Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, March 31, 2010

Publik


UIN dan Intelektual Publik
Oleh AFIF MUHAMMAD

Awalnya tulisan ini merupakan respons dari tulisan seorang alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang berbagi pengalamannya tentang dunia kepenulisan dalam milis yang saya ikuti.

Saya merasa senang sekali membaca pengalamannya. Saya rasa memang seperti itulah yang mesti dilakukan seseorang ketika ingin menjadi penulis. Pada masa sekarang ini, ketika jumlah media cetak demikian melimpah, sebenarnya kesempatan untuk menjadi penulis sangat terbuka lebar. Ini agak berbeda dari zaman ketika saya masih mahasiswa, bahkan ketika sudah menjadi dosen muda. Saat itu jumlah media cetak, baik koran maupun majalah, sangat terbatas. Karena itu "menembusnya" juga relatif sulit. Sesudah mengirim puluhan artikel yang kemudian ditolak dan di-"retour" tulisan pertama saya muncul pertama kali di Pikiran Rakyat Bandung pada 1983. Tulisan itu saya baca puluhan kali, dan perasaan saya melambung-lambung tak keruan. Senang bukan main.

Saya yakin Anda pasti setuju dengan saya bahwa tulisan pertama itu merupakan "kunci sakti" bagi tulisan-tulisan kita selanjutnya. Sejak itu tulisan saya diberbagai koran muncul susul-menyusul. Kini kalau dikumpul-kumpulan, rasanya lebih dari 250 buah.

Ketika menulis suatu artikel, baik untuk koran maupun jurnal, saya tidak dapat menyelesaikannya sekaligus. Memang pada kali-kali tertentu saya dapat menyelesaikan sebuah artikel untuk koran dalam dua-tiga hari. Tetapi itu sangat jarang terjadi. Lazimnya baru selesai 5 hari sampai seminggu.

Trik yang saya pakai biasanya berbentuk semacam skema. Dalam skema itu saya buat point-point yang akan saya tulis. Kadang-kadang satu point selesai, lalu macet. Jika itu terjadi, saya berhenti, dan baru saya lanjutkan sesudah sore atau malam harinya. Sesudah point-point itu terisi penuh, tulisan itu saya edit. Tidak segera saya kirim, tetapi saya tunggu sehari-dua hari kalau-kalau masih ada gagasan saya yang tersisa. Kalau saya merasa sudah tidak ada lagi yang nakal muncul untuk tulisan itu, baru saya mengirimnya.

Imbalan bagi sebuah tulisan yang dimuat di koran pada masa lalu tidak seperti sekarang. Kecil, sehingga kurang merangsang. Sekarang sudah jauh lebih baik, sehingga memungkinkan Anda menjadikannya sebagai profesi.

Saya juga sering berbincang dengan orang-orang yang ahli dalam dunia kepenulisan. Dari obrolan itu muncul sebuah hipotesa bahwa otak kita akan tidak baik jika terus-menerus diisi tanpa ada yang dikeluarkan. Menulis dan juga diskusi, adalah cara mengeluarkan isi otak kita, agar tidak melilit. Dengan begitu, membaca dan menulis menjadi dua aktivitas yang saling mengisi, sehingga bisa berjalan seimbang.

Bagi saya, menulis sekarang ini bukan saja merupakan suatu kebutuhan, baik sebagai hobi maupun profesi, tetapi sudah menjadi semacam seni. Di sini yang saya nikmati bukan honornya, tetapi kepuasan batin. Lebih dari itu, sebagai seorang Muslim, saya menaruh harapan pada "nilai lebihnya". Yakni, jika tulisan saya dibaca orang, lalu ada di antara pembaca tulisan itu yang mendapat manfaat dari tulisan saya (apalagi sampai mengamalkannya), bukankah kita memperoleh banyak pahala? Inilah kenikmatan tulis menulis sebagai aktivitas intelektual.

Dalam milis itu diskusi berkembang ke persoalan intelektual publik. Seorang alumni UIN Bandung itu, yang menjadi teman diskusi saya, menyatakan bahwa menulis itu sebuah aktivitas intelektual dan penulisnya bisa disebut intelektual publik. Ia merujuk bagaimana cendekiawan Muslim Iran, Ali Syariati dan Murtadha Muthahhari, dengan kontribusi intelektualnya berhasil mendorong masyarakat Iran bergerak meruntuhkan rezim tiran Reza Pahlevi hingga berbuah revolusi Islam Iran. Tentu saja di sana ada peran kaum ulama (mullah), khususnya Ayatullah Ruhullah Khomeini.

Apabila melihat sepak terjang kaum intelektual dan ulama di Iran, tentu keberhasilannya itu diawali dengan perjuangan mental, intelektual, dan spiritual yang luar biasa. Sehingga menjadi intelektual publik itu bukan perkara mudah.

Menjadi intelektual publik membutuhkan kepekaan sosial yang tinggi, dan itu harus diasah sejak kecil, atau setidaknya ketika masih muda. Untuk menjadi manusia seperti itu, butuh idealisme yang kuat. Itu yang saya lihat kurang ada dalam diri civitas akademia UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Memang ada satu-dua orang yang sudah terlihat kontribusinya dalam menyumbangkan pemikirannya kepada publik dalam bentuk tulisan di media massa. Tapi apabila dibandingkan dengan jumlah civitas akademika yang ada, sangat jauh. Harusnya tidak kurang dari yang biasanya muncul di media-media massa dan membantu masyarakat dengan proyek “pencerahan” di masyarakatnya.

Jika ditanya mengapa itu terjadi? Mungkin pada dasarnya mereka, sejak awal, memang bukan orang-orang yang memiliki idealisme yang cukup, sehingga bisa menjadi orang-orang yang peka dan responsif terhadap isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. Agaknya, itu berakar pada sistem rekruitmen yang buruk, sehingga yang mengisi kampus sebagian besar bukan orang-orang pilihan. Akibat lanjutnya bisa kita duga sendiri. Yakni, kultur yang berkembang di kampus bukan kultur akademik, melainkan kultur pragmatisme-materilistik. Ini bahkan sudah menjadi pola dan budaya kita. Naik pangkat, tambah penghasilan, punya mobil dan rumah besar. Kira-kira itulah yang ada dalam pikiran sebagian besar masyarakat kampus kita. Tidak semuanya memang, tapi banyak yang seperti itu.

Saya pernah mengatakan bahwa, dalam kultur seperti itu orang-orang baik pun bisa tertular virusnya, karena ia nyaris menjadi sistem yang punya kekuatan memaksa. Jadi, kalau pun masih ada satu-dua orang yang mau bergerak di ranah intelektual dan sosial kemasyarakatan, itu karena ia menyadari tentang perannya. Mereka yang sadar itu bukan karena dibentuk oleh lingkungan dan kultur kampus, melainkan karena perjuangan individual mereka.

Karenanya, harus ada perubahan radikal, dan itu harus dimulai dari dalam diri kita. Perubahan struktural-kelembagaan tidak banyak artinya jika tidak disertai perubahan mental. Itu yang membuat saya selalu pesimis, tak terkecuali ketika gaji para guru dan dosen dilipatgandakan. Lihatlah, bukankah dari waktu ke waktu jumlah Profesor, Doktor dan Magister terus bertambah? Tetapi, adakah peningkatan kuantitas itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas? Saya yakin, saya sudah tahu jawaban Anda.

Prof Dr.H.Afif Muhammad,M.A,
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Naskah ini ditulis ulang seadanya oleh AHMAD SAHIDIN dari diskusi di milis http://groups.yahoo.com/group/ikhwan-al-shafa/

No comments: