Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Tuesday, May 12, 2009

Ustadz

Ustadz, Tak Lagi Sakral

PADA suatu hari teman saya yang kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bercerita tentang pertemuannya dengan seorang dosen dari Mekkah, Arab. Dosen yang sedang berkunjung ke Bandung itu bilang sangat kagum dengan Bandung, karena banyak professor.

Teman saya bilang, professor di Bandung jumlahnya sedikit. Dia menyanggahnya, “Tidak. Saya lihat di masjid-masjid tertera ustadz-ustadz yang mengisi khutbah Jumat dan ceramah mingguan. Luar biasa, mungkin lebih dari seribu kalau dijumlahkan. Tapi aneh, kenapa masih ada yang belum mengerti tentang Islam dan orang-orang yang di mobil dan motor tak berhenti saat adzan berkumandang. Kenapa ya?”

Mendengar penjelasan itu, teman saya tersenyum. Teman saya lalu menjelaskan bahwa istilah ustadz di negeri ini berbeda dengan ‘ustadz’ di negeri Arab. Di Indonesia, ustadz dinisbatkan pada mereka yang sering menggunakan kopiah, sarung, pakai baju koko, memiliki ilmu agama—meskipun hanya menyampaikan yang dikatakan gurunya—dan dilekatkan pada mereka yang sering nongkrong di masjid. Padahal, bisa jadi yang di masjid itu petugas kebersihan masjid atau yang numpang tidur. Tapi, biasanya dipanggil ustadz. Jadi, bukan orang yang memiliki ilmu agama (wawasan Islam) yang luas dan mendalam atau spesialisasi dalam dirasah islamiyah. Gelar ustadz di Indonesia, kata teman saya, tidak bernuansa sakral seperti di negeri Arab maupun Timur Tengah; hanya istilah penghormatan saja. Setelah dijelaskan, barulah orang Arab itu tersenyum dan manggut-manggut.

Mendengar cerita itu saya tertawa. Saya tertawa karena istilah itu sempat dilekatkan pada saya. Begini ceritanya: suatu saat saya shalat berjamaah di masjid dekat rumah. Orang yang shalat berdampingan dengan saya gerakannya mendahului imam. Itu dilakukan hampir tiap shalat berjamaah.

Anehnya, bapak itu kalau berjamaah pasti berdampingan dengan saya. Karena setiap shalat begitu, suatu saat setelah shalat ashar saya tegur. Saya beri tahu kepada bapak itu bahwa seorang makmum itu harus mengikuti imam; kalau mendahului batal shalatnya. Bapak itu manggut-manggut sambil mengucapkan terima kasih: “Haturnuhun ustadz. Abdi janten terang (Terima kasih ustadz, saya jadi tahu).”

Sejak itulah si Bapak itu tiap bertemu memanggil saya dengan panggilan ustadz. Saya jadi merenung: kenapa si bapak itu memanggil saya ustadz. Bukankah dia sudah tahu nama saya? Lalu, suatu waktu saat menunggu adzan maghrib di masjid, saya jelaskan bahwa gelar “ustadz” itu sangat berkaitan dengan sosok yang memiliki ilmu agama, pemahaman agama yang mendalam, berwawasan luas, hafal Al-Quran dan hadits, dan berperilaku saleh. Sedangkan saya jauh dari itu: saya masih bangun kesiangan dan shalat shubuh jam 05.45, selalu mengakhir-akhirkan waktu shalat, dan perilaku pun belum mulia.

“Ooo… punten atuh cep ustadz,” kata bapak itu. Euh…itu lagi muncul, gumam saya. Meski sudah saya beri tahu, tetap saja tiap bertemu menyapanya begitu. Mendengar sapaan itu saya agak kesal: kenapa sih bapak itu tidak mengerti juga. Setelah saya pikir-pikir, itu mungkin sebuah canda plus doa biar saya ngaji dan terus menggali ilmu agama. Maklum, saya ini bodoh dalam masalah agama dan masih butuh bimbingan. Adakah “ustadz” yang mau ngebimbing saya?

Ahsa,
pekerja buku



No comments: