Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, January 13, 2008

Teologi

Teologi Lingkungan
Oleh Radea Juli A. Hambali*

Munculnya musim penghujan, tidak selalu mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Faktanya, bagi sebagian masyarakat yang tinggal di daerah-daerah perbukitan dan yang hidup dekat dengan aliran sungai, musim penghujan telah menjelma menjadi sosok yang menakutkan. Tingginya curah hujan di sebagian wilayah di Indonesia identik dengan hadirnya malapetaka yang menyengsarakan dan merugikan kehidupan.

Banjir, tanah longsor bahkan juga gempa bumi dan bencana lainnya adalah deretan cerita yang tak pernah habis menghiasi perjalanan masyarakat kita hari ini. Alam Indonesia sepertinya tidak lagi menawarkan suatu persahabatan, yang memberikan kebaikan dan kebahagiaan.

Adalah kesalahan besar jika banyaknya peristiwa bencana yang melanda negeri ini, disebabkan hanya karena peristiwa alami semata. Sangat boleh jadi, kita memiliki andil karena cerobohnya kita dalam mengelola alam dan lingkungan. Akibatnya, alam dan lingkungan yang seharusnya menjadi sahabat yang bisa memberikan kebahagiaan bagi manusia, berubah menjadi sosok yang mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia.

Pertalian batin

Bagaimanakah seharusnya manusia memperlakukan alam dan lingkungannya? Belajar dari tradisi dan kearifan lama masyarakat kita, hubungan antara manusia dan alam lingkungannya seharusnya dipijakkan di atas landasan etis: kebaikan dan kebijaksanaan. Sejatinya, alam dan manusia memiliki pertalian “batiniah” yang erat. Dalam tradisi Jawa, misalnya, alam adalah jagad gede (makro-kosmos), sedangkan manusia adalah jagad cilik (mikro-kosmos). Oleh karena itu, rusaknya dunia gede (alam) memiliki dampak yang sangat besar bagi dunia cilik (manusia).

Pola hubungan antara dunia makro dan mikro inilah, sebenarnya yang menjadi kerangka dasar kebudayaan manusia. Oleh karena itu, dari perspektif lingkungan, sebagaimana diutarakan Ignas Kleden (1988), kebudayaan dapat dimengerti sebagai keseluruhan usaha untuk mengubah lingkungan alam, menjadi lingkungan manusia yang dibarengi dengan tindakan dan perlakuan yang adil dan tidak merusak terhadap alam. Dengan penghayatan seperti ini, manusia adalah makhluk yang “membangun lingkungan”. Alam bukanlah wilayah yang diberikan sebagai warisan, bukan suatu Gabe, melainkan merupakan tugas, suatu Aufgabe.

Sebagai suatu Aufgabe, yang dipijakkan di atas landasan etis kebaikan dan kebijaksanaan, maka manusia sebagai subjek yang memiliki akal pikiran tidak diperkenankan secara seenaknya memperlakukan alam. Alam adalah realitas yang hidup yang karenanya pula harus diperlakukan secara “manusiawi”. Pola hubungan yang dibangun antara manusia dan alam –meminjam istilah Martin Buber– harus berdasarkan pola relasi “I-Thou”.

Dengan pola relasi I-Thou ini, manusia selaku subjek harus memperlakukan alam sebagai subjek yang sama-sama memiliki eksistensi. Manifestasinya adalah manusia menjelma menjadi sahabat dan mitra alam ,untuk menghasilkan keuntungan yang bisa dinikmati bersama. Pola relasi sebaliknya adalah “I-It”. Di sini alam dilihat sebagai objek yang tidak memiliki hak apa-apa untuk berada.

Alam adalah realitas bisu yang menunggu, untuk diperlakukan apa saja oleh manusia. Namun, pola relasi inilah yang telah menyebabkan munculnya peristiwa bencana banjir dan longsor, yang kini melanda sebagian besar wilayah di Indonesia.

Paradigma baru

Keharusan memelihara hubungan yang harmonis antara alam dan manusia, sebagaimana diyakini oleh tradisi dan kebijakan masyarakat tempo dulu bergeser seiring dengan munculnya ilmu pengetahuan. Lambat tapi pasti, ilmu pengetahuan berhasil mengubah cara pandang manusia terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.

Dalam perspektif ilmu pengetahuan, manusia adalah pemilik alam karenanya manusia berhak untuk melakukan apa saja terhadap alam. Dengan kata lain, ilmu pengetahuanlah yang mengubah cara berkomunikasi manusia dengan alam melalui pola relasi “I-It”.

Sumbu dari adanya status istimewa yang dimiliki manusia terhadap alam ini, dapat ditemukan dasarnya pada ajaran Aristoteles yang diselewengkan pemaknaannya oleh para ilmuwan bahwa kerja ilmiah adalah menemukan sebab supaya akibat dapat diprediksi. Penerjemahan para ilmuwan atas ajaran ini, menjadi kausalitas ilmiah dalam ilmu yang kemudian menjelma menjadi efficient logic dalam teknologi. Dasar lainnya juga dapat ditemukan dalam pemikiran Descartes, yang meletakkan manusia (res cogitans) sebagai sosok yang memiliki otoritas mutlak atas realitas alam (res extensa).

Kiranya telah cukup jelas bahwa logika Aristotelian telah menyumbangkan pada pengetahuan manusia sifat penguasaan atas alam dan lingkungan, sedangkan rasionalisme Cartesian telah membuat akal manusia menjadi sangat egosentris. Kalau dihubungkan dengan masalah alam dan lingkungan, maka dalam logika Aristoteles akan dikatakan bahwa alam dan lingkungan kita harus dapat diketahui, dapat diramalkan perkembangannya, dan dapat dikuasai.

Dalam bahasa Cartesian, alam dan lingkungan dinamakan res extensa mencakup segala sesuatu yang ada di luar diri manusia, yang kepentingannya bergantung pada dan ditentukan oleh res cogitans yaitu manusia yang berpikir.

Rusaknya alam dan lingkungan kita dewasa ini, sangat boleh jadi berakar dari dua hal di atas. Longsor dan banjir yang melanda kita akhir-akhir ini, dapat dipastikan diakibatkan dari salahnya adalah dari cara kita memperlakukan alam dan lingkungan. Kiranya, untuk menghindari bencana yang lebih besar kita perlu mengubah cara pandang dan strategi perlakuan terhadap alam dan lingkungan, yaitu manusia harus berlaku solider terhadap alam.

Solider terhadap alam inilah, yang menjadi sumbu bagi munculnya suatu “teologi lingkungan” yang menekankan bahwa akal, kebebasan, dan ilmu yang dimiliki manusia tidak harus dilihat sebagai alat kebangkitan dan kebebasan manusia dari alam atau pun lingkungan, tetapi sebagai kebebasan dan pengertian untuk menjaga alam.

Di sini, tersirat ada hubungan yang niscaya antara keduanya sebagai sesama ciptaan Tuhan: Alam dan lingkungan berkewajiban menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikannya. Hukum alam layak dihormati dan dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab.

Pandangan ini, kiranya dapat memberikan pencerahan kepada kita untuk berpikir dan bertindak tidak berdasarkan “prosedur logis” melainkan menurut “prosedur dialektis”. Artinya, kemiskinan dan kerusakan alam-lingkungan akan selalu berhubungan erat dengan keserakahan dan kesembronoan manusia. Kekayaan dan kelestarian alam-lingkungan selalu berhubungan dengan tanggung jawab dan kesadaran ekologis manusia. Wallahu a`lam bi-shawab.***

Radea Juli A. Hambali,
pegiat pada Lembaga Kajian Agama dan Filsafat Pasamoan Sophia Bandung

[SUMBER http://pikiran-rakyat.com]

No comments: