Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, October 28, 2010

Gara-gara Menulis Buku Aliran-Aliran dalam Islam

Oleh AHMAD SAHIDIN

Saya tidak tahu apakah ini buntut dari gara-gara menulis buku Aliran-Aliran dalam Islam pada 2009 yang diterbitkan Salamadani Publishing atau memang sengaja ada yang ingin tahu?

Akhir September kemarin, saya dapat e-mail dari seseorang yang tidak saya kenal. Ia menulis bahwa ia pembaca buku saya. Awalnya tidak menduga bahwa dalam buku saya tersebut terdapat uraian Syiah yang berbeda dengan yang didapatkan selama ini dari guru-gurunya. Setelah dikabarkan kepada gurunya yang memberinya informasi tentang Syiah yang dalam pandangannya itu sesat dan menyesatkan, gurunya menjawab bahwa tulisan tersebut dusta.
Dalam e-mail itu, pembaca buku saya itu dengan sedikit menyesal bertanya: apakah aliran Anda saat ini ketika menulis buku tersebut? Saya melihat Anda seorang Syiah. Syiah itu sesat yang menghalalkan kawin mut’ah; yang jelas-jela dilarang dalam Islam.

Saya kaget juga ternyata ada orang yang sampai dapat berkesimpulan begitu. Saya bilang bahwa saya menulis buku berdasarkan kronologi sejarah dan sumbernya dari berbagai sumber, baik Syiah, Sunni, dan kalangan orientalis Barat.

Karena itu, dalam menguraikan Syiah merujuk pada buku-buku yang ditulis oleh ulama Syiah, bukan pendapat ulama Sunni tentang Syiah. Begitu pun Sunni saya lacak dari buku-buku teologi tentang Sunni atau Ahlusunnah. Termasuk dalam menguraikan aliran lainnya seperti Mu’tazilah, Khawarij, Wahabi, dan lainnya.

Kalau Anda menemukan informasi yang berbeda dengan yang didapatkan itu bagus untuk perbandingan sekaligus bahan kajian ulang. Saya justru dengan menulis buku tersebut ingin melihat Islam dalam khazanah intelektual yang beragam sekaligus bukti bahwa Islam itu dinamis. Dengan dinamika itulah umat Islam dapat melihat hal-hal apa saja yang sudah dilakukan umat Islam terdahulu dan apa yang harus kita lakukan saat ini. Jangan sampai kita mengulang kembali yang pernah dilakukan mereka sehingga tidak terlihat letak kemajuannya.

Kemudian soal nikah mut’ah, perlu kajian khusus dalam forum yang dihadiri para pakarnya. Saya bukan pakarnya. Hanya saja yang saya dapatkan dari bacaan buku-buku Syiah bahwa dalam Syiah itu ada dua nikah: nikah permanen (dawam) dan nikah temporer berdasarkan waktu atau yang disebut dengan nikah mut`ah.

Dasarnya nikah mu’tah tercantum dalam Al-Quran surah Annisa ayat 24 dan Rasul membolehkannya. Nikah ini kemudian diharamkan oleh Umar bin Khathathab yang dalam fatwanya mengatakan bahwa ada dua mut’ah yang dulu halal sekarang diharamkan, yaitu nikah dan haji. Mungkin karena posisi Umar ketika itu menjadi penguasa sehingga tidak ada yang berani melarang dalam membuat kebijakan baru
atau bid’ah dengan mengharamkan yang jelas-jelas halal secara nash.

Menurut beberapa alumni mahasiswa yang pernah belajar di Iran bahwa di Iran sendiri praktik mut’ah cukup sulit karena harus membayar mahar yang jumlahnya besar. Kalau tidak salah mahar ditentukan pemerintah sekitar 5 sampai 14 koin emas. Harga pasaran di Teheran sampai 500 keping untuk mahar (kira-kira 500 juta rupiah) dan dapat dibayar dengan menyicil. (Beda dengan di Indonesia, punya uang sepuluh ribu juga bisa jadi mahar atau hafal satu ayat pun jadi mahar).

Di luar kota Teheran bisa kurang dari jumlah tersebut. Hal ini merupakan ketetapan pemerintah untuk melindungi perempuan supaya memiliki harta yang cukup dan bukti dari penghargaan laki-laki terhadap wanita. Lengkapnya silakan cek buku “Pelangi Di Persia” karya Dina Y Sulaeman, warga Indonesia yang menjadi wartawan dan pernah tinggal cukup lama di Iran, diterbitkan PT.IIMaN, 2007, hal.18.

Bahkan dalam mut’ah sendiri terdapat rukun-rukunnya (yang kalau tidak salah) sedikit berbeda dengan yang nikah dawam. Jelasnya aturannya tertuang dalam kesepakatan awal ketika hendak nikah mut’ah. Di negeri Syiah sendiri, Iran, orang-orang tidak mudah untuk nikah mut’ah.

Anehnya, pelaku nikah mut`ah di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh orang-orang Arab (mungkin bermazhab Sunni firqah Wahabi) khususnya di Cisarua, Bogor, dan Puncak. Anda coba main ke sana, main ke Kampung Arab. Sudah pernah ada liputannya oleh Majalah Gatra.

Saya jadi teringat pada almarhum O.Hashem dalam sebuah bukunya mengatakan bahwa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun. Ia juga bercerita tentang kawannya yang keturunan Arab diberi uang lima juta rupiah oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut’ah ala Wahabi.

Dia mencari seorang pelacur dan menasihatinya agar tidak menceritakan profesinya pada suaminya. Setelah beberapa bulan dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur yang lain untuk dikawinkontrakkan kepadanya selama tiga bulan.

Mungkin sudah rahasia lagi kalau saudari-saudari kita yang TKW di Arab banyak diperkosa. Mungkin dalihnya bisa “nikah kontrak” karena dibayar untuk kerja atau mungkin dianggap budak sehingga dapat disetubuhi dan lainnya.

No comments: