Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, July 2, 2008

Mengapa

Mengapa Manusia Suka Bermain?
Oleh Ahmad Gibson Al-Bustomie

Setelah filsafat manusia mengenal banyak sebutan untuk menamai atau menyebut identitas yang menjadi ciri khas pada manusia. Dua istilah dalam antropologi filsafat seperti homo erectus (manusia tegak) dan homo sapiens (manusia bijak), misalnya, selalu dipakai untuk menjelaskan kedudukan istimewa yang melekat pada manusia.


Yaitu, karena kemampuan intelegensinya,manusia bisa mengatasi, menguasai dan memperdaya hewan dan alam ciptaan lainnya seperti homo faber (manusia tukang) dan homo economicus (manusia hemat). Dua istilah ini mau dipakai untuk menunjukkan keterampilan manusia dalam menciptakan alat-alat dan keuletannya dalam mempertahankan hidup.

Terhadap bakat manusia untuk mengadakan hubungan dengan Yang Transenden dipakailah sebutan homo religiusus (manusia religius). Tetapisejak tahun 1938-an sebutan baru sebagai homo luden (manusia bermain) yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh sejarahwan Belanda, Prof. Johan Huizinga (1872-1945) harus diberikan pada manusia. Dengan demikian, kalau kita sekarang mendapat pertanyaan tentang siapakah manusia itu atau manakah identitasnya, maka dengan mudah kita akan bisa menjawabnya: Manusia adalah makhluk hidup yang (suka) bermain.

Universal, Serius dan Spontan
Manusia suka bermain. Saya pikir, terhadap pernyataan ini kiranya tak ada orang yang tidak menyetujuinya. Sebab, bermain merupakan satu kegiatan yang khas manusiawi yang sifatnya universal. Permainann dan aktivitas bermain selalu ditemukan di mana-mana pada setiap bangsa dan kebudayaan. Ruang lingkup kegiatan bermain dan permainan itu sendiri secar obyektif mampu menembus batas-batas usia dan jenis kelamin.

Keyakinan yang kini masih melekat pada beberapa orang, bermain hanya merupakan kegiatan yang khas terdapat pada dunia anak-anak, sama sekali tidak benar. Pengalaman kita sehari-hari bisa memperlihatkan, betapa banyak pula orang-orang dewasa bahkan mereka yang sudah berpredikat sebagai kakek-nenek pun sering kali sangat suka mengisi waktu senggangnya dengan bermain kartu atau catur.

Kini kita harus bertanya: Bermain, ini merupakan sebuah kegiatan yang sifatnya serius atau tidak? Saya cenderung untuk mengatakan sebagai kegiatan serius. Untuk menanggapi pertanyaan itu, baiklah kita menengok kosa kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia yaitu tiga pasang kata “main”, “bermain” dan “main-main”.

Makna literer yang terkandung pada masing-masing kata tersebut jelas berbeda satu sama lain. Dua kata yang terakhir yakni main dan main-main cenderung bernada peyoratif dan memberi kesan tidak serius atau sekedar iseng-iseng. Sedangkan aktivitas bermain hampir selalu dilakukan sebagai sebuah kegiatan yang serius, meskipun dalam praktiknya kegiatran tersebut sering dikemas rapi dalam suasana rileks dan lucu.

Fakta, setiap bentuk dan wujud permainan itu sifatnya serius barangkali sering dijelaskan demikian. Kita bisa menyaksikan sendiri, setiap orang yang terlibat aktif dalam kegiatan bermain itu dalam arti tertentu wajib memainkan satu peran atau memainkan benda-benda permainan anak-anak tradisional Jawa seperti pasaran.

Dalam permainan itu terlihat dengan jelas betpa anak-anak putri dengan serius menekuni perannya sebagai mbakyul bakul, embok-embok dan seterusnya. Demikian juga kalau orang dewasa sedang main brigde. Ketrampilan dan keseriusan dalam memainkan kartu-kartu itu jelas merupakan hal yang tak dapat ditawar untujk tidak dilakukan.

Sikap serius dalam bermain menjadi sangat tampak dan lebih jelas pada jenis-jenis permainan tertentu yang mengandung unsur kompetitif atau perlombaan. Disini keseriusan merupakan hal yang mutlak. Ini rup0anya berkaitan erat dengan unsur kompetitif atau persaingan yang melekat pada permainan itu sendiri, yakni keharusan untuk memenangkan persaingan di antara pihak-pihak yangh bermain.

Bisa juga dikatakan, keseriusan saat bermain adalah mutlak demi tegaknya sebuah bangunan nilai tertentu yang dengan sendirinya akan muncul ketika permainan itu dimulai. Masalahnya, bila orang tidak bersikap dan bertindak serius, maka bangunan nilai yang berupa aturan-aturan permainan itu pasti akan ambrol dan permainan itu sendiri akhirnya tidak bisa dijalankan lagi. Kini menjadi jelas, dalam bermain orang tidak bisa main-main. Demikian misalnya, anak-anak yang sedang bermain petak umpat akan selalu bersikap serius dalam memikirkan satu halyakni bagaimana mereka dapat bersembunyi tanpa harus diketahui musuh.

Menikmati Ketegangan
Disadari atau tidak, keseriusan dalam bermain ternyata mampu menciptakan sebuah ketegangan atau suasana tegang. Dalam arti tertentu hal itu malah mampu mnyuguhkan kenikmatan atau kepuasan. Menarik disimak kenyataan , ternyata orang senang mengalami dan merasakan ketegangan itu.

Banyak orang sangat betah dengan suasana permainan yang menumbuhkan ketegangan dan merasakan ketegangan itu sebagai kenikmatan, maka orang lalu memperoleh kepuasaan batin. Ini terjadi justru karena ketegangan itu baru bisa dibangun dan dicapai lewat sebuah perjuangan tertentu yaitu usaha keras dan keseriusan. Ibarat orang yang suka naik gunung ia akan mendapatkan kepuasaan batin yang sulit dicari gantinya, justru karena kepuasaan itu dicapai dengan usaha keras dan keseriusan.

Dalam permaian-permainan yang mengandung unsur kompetitif seperti adu ketangkasan, keterampilan, gerak cepat, kekuatan fisik atau kecepatan berpikir, persaingan dalam memenangkan permainan akan menjadi unsur dominan. Dalam konteks ini harus disebut, perlombaan dan pertandingan-pertandingan olah raga sebenarnya merupakan bentuk-bentuk permainan. Tetapi disini harus diberikan catatan penting. Sejauh mana pertandingan-pertandingan olahraga tersebut boleh disebut murni sebagai permaian?

Kiranya kriteria berikut ini bisa dipakai sebagai tolok ukur. Sejauh kegiatan olah raga itu betul-betul diadakan hanya demi sebuah permainan antarmanusia dan tidak menghilangkan ciri khas setiap permainan, uinsur spontanitas serta bebas dari unsur bisnis atau bukan demi satu prestise tertentu, maka kegiatan itu masih bisa disebut permaian.

Menjadi jelas, memang sangatlah lebar jurang perbedaan antar permainan spontan homo ludens sebagaima yang dimaksud Huizinga yakni bermain sebagai kegemaran manusia yang sifatnya arkais dan yang muncul dari kodrat asali kita sebagai manusia di satu pihak dengan kebiasaan bermain dalam pertandingan-pertandingan olah raga, baik yang amatir maupun lebih yang profesional di lain pihak. Dalam permainan-permainan jenis terakhir ini, yang berbucara bukan lagi unsur spontanitas sebuah permainan melainkan lebih-lebih pertimbangan praktis-ekonomis seperti demi sebuah prestasi atau demi fulus atau duit.

Suka Bermain
Mengapa manusia suka bermain? Kiranya jawaban atas pertanyaan ini sebaiknya kita gali dari pengalaman kita sehari-hari dalam menjalankan aktivitas bermain. Untuk itu, baiklah kita bertanya: Perasaan macam apa yang biasa kita peroleh setelah bermain? Jawabannya tentu saja bisa beragam. Orang dapat ,mengatakannya sebagi kepuasaan, kenikmatan, kesegeran kembali, perasaan plong, dan seterusnya. Kiranya memang unsur-unsur perasaan itulah yang secar tidak langsung mau dicari orang bila ia bermain atau aktif terlibat dalam aneka macam bentuk permainan.

Menarik disimak kenyataan, berbagai bentuk kepuasan di atas justru bisa diperoleh karena dalam bermain orang boleh-bahkan sering kali malah diharuskan-membangun sebuah dunia rekaan baru yang lain sama sekali dari kenyataan sehari-hari. Dengan demikian, orang seakan harus pindah beralih dari kenyataan yang faktual ada menuju pada sebuah dunia lain yang buisa menjanjikan sesuatu, seperti misalnya kepuasan batin.

Dengan cara itu, segala urusan tektek bengek sehari-hari bisa sedikit terlupakan dan dengan masuk ke dalam dunia rekaan ini, orang pun lantas merasa tertarik untuk mengejar kepuasan batin. Dalam arti ini memang bisa dikatakan, permainan bisa membius orang, tetapi tentu saja dalam arti yang sangat positif. Sebab, dengan bermain manusia justru bisa mengalami variasi dalam hidupnya. Bisa dibayangkan betapa manusia akan menjadi bosan kalau hidup dalam sebuah rutinitas melulu tanpa adanya variasi dalam hidupnya. Variatio delectat, variasi itu menyenangkan orang, demikian bunyi pepatah Latin.

Satu-satunya cara agar dunia rekaan itu tetap eksis dalam permainan, maka setiap orang yang terlibat dalam permainan itu juga haraus menjaga keseriusan. Setiap pihak harus patuh dalam bersikap yakni memelihara agar bangunan nilai yang berupa aturan-aturan main itu sungguh ditaati. Kalaupun melanggar harus ada sanksinya. Sekali saja orang tidak mau patuh dan melanggar aturan permainan tetapi tidak mau menerima sanksinya, runtuhlah semua pilar-pilar yang menyangga bangunan dunia rekaan itu.

Bukan Monopoli Manusia
Dalam kata pengantar bukunya, Homo ludens. Proeve eener bepaling van het spel-element der cultuur (Manusia Bermain. Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya), Prof. J. Huizinga mengatakan, julukan baru untuk manusia sebagai homo ludens (manusia bermain) sudah selayaknya perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan sebutan-sebutan lain untuk manusia yang sudah ada sebelumnya. Komentar seperti ini jelas mengartikan, bermain merupakan unsur konstitutif dalam eksistensi manusia dan mencirikan siapa manusia itu sesungguhnya.

Tetapi kita tergoda untuk bertanya lebih lanjut: Apakah bermain itu hanya kegiatan yang dimonopoli manusia saja? Jawaban atas pertanyaan ini kiranya jelas: tidak. Sebab, binatang pun sering bermain. Bukan saja hal itu dilakukan sendiri, melainkan seringkali malah dalam sebuah kelompok. Demikianlah misalnya, dua anak kucing yang bermain-main dengan saling mencakar dan saling mengejar antar mereka sendiri. Kucing pun bisa asyik dalam sebuah permainan.

Unsur apa yang membedakan antara kegiatan bermain pada manusia dan permainan pada binatang? Kiranya harus disebut begini. Permainan dalam dunia hewan menampilkan fakta, binatang melakukan hal itu sebagai kegiatan main-main saja. Kita lihat, misalnya, kejadian dimana dua atau tiga ekor kucing sedang bermain. Bilamana satu anak kucing sudah mulai mengeong tajam karena gigitan temannya pada lehernya dirasa terlalu keras, maka secara spontan kucing satunya akan melepaskan gigitan itu. Dan kemudian mereka bermain lagi.

Sedangkan permainan dalam dunia manusia ternyata menampilkan fakta yang berbeda. Bermain pada umumnya merupakan kegiatan serius, dalam arti dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semua ini dilakukan demi mendapatkan fun yakni gabungan unsur lucu dan menyenangkan. Meski dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh, unsur fun akan selalu tetap eksis dalam setiap permainan manusia. Dan memang inilah ciri khas paling unik pada setiap permainan manusia. Kiranya jelas, justru karena adanya unsur fun ini pada setiap permainan, maka saya, anda dan kita semua pasti sangat suka diajak teman untuk bermain.


PENULIS adalah dosen filsafat di Fakultas Filsafat dan Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Hunung Djati Bandung

No comments: