Dennett, Blackmore menganggap sains, filsafat, seni dan bentuk-bentuk budaya lainnya sebagai kompleks meme atau meme-plex. Begitu juga agama. Bagi mereka agama adalah suatu meme-plex yang salah dan sains adalah meme-plex yang benar. Tampaknya mereka tak bisa menjadi Darwinian total karena masih menggunakan nilai-nilai benar atau salah untuk menilai suatu meme atau meme-plex. Padahal meme, seperti gene, tak mengenal kata benar atau salah, indah atau buruk dan baik atau buruk. Dia adalah suatu yang netral.
Memetics atau memetika bagi Blackmore adalah sebuah cabang sains untuk mempelajari kebudayaan dengan wawasan evolusi Darwin tanpa menekankan gene ataupun individu organisme. Neo-darwinisme telah memaknai evolusi biologis secara revolusioner dengan membalik cara berpikir Darwin yang menekankan individu sebagai subyek menggantikannya dengan gene, maka ultra-darwinisme para pendukung teori meme mencoba membalik studi kebudayaan dari studi kreativitas diri-pribadi manusia dengan cara menggantikannya studi tentang meme. Soalnya, bagi Blackmore, diri manusia tak lain dari kompleks meme koadaptif yang disebutnya sebagai self-plex.
Inilah dua kalimat terakhir Blackmore dalam artikelnya dalam majalah Sceptics.
In the past hundred years we have successfully thrown off the illusion that a God is needed to understand the design of our bodies. Perhaps in the next millenium we can throw off the illusion that conscious agents are needed to understand the design of our minds. [6]
Apakah harapan Blackmore akan menjadi kenyataan? Tampaknya, “meme” itu sendiri adalah sebuah meme yang seperti halnya sebuah gen terus mengalami mutasi.
Blackmore telah memutasi meme dari Dennett yang merupakan hasil mutasi meme dari Dawkins. Blackmore mencoba membuat meme menjadi konsep ilmiah setelah mengalami ideologisasi di tangan Dennett. Tapi ilmu dan ideologi adalah cabang-cabang peradaban seperti halnya juga seni. Itulah sebabnya mutasi berikutnya adalah mengangkat sejenis meme lebih tinggi dari meme yang lain. Jenis itu adalah meme yang mengatur produksi dan reproduksi meme lainnya. Jenis itu adalah VMEME singkatan dari “values meme” seperti yang diajukan oleh Don Beck dan Chris Cowan dari Amerika Serikat dalam teorinya Dinamika Spiral.

DON BECK: DARI SELF-PLEX KE V MEME
Don Beck dan Chris Cowan adalah penulis buku Spiral Dynamics: Mastering Values, Leadership, and Change. [7] Konon metodanya digunakan untuk rekonsiliasi nasional Afrika Selatan pasca apartheid. Menurut Beck, VMEME adalah komplemen bagi meme. Sebenarnya, jika meme adalah unit jiwa-jiwa individu menurut psikolog Inggris Susan Blackmore, maka bagi psikolog Amerika Serikat Mihaly Csikszentmihalyi penulis buku The Evolving Self [8], meme adalah unit informasi bagi jiwa-jiwa kolektif.
Dan bagi Don Beck, jika kolektivitas itu sangat besar, yaitu peradaban, maka unit informasi peradaban adalah VMEME. Jika mem Dawkins itu mirip partikel, maka vMEM Don Beck itu mirip sebuah gelombang. VMEME, menurut Beck, adalah prinsip-prinsip organisasi yang bertindak sebagai atraktor bagi meme. VMEME yang besar itu adalah asam amino bagi "DNA" psikososial yang merupakan gaya tarik magnetik yang menyatukan meme lain menjadi suatu paket-paket gagasan yang terpadu. Jika meme membentuk perilaku kita, maka VMEME menyandikan perintah-perintah untuk pandangan hidup kita berupa asumsi-asumsi tentang bagaimana segala sesuatu bekerja dan merupakan alasan-alasan bagi putusan-putusan yang kita ambil. VMEME membentuk sikap-sikap dasar hidup kita. Beck mencatat adanya delapan buah VMEME yang bersaing dan mendominasi sejarah peradaban manusia dan dia memberikan kode warna bagi kedelapan VMEME tersebut yaitu, beige, ungu, merah, biru, jingga, hijau, kuning dan torquoise. Menurut Beck urutan warna tersebut bersesuaian dengan urutan kronologis di mana VMEME yang dikodekan itu menjadi dominan. Lima vMEME telah mewarnai sejarah peradaban selama ini yang berujung pada peradaban industrial ilmiah korporatif yang ditandai dengan warna jingga.
Kedelapan VMEME itu bersesuaian dengan delapan keadaan eksistensial atau diri, atau self-pleks menurut terminology Blackmore, yang diajukan oleh gurunya, yaitu Clare Graves. Bagi Graves kedelapan diri itu adalah diri hewani, diri dependen, diri egosentris, diri bertujuan, diri pragmatis, diri sosiosentris, diri interdependensi dan diri eksperiensial. Kedelapan jenis self-plex itu menurut Beck bersesuaian dengan delapan struktur politik, sesuai dengan delapan VMEME, yang secara bergiliran telah dan akan mendominasi peradaban manusia yaitu: (1) keluarga, (2) paguyuban suku, (3) kerajaan kota, (4) kerajaan bangsa feodalistik dan (5) negara kebangsaan korporatif, di masa lalu, dan (6) komunitas nilai transnasional, (7) struktur sistemik global dan (8) struktur holistik planeter, di masa depan. Perkembangan ini menurut Beck bergerak secara spiral, di mana kini kita sedang menuju tingkat ketujuh sebagai pengulangan tingkat pertama yang individual pada skala peradaban global.
Belakangan, Beck bergabung dengan Ken Wilber dan sejumlah ilmuwan lainnya dalam Integral Institute[9] yang mempromosikan wawasan empat kuadran delapan jenjang versi integralisme universal Wilber.[10] Menurut Wilber, realitas itu adalah sebuah keutuhan yang berjenjang, yang disebutnya holarki, dan setiap jenjangnya, yang disebutnya holon, mempunyai empat aspek yaitu: aspek subyektif, aspek obyektif, aspek interobyektif dan aspek intersubyektif. Keempat aspek itu bersesuaian dengan jiwa, badan, masyarakat dan budaya yang masing-masingnya dipelajari oleh psikologi individual, sains natural, sosiologi sistemik dan humaniora kultural. Apa yang dipelajari oleh Beck sebenarnya hanyalah satu kuadran saja yang mencerminkan budaya yang bersifat intersubyektif, karena itu harus diintegrasikan dengan tiga kuadran lainnya secara integral.
Begitulah, wawasan gene sebagai atom-atom informasi yang memprogram proses tubuh biologis telah mengilhami lahirnya konsep ”meme” sebagai atom-atom informasi yang memprogram prilaku dan kesadaran individual manusia. Namun wawasan ”meme” akhirnya bermutasi menjadi konsep ”VMEME” sebagai atom-atom nilai yang memprogram budaya dan peradaban manusia secara kolektif.
Kalau kita menafsirkannya dengan model empat kuadran Wilber, maka dapat dikatakan bahwa meme merupakan pelengkap subyektif bagi gene yang obyektif dan vMEME itu adalah pelengkap intersubyektif bagi meme yang merupakan atom-atom subyektivitas. Maka, oleh karenanya, tak mengherankanlah jika ada orang yang bergerak untuk memutasinya dengan konsep meme yang subyektif itu menjadi meme yang interobyektif. Orang itu adalah seorang paleopsikolog dari Amerika Serikat bernama Howard Bloom.

HOWARD BLOOM: DARI VMEME KULTURAL KE MEME UNIVERSAL
Kalau VMEME itu adalah meme memprogram peradaban kolektif manusia, maka Howard Bloom menganggap bahwa bukan hanya pada masyarakat manusia meme itu bekerja. Baginya meme itu telah ada sejak organisme mempunyai neuron. Keinginan dan prilaku meniru bukan hanya ada pada manusia, namun juga pada hewan-hewan. Bahkan jika meniru adalah hal khusus dari sinkronisasi bagian-bagian yang serupa, maka meme itu mungkin bermula pada makhluk-makhluk satu sel, bahkan mungkin pada partikel-partikel elementer non-biologis di awal kelahiran jagat-raya belasan milyar tahun yang lalu. Itulah sebabnya, dia menulis buku tentang itu: The Global Brain: the Evolution of the Mass Mind from the Big Bang to the 21st Century. [11]
Dalam bukunya itu, Bloom yang mendukung darwinisme itu bahkan memperluas darwinisme menjadi sejenis super-darwinisme yang menekankan bahwa seleksi alam bukan hanya pada tataran gene ataupun organisme, tetapi juga pada kumpulan multi-organisme atau masyarakat, yang menurut dia, membentuk sebuah superorganisme. Dan menurut dia meme bagi superorganisme itu setara dengan gene bagi organisme. Bahkan, menurut dia, superorganisme itu merupakan sebuah komputer yang sangat dahsyat melebihi sebuah superkomputer buatan manusia. Itulah yang ditulisnya dalam makalah ilmiah Beyond The Supercomputer: Social Groups as Self-Invention Machines[12] yang merupakan cikal bakal bagi bukunya The Global Brain.
Yang menakjubkan, bagi Bloom, kelompok-kelompok sosial itu, bukan bermula pada tataran biologis, tetapi bermula pada kumpulan proton, yang terbentuk berdasarkan dua prinsip yang saling bertentangan yaitu produksi massa dan destruksi massa. Prinsip Destruktif yang disebut Bloom sebagai Prinsip Lucifer alias Asas Iblis merupakan pasangan komplementer bagi Prinsip Kreatif di jagad raya yang mungkin bagi sebagian orang akan disebut sebagai Prinsip Kreator alias Asas Tuhan. Evolusi jagatraya menunjukkan bahwa lahirnya kelompok-kelompok sosial yang besar bersamaan dengan matinya kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil. Ini bukan hanya berlaku pada tataran biologis, tetapi juga pada tataran pra-biologis seperti lahirnya galaksi-galaksi raksasa di mana yang besar memakan yang kecil.
Kreativitas berbasis dektruktivitas berlanjut ke tataran biologis dengan prinsip simbiosa dan kompetisi, dan seterusnya berlanjut pada tataran kultural melalui persekutuan dan peperangan antar kelompok yang terus berlanjut hingga sekarang. Tak mengherankan jika Richard Dawkins menganggap organisme sebagai wahana perang bagi gene dan organisasi sosial budaya sebagai wahana perang bagi meme, belakangan pengikut Don Beck melihat peradaban sebagai wahana perang bagi VMEME.[13] Dan kita, konon, sedang berada dalam perang besar antara peradaban Barat dengan peradaban Islam yang selalu ditutup-tutupi, artinya selalu dibantah, tetapi selalu dipertontonkan secara terbuka oleh media massa.
Dan lucunya, kita tak sadar bahwa media massa itu adalah wahana yang mengungkapkan kedua prinsip itu secara blak-blakan. Kalau dilihat pada tataran biologis, kedua prinsip universal itu tak lain dari seks dan kekerasan. Kalau dilihat pada tataran sosiologis, tak lain dari koalisi dan perang. Howard Bloom sendiri dalam bukunya yang pertama yaitu The Lucifer Principle: A Scientific Expedition into the Forces of History[14] salah satu babnya justru mewanti-wanti tentang terorisme Islam lebih setahun sebelum peristiwa runtuhnya menara kembar di kota pusat dagang buana yang dipertontonkan di layar kaca di rumah-rumah seluruh dunia sebagai bukti bagi terorisme Islam. Bahkan, bab itu sekarang juga ditayangkan di internet sebagai bagian dari Perang vMEME Global.[15]

KESIMPULAN
Tampaknya Darwinisme telah diangkat menjadi sebuah paradigma keilmuan global yang sekaligus ditawarkan sebagai supra-ideologi paradigmatik peradaban dunia melalui sebuah peperangan multi-frontal untuk merebut jiwa kita masing-masing. Mungkin saja, Charles Darwin tak pernah bermimpi bagaimana teorinya akan menjadi sedemikian luas, namun kita, di abad ke-21 ini, justru melihat bahwa ideologi Darwinisme justru di lawan oleh ideologi Anti-Darwinisme di berbagai kalangan agama seperti kaum Kreasionis di kalangan Kristen fundamentalis dan kelompok Harun Yahya di kalangan umat Islam. Mereka melawannya dengan mengatakan bahwa memang kita di abad ke-21 ini sedang menghadapi Perang Dunia Ketiga, yang tak dideklarasikan, yang bersifat aneka tataran dengan media komunikasi dan informasi modern sebagai senjata.
Namun, tentunya, tidak semua kita terpancing untuk melakukan kekerasan pikiran seperti itu, karena evolusi sebenarnya tak lain dari proses sinambung penciptaan jagad raya, yang dalam tasawuf Islam disebut sebagai tanazzul dan dalam tradisi mistik lain disebut involusi atau emanasi alias pelimpahan. Jika involusi bekerja dari atas ke bawah, atau top down, evolusi bergerak dari bawah ke atas atau bottom up. Proses evolusi adalah manifestasi proses kreatif dimana nilai-nilai transendental merasuki materi secara bertahap melalui penggabungan-penggabungan yang mencerminkan Kasih Sayang atau Cinta. Peperangan, konflik dan kompetisi hanyalah merupakan gesekan yang diperlukan untuk naik ke dunia luhur nilai-nilai.
Perkembangan sejarah sains modern menunjukkan hal itu. Mula-mula, ditemukan atom sebagai unit-unit materi. Kemudian, ditemukan pula sel sebagai unit-unit kehidupan energetik terkecil. Lalu, ditemukan gene dan meme sebagai unit-unit informasi kehidupan dan kesadaran terkecil. Selanjutnya, ditemukan pula VMEME sebagai meme nilai atau keyakinan peradaban manusia. Akhirnya ditemukanlah bahwa VMEME superorganisme peradaban ini harus diperluas meliputi MEME universal berupa prinsip-prinsip yang mendasari evolusi semesta. Asas Destruktivitas dan Asas Kreativitas, seperti yang diajukan Howard Bloom, dalam teori evolusi semestanya sebenarnya hanyalah merupakan nama lain dari KuasaNya dan CintaNya.
Sains dan teknologi adalah manifestasi dari KuasaNya dan Seni adalah manifestasi CintaNya dan KreativitasNya. Sebenarnya, kita bukan menghadapi perang meme atau VMEME yang kecil, tetapi kita sedang menghadapi perjuangan spiritual yang lebih besar di mana kehidupan harus dikuasai oleh kesadaran dan kesadaran harus dikuasai oleh keyakinan akan KuasaNya dan CintaNya. Hanya dengan demikian lah perdamaian di muka bumi dapat ditumbuhkan dan tugas seniman adalah mengekspresikan kreativitasNya melalui karya-karya ciptaannya yang mendukung proses perdamaian semesta itu. Semoga memang demikianlah adanya.

ARMAHEDI MAHZAR,
Dosen Fisika dan Filsafat ITB

[1] Richard Dawkins, The Selfish Gene, Oxford University Press (Oxford 1976)
[2] Bab 11 buku Dawkins The Selfish Gene dapat diperoleh di http://www.rubinghscience.org/memetics/dawkinsmemes.html
[3] Daniel Dennett, Consciousness Explained, Little, Brown (Boston 1991)
[4] Daniel Dennett, Darwin's Dangerous Idea, Simon & Schuster (NewYork 1995)
[5] Susan Blackmore, The Meme Machine, Oxford University Press (Oxford 1999)
[6] Susan Blackmore, The Power of the Meme Meme dalam majalah Skeptic Juni 1997, Vol 5, #2, hal 43--49
[7] Don Edward Beck, Christopher Cowan, Spiral Dynamics, Blackwell Publisher (Oxford. 1996)
[8] Mihaly Csikszentmihalyi , The Evolving Self , HarperCollins, l993
[9] http://www.integralinstitute.org
[10] http://wilber.shambala.com
[11] Howard Bloom, The Global Brain, Wiley (2000)
[12] Artikel Howard Bloom dalam Research in Biopolitics, Volume 6, 1998. Sociobiology and Biopolitics.editor Albert Somit dan Steven A Peterson. Greenwich, CT: JAI Press Inc., 1998: 43-64. dapat diperoleh di internet di http://howardbloom.net/Beyond_The_Supercomputer.htm
[13] Ray Harris, v-Memes at War di http://www.swin.edu.au/afi/Harris%20-%20memes%20at%20War.pdf
[14] Howard Bloom, The Lucifer Principle, Atlantic Monthly Press (1997)
[15] http://howardbloom.net/islam.htm

Sunday, March 15, 2009

Masyarakat

Masyarakat “Instan”
Prof.Dr.H.Afif Muhammad,M.A

Masyarakat kita sekarang ini adalah masyarakat “instan”, dan agama [Islam] yang dianutnya adalah agama publik yang tidak perlu pendalaman. Jika mereka menghadapi suatu masalah, mereka tidak butuh dalil-dalil filosofis, argumen-argumen dari pendapat para ulama, atau kutipan dari kitab-kitab tebal mau pun tipis. Bahkan tidak butuh ayat Al-Quran dan hadits. Mereka hanya perlu sandaran otoritas saja.

Kira-kita 15 tahun yang lalu (!) saya membaca di rubrik tanya-jawab yang diasuh oleh Ustadz Quraish Shihab di sepanjang bulan Ramadhan di harian REPUBLIKA, pertanyaan dari seorang pembaca seperti ini (dia menggunakan bahasa Betawi, yang saya kutip dari ingatan saya. Mudah-mudahan saya tidak keliru):

“Ustadz, sekarang bulan puase. Tetapi ane baru saje nikeh. Isteri ane boto. Ane suka-suka tidak kuat ngeliat dia. Karena itu, ane suka peluk-peluk dan cium-cium die. Pertanyaan ane: apakah puasa ane batal?”

Jawaban Ustadz Quraish sungguh luar biasa. Hanya empat kata, tanpa referensi, tanpa ayat al-Qur’an, tanpa hadits: “Puasa ente tidak batal” (!).

Lantas, apakah orang itu yakin akan kebenaran jawaban Ustadz Quraish, dan mengamalkannya? Saya yakin dia percaya, dan mengamalkannya. Mengapa? Karena “yang mengatakannya Ustadz Quraish” (!).
Itulah yang dibutuhkan masyarakat kita. Sandaran otoritatif.

Pada kali lain, saya ngobrol-ngorol dengan salah seorang sahabat saya yang sering dipanggil “Ustadz” oleh banyak orang. Ustadz yang sahabat saya ini bercerita kepada saya bahwa dia sering menerima pertanyaan dari banyak orang lewat sms hp-nya. Sekali waktu masuk pertanyaan berikut:

“Ustadz, bagaimana hukum suami-isteri nonton video porno?” Ustadz itu menjawab dengan satu kata (sekali lagi “satu kata”): Boleh. Tahu Anda, apa respons sang penanya? Ini: Syukron!

Itulah masyarakat kita. Masyarakat yang tidak butuh ayat-ayat Al-Quran atau hadits untuk menjawab persoalan yang mereka hadapi. Yang mereka butuhkan hanyalah sandaran otoritas.

Ketika susu Dancow diisukan mengandung lemak babi, masyarakat sempat dibuat geger, dan Anda bisa bayangkan paniknya pemilik pabrik. Bisa bangkrut! Tetapi sang pemilik pabrik sepertinya mengerti betul “psikologi” hukum masyarakat Indonesia. Cepet-cepet dia mengundang salah seorang Kiai besar pimpinan MUI pusat. Kepada Pak Kiai dijelaskan ingredient susu Dancow untuk meyakinkan bahwa susu tersebut tidak mengandung unsur haram. Lalu, di bawah sorotan kamera berbagai stasiun teve yang dipancarkan ke seluruh Indonesia, Pak Kiai dimohon meminum susu Dancow. Besoknya, susu Dancow halal!

Prof.Dr.H.Afif Muhammad,M.A,
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

(naskah ini ditulis ulang oleh Ahsa dari diskusi di milis: ikhwanusshafa@yahoogroups.com)

Friday, March 13, 2009

Kreatif

Mewujudkan Jabar Kreatif
Oleh IU RUSLIANA

KRISIS global terus menelan korban. Bangkrutnya beberapa korporasi, ketatnya pengucuran kredit perbankan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan yang lainnya terus terjadi. Korporasi besar yang masih bertahan tampaknya akan berhati-hati dalam berekspansi. Pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2009 adalah angka yang paling realistis.

Kini hanya ada beberapa pelaku dan sektor industri yang bisa diharapkan bakal menjadi kekuatan penggerak ekonomi, yaitu pemerintah dan partai politik. Pemerintah dengan anggaran belanja tahun 2009, seribu triliun rupiah lebih harus menjadi stimulus ekonomi. Termasuk kebijakan menggenjot kredit perumahan kelas menengah ke bawah dan kredit motor serta menurunkan harga BBM (premium dan solar) ke Rp 4.500,00 per 15 Januari 2009 adalah salah satu kebijakan penting. Demikian juga partai politik, kampanye yang besar-besaran dengan dana triliunan rupiah diyakini akan menggerakkan ekonomi nasional yang tengah terpuruk.

Harapan itu ada, namun apakah akan selamanya begini? Adakah potensi besar yang harusnya disyukuri dan menjadi penopang menuju kemandirian ekonomi? Pada konteks Jawa Barat, misalnya, beberapa industri diperkirakan segera melakukan PHK, karena dampak krisis, menyusul menurunnya order dari pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dengan jumlah pengangguran yang bakal meningkat, apakah program padat karya yang sifatnya insidental saja yang bisa diandalkan? Bukankah sebaiknya dana bantuan sosial ekonomi yang disalurkan bisa menggerakan ekonomi berbasis masyarakat lokal.

Ekonomi kreatif
Sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam dan keragaman budaya, kita harus menyadari potensi ekonomi yang berasal dari gagasan kreatif masyarakat. Masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Jawa Barat, telah menyatukan diri dengan budaya dan alam sehingga melahirkan pelbagai produk yang unik dan kreatif. Industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75% dari Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar 7,3% per tahun, melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 5,6%. (Bisnis Indonesia, 24/10/2007).

Menurut Agung Bawantara (2008), di negara maju Inggris, industri kreatif digenjot untuk menggerakkan perekonomian negara. Hebatnya, sumbangan industri kreatif di negeri ini mencapai 8,7 persen yang melampaui pendapatan Inggris dari sektor industri manufaktur. Di Korea, geliat industri kreatif mengalami pertumbuhan sekitar 20 persen per tahun dan berada pada posisi kedua setelah industri finansial.

Maka pemerintah Indonesia, dalam menunjang keajekan industri kreatif, pada 2006 meluncurkan Indonesian Design Power 2006-2010. Ini dilakukan untuk menggenjot industri kreatif sehingga mampu memberikan pendapatan negara sebesar 10 persen pada 2016. Melihat potensi negara ini, dengan kekayaan budaya dan alam, optimisme mewujudkan program itu bukan isapan jempol. Tentunya dengan memperhatikan pranata pendukung yang dapat mewujudkan cita-cita 10 persen pada tahun 2016.

Pranata yang mesti diperhatikan dalam mengembangkan industri kreatif mulai dari masyarakat lokal, institusi formal (pemerintah), lembaga pendidikan, agen, studio, toko, sampai pada keberadaan komunitas dan institusi. Aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan kreativitas, mulai dari proses sampai pemanfaatan sarana informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi kreatif, sisi teknologi, dan prospek bisnis adalah komoditas yang harus mulai digarap serius.

Jabar kreatif
Untuk konteks Jawa Barat, potensi ekonomi kreatif telah ada namun perlu kebijakan khusus untuk mengembangkannya. Misalnya, industri kreatif di Kota Bandung, sebagai kota yang dihuni 60 persen kalangan muda di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya perguruan tinggi, industri kreatif tumbuh pesat. Hal ini merupakan potensi besar bagi perkembangan industri kreatif di Jawa Barat. Apalagi sektor industri kreatif menyumbang 7,8 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jabar. (www.tempointeraktif.com).

Penting kiranya mendorong kemampuan masyarakat (individu) agar mampu berkreasi dan menjadi bagian dari sektor industri kreatif. Maka, hal yang penting diperhatikan untuk mendorong tumbuhnya budaya kreatif. Pertama, pemanfaatan internet dan saluran informasi (information tool) untuk dapat memetik dan mempelajari kreativitas dunia. Kedua, menciptakan pasar domestik dan pasar ekspor yang menyerap berbagai produk kreatif ini. Ketiga, dengan cara menggandeng komunitas kreatif.

Kita tidak bisa berharap kepada APBD dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2009 yang mencapai Rp 23,969 triliun. Itu hanya stimulus. Jawa Barat punya potensi ekonomi kreatif yang besar dan unik. Unik karena tiap daerah punya ciri khas dan terbukti menjadi penggerak ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Tahu cibuntu, tahu sumedang, ubi cilembu, tas dan sepatu Cibaduyut, kerajinan rotan Cirebon, kerajinan kulit Garut, dodol garut, factory outlet Kota Bandung, dan sederet potensi ekonomi kreatif yang tak tertandingi dan telah melakukan kegiatan ekspor. Industri ini tak pernah mati karena menjadi bagian dari budaya masyarakat. Namun, tak bisa tumbuh pesat karena belum ada sentuhan serius dari pemerintah.

Pemerintah daerah tidak perlu mencari-cari ke luar daerah apalagi ke luar negeri. Kita telah punya potensi, tinggal dikembangkan dan dikelola dengan baik. ITB, IPB, UIN Bandung, UPI, dan kampus terkemuka lain ada di Jawa Barat. Mengapa tidak, industri kreatif berbasis teknologi dikembangkan melalui kerja sama pemerintah daerah dengan kalangan akademik. Sinergi stakeholder; pemerintah, komunitas kreatif, dunia usaha, kampus, dan masyarakat lokal menjadi penting dilakukan untuk membangun industri kreatif ini.

Ke depan, konsep one village one product (OVOP) bisa dikembangkan, bukan hanya berorientasi pada pasar domestik, tapi juga pasar dunia. Ini soal political will dan merupakan bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Jika ini dikelola dengan serius dan sinergi antar-stakeholder tercipta dengan baik, bukan mustahil jika toko sepatu Cibaduyut menjamur di Eropa dan dodol garut jadi menu orang Asia. Wallahu`alam.***

Penulis, mahasiswa Program S-2 Ekonomi Keuangan Syariah Universitas Indonesia (UI) dan pengajar pada Fakultas Ushuluddin UIN Bandung.

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=59756


Menulis

Menulis Buku Itu Hanya Soal Taktis!
Oleh AHMAD SAHIDIN

SABTU (7/03/2009) pekan kemarin saya beruntung dikutsertakan menjadi peserta dalam training “Taktis Menulis Buku” yang diselenggarakan oleh Trim Communication di salah satu hotel ternama di Bandung. Pesertanya dari beragam profesi yang hadir, dimulai dari mahasiswa, editor, pengajar, karyawan Disnaker, karyawan Takaful, presenter TV dan juga seorang ibu sepuh mantan dosen. Jika tidak salah hitung, ada sekitar 15 peserta yang masiung-masing berasal dari Bandung, Jakarta, dan Solo.

Training yang berlangsung dari jam 09.00 hingga sore ini dipandu langsung oleh Bambang Trim. Siapa yang tak kenal Bambang Trim? Mereka yang berkecimpung dalam dunia kepenulisan dan penerbitan (editing) pasti mengenalnya.

Dari training itu saya mendapatkan sesuatu yang sangat berbeda dari beberapa pelatihan menulis yang sebelumnya telah saya ikuti. Tidak hanya memberikan motivasi dan mengubah mindset, tapi juga membimbing bagaimana membuat buku dari awal hingga akhir: prewriting, darfting, revising, editing, publishing, dan powerfull writing.

Yang menarik, Pak Bambang Trim, mempersilahkan setiap peserta untuk menuliskan judul atau tema buku yang akan ditulisnya. Kemudian dibimbing menurunkannya menjadi outline dan diberi tips untuk pengembangannya agar tulisannya itu mendalam, luas dan berbobot. Bahkan, diberi tips mengimajinasikan kover buku dan cara membuat teks punggung buku.

Di tengah acara, novelis Tasaro GK—penulis novel “Galaksi Kinanthi” yang diterbitkan Salamadani, 2009—hadir untuk berbagi pengalaman dan strategi menulis karya fiksi, khususnya novel.

Menurut Tasaro, sebuah karya fiksi bisa dikatakan bagus dan akan diterima dimasyarakat pembaca apabila di dalamnya menyajikan kisah yang baru, memiliki karakter kuat (bagus), alur cerita yang luar biasa, dan diksi atau pilihan kata yang menarik. Apalagi jika ditambah dengan tema dengan isu yang sedang menonjol atau hangat di masyarat, akan membuat makin terasa menarik atau menyedot orang-orang untuk membacanya.

Setelah jeda istirahat dan makan siang. Penulis, pakar editing dan praktisi penerbitan, Bambang Trim kembali melanjutkan. Pak Bambang menjelaskan bahwa penulisan buku berbeda dengan artikel atau feature yang khusus untuk media masa seperti koran, majalah, jurnal, atau online. “Buku itu isinya tuntas, mendalam, dan prosesnya panjang,” katanya.

“Menulis buku itu tidak gampang, juga tidak sulit. Tapi hanya soal taktis saja!” kata Bambang Trim dengan gaya khas. Menurutnya, seseorang yang akan menulis harus berani buka mata, buka telinga, buka pikiran, buka perasaan, dan berani mengalami (buka pengalaman). Apabila seseorang sudah melakukan itu, maka akan keluarlah gagasan yang berwujud tulisan. “Keluarkan buku dari dirimu!” cetusnya. Bisakah? “Tulislah gagasan yang ada dalam pikiran, yang dipikirkan, yang dirasakan atau yang dialami hingga menjadi tulisan!” ujarnya.

“Kumpulkan semua diksi yang berkaitan dengan apa yang kita lihat, dengar, dan pikirkan. Tulislah diksi-diksi itu dan rangkailah dalam sebuah jalinan cerita hingga berwujud tulisan. Ingatlah, gagasan yang tidak segera ditulis akan diambil orang!” pesannya.

Karena itu, seseorang yang akan menulis perlu memiliki keterampilan dalam membuat drafting berupa catatan ide-ide dan outline isi buku yang akan ditulis, sehingga ide yang muncul dalam pikiran tidak lepas begitu saja. Hmm…seperti kata Imam Ali bin Abu Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”

Bambang Trim juga mengatakan bahwa setiap hari tidak lupa membawa buku catatan kecil untuk menulis ide-ide yang muncul. “Selain mencatat di handphone, communicator atau blackberry, ya bawa buku kecil dan pulpen untuk mencatat ide-ide atau hal-hal menarik yang bisa kita kembangkan menjadi buku,” pesannya.

Hal lainnya, kata Bambang Trim, seorang penulis harus mampu menghadirkan memori pengetahuan atau pengalaman yang menjadi bahan tulisannya itu dengan senantiasa mengakrabkan diri dengan membaca referensi, belajar dan berlatih tiada henti, dan sering melakukan silturahim atau berinteraksi dengan orang-orang untuk meluaskan wawasannya.

“Jangan membuat buku yang tidak orang sukai, yang tidak dikuasai, dan jangan membuat buku yang tidak ada referensinya,” pesan Pak Bambang Trim di akhir acara.

Luar biasa dan mencerahkan. Meski seharian, dari pagi hingga sore, saya tidak merasa bosan dalam menyerap ilmu kepenulisan yang disampaikan dalam training itu. Ya, tentu saja selanjutnya yang harus dilakukan adalah mempraktikannya dengan segera.

Bandung, 11-12 Maret 2009



Monday, March 9, 2009

bedah buku

Bedah Buku "The Road to Rasulullah saw"

Salam.

Yayasan Muthahhari Bandung mengundang Bapak, Ibu, Saudara
untuk menghadiri Bedah Buku "The Road to Rasulullah saw" karya Jalaluddin Rakhmat.

Pada: Ahad, 15 Maret 2009
Jam : 08.00-selesai
Lokasi: Gedung Sunan Ambu STSI, Jalan Buah Batu Bandung.
Narasumber: Jaalaluddin Rakhmat (penulis)
Gratiss!! untuk umum


pemimpin

DISKUSI Mencari Pemimpin Besar

Re: Bls: [ikhwanusshafa] mencari PEMIMPIN BESAR
Sabtu, 7 Maret, 2009 19:07
Dari: "Afif Muhammad" Kepada: aahsa@....
Cc: ikhwanusshafa@yahoogroups.com

Mumpung sekarang lagi Maulid Nabi Saw akan enak rasanya jika kita ngobrol tentang Nabi kira yang suci. Jika kita jadikan beliau sebagai teladan dalam kepemimpinan, maka beliau adalah pemimpin yang lengkap dalam semua sisinya. Artinya, beliau adalah pemimpin agama (ummat), sekaligus pemimpin negara (bangsa). Kepemimpinan seperti ini sudah tidak kita temukan hari ini. Yang ada hanyalah pemimpin agama (ulama, MUI) atau pemimpin negara/politik.

Masing-masing bidang kepemimpinan membutuhkan ilmu dan syarat-syaratnya sendiri. Gampangnya, menjadi pemimpin agama haruslah menguasai ilmu-ilmu agama dan syarat-syarat sebagai pemimpin agama. Begitu pula dengan pemimpin negara/politik. Ia harus faham betul masalah-masalah politik-ketatanegaraan dan punya kecakapan dalam bidang politik. Mencari pemimpin yang sekaligus memiliki ilmu dan kecakapan dalam kedua bidang itu teramat sulit. Sebab, sistem pendidikan dan kultur kita sudah terlanjur dikhotomis (ilmu agama terpisah dari ilmu kealaman, termasuk politik). Inilah pang pada gilirannya melahirkan kelompok Ulama (pemimpin agama) dan Umara' (pemimpin politik).

Anak-anak UIN/IAIN bergelut di ilmu-ilmu keagamaan, dan mereka--termasuk Ahmad Sahidin (Ahsa) dan saya--bergelut di ilmu-ilmu keagamaan, dan hampir tidak mengerti tentang ekonomi, fisika, matematika, kimia, kedokteran, pertanian, etc. Karenanya kita hanya cocok menjadi Ulama. Sulit cari kerja karean kita tidak mengerti tentang ilmu-ilmu yang berurusan dengan bidang-bidang yang disebutkan terkemudian itu. Kawan-kawan kira yang lain (UNPAD, UI, ITB, UPI) bergumul dengan ilmu-ilmu yang berurusan dengan dunia tadi, tetapi kurang paham tentang ilmu agama (wong mereka belajar cuma 2 jam di SD, SMP, SMA, dan 2 sks selama hidup menjadi mahasiswa hingga menjadi sarjana). Jika kemudian masing-masing kita menjadi pemimpin, maka kepemimpinan kita pun kepemimpin yang cuma berada di satu bidang saja (menjadi Ulama atau Umara). Jika jadi ulama, kemungkinan moralnya bagus karena dibangun oleh agama. Tetapi kata Imam al-Ghazali ada juga Ulama al-su' (ulama bejat, pseudo-ulama). Mungkin, ada satu dua orang yang sekaligus memiliki dua ilmu dan kecakapan itu (di Iran rata-rata Ulama mengusai fisika, filsafat, politik: Muthahhari, Ja'far Suhani, Ali Syari'ati).

Dahulu, di Indonesia cukup banyak yang seperti itu, misalnya Pak Natsir, Syafruddin Prawiranegara. Tetapi, semakin kompleksnya kehidupan menyebabkan kita, saat ini, menjadi spesialis-spesialis di bidang-bidang yang satu sama lain terkapling-kapling seperti yang Anda katakan itu: Pak Amien ulama politik, Kang Jalal ulama Komunikasi, Pak Habibie ulama pesawat terbang. (Mohon Anda tidak lupa bahwa syarat dasar bagi keulamaan yang mana pun adalah ketakwaan kepada Allah). Di sebelah yang lain, ada "ulama" politik, ekonomi, teknologi, hukum, etc, yang akhlaknya kurang bagus (karena sejak kecil hanya belajar sedikit saja tentang agama). Memang ada satu-dua orang yang memiliki kecakapan di dua bidang atau lebih. Tetapi umumnya tidak demikian. Misalnya, orang pasti mengesani bahwa Pak Ali Yafie itu ulama agama yang hebat, tetapi mungkin kurang paham teknologi. Sebalik, Pak Habibie itu "ulama" pesawat terbang, tetapi tidak banyak tahu tentang tafsir al-Qur'an. Susahanya, sekarang ini banyak ulama (yang saya duga kurang ngerti politik), semakin banyak yang tergiur pada urusan politik (katanya, Pak Dien pengen jadi Presiden, ya?). Jika seorang ulama kurang mengerti politik, lantas terjun ke dunia politik, bisa-bisa mereka masuk penjara lho!

Lantas, apa yang mesti kita lakukan? Tentu saja melahirkan generasi yang memiliki ilmu-ilmu yang terintegrasi. Hebat kan, kalau ada di antara kita yang ngerti Mu'amalah sekaligus ekonomi konvensional? Tetapi, untuk generasi saya dan generasi Anda, hal pengintegrasian seperti itu sangat sulit, kalau tidak boleh disebut mustahil. Karenanya, anak-anak kitalah yang harus menjadi orang-orang seperti Ibn Sina (dokter sekaligus filosof dan sufi).
Salam.

--- On Tue, 3/3/09, ahmad sahidin wrote:
From: ahmad sahidin
Subject: Bls: [ikhwanusshafa] mencari PEMIMPIN BESAR
To: ikhwanusshafa@yahoogroups.com
Date: Tuesday, March 3, 2009, 5:14 AM

Model "Pemimpin yang dibesarkan" inilah yang kini sedang bertandang dan sedang mengantri di bursa pemimpin sekarang ini, dalam wajah capres-cawapres, dan caleg, dll.

Menurut Dr.Sri Bintang Pamungkas, sekarang ini tidak ada calon pemimpin yang bervisi ke masa depan. SEmuanya cuma berorientasi money dan kehendak untuk berkuasa sekaligus menguasai untuk diri dan partainya. Saya kira ini perlu kita sikapi, apalagi April 2009 ini kita memilih: memliih caleg atau golput? Di sinilah kita memilah dan memilih serta menentukan.

Namun, bagaimana sesungguhnya sosok pemimpin dalam Islam? Saya harap ada kawan-kawan/jamaah ikhwanusshafa yang sudi memberikan pencerahan untuk masalah ini. Saya kira Ustadz Afif Muhammad dan Ustadz Jalal (Jalaluddin Rakhmat), atau yang lainnya, sudi memberikan pencerahan di sini. Silahkan...

--- Pada Sen, 2/3/09, iu rusliana menulis:
Dari: iu rusliana
Topik: [ikhwanusshafa] Trs: [pstti_pps_ui] [M_S] PEMIMPIN BESAR
Kepada: ikhwanusshafa@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 2 Maret, 2009, 9:03 PM

INI ada tulisan bagus..mohon dipareasiasi…

PEMIMPIN BESAR
Saya melihat pemimpin atau calon pemimpin saat ini terbagi dua; 1. PEMIMPIN BESAR 2 PEMIMPIN YANG DIBESARKAN;

Pemimpin besar seperti buah kuini yang matang dan jatuh ke bumi karena ditiup angin sepoi-sepoi basah, baunya harum dan wangi yang memikat semua makhluk untuk datang ketempatnya. Rupanya cantik yang membuat orang suka padanya. Rasanya enak, sedap dan lazat yang susah dikalimatkan dengan kata-kata seorang pujangga. Sehingga menjilat jari, yang membuat kita merasa ingin, ingin dan ingin lagi. Pemimpin besar seperti pokok kelapa yang tinggi menjulang. Uratnya untuk obat, batangnya digunakan untuk papan dan jembatan, lidinya digunakan untuk membuat sapu, daunnya untuk membuat ketupat, dahan, sabut dan tempurungnya untuk kayu api, santannya untuk memasak, minyaknya untuk menggoreng.

Pemimpin yang dibesarkan seperti buah kuini muda yang jatuh karena dilempar anak-anak, dipanjat atau dijolok dengan galah yang panjang lalu diperam berhari-hari lamanya. Walaupun masak orang tetap menamakannya masak busuk, tak wangi dan harum, rupanya berkerut dan tidak cantik, rasanya masam yang membuat orang `trauma` dan tobat untuk tidak akan memakannya lagi. Pemimpin yang dibesarkan seperti benalu yang hidup menompang di atas orang lain, menompang nama besar, kehebatan, keagungan, populeritas orang lain dan membawa-bawa nama institusi karena diri sendiri hampa tak berisi.

Pemimpin besar adalah orang yang besar dengan sendirinya. Terbukti memiliki bau yang wangi, rupa yang cantik dan rasa yang enak. Pemimpin yang besar adalah seorang yang cerdas yang dapat dilihat dari tulisan-tulisannya selama ini. Seorang yang merakyat bukan hanya karena mau pemilu saja. Seorang yang terbukti sukses dalam akademik, karier, keluarga, agama, moral, kejujuran, keadilan, penyayang. Pemimpin yang besar adalah orang yang terkenal secara natural dan media akan datang menyiarkan karena kepribadiannya yang unggul dan amal soleh yang sering dia lakukan. Pemimpin yang besar adalah seperti bibit unggul yang apabila jatuh ke bumi akan menjadi benih dan akhirnya tumbuh berkembang menjadi pokok yang rindang dan menaungi. Pemimpin besar berpijak di alam nyata, membuat kreatifitas, menjadi diri sendiri dan teruji.
Pemimpin yang dibesarkan adalah seorang yang melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Dia dibesarkan oleh iklan-iklan yang dia bayar untuk tv, radio, surat kabar dan berbagai media lainnya. Mereka dibesarkan oleh nama-nama nenek moyang mereka (seperti; aku adalah anak, cucu, cicit wali, raja, pahlawan, sultan eyang prabu marang kepunden marang keteper) Mereka dibesarkan oleh media dengan membuat dan mengatakan perkara-perkara yang aneh dengan tujuan khalif tu`raf (berbeda untuk terkenal). Mereka membayar media dengan jumlah yang sangat mahal agar bisa terkenal. Pemimpin yang dibesarkan adalah mereka-mereka yang mendapat nama besar bukan karena kemampuan diri pribadinya yang unggul, tetapi karena mereka di unggulkan atau mengunggulkan orang lain.

Pemimpin yang dibesarkan seperti buah yang masak dikarbit, dan buah masak busuk yang jatuh waktu muda, jangankan manusia, tupai dan kerapun enggan memakan. Hanya ulat yang datang mendekat, itupun karena menghalang jalan mereka sehari-hari... . Pemimpin yang dibesarkan bagaikan hidup di alam bunian, penuh dengan hayalan, menghitung bintang di langit. Seperti bujang lapuk yang mengharapkan bidadari, seperti labu dan labi yang yang tidak tidur sepanjang hari karena asik bermimpi menjadi tarzan, koboi, orang kaya dan kawin dengan anak dara yang cantik. Pemimpin yang dibesarkan tidak akan mampu berbuat apa dan tidak akan kemana-mana karena pribadi mereka sebenarnya kosong. Mereka hanya mengharapkan kembalinya bapak yang telah mati, mereka hanya menunggu wangsit dari nenek moyang yang sudah menjadi history dan mereka hanya berandai kembalinya zaman purba kala yang sudah tiada. Pemimpin yang dibesarkan seperti benalu yang hidup dan tumbuh diatas kebesaran orang lain, bukan karena diri yang sudah teruji. (sampai ada gambar bersalaman dengan Obama, di bawah naungan gambar sang ayah, membawa nama-nama nenek moyang yang sudah mati untuk tujuan kampanye, hahaha…100x)

Pemimpin adalah masa depan kita, pemimpin yang besar akan membesarkan negara dan bangsanya dan pemimpin yang dibesarkan akan menjadikan kita sebagai tumbal untuk membesarkan mereka. Mereka akan selalu menghisap seperti lintah, membunuh seperti nyamuk, merapuhkan seperti benalu.

Kuala Lumpur, 13/02/09,
Afriadi Sanusi
PhD Cand. Islamic Political Science University Of Malaya