Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Tuesday, April 21, 2009

Islam

Islam dan Dilema Mayoritas
Oleh AHMAD DIMYATI

Agama-agama besar dunia pernah mempeengaruhi kehidupan politik bangsa kita. Sebelum Islam yang saat ini dipeluk mayoritas penduduk, agama Hindu dan Budha seolah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan nenek moyang bangsa kita. Saat ini bisa kita saksikan bekas kejayaan nenek moyang kita yang mayoritas beragama Hindu atau Budha, seperti candi-candi dan prasasti.

Kekuasaan politik pemeluk dua agama tersebut akhirnya hancur setelah Islam datang menjadi agama yang dipeluk penduduk negeri kita hingga berdirinya kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaum muslim. Sampai kini, pemeluk Islam masih menjadi mayoritas. Sejalan dengan maraknya imperialisme Barat (Eropa) yang memiliki tiga moto utama gold, gospel, dan glory (pengerukan sumber daya alam, kekuasaan, dan penyebaran paham agama) ke negeri mayoritas muslim, bangsa Indonesia memasuki masa kolonialisme (penjajahan). Selain terkurasnya kekayaan alam dan lemahnya kualitas sumberdaya manusia, penduduk Indonesia mau tidak mau harus menerima penyebaran paham kristiani yang dibawa penjajah. Mau tidak mau, terpaksa atau tidak, agama Kristen mulai terse¬bar dan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia.

Pergeseran kekuasaan politik pemeluk agama satu dengan lainnya, tidak berjalan sim salabim abra kadabra, tetapi melalui suatu proses evolusi (mungkin ada kasus yang terjadi bersifat reformatiff atau revolutif). Saat ini, sebagaimana sejarah masa silam, tidak menutup kemungkinan sedang terjadi evolusi status mayoritas dan minotitas, baik dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas. Secara kualitas khususnya setelah kemerdekaann menurut saya yang terjadi bukan evolusi tetapi revolusi. Karena tingginya kualitas kaum non-muslim dibanding kaum muslim berjalam begitu cepat. Bahkan seumur saya, sejak Rhoma Irama menyanyikan lagu “seratus tiga puluh lima juta penduduk Indonesia ...” yang waktu itu “katanya” umat Islam sekitar 90 %, kini mulai mengalami perubahan drastis. Bahkan ada yang mensinyalir banyak kaum muslim yang berganti agama menjaddi non-muslim, KTP-nya tetap Islam. Kalau begituuuuuuuu...?

Ketinggian Islam (Al-Islaam ya’luu wala yu’laa alaih) terkadang tidak diikuti ketinggian akidah dan akhlak peme¬luk¬nya. Begitu pula kebenaran Islam (Innad diina ‘indallahil Islaam) banyak yang ditinggalkan pemeluknya. Hal ini dibukti¬kan ketika banyak umat Islam yang tidak peduli terhadap nasib umat Islam lain. Banyak umat Islam yang tidak memikirkan bagaimana akidah dan kehidupan anak serta cucunya kelak. Ini dibuktikan di antaranya banyak umat Islam yang menjual tanah tempat tinggalnya kepada orang lain yang tidak jelas akidahnya atau bahkan sudah jelas yaitu non-muslim. Bahkan banyak yang bangga dengan status haji mansur (halaman digusur), yang ngotot berhaji dengan menjual tanah yang harus diwariskannya. Hasilnya lambat laun kepemilikan tanah di suatu daerah yang tadinya dimiliki kaum muslim berganti tangan kepada non-muslim. Setelah itu banyak hal terjadi, berdiri gereja ini, itu, klinik ini, itu, dan lain-lain. Adapun anak cucu akhirnya harus rela menempati kawasan-kawasan kotor dan kumuh bahkan ada yang statusnya mengon¬trak.

Sebagai bahan pelajaran dan perenung¬an, di kawasan tertentu di daerah Yogyakarta, pernah tanah di daerah tersebut 90 % dikuasai muslim, tetapi satu dasawarsa atau lebih kemudian terbalik, pemiliknya 90 % non-muslim. Begitu pula ada isu dari Bandung, katanya ada upaya sistematis pemindah alihan kepemilikan tanah yang tidak disadari sebagian besar umat Islam. Katanya, saat ini ada upaya untuk menggiring umat Islam memiliki tempat tiggal di wilayah selatan yang rawan banjir dan kumuh. Adapun kawasan utara yang asri, akan (mungkin sudah) diting¬gali kaum non-muslim. Menurut saya kalau isu ini benar-benar ada dan terjadi, yang harus disalahkan adalah kita, umat Islam terutama yang berpikiran pendek dan hanya menuruti hawa nafsu dan kesenangan sesaat.

Penyebab lain dari bergesernya jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah kurangnya strategi dakwah. Kita terlalu percaya diri dengan banyaknya dakwah kenvensional (maksud saya ceramah atau tabligh). Kita sudah kalah beberapa langkah dalam merebut simpat masa mengambang (kaum awam, abangan, dan kaum yang sebelumnya tidak meyakini adanya tuhan, dll.) untuk meyakini Islam sebagai ajaran kebenaran. Di antara kita banyak yang bersikap sok paling benar, sok tidak melakukan bidah, dan menghujat teman seiring, atau menggunting dalam lipatan. Konsep setiap muslim adalah saudara banyak yang kita campakkan hanya karena pemaham¬an picik dan emosional. Sehingga kaum yang sebelumnya tidak mengetahui kebenaran Islam hanya melihat Islam dari umatnya. Akhirnya sebagian dari mereka mengikuti opini umum yang dihembus¬kan dunia barat dan mereka pun semakin menjauhi Islam.

Seorang ustadz pernah mengingat¬kan tetang kesalahan langkah kita meng¬ha¬dapi kaum komunis setelah G30 S/PKI. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan lima agama resmi, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha, yang “wajib” dipeluk salah satunya oleh semua penduduk, sebagian besar kaum komunis memilih agama non-Muslim. Di antara alasannya, mereka berpend-apat bahwa umat Islam bertanggung jawab atau kehancuran kekuatan mereka. Selain itu, di antara agama non-Islam dengan inten dan dengan wajah simpati mendakwahi mereka. Adapun umat Islam banyak yang malah bertengkar.


AHMAD DIMYATI,
pengelola bisnis gas elpji dan koperasi


No comments: