Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Saturday, July 14, 2007

Khutbah Terakhir

Senandika “Sorpus Ipse” Di Akhir Pejalanan
-great refusal-

Oleh te. Ditaufiqrahman

-setiap kata berhak hidup dalam diri seseorang-

[1]

Permenungan atas kompleksitas, paradoksitas serta validitas renik-renik semesta belum jua berakhir malah gegas jadi mula dari titik nadir dijemput dengan untaian kosakata, senandung alfabeta dan nyanyian pikir; dari cogito ergo sum Rene Descartes, sapere aude Kant sampai senjakala gott ist tot! Nietzsche tak bersahut simpul tentang ringkasan. Setiap nyanyian pikir berbuah tanya dan jawaban adalah sebuah prolog untuk menyambut pertanyaan baru.. begitu seterusnya.

Upaya manusia dalam memaknai, memahami dan menelikung kepelikan, kerumitan, kerunyaman tersebut sampai sekarang pun urung menyua ujung tak menyapa singgung. Alih-alih menguasai, memahami, untuk menemukan secercah kepastian tentang realitas, sebongkah pemahaman tentang fe[nomena]. Ke sekian kali manusia hanya harus bercanda dengan temporalitas putusan, jumpalitan dengan semua warna justifikasi, guyon dengan argumentasi yang premateur dan barikade apologi-apologi lainnya yang segera akan menyusul.

Sesaat jawaban. Sehentak pertanyaan.
Namun, tokh [d]ia tak pernah puas. Sebagai manifestasi kosmos yang dianugerahi kemampuan untuk merelung dan menilik, manusia rupanya harus hidup, berjalan dalam aras takdir mitis yang tak lebih mengungkapkan peristiwa-peristiwa puitis dan tragis bahkan sadis. Mewajahkan hasrat untuk melahap nikmatnya erangan akan ‘kata-kata’ menari pada kegamangan, mencebur pada laut yang tak akan surut akan takut. Selintas hanya mampu meleburkan “baham” dengan merangkum semua dalam ungkapan: “ternyata kaulah sumber prahara itu?! Angkat dulu kemudian ceburkan!”.

Sejarah pengetahuan, nalar, filsafat, sains bahkan agama adalah tamsil retak atas kebuntungan dan keloyoan bagaimana kedigjayaan serta kecongkakkan fikir bisa merenjiskan keangkuhan, yang dulu sempat terenyuk dalam kebodohan. Nafas peradaban, kentut teknologi, peluh kuantum, denyut statistika hingga radang kemajuan merupakan isyarat jauh akan lebatnya semangat manusia mengartikan hadirnya. Akan tetapi, lagi-lagi semua itu hanya sekejap. Sekilas pandang yang kembali mererehkan benak kita dalam kesunyian. Segalanya gagu dan bisu. Apa yang dulu terpahat di atas binarnya konsep tiba-tiba berbalik dalam kenyataan. Pelbagai penyakit pun renjis; nihilisme, sophisme, ambiguitas, fantasmagoria, heterorealitas, despritrualitas dan mantra post lainnya yang dengan biadab melunturkan kepercayaan luruh dalam senyap.

Hidup memang mesti dipercaya, hanya entah pada kata yang mana. Seseorang yang mengetahui takdirnya maka dia harus menjalaninya, sengat Gaarder. Bajingan! Siapa yang mau menjalani kehidupan yang kita sendiri sudah mengetahui apa yang harus kita jalani? Maka maha benar Tuhan yang telah mendiamkan takdir dan nasib menjadi-seperti yang dikatakan Chairil- kesunyian masing-masing. Namun kita tak mau menyadari hal itu, sebab kita terlampau rakus akan semua pengetahuan.

[2]

Kalaulah satu peristiwa dengan peristiwa lainnya berjarak hanya sebatas titik zenith yang berada di angkasa kemudian dibelah-belah menjadi dua, tiga, lima, tujuh, sembilan dan seterusnya maka aku berada diantara titik-titik itu yang kemudian memilih tak bernama, tak memiliki identitas yang jelas karena aku berada di angkasa yang hanya dihuni oleh diriku sendiri.

Kalaulah benak ini mengetahui apa yang diinginkan seperti dahulu kala akan kukeluarkan ingin itu dalam ribuan untaian alfabeta, hujanan harap beribu paragraph bahkan umpatan dalam jutaan kalimat cacian, makian dan laknat. Namun sayang, benak kini membatu tak memberitahu apa yang dimau, gagu, kelu dan membisu meski diri tetap meragu terhadap segala sesuatu.

Andaikan Rumi mengenal dan memahami siksaku maka ia akan terjemahkan dengan lekukan putaran tarian Sawa, hamburan prosa cinta dan kidung nyanyian sendu. Andai Nabi berkenan menjamah lukaku dan melupakan sejenak bahwa ia nabi kujamin ia akan menyabdakan hadits-hadits paradoksal, dogma-dogma ambiguitas, aporisma-aporisma yang sedikit vandal yang semuanya terangkum dalam Sunnah Kebalikan.

Andai Tuhan sudi singgah ke bumi menanggalkan jubah ketuhanannya kemudian menyapa lunaku maka ia akan merasakan jantungku yang remuk, otakku yang kusuk dan teman-temanku yang busuk kujamin pula ia akan memfirmankan ayat-ayat brutal, mukjizat-mukjizat binal, membanalkan yang sakral kemudian menawarkan Agama Kesepakatan.

Andaikan aku masih bisa berandai-andai .. Kalaulah aku masih mampu berkalau-kalau.. maka akan kuciptakan semesta imajinasi, lanskap fatamorgana, oase perumpamaan, horizon permisalan yang lebih banyak. Namun apa daya benak sudah lantak dan jasad beranjak berantak.

Air mata kini tak lagi mengabarkan apa-apa, mulut tak mampu menerjemahkan rasa mau, teriak tak mampu lagi mewajahkan seluruh ungkap dan decak, pikiran tersendat untuk mendedah sepenuh gagasan dan opini semua gegas pergi kemudian henti dalam sebentuk sepi dan sunyi. Malam meranggas membentuk dirinya menjadi sebuah terror, tak lagi menawarkan keheningan dan kedamaian.

Semesta remuk.
Angkasa ambruk.

[3]

Berakhirkah hikayat tersebut? Tidak. Oleh sisa-sisa keletihan pada akal dan warisan semangat tualang atas alam raya. Aku mendapatkan diriku ada pada dunia Don Juan yang dikisahkan oleh Bernard Shaw atau cerita seorang Joker dalam dunia Hans Thomas (dan cerita Milan Kundera yang belum kubaca). Mungkin dalam proses kematian Caligula atau entah disaujana mana aku berada tetapi sudah saatnya aku kembali menggumamkan selaksa kata Amir Hamzah “.. lalu waktu, bukan giliranku..”

Aku adalah Coelho yang kehilangan kekasih hingga memaksanya untuk mencari ke titian masa lalu atau ayah Hans Thomas yang mesti pergi ke Athena. Bedanya, kekasihku adalah diriku sendiri dan aku tak perlu jauh-jauh mencari diriku sendiri ke Athena.

Syhadan, setelah pertanggung jawaban “Sang Nabi” (Badru Tamam Mifka beliau menamakannya demikian dalam Lembar LPJ-nya, ketua umum LPIK 2005-2006) aku didaulat dengan satu buah “sendal jepit” menjadi ketua umum selanjutnya menggantikan Sang Nabi ini.
Setelah pembaptisan itu saya merancang beberapa rancangan kerja dengan lima wadah; divisi internal, divisi eksternal, divisi seni dan budaya, divisi pers dan jurnalistik, dan divisi nalar intelektual.

Dalam rentang waktu kurang lebih satu tahun saya telah berbuat;
Kegiatan Taaruf Generasi Baru dilaksanakan di Sumedang yang allhamdullilah bisa “menipu” lebih banyak peserta ketimbang dengan kepengurusan sebelumnya. Dan beberapa acara Pra TGB yang dilaksakan di DPR; Diskusi mantan ketua LPIK yang menghadirkan Yosep, Badru dan Ahmad. Diskusi antar presma perwakilan tiap fakultas, Fakultas Tarbiyah diwakili oleh Presma PAI, Fakultas Dakwah diwakili Presma Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin diwakili oleh Presma Aqidah Filsafat dan Fakultas Adab diwakili oleh Presma BSA

Masih dalam rangkaian acara Pra TGB, yaitu diskusi dengan tema Bebalitikum dengan pembicara Nandang Gawe, Bambang Q Anees dan salah satu mahasiswa Matematika. Beberapa waktu setelah acara TGB sebagai salah satu kegiatan follow up, kita mengadakan perfomance art di DPR.

Lateral pada masa kepengurusan saya terbit dua kali, kemudian propaganda publik yang bisa dilakukan hanya dua kali yaitu Fatwa Balangah dalam rangka menyambut Idul Fitri dan menyikapi kekerasan di IPDN.

Milad ke II LPIK dimeriahkan dengan seminar nasional yang menghadirkan Kautsar Azhari Noer, Afif Muhammad dan Iqbal Hasanuddin bekerja sama dengan JarIk, dan diskusi di DPR yang menghadirkan Ucog (Homicide), Edi (Forgotten) dan Farid Yusuf (LPIK).

[4]

Semua pertanggung jawaban dan dalam setiap organisasi selalu bernada sama yaitu sebuah pengelakkan. Perayaan elak dari setiap kesalahan dengan semburan berbagai macam dalih rasionalitas. Namun demikian, apa yang terhikayatkan bukanlah akhir. Sebab, meskipun setelah sukses menjajaki pelayaran dan menemukan pulau idaman, manusia kemudian dalam perjalanan pulangnya, mau tidak mau kembali bertatapan dengan persoalan yang tidak sedikit.
Telas sapa: ‘solilokui’ ini, dalam kerancuannya hanya ingin menegaskan bahwa suatu upaya pertanggung jawaban adalah keriuhan yang selalu berujung pada kesunyian. pertanggung jawaban dari seorang sorpus ipse yang menggumamkan nada lirih ipse-ipse yang sejatinya mau dipahami oleh relung yang merenjiskan simfoni sorpus-sorpus baru. Kejelasan yang berakhir pada ketidakjelasan. Ia juga merupakan sebongkah dan noktah upaya yang membenamkan pelakunya dalam keyakinan: kelak ia ‘kan retak apa yang tertinggal hanyalah apa yang kita sematkan pada memori benak.

gumpal darah di buku itu, mengkilau.
dan engkau bertanya “mengapa mengerbuk sesuatu?”
"aku tiba" kata ajal menyapa.
“kenapa wajahmu durja?” lanjutnya
langit meletakkan pena, tak kembali mengukir pelangi,
"panggil aku melankoli…” katanya
asap mengepul bersuara
ruang dan waktu menuntut bicara…
matahari letih gontai pulang ke peraduan,
membawa buku di ketiak
mengulum mata merah menangis darah
menagih janji sang purnama
bulan meranggas dalam peluk
aku tertidur dalam alfabeta

dalam mimpi aku berkata;
“kita memang telah membangunkan orang-orang gua seperti yang telah dikabarkan oleh Plato tetapi ternyata kita telah melakukan apa yang telah diramalkan oleh Hokheimer. Kita meluluh-lantakkan semua yang kita anggap mitos tetapi lamat-lamat kita membangun berhala-berhala baru kemudian dengannya kita menggambarkan mitos-mitos baru dengan nama rasionalitas, semangat dialog dengan pelbagai macam terror lainnya sehingga kita telah menyekap orang-orang gua baru, kali ini yang telah mengetahui rasionalitas”.

Bandung, 14, Juni 2007

No comments: