Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, January 24, 2008

Asyura

Telaah Kritis Hadis Puasa Asyura
Oleh Ahmad Sahidin

PADA bulan Muharram ada satu hari yang dimuliakan, yang disebut Asyura. Orang-orang Arab jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan Asyura.

Salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Abbas ra menceritakan, 'Tatkala Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Rasululallah SAW bertanya, “Hari apa ini?”.

Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini.” Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, “Saya lebih berhak mengikuti Musa dari pada kalian (kaum Yahudi).” Maka saat itu beliau berpuasa pada hari Asyura itu dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya (Shahih Bukhari No.1900).

Hadis mengenai puasa Asyura ini diterima juga oleh Aisyah binti Abu Bakar, salah satu istri Rasulullah SAW, yang menyampaikan, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, (bersabda) barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka” (HR.Bukhari No.1897).


Puasa Asyura
Menurut Ustadz Abdullah Beik MA, Ketua Departemen Pendidikan Islamic Center Al-Huda Jakarta, dalam sebuah wawancara dengan situs http://islamalternatif.net, puasa biasanya disunnahkan pada hari-hari bahagia sebagai tanda syukur kepada Allah Swt atas kenikmatan yang diterima atau terhindar dari sebuah musibah dan bahaya.
Hari Asyura bukanlah hari bahagia namun hari kesedihan. Karena itu, dalam mazhab ahlulbait dilarang berpuasa pada hari Asyura, yang ada hanya dianjurkan untuk imsak (baca: tidak makan dan tidak minum) sampai waktu zuhur dalam rangka lebih meresapi dan merasakan kehausan yang dialami oleh Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, keluarga dan sahabatnya saat menjalani perang melawan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala.

Memang sering disebutkan alasan-alasan dianjurkannya berpuasa pada 10 Muharram. Namun banyak ulama, ahlulbait khususnya, yang menyatakan bahwa hadis-hadis tentang keutamaan puasa Asyura tersebut tidak benar, para perawinya tidak terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat. Misalnya, tentang bumi yang diciptakan pada 10 Muharram.

“Ini betul-betul sangat aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama.
Yang kedua, andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun pasca kesyahidan Imam Husain tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka yang menimpa keluarga Rasulullah tidak ada bandingannya. Sehingga kesedihan yang seharusnya dirasakan seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai Rasulullah dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan menyenangkan di atas,” tegasnya.

Mengkritisi Hadis
Di Indonesia, peringatan Asyura dengan puasa memang seringkali dianggap ajaran Islam. Mungkin karena tidak memahami ilmu-ilmu hadis, sehingga sumber yang tak jelas pun dianggap benar. Padahal, bila ditelusuri secara akal sehat, isi hadis keutamaan 10 Muharram itu tidak rasional dan tampak dibuat-buat.

Ada tiga alasan mengapa hadis tentang puasa Asyura yang dimuat di awal tulisan harus diragukan kebenarannya.

Pertama, Rasulullah SAW datang pertama kali ke Madinah bulan Rabiul Awal ketika masa hijrah. Jadi tak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan Rabiul Awwal.

Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksudkan datangya Nabi Muhammad SAW ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahu tahun terakhir (masa hidup Rasulullah) saat mengetahui kebiasaan kaum Yahudi. Itu pun tak mungkin baru mengetahui kalau sudah menetap di Madinah cukup lama. Bukankah hadis tentang puasa Asyura ini hadirnya beberapa hari menjelang wafat Rasulullah SAW.

Ketiga, tak mungkin Rasulullah SAW mengikuti kebiasaan Yahudi. Bukankah sudah ada aturan ibadah yang penentuannya jelas dari Allah. Karena itu, tak mungkin Rasulullah SAW mengikuti syariat terdahulu yang tak jelas perintahnya.

Lalu, mengapa ada hadis-hadis tersebut? Mengapa hari Asyura dianjurkan puasa? Adakah sisi politis dari perawi saat proses tadwin (pengumpulan) hadis?

Dalam sejarah Islam pasca Rasulullah SAW dan khulafarrasyidun, 10 Muharram merupakan hari hari bersejarah. Sebuah peristiwa yang memilukan dalam sejarah kemanusiaan. Cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein dihabisi secara keji di Karbala oleh pasukan Yazid bin Muawiyah, penguasa dzalim berkedok Islam.

Mungkin dari peristiwa Karbala ini, penguasa Bani Umayyah menciptakan hadis-hadis palsu untuk menutupi keburukan dan kekejaman yang dilakukan terhadap keturunan Rasulullah SAW dan para pengikutnya.
HMMMMM...mengerikan bukan...hadis2 ternyata diciptakan penguasa...

No comments: