Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, January 24, 2008

Jum'atan

Bila Jum'atan Berganti Hari; Mungkinkah?

Setelah sekian lama tak bertegur sapa di Sekre. Pengurus LPIK membuat Millis untuk mempererat temali persaudaraan kita. Tukar informasi, pengalaman dan diskusi tentang apa pun dilontarkan juga.

Kali ini menyaoal Jumatan Bila Berganti Hari; Mungkinkah? Ahmad Sahidin, mantan Ketum periode 2002-2003 melontar obrolan tersebut. Ia mengawali tulisan dengan ungkapan ‘Bila berganti hari? Pasti tak lazim dan dianggap sesat oleh kelompok tertentu

“Bila jum`atan berganti hari? Pasti tak lumrah dan dianggap sesat. Lagi-lagi kata itu yang seringkali kita takutkan untuk berbuat sesuatu yang baru dalam agama kita.

Heretisme. Mungkin itu sebutan yang akan melekat pada orang yang melakukan sebuah aktivitas yang tak sesuai dengan aturan yang terdapat dalam agama.

Tapi jangan dikira hanya di Islam saja adanya orang-orang yang berbuat heretis tersebut. Mungkin pada agama lain pun ada. Salah satunya, kasus pecahnya Kristen menjadi Protestan dan Katolik serta Ortodok. Dalam agama Budha dan Hindu pun terjadi.

Namun terlepas dari persoalan tersebut, saya menganggap bahwa heretisme, atau bid`ah--dalam istilah Islam—merupakan sebuah inovasi sekaligus bentuk syukur dari penggunaan akal atau daya pikir. Bukankah Allah dalam al-quran pun sangat menjungjung beberapa derajat mereka yang menggunakan akal atau pemikirannya. Setiap kali berpikir, berarti menggunakan potensi yang telah diberikan Allah pada kita. Tapi bila kita tidak menggunakannya, biasanya disebut tak bersyukur. Benarkah menggunakan akal dengan sebaik-baiknya merupakan wujud syukur? Bisa ya dan juga tidak.

Ya, karena memang sejarah telah membuktikan bahwa lahirnya peradaban Islam yang gemilang dengan khazanah intelektual itu muncul berkat optimalisasi akal. Banyak karya yang hingga kini ditertjemahkan adalah karya-karya akal juga. Termasuk hadirnya bangunan megah dan teknologi canggih di dunia juga karya akal.

Jadi, memang akal telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi kebudayaan manusia. Terlepas dari ketidaksepakatan orang terhadap dominannya akal dalam mengurusi persoalan agama, namun yang jelas akal itu sangat berfungsi dalam memahami perkembangan keberagamaan kita.

Kembali ke persoalan tajuk di atas. Bila Jum'atan Berganti Hari? Bolehkah? Hmmmm mungkin bagi yang berbeda pemahaman Islamnya sih boleh. Ibadah Jumat pada dasarnya adalah ganti dari shalat dzuhur. Bahkan diperbolehkan bila kita tak mengikuti ibadah Jumat, boleh digantikan dengan shalat dzuhur.

Tapi bila dipindah waktu dan harinya? Hmm ini yang cukup rumit. Sebab saya bukan pemilik aturan, saya hanya pengamal aturan dari Tuhan Yang Mahabenar. Ya itu pun hanya sedang berusaha. Tapi yang jelas, bila memang ada yang ingin mengadakannya di waktu dan hari lain, tentu harus punya dasar yang kuat.

Salah satunya, ia harus membuat agama baru yang mewajibkan ibadah Jumatnya diganti-ganti. Kemudian, ia cari pengikut yang mau menjadi bagian dari komunitasnya itu. Terakhir, ini yang harus diwaspadai, jangan pernah mengajak mereka yang sudah yakin bahwa Ibadah Jum`at dilaksanakannya hari Jum`at bukan hari-hari libur atau selain hari Jum`at.

Jadi, mungkinkah bila Jum'atan berganti hari?

Bagi Ibn Ghifarie, Sekum periode 2003-2004 menuturkan “Bila memang Jum'atan tak lagi memberikan pencerahan terhadap umat islam atau agama lain. Mendingan ganti saja formatnya. Bukan lagi ceramah--memberikan informasi dan mengajak kita untuk berbuat baik dan menjaga laranyanya, tapi diskusi. Ya caranya bisa dibuka ruang dialog ba'da Shalat. Bukan ngerumpi tak karuan. Saling mencaci maki golongan yang beda pendapat apalagi.

Berganti haripun bila memang meungkinkan bisa saja. Apalagi materi
yang dimunculkan saat khutbah adalah 'Adu Corong Mik--meminjam istilah kawanku sangat diperlukan.

Masih ingatkah gaya yang sering dilakukan oleh lembaga kita saat
jum'atan tiba. Ya Diskusi dengan metode tanya jawab. Kendati, sekarang miskin berwacana dan jumatan pula berganti dengan istirahat. ini lebih mengerikan lagi. Ayo mesti bagaimana bila menghadapi rekan-rekan yang begini. Kadung perproses jadi dalih meninggalkan tradisi luhur tersebut.

Lain ladi ceritanya di mata Badru Tamam Mifka, Ketum periode 2005-2006 ikut nimbrung “Saya selalu percaya, jika pemikiran "nyeleneh" selalu punya humor yang tinggi haha...

Hm, mungkinkah bila Jum'atan berganti hari? Tak ada yang tak mungkin. Lha wong Ahmad Mushaddeq saja bisa mengaku dapat mukjizat seperti laiknya para nabi. Tapi soal obrolan jum'atan berganti hari, saya baru dengar lho. Yang pernah saya dengar, sebagian mahasiswa melakukan sholat jum'at di sekretariat pada hari yang sama dengan MUI atau bung Rhoma Irama, dengan khotib yang duduk bersila dengan rokok dan segelas kopi hitam dan materi jumatan-nya bisa berisi kajian dari mulai marxisme, tokoh-tokoh islam sampai fenomena inul daratista dan isu-isu agama kontemporer lainnya. Toh tak ada masalah selama tak membuat pamplet ajakan dan stand pendaftaran ikut sholat sabtuan, mingguan atau apalah namanya.

Tapi, dalam lingkup privat, keinginan mengganti jumatan menjadi hari
lain sangat mudah. Beda lagi bila hal itu dilakukan di wilayah publik,
sama rumitnya dengan membolehkan perempuan ikut sholat jum'at atau malah menjadi imam-nya seperti kasus Wadud. Yang disebut terakhir, aturan baku sholat jum'at masih punya kemungkinan yang terbuka untuk diberi sentuhan "inovasi". Mereka perbolehkan perempuan ikut sholat jum'at, jadi imam, tak pakai jilbab dan berdiri dalam saf yang sama dengan laki-laki. Barangkali mereka juga percaya bahwa mereka (perempuan-perempuan itu) termasuk juga "orang-orang beriman" yang mendengar seruan untuk menunaikan sembahyang di hari jum'at. (QS.al-Jumu'ah:9), meskipun ada hadist yang mengatakan bahwa sholat jum'at diwajibkan bagi setiap muslim, kecuali hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang sakit. Tapi toh tak sedikit orang yang punya kemungkinan untuk-anti-hadist. Sungguh, tak ada yang tak mungkin.

Kenapa kita ingin mengganti hari untuk sholat jum'at? Ko mau repot
sih? Apa kita punya kesibukan di hari itu hingga tak bisa dikalahkan
oleh seremonial agama sekalipun?

Tapi, segalanya sesuatunya mungkin dan boleh jika Anda berkenan
mengganti hari sholat jumat menjadi hari sabtu atau yang lainnya.
Hanya saja kita tak usah pamer, nanti nasibnya kaya ahmadiyah yang tak khusyu ibadah karena di teror masyarakat. Hm, di hari jum'at saja
terkadang malas...apalagi hari sabtu atau minggu yak haha...

Apakah Anda orang yang yakin sudah "selesai" dan baik melakukan sholat jum'at selama ini?

Hm, begini lho, tak mesti orang yang tak sempat melakukan sembahyang di hari jumat adalah orang yang menginginkan sholat jum'at berganti hari? Keyakinan, iman, maupun ijtihad dalam bentuk apapun adalah kekayaan dan kenyataan yang demikian pribadi. Meski dalam wilayah publik ia membuat banyak orang resah, tapi jangan khawatir, Tuhan itu begitu privat lho...

Anehnya lagi, menurut Zarin Givarian Kabid Jurnalistik periode 2007-2008 berujar’ bebas lah mau hari apa aja, kita lihat aja besok hari jumat dan bisa. kita lihat siapa yang merubah jumatan ke hari lain,

Nah, kira-kira bagi kawan-kawan lainnya gimana? [Ibn Ghifarie]

1 comment:

Ahmad Jumaili said...

Agama sejatinya ada untuk kebaikan manusia, maka jika agama keluar dari elan vitalnya sebagai kebaikan maka pantas untuk di tinggalkan. Termasuk dalam soal ritual.
Soal jum'at saya kira persis, tidak hanya harus berganti hari, ditinggalinpun boleh! jika jum'at ternyata tak memberi manfaat buat ummat. Realitasnya memang demikian, Khatib yang sejatinya melaksanakan Khutbah ternyata menggibah, mencela bahkan memurtadkan ummat yang lain. Masjid akhirnya seerti laboratorium penyesatan, sungguh anarkis.
Ada kaidah ushul yang sangat baik saya comot dari temen-2 di NU "Almuhafadzatu ala qodim alsoleh, wal akhdzu bil jadid al aslah"
Jika memang tradisi jum'atan masih dirasa ada manfaatnya, TERUSKAN, Tapi jika tidak, ungkapan Ghifari harus di sepakati. Jum'at dengan model yang baru yang lebih mencerdaskan dan mencerahkan.