Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, January 27, 2008

Duka

LPIK; Turut Berduka Citas Atas Meninggalnya Soeharto
Oleh Admin

Kami atas nama Keluarga Besar Pengurus dan Post (Korps Alumni) Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung menyampaikan belasungkawa atas berpulangnya ke Ramatullah Bapak Pembangunan, H. M Soeharto, minggu (28/01) , tepat pukul 13.10 WIB, siang ini telah meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan.

Semoga amal baktinya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Keluarga Cendana yang ditinggalkan hendaknya dapat tabah menerima segala cobaanNYA. Amin Ya Robbal Alamin.

Thursday, January 24, 2008

Ahmadiyah

Ulil; Kala Ahmadiyah Dilarang
Diposting Oleh Admin


Seandainya Ahmadiyah dilarang beneran, apa kira-kira yang terjadi? Apakah ribuan anggota Ahmadiyah akan dipenjara? Atau dipaksa masuk Islam? Dipaksa keluar dari Islam?

Salah satu alternatif yang diajukan oleh banyak kalangan adalah anggota Ahmadiyah diminta keluar dari Islam dan dianjurkan membuat agama sendiri.

Alternatif ini mengandung paradoks yang sangat menggelikan: sebab, tumben sekali umat Islam meminta ribuan orang untuk keluar dari Islam. Biasanya umat Islam kebakaran jenggot jika ada seseorang keluar dari Islam. Sekarang, malah mereka menyuruh sutu golongan untuk "bedol desa" dan keluar dari Islam.

Ulil

Ulil Abshar-Abdalla
Department of Near Eastern Languages and Civilizations
Harvard University

Asyura

Telaah Kritis Hadis Puasa Asyura
Oleh Ahmad Sahidin

PADA bulan Muharram ada satu hari yang dimuliakan, yang disebut Asyura. Orang-orang Arab jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan Asyura.

Salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Abbas ra menceritakan, 'Tatkala Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Rasululallah SAW bertanya, “Hari apa ini?”.

Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini.” Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, “Saya lebih berhak mengikuti Musa dari pada kalian (kaum Yahudi).” Maka saat itu beliau berpuasa pada hari Asyura itu dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya (Shahih Bukhari No.1900).

Hadis mengenai puasa Asyura ini diterima juga oleh Aisyah binti Abu Bakar, salah satu istri Rasulullah SAW, yang menyampaikan, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, (bersabda) barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka” (HR.Bukhari No.1897).


Puasa Asyura
Menurut Ustadz Abdullah Beik MA, Ketua Departemen Pendidikan Islamic Center Al-Huda Jakarta, dalam sebuah wawancara dengan situs http://islamalternatif.net, puasa biasanya disunnahkan pada hari-hari bahagia sebagai tanda syukur kepada Allah Swt atas kenikmatan yang diterima atau terhindar dari sebuah musibah dan bahaya.
Hari Asyura bukanlah hari bahagia namun hari kesedihan. Karena itu, dalam mazhab ahlulbait dilarang berpuasa pada hari Asyura, yang ada hanya dianjurkan untuk imsak (baca: tidak makan dan tidak minum) sampai waktu zuhur dalam rangka lebih meresapi dan merasakan kehausan yang dialami oleh Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, keluarga dan sahabatnya saat menjalani perang melawan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala.

Memang sering disebutkan alasan-alasan dianjurkannya berpuasa pada 10 Muharram. Namun banyak ulama, ahlulbait khususnya, yang menyatakan bahwa hadis-hadis tentang keutamaan puasa Asyura tersebut tidak benar, para perawinya tidak terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat. Misalnya, tentang bumi yang diciptakan pada 10 Muharram.

“Ini betul-betul sangat aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama.
Yang kedua, andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun pasca kesyahidan Imam Husain tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka yang menimpa keluarga Rasulullah tidak ada bandingannya. Sehingga kesedihan yang seharusnya dirasakan seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai Rasulullah dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan menyenangkan di atas,” tegasnya.

Mengkritisi Hadis
Di Indonesia, peringatan Asyura dengan puasa memang seringkali dianggap ajaran Islam. Mungkin karena tidak memahami ilmu-ilmu hadis, sehingga sumber yang tak jelas pun dianggap benar. Padahal, bila ditelusuri secara akal sehat, isi hadis keutamaan 10 Muharram itu tidak rasional dan tampak dibuat-buat.

Ada tiga alasan mengapa hadis tentang puasa Asyura yang dimuat di awal tulisan harus diragukan kebenarannya.

Pertama, Rasulullah SAW datang pertama kali ke Madinah bulan Rabiul Awal ketika masa hijrah. Jadi tak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan Rabiul Awwal.

Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksudkan datangya Nabi Muhammad SAW ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahu tahun terakhir (masa hidup Rasulullah) saat mengetahui kebiasaan kaum Yahudi. Itu pun tak mungkin baru mengetahui kalau sudah menetap di Madinah cukup lama. Bukankah hadis tentang puasa Asyura ini hadirnya beberapa hari menjelang wafat Rasulullah SAW.

Ketiga, tak mungkin Rasulullah SAW mengikuti kebiasaan Yahudi. Bukankah sudah ada aturan ibadah yang penentuannya jelas dari Allah. Karena itu, tak mungkin Rasulullah SAW mengikuti syariat terdahulu yang tak jelas perintahnya.

Lalu, mengapa ada hadis-hadis tersebut? Mengapa hari Asyura dianjurkan puasa? Adakah sisi politis dari perawi saat proses tadwin (pengumpulan) hadis?

Dalam sejarah Islam pasca Rasulullah SAW dan khulafarrasyidun, 10 Muharram merupakan hari hari bersejarah. Sebuah peristiwa yang memilukan dalam sejarah kemanusiaan. Cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein dihabisi secara keji di Karbala oleh pasukan Yazid bin Muawiyah, penguasa dzalim berkedok Islam.

Mungkin dari peristiwa Karbala ini, penguasa Bani Umayyah menciptakan hadis-hadis palsu untuk menutupi keburukan dan kekejaman yang dilakukan terhadap keturunan Rasulullah SAW dan para pengikutnya.
HMMMMM...mengerikan bukan...hadis2 ternyata diciptakan penguasa...

Jum'atan

Bila Jum'atan Berganti Hari; Mungkinkah?

Setelah sekian lama tak bertegur sapa di Sekre. Pengurus LPIK membuat Millis untuk mempererat temali persaudaraan kita. Tukar informasi, pengalaman dan diskusi tentang apa pun dilontarkan juga.

Kali ini menyaoal Jumatan Bila Berganti Hari; Mungkinkah? Ahmad Sahidin, mantan Ketum periode 2002-2003 melontar obrolan tersebut. Ia mengawali tulisan dengan ungkapan ‘Bila berganti hari? Pasti tak lazim dan dianggap sesat oleh kelompok tertentu

“Bila jum`atan berganti hari? Pasti tak lumrah dan dianggap sesat. Lagi-lagi kata itu yang seringkali kita takutkan untuk berbuat sesuatu yang baru dalam agama kita.

Heretisme. Mungkin itu sebutan yang akan melekat pada orang yang melakukan sebuah aktivitas yang tak sesuai dengan aturan yang terdapat dalam agama.

Tapi jangan dikira hanya di Islam saja adanya orang-orang yang berbuat heretis tersebut. Mungkin pada agama lain pun ada. Salah satunya, kasus pecahnya Kristen menjadi Protestan dan Katolik serta Ortodok. Dalam agama Budha dan Hindu pun terjadi.

Namun terlepas dari persoalan tersebut, saya menganggap bahwa heretisme, atau bid`ah--dalam istilah Islam—merupakan sebuah inovasi sekaligus bentuk syukur dari penggunaan akal atau daya pikir. Bukankah Allah dalam al-quran pun sangat menjungjung beberapa derajat mereka yang menggunakan akal atau pemikirannya. Setiap kali berpikir, berarti menggunakan potensi yang telah diberikan Allah pada kita. Tapi bila kita tidak menggunakannya, biasanya disebut tak bersyukur. Benarkah menggunakan akal dengan sebaik-baiknya merupakan wujud syukur? Bisa ya dan juga tidak.

Ya, karena memang sejarah telah membuktikan bahwa lahirnya peradaban Islam yang gemilang dengan khazanah intelektual itu muncul berkat optimalisasi akal. Banyak karya yang hingga kini ditertjemahkan adalah karya-karya akal juga. Termasuk hadirnya bangunan megah dan teknologi canggih di dunia juga karya akal.

Jadi, memang akal telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi kebudayaan manusia. Terlepas dari ketidaksepakatan orang terhadap dominannya akal dalam mengurusi persoalan agama, namun yang jelas akal itu sangat berfungsi dalam memahami perkembangan keberagamaan kita.

Kembali ke persoalan tajuk di atas. Bila Jum'atan Berganti Hari? Bolehkah? Hmmmm mungkin bagi yang berbeda pemahaman Islamnya sih boleh. Ibadah Jumat pada dasarnya adalah ganti dari shalat dzuhur. Bahkan diperbolehkan bila kita tak mengikuti ibadah Jumat, boleh digantikan dengan shalat dzuhur.

Tapi bila dipindah waktu dan harinya? Hmm ini yang cukup rumit. Sebab saya bukan pemilik aturan, saya hanya pengamal aturan dari Tuhan Yang Mahabenar. Ya itu pun hanya sedang berusaha. Tapi yang jelas, bila memang ada yang ingin mengadakannya di waktu dan hari lain, tentu harus punya dasar yang kuat.

Salah satunya, ia harus membuat agama baru yang mewajibkan ibadah Jumatnya diganti-ganti. Kemudian, ia cari pengikut yang mau menjadi bagian dari komunitasnya itu. Terakhir, ini yang harus diwaspadai, jangan pernah mengajak mereka yang sudah yakin bahwa Ibadah Jum`at dilaksanakannya hari Jum`at bukan hari-hari libur atau selain hari Jum`at.

Jadi, mungkinkah bila Jum'atan berganti hari?

Bagi Ibn Ghifarie, Sekum periode 2003-2004 menuturkan “Bila memang Jum'atan tak lagi memberikan pencerahan terhadap umat islam atau agama lain. Mendingan ganti saja formatnya. Bukan lagi ceramah--memberikan informasi dan mengajak kita untuk berbuat baik dan menjaga laranyanya, tapi diskusi. Ya caranya bisa dibuka ruang dialog ba'da Shalat. Bukan ngerumpi tak karuan. Saling mencaci maki golongan yang beda pendapat apalagi.

Berganti haripun bila memang meungkinkan bisa saja. Apalagi materi
yang dimunculkan saat khutbah adalah 'Adu Corong Mik--meminjam istilah kawanku sangat diperlukan.

Masih ingatkah gaya yang sering dilakukan oleh lembaga kita saat
jum'atan tiba. Ya Diskusi dengan metode tanya jawab. Kendati, sekarang miskin berwacana dan jumatan pula berganti dengan istirahat. ini lebih mengerikan lagi. Ayo mesti bagaimana bila menghadapi rekan-rekan yang begini. Kadung perproses jadi dalih meninggalkan tradisi luhur tersebut.

Lain ladi ceritanya di mata Badru Tamam Mifka, Ketum periode 2005-2006 ikut nimbrung “Saya selalu percaya, jika pemikiran "nyeleneh" selalu punya humor yang tinggi haha...

Hm, mungkinkah bila Jum'atan berganti hari? Tak ada yang tak mungkin. Lha wong Ahmad Mushaddeq saja bisa mengaku dapat mukjizat seperti laiknya para nabi. Tapi soal obrolan jum'atan berganti hari, saya baru dengar lho. Yang pernah saya dengar, sebagian mahasiswa melakukan sholat jum'at di sekretariat pada hari yang sama dengan MUI atau bung Rhoma Irama, dengan khotib yang duduk bersila dengan rokok dan segelas kopi hitam dan materi jumatan-nya bisa berisi kajian dari mulai marxisme, tokoh-tokoh islam sampai fenomena inul daratista dan isu-isu agama kontemporer lainnya. Toh tak ada masalah selama tak membuat pamplet ajakan dan stand pendaftaran ikut sholat sabtuan, mingguan atau apalah namanya.

Tapi, dalam lingkup privat, keinginan mengganti jumatan menjadi hari
lain sangat mudah. Beda lagi bila hal itu dilakukan di wilayah publik,
sama rumitnya dengan membolehkan perempuan ikut sholat jum'at atau malah menjadi imam-nya seperti kasus Wadud. Yang disebut terakhir, aturan baku sholat jum'at masih punya kemungkinan yang terbuka untuk diberi sentuhan "inovasi". Mereka perbolehkan perempuan ikut sholat jum'at, jadi imam, tak pakai jilbab dan berdiri dalam saf yang sama dengan laki-laki. Barangkali mereka juga percaya bahwa mereka (perempuan-perempuan itu) termasuk juga "orang-orang beriman" yang mendengar seruan untuk menunaikan sembahyang di hari jum'at. (QS.al-Jumu'ah:9), meskipun ada hadist yang mengatakan bahwa sholat jum'at diwajibkan bagi setiap muslim, kecuali hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang sakit. Tapi toh tak sedikit orang yang punya kemungkinan untuk-anti-hadist. Sungguh, tak ada yang tak mungkin.

Kenapa kita ingin mengganti hari untuk sholat jum'at? Ko mau repot
sih? Apa kita punya kesibukan di hari itu hingga tak bisa dikalahkan
oleh seremonial agama sekalipun?

Tapi, segalanya sesuatunya mungkin dan boleh jika Anda berkenan
mengganti hari sholat jumat menjadi hari sabtu atau yang lainnya.
Hanya saja kita tak usah pamer, nanti nasibnya kaya ahmadiyah yang tak khusyu ibadah karena di teror masyarakat. Hm, di hari jum'at saja
terkadang malas...apalagi hari sabtu atau minggu yak haha...

Apakah Anda orang yang yakin sudah "selesai" dan baik melakukan sholat jum'at selama ini?

Hm, begini lho, tak mesti orang yang tak sempat melakukan sembahyang di hari jumat adalah orang yang menginginkan sholat jum'at berganti hari? Keyakinan, iman, maupun ijtihad dalam bentuk apapun adalah kekayaan dan kenyataan yang demikian pribadi. Meski dalam wilayah publik ia membuat banyak orang resah, tapi jangan khawatir, Tuhan itu begitu privat lho...

Anehnya lagi, menurut Zarin Givarian Kabid Jurnalistik periode 2007-2008 berujar’ bebas lah mau hari apa aja, kita lihat aja besok hari jumat dan bisa. kita lihat siapa yang merubah jumatan ke hari lain,

Nah, kira-kira bagi kawan-kawan lainnya gimana? [Ibn Ghifarie]

Kecewa

Kekecewaan
Oleh Tedi Taufiqrahman

Aku ingin berbicara mengenai kekecewaan. Semua dari kita pasti pernah mendapatkan kekecewaan dari apapun, dari siapapun, kapanpun dan dimanapun juga. Hemat saya, terlalu sombong dan songong bagi orang yang tidak gegas mengakui bahwa dirinya kecewa dengan alasan pemahaman yang bijak (atau mungkin? sengaja dibijakkan!).

Sebijak-bijak apapun orang pasti mendapatkan kekecewaan atau ia sendiri mengecewakan orang lain. Saya ingin membicarakan dulu apa itu kekecewaan? Sifat kekecewaan memang sangat relatife karena ia selalu terkait dengan subjektivitas (entah itu dalam pemikiran maupun perasaan) seseorang, dengan ini bisa dikatakan bahwa kekecewaan bukan barang yang "objektiv". Kekecewaan adalah masalah pribadi.

Oleh karena itu kita akan mendapatkan ada orang yang merasa kecewa tetapi orang lain tidak padahal penyebab orang kecewa dengan penyebab orang yang tidak kecewa sama. Misalnya, kesebelasan persib kalah dalam pertandingan melawan persikota. Bagi saya hal itu biasa saja, tetapi mungkin bagi pelatih persib kekalahan itu adalah suatu musibah besar. Kenapa hal itu bisa terjadi? Untuk membahas lebih jauh saya ingin mengemukakan dulu arti kekecewaan secara bahasa.

Kecewa, menurut Kamus Besar Indonesia Badudu-Zain, berarti tak puas/tak senang karena sesuatu yang diharapkan tidak tercapai; kekecewaan adalah perasaan kecewa. Kembali kepada contoh yang saya ungkapkan diawal, mengenai pertandingan persib. Kenapa pelatih Persib kecewa melihat persib kalah. Pelatih merasa tak puas, tidak senang karena sesuatu yang di harapkan itu tidak tercapai, apa yang diharapkan pelatih? Kemenangan.

Karena sesuatu yang diharapkan, yaitu kemenangan, tidak tercapai maka ia kecewa. Lalu kenapa saya tidak kecewa? Karena saya tidak mengharapkan persib kalah dan juga tidak mengharapkan persib menang, singkatnya saya tidak berharap apa-apa ketika persib bertanding. Kenapa saya tidak mengharapkan apa-apa, sebab memang, persib menang atau tidak, nggak ada urusannya dengan saya, nggak ada hubungannya, nggak ada sangkut pautnya dengan kehidupan saya. Intinya nggak bakalan merubah jalan hidup saya. Sekali lagi, yang kecewa pada saat pertandingan persib, mungkin tidak hanya pelatih, tetapi pemain, bobotoh, kru, managemen dan banyak lagi lainnya.

Saya ingin memberi catatan kondisi apa saja orang bisa kecewa; a) ketika seseorang berharap, b) ketika ada kaitan dengan dirinya (relasi itu bisa sifatnya ekonomis, biologis, politis, histories atau kaitan lainnya lagi). Maka ketika kondisi seseorang telah "mengidap" dua prasyarat itu, siaplah dia akan merasa kecewa.

Prasyarat utama supaya orang merasa kecewa adalah harapan, sekalipun sesuatu itu ada kaitan, ada hubungan dengan dirinya namun dia tidak berharap pada sesuatu itu maka dimungkinkan dia tidak kecewa. Misalnya saya, terhadap pertandingan persib itu, kenapa saya tidak kecewa? Sebab saya tidak mengharapkan apa-apa dari pertandingan itu sekalipun secara rasio saya memiliki relasi dengan persib; dengan saya tinggal di bandung saya telah memiliki relasi dengan persib. Tetapi nyatanya saya tidak kecewa, sebab relasi yang saya bangun bukan relasi akrab yang dekat melainkan relasi yang telah terkondisikan.

Wednesday, January 23, 2008

Republik

Republik Ning Nong
Oleh Badru Tamam Mifka

Syahdan, di sebuah hutan di belahan bumi bagian timur, berdiri sebuah Negara hewan. Semua penghuni hutan itu menyebutnya Republik Ning Nong. Sudah 20 tahun berdiri dan pemilihan umum telah berulangkali dilakukan dengan demokratis. Partai-partai semakin tumbuh subur. Ada Partai Hutan Makmur. Ada Partai Rakyat Bahagia. Ada Partai Ning Nong Sejahtera, dan sebagainya. Warna-warna bendera partai menghiasi seantero hutan. Semua kubu mengajukan calon pemimpin setiapkali pemilihan umum berlangsung. Mereka semangat dan bersaing sehat.

Partai Hutan Makmur mengajukan kambing sebagai calon. Partai Rakyat Bahagia mencalonkan singa. Partai Ning Nong Sejahtera mengajukan gajah. Partai Rakyat Tak Luka mencalonkan ular. Setiap partai memiliki pasangannya. Seperti kambing dari Partai Hutan Makmur berpasangan dengan burung elang, dan seterusnya. Setiap rakyat hewan diberi hak bebas untuk memilih setiap pasangan calon menurut hati nuraninya masing-masing.

Tibalah pemilu pemilihan presiden periode baru. Pesta diadakan besar-besaran. Kampanye politik mulai santer terdengar di setiap penjuru hutan. Setiap calon bekerja keras merebut hati rakyat. Janji-janji ditebar, pidato politik berkobar, dan rakyat bersorak hingar. Monyet-monyet berjingkrak. Burung-burung bernyanyi. Harimau tepuk tangan. Gajah memainkan bendera dengan belalainya. Semua hewan penghuni hutan gembira mengikuti setiap kampanye politik calon presiden.

Tak ada kecurangan. Tak ada anarkis. Semuanya berjalan dengan baik. Sportivitas dijunjung tinggi. Siapapun yang menjadi pemenang, seluruh penghuni hutan akan menyambutnya dengan senang. Menjadi sebuah tradisi, setiap calon atas nama partai akan memberikan hadiah pada rakyat. Dari mulai pisang, wortel, dan makanan hewan lainnya. Pokoknya sembako dan bantuan lainnya, dari mulai uang sampai pembenahan semua fasilitas strategis di seluruh hutan.

Untuk menghindari konflik yang tidak diinginkan dan timbulnya asumsi-sumsi yang kurang baik, setiap calon mengakomodir setiap hadiah yang nantinya serempak diberikan pada rakyat langsung. Tak ada diskriminasi. Tak ada monopoli pembagian hadiah diam-diam oleh partai tertentu. Setiap partai patuh dan bekerjasama menurut prosedural yang telah ditentukan. Dilarang keras memaksakan pilihan dengan cara apapun. Tak ada money politik. Haramnya jual-beli suara sama haramnya dengan narkoba. Melanggar ketentuan itu, sama saja melukai demokrasi, mutlak masuk neraka.

Monyet senang mendapat pisang gratis. Dia tak perlu lagi bersusah-payah memanjat pohon. Begitupun yang lainnya. Semua rakyat hewan selalu dimanjakan setiapkali memasuki masa kampanye politik. Semuanya berjingkrak senang. Semuanya bersorak-sorai. Kuda meringkik senang. Anjing menggonggong, dan kafilah tak perlu berlalu. Karena sebentar lagi akan ada penghitungan suara.

Seluruh rakyat hewan hening. Perasaan mereka deg-degan mengikuti setiap penghitungan suara. Lalu muncullah Partai Ning Nong Sejahtera sebagai pemenang. Semua hewan bersorak. Gegap gempita. Semua hewan saling berpelukan. Setiap calon saling bersalaman. Semua penghuni hutan sama-sama merayakan kemenangan. Seekor gajah berdiri diatas panggung, pasangannya seekor kuda. Benar-benar pasangan yang serasi. Keduanya dipandang perkasa.

Maka selesailah pesta politik. Rakyat kembali ke tempatnya masing-masing, dan pejabat baru akan segera dibentuk di bawah naungan Kabinet Sejahtera. Sebuah tradisi rakyat pun kembali hadir. Setiapkali pemilu akbar usai, mereka selalu memberikan hadiah pada pejabat-pejabat pemerintahan yang baru terpilih. Rakyat berkumpul dan mengumpulkan bantuan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka kembali mengumpulkan buku-buku, dari mulai buku-buku agama, buku tentang moral, tasawuf, etika politik, sampai pada buku-buku tentang bagaimana cara memimpin yang baik. Dari seluruh penjuru hutan, buku-buku itu dikumpulkan rakyat. Mereka mengirimnya ke istana pemerintah sebagai hadiah.

Setelah itu, keramaian kembali hening. Kemeriahan kembali reda. Seperti hari-hari biasanya, rakyat sibuk dengan aktivitasnya, dan para pejabat tenggelam dalam kesibukannya. Sampai seluruh rakyat hewan yakin, bahwa dibalik tembok istana itu, para pejabat tengah bekerja keras menyelesaikan tugas-tugas, memikirkan nasib mereka. Jangan ganggu mereka! Jangan ganggu mereka! Ssst, para pejabat butuh konsentrasi. Maka bertahun-tahun membuat jarak pengertian. Tak ada satupun rakyat yang berani mengusik istana yang megah, kecuali dua burung kecil yang setiap hari meloncat-loncat di setiap jendela istana dengan mata terperangah dan terbang ke angkasa, lalu hinggap di dahan cemara. Mereka bulung gelatik, pasangan suami isteri. Mereka hewan yang sentimentil. Ketika melihat asap membumbung tinggi ke angkasa saja mereka menangis tersedu-sedu.

“Hiks, kita semsetinya membuat buku dari besi atau logam yang tahan air. Tahan api. Tahan usia.” Ucap burung jantan.

“Benar, Mas. Tapi apa gak berlebihan? Manusia saja yang punya teknologi canggih tak sampai membuat buku dari besi…”Mereka menangis berdua, berpelukan, seperti baru saja ditinggal mati anak mereka.

“Mas, apakah kita boleh menipu dan menyeleweng?”

“Ah, manusia saja yang katanya makhluk sempurna dan punya akal hebat masih suka melakukan keduanya. Apalagi kita. Wajar.”

“Ko wajar, Mas?”

Si burung jantan tidak menjawab. Paruhnya hanya terbuka perlahan. Matanya tajam melihat anjing-anjing keluar dari istana menjinjing kaleng-kaleng minyak tanah. Lalu ia lemparkan pada api yang menyala. Wuss! Semakin tinggilah api menyala.

“Tuan, masih ada sampah yang harus dibakar?”

“Jing, ambil aja sampah baru di gudang belakang! Nanti kubayar kau! Mungpung ada lalu-lintas!” kuda memberi titah.

“Gaik!”


Sumedang, Januari 2008

Sunday, January 13, 2008

Teologi

Teologi Lingkungan
Oleh Radea Juli A. Hambali*

Munculnya musim penghujan, tidak selalu mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Faktanya, bagi sebagian masyarakat yang tinggal di daerah-daerah perbukitan dan yang hidup dekat dengan aliran sungai, musim penghujan telah menjelma menjadi sosok yang menakutkan. Tingginya curah hujan di sebagian wilayah di Indonesia identik dengan hadirnya malapetaka yang menyengsarakan dan merugikan kehidupan.

Banjir, tanah longsor bahkan juga gempa bumi dan bencana lainnya adalah deretan cerita yang tak pernah habis menghiasi perjalanan masyarakat kita hari ini. Alam Indonesia sepertinya tidak lagi menawarkan suatu persahabatan, yang memberikan kebaikan dan kebahagiaan.

Adalah kesalahan besar jika banyaknya peristiwa bencana yang melanda negeri ini, disebabkan hanya karena peristiwa alami semata. Sangat boleh jadi, kita memiliki andil karena cerobohnya kita dalam mengelola alam dan lingkungan. Akibatnya, alam dan lingkungan yang seharusnya menjadi sahabat yang bisa memberikan kebahagiaan bagi manusia, berubah menjadi sosok yang mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia.

Pertalian batin

Bagaimanakah seharusnya manusia memperlakukan alam dan lingkungannya? Belajar dari tradisi dan kearifan lama masyarakat kita, hubungan antara manusia dan alam lingkungannya seharusnya dipijakkan di atas landasan etis: kebaikan dan kebijaksanaan. Sejatinya, alam dan manusia memiliki pertalian “batiniah” yang erat. Dalam tradisi Jawa, misalnya, alam adalah jagad gede (makro-kosmos), sedangkan manusia adalah jagad cilik (mikro-kosmos). Oleh karena itu, rusaknya dunia gede (alam) memiliki dampak yang sangat besar bagi dunia cilik (manusia).

Pola hubungan antara dunia makro dan mikro inilah, sebenarnya yang menjadi kerangka dasar kebudayaan manusia. Oleh karena itu, dari perspektif lingkungan, sebagaimana diutarakan Ignas Kleden (1988), kebudayaan dapat dimengerti sebagai keseluruhan usaha untuk mengubah lingkungan alam, menjadi lingkungan manusia yang dibarengi dengan tindakan dan perlakuan yang adil dan tidak merusak terhadap alam. Dengan penghayatan seperti ini, manusia adalah makhluk yang “membangun lingkungan”. Alam bukanlah wilayah yang diberikan sebagai warisan, bukan suatu Gabe, melainkan merupakan tugas, suatu Aufgabe.

Sebagai suatu Aufgabe, yang dipijakkan di atas landasan etis kebaikan dan kebijaksanaan, maka manusia sebagai subjek yang memiliki akal pikiran tidak diperkenankan secara seenaknya memperlakukan alam. Alam adalah realitas yang hidup yang karenanya pula harus diperlakukan secara “manusiawi”. Pola hubungan yang dibangun antara manusia dan alam –meminjam istilah Martin Buber– harus berdasarkan pola relasi “I-Thou”.

Dengan pola relasi I-Thou ini, manusia selaku subjek harus memperlakukan alam sebagai subjek yang sama-sama memiliki eksistensi. Manifestasinya adalah manusia menjelma menjadi sahabat dan mitra alam ,untuk menghasilkan keuntungan yang bisa dinikmati bersama. Pola relasi sebaliknya adalah “I-It”. Di sini alam dilihat sebagai objek yang tidak memiliki hak apa-apa untuk berada.

Alam adalah realitas bisu yang menunggu, untuk diperlakukan apa saja oleh manusia. Namun, pola relasi inilah yang telah menyebabkan munculnya peristiwa bencana banjir dan longsor, yang kini melanda sebagian besar wilayah di Indonesia.

Paradigma baru

Keharusan memelihara hubungan yang harmonis antara alam dan manusia, sebagaimana diyakini oleh tradisi dan kebijakan masyarakat tempo dulu bergeser seiring dengan munculnya ilmu pengetahuan. Lambat tapi pasti, ilmu pengetahuan berhasil mengubah cara pandang manusia terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.

Dalam perspektif ilmu pengetahuan, manusia adalah pemilik alam karenanya manusia berhak untuk melakukan apa saja terhadap alam. Dengan kata lain, ilmu pengetahuanlah yang mengubah cara berkomunikasi manusia dengan alam melalui pola relasi “I-It”.

Sumbu dari adanya status istimewa yang dimiliki manusia terhadap alam ini, dapat ditemukan dasarnya pada ajaran Aristoteles yang diselewengkan pemaknaannya oleh para ilmuwan bahwa kerja ilmiah adalah menemukan sebab supaya akibat dapat diprediksi. Penerjemahan para ilmuwan atas ajaran ini, menjadi kausalitas ilmiah dalam ilmu yang kemudian menjelma menjadi efficient logic dalam teknologi. Dasar lainnya juga dapat ditemukan dalam pemikiran Descartes, yang meletakkan manusia (res cogitans) sebagai sosok yang memiliki otoritas mutlak atas realitas alam (res extensa).

Kiranya telah cukup jelas bahwa logika Aristotelian telah menyumbangkan pada pengetahuan manusia sifat penguasaan atas alam dan lingkungan, sedangkan rasionalisme Cartesian telah membuat akal manusia menjadi sangat egosentris. Kalau dihubungkan dengan masalah alam dan lingkungan, maka dalam logika Aristoteles akan dikatakan bahwa alam dan lingkungan kita harus dapat diketahui, dapat diramalkan perkembangannya, dan dapat dikuasai.

Dalam bahasa Cartesian, alam dan lingkungan dinamakan res extensa mencakup segala sesuatu yang ada di luar diri manusia, yang kepentingannya bergantung pada dan ditentukan oleh res cogitans yaitu manusia yang berpikir.

Rusaknya alam dan lingkungan kita dewasa ini, sangat boleh jadi berakar dari dua hal di atas. Longsor dan banjir yang melanda kita akhir-akhir ini, dapat dipastikan diakibatkan dari salahnya adalah dari cara kita memperlakukan alam dan lingkungan. Kiranya, untuk menghindari bencana yang lebih besar kita perlu mengubah cara pandang dan strategi perlakuan terhadap alam dan lingkungan, yaitu manusia harus berlaku solider terhadap alam.

Solider terhadap alam inilah, yang menjadi sumbu bagi munculnya suatu “teologi lingkungan” yang menekankan bahwa akal, kebebasan, dan ilmu yang dimiliki manusia tidak harus dilihat sebagai alat kebangkitan dan kebebasan manusia dari alam atau pun lingkungan, tetapi sebagai kebebasan dan pengertian untuk menjaga alam.

Di sini, tersirat ada hubungan yang niscaya antara keduanya sebagai sesama ciptaan Tuhan: Alam dan lingkungan berkewajiban menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikannya. Hukum alam layak dihormati dan dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab.

Pandangan ini, kiranya dapat memberikan pencerahan kepada kita untuk berpikir dan bertindak tidak berdasarkan “prosedur logis” melainkan menurut “prosedur dialektis”. Artinya, kemiskinan dan kerusakan alam-lingkungan akan selalu berhubungan erat dengan keserakahan dan kesembronoan manusia. Kekayaan dan kelestarian alam-lingkungan selalu berhubungan dengan tanggung jawab dan kesadaran ekologis manusia. Wallahu a`lam bi-shawab.***

Radea Juli A. Hambali,
pegiat pada Lembaga Kajian Agama dan Filsafat Pasamoan Sophia Bandung

[SUMBER http://pikiran-rakyat.com]

Thursday, January 10, 2008

I Muharam

K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat; dalam Diskusi Buku
"KELIRU, 1 MUHARAM AWAL HIJRAH RASUL"

Sejarah Islam seperti hijrah Nabi Muhammad harus segera diluruskan. Terjadi salah kaprah dan anggapan salah mengenai sejarah hijrah ini. Kalau Anda mengira peringatan 1 Muharam sebagai awal Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah, maka keyakinan itu salah besar.

"Nabi Muhammad yang ditemani sahabat Abu Bakar hijrah ke Madinah pada 12 Rabiul Awal bukan pada 1 Muharam sebagai tanda dimulainya tahun hijriah," kata Ketua Yayasan Muthahhari, K.H. Dr. Jalaluddin Rahmat dalam diskusi buku "Psikologi Agama" di Masjid Darul Ihsan PT Telkom Jalan Japati, beberapa waktu lalu.

Menurut Kang Jalal, apabila umat Islam meluangkan waktu dua menit saja untuk membaca buku, maka Nabi Muhammad melakukan hijrah pada 12 Rabiul Awal bukan pada 1 Muharam. "Jadi, keliru besar peringatan 1 Muharam sebagai awal hijrahnya Nabi Muhammad," tegas pakar Islam ini.

Kang Jalal mengatakan, peringatan tahun baru Islam tiap 1 Muharam juga baru dimulai sejak 25 tahun lalu atau sekira tahun 1970-an yang berasal dari ide pertemuan cendekiawan Islam di AS. "Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid dipenuhi jemaah, dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival. Hal ini diperkuat dengan liputan majalah Times yang dalam sampul depannya memuat tulisan Islamic Revival," katanya.

Untuk lebih menggelorakan kebangkitan Islam, lanjut Kang Jalal, akhirnya disepakati perlunya peringatan tahun baru Islam hingga menyebar ke seluruh Muslimin termasuk di . "Tidak ada landasan hukum baik Alquran maupun hadis soal peringatan tahun baru Islam. Saya menganggap bid'ah, tapi tak berani menyebut bid'ah dhalalah," katanya.

Sedangkan peringatan Sura seperti di Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta merujuk kepada kata Asysyura atau 10 Muharam yang memiliki landasan hadisnya. "Anehnya di Indonesia peringatan 10 Muharam tidak banyak dilakukan malah ada sebagian umat Islam yang ingin mengecilkan malah meniadakannya. Di lain pihak, ada sebagian kecil umat Islam yang berusaha mengadakan peringatan Asysyura meski gaungnya belum besar," timpalnya.

Bagi Ketua Umum Ikatan Jamaah Ahlul Bait (Ijabi) itu, peringatan 1 Muharam yang diidentikkan dengan kebangkitan Islam malah jauh dari tujuan yang diharapkan. "Saya terjebak kemacetan panjang di jalur selatan yang ternyata setelah diselidiki penyebabnya pawai 1 Muharam. Tampak anak-anak kecil diangkut truk bak terbuka hingga saya heran apakah ini yang disebut kebangkitan Islam?" ujarnya.

Kang Jalal juga mengkritik istilah kebangkitan Islam yang selama 25 tahun ini belum juga terwujud malah umat Islam di dunia termasuk makin terpuruk. "Boro-boro bangkit malah makin terpuruk dan tersingkirkan. Umat Islam malah dituding sebagai teroris hingga citranya negatif. Apakah ini yang disebut kebangkitan Islam?" tanyanya lagi.

Kang Jalal meyakini ajaran Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, namun tak sedikit pula yang berbuat kezaliman dengan mengatasnamakan "bendera" agama. "Kadang saya dibuat heran. Di satu sisi Islam mengajarkan kasih sayang, namun tak sedikit pula Muslimin yang memfitnah, mengadudomba, bahkan membunuh saudaranya dengan mengatasnamakan agama," katanya.

Ajaran Islam juga mendorong seorang Muslim untuk berbuat baik, membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain yang didasarkan atas perintah agama. "Namun, tak sedikit pula yang membawa label agama lantas menyakiti, menyebarkan kebencian, dan lain-lain. Agama adalah kenyataan terdekat kita sekaligus terjauh," katanya.(A-71)*** [R,11 Maret 2004]