Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, July 2, 2008

Tulis

Bagus Tak Bagus, Tulis Aja!
Oleh Ahmad Sahidin

Bagaimana membuat tulisan renyah dan enak dibaca? Ini pertanyaan yang saya ajukan pada seorang editor di Penerbit Mizan, Hernowo Hasim, yang saya kirim beberapa waktu lalu melaui sebuah e-mail.

Beberapa hari kemudian, ada balasan. Menurut Hernowo, seorang penulis atau yang baru belajar menulis harus memulainya dengan memperbanyak baca buku-buku untuk memperkaya kosa-kata.

“Perkayalah diri Anda dengan kata-kata. Banyaklah membaca buku-buku yang membuat Anda senang. Hanya dengan membaca, tulisan kita akan tidak membosankan. Jika kita ‘miskin kata/bahasa’ hasil tulisan kita juga akan monoton, tidak bisa mengalir enak,” tulis Hernowo.

Selanjutnya, ia harus mulai memilih dan memilah materi atau hal-hal yang akan ditulisnya. Jadi, pilihlah materi yang akan ditulis yang memang sudah menjadi bagian terdalam pengalaman diri sendiri. Libatkan benar diri ketika menulis. Jika diri terlibat, tulisannya akan kaya emosi dan menyentuh, tidak kering dan kaku.

”Pisahkan kegiatan mengeluarkan bahan tulisan dengan pengoreksian. Jangan mengoreksi saat Anda menulis. Keluarkan secara bebas bahan tulisan Anda hari ini, dan koreksi esok harinya. Semoga 3 tips itu bermanfaat bagi Anda. Saya akan coba kunjungi blog Anda,” tulisnya mengakhiri.

Oooh begitu caranya membuat tulisan yang enak dibaca dan tidak kaku itu. Tapi bila saya telusuri, aktivitas saya dalam tulis menulis sejak 2002-2003. Saya memulainya dengan membuat sebuat bulletin Alternatif (Institute for Human and Cultural Studies), sebuah media kampus tingkat fakultas. Saya bersama tiga kawan membuatnya dengan dana dan digarap pun bersama. Tirasnya sekitar 25 eksemplar. Jumlah halamannya mencapai 6-8. Ukurannya setengah kertas kuarto.

Pada edisi perdana saya menulis pengantar dan kolom opini. Saya juga sajikan beberapa ulasan buku-buku terbaru. Seorang dosen langsung merespon positif. Ia jadi penyumbang dana, materi dan tulisan. Hingga beberapa dosen pun memperbincangakan perihal bulletin tersebut. Saya sedikit merasa bangga karena dalam pembiacaraan mengenai kreatifitas mahasiswa fakultas, nama saya disebut-sebut. Tambah lagi ketika beberapa puisi dan esai pendek saya dimuat di HU. Pikiran Rakyat Bandung.

Dan beberapa kawan dan dosen memberikan selamat. Sampai dosen jurnalistik saya bilang, “Ente tak usah masuk kuliah. Nilai ente sudah ‘A’”. Wow, karena prestasi menulis, saya tak usah cape-cape bangun pagi dan masuk kuliah. Hhmm. Beberapa teman saya langsung meminta saya untuk mengajarinya. Saya pun ajarin. Hanya waktu itu saya tak punya teori seperti yang disampaikan Hernowo.

Saya hanya membaca buku yang banyak tentang bahan yang akan ditulis. Kalau akan menulis esai atau artikel filsafat sejarah, baca dulu buku filsafat sejarah minimal 4 buku. Baru setelah itu akan meluncur, mengalir begitu saja. Atau kalau tulisannya sebuah curhat, ya tulis apa adanya. Begitu pun komentar, tulis aja. Untuk membiasakan menggoreskan pena. Itu tips awal belajar tulis menulis yang saya gunakan dan ajarkan pada teman-teman.

Selanjutnya, bila sudah berhasil menuliskannya, berarti sudah menulis. Tulisan itu
kemudian dibaca berulang-ulang, ditimbang-timbang isinya, dan dinilai oleh sendiri. Dan setiap kali membaca yang saya tulis, ternyata banyak kurangnya. Saya pun menambah sana sini dan akhirnya tulisan pun panjang. Saya kaget, kok ternyata saya bisa juga menulis panjang gini. Ini yang ajaib buat saya. Padahal, jika saya memaksakan diri mengeluarkan atau menggores dua paragrap saja tak rampung, alias mandeg.

Tulisan yang sudah ditimbang dan ditambah kekurangannya, biasanya saya serahkan kepada teman dan kadang pada dosen. Saya minta mereka komentari. Biasanya mereka senang kalau diminta komentar dan perbaikan-perbaikan. Meski mereka bukan ahli tulis menulis, tapi biasanya jeli dan tahu letak kesalahan tulisan saya.

Saya pun memperbaikinya dan memuatnya dalam bulletin. Jadi dalam menulis satu tulisan, waktunya mencapai satu bulan. Ini hanya satu tulisan. Ini awal sih. Tapi ketika membuat tulisan yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, mengalir saja dan terasa begitu cepat. Dalam satu bulan, saya berhasil membuat lima tulisan.

Oh iya, dalam proses kreatif yang saya jalani itu, salah seorang kolumnis dan Pemimpin Redaksi Majalah Sunda Cupumanik, Hawe Setiawan, yang sempat saya minta komentarnya, menyarankan saya untuk melihat atau mencotoh alur dan gaya tulisan dari tokoh yang saya kagumi. Karena waktu itu saya lagi kagum pada catatan pinggir Gonawan Mohammad (GM) di Majalah Tempo, saya tiap sore sebelum menghadiri kajian selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk membaca catatan pinggir GM. Berbundel-bundel Majalah Tempo lama kubaca.

Hampir enam bulan saya baca Majalah Tempo dan buku-buku GM. Saya fokus, saya ingin meniru gaya tulisnya yang khas dan berbeda dari orang lain. GM: tulisannya sungguh hidup, renyah, tak ada kosa-kata atau kalimat yang mati. Seluruh kalimat dan kata-kata yang dipakainya berjalin-kelindan, menyatu-padu, dan tak kering. Ini kesan saya setelah membaca catatan pinggir GM. Jumlahnya mungkin sudah ribuan, bahkan lebih. Meski sudah usang wacana dan aktualitasnya, tapi bila dibaca, sepertinya punya “lokasi” tersendiri, sehingga saya tak merasa jemu atau merasa kadaluarsa ketika membacanya. Ini yang saya berbeda dan khas GM.

Satu lagi yang membuat saya begitu terpikat. Ia sosok yang luar biasa dalam khazanah Islam dan piawai dalam berkomunikasi, baik lisan mapun tulisan. Ya, tak salah lagi, Ustadz Jalaluddin Rakhmat (JR). Selain seorang ustadz, ia juga ahli dalam ilmu-ilmu rasional dan dikenal pakar komunikasi. Setiap kali saya baca buku-bukunya, terasa menyentuh dan bermakna.

JR dalam menorehkan gagasannya seringkali diawali dengan kisah-kisah sufi yang menyentuh. Atau juga mengambil petikan kata-kata hikmah dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam. Bahasanya renyah dan mudah dicerna. Alurnya enak, mengalir, dan mudah diingat. Ini yang membedakannya dengan GM. GM bahasanya kadang filosofis dan berbelit-belit, bahkan cenderung tak mengerti kalau si pembacanya tak paham isi dan arah dari tulisannya itu.

Masa proses kreatif itu saya pun mengasah tulis-menulis dengan meluncurkan sebuah bulletin LATERAL yang diterbitkan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) unit kegiatan mahasiswa IAIN, kini bernama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya menulis bersama teman-teman. Namun sayang hingga kini belum ada yang meneruskan atau melanjutkan media tersebut. Padahal kalau biacara fasilitas, generasi LPIK sekarang lebih mudah dan terfasilitasi. Berkarya itu memang butuh kemauan yang kuat dan berani berbuat. Ini intinya, menurut saya.

Alhamdulillah, aktivitas saya dalam tulis menulis pun berbuah: tahun 2004 saya masuk redaksi Majalah Swadaya—sebuah media pemberdayaan umat yang diterbitkan Lembaga Amil Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT) yang berlokasi di Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, pimpinan Aa Gym (KH.Abdullah Gymnastiar).

Dari redaksi Majalah Swadaya saya mulai mengenal kerja jurnalistik. Saya pun merambah dunia fotografy dan shooting video. Juga dunia internet, hingga punya blog http://altanwir.co.cc sebagai ruang dialog bersama teman-teman kuliah dan aktivis ormas/gerakan Islam Indonesia.

Saya pun hingga kini masih terus belajar tentang menulis yang baik, renyah, enak dibaca dan “bergizi” (istilah Hernowo) plus menggerakan pembaca. Itu sebabnya saya belajar, belajar, dan belajar, dari mereka yang senatiasa tak lelah untuk menorehkan pena. Dibaca tak dibaca, bagus tak bagus, tulis aja! Biar saya sendiri yang baca!.

AHMAD SAHIDIN,Kelahiran Bandung, 05 Agustus 1981. Alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

No comments: