Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, July 19, 2007

Matabat Bangsa

Mencoreng Martabat Bangsa
Oleh Sukron Abdillah*

Martabat manusia terletak dalam kenyataan bahwa ia memiliki suara hati dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Inilah yang dikatakan manusia itu adalah makhluk persona yang membedakannya dengan makhluk lain. Itu pula yang menyebabkan mengapa manusia jadi satu-satunya makhluk yang terbuka pada transendensi yang tidak boleh dipersaldokan dengan pelbagai kepentingan (Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, 1999: 191).

Hendak kemanakah martabat manusia kita bawa pergi? Ke arah etika utilitarian ataukah hanya berkutat di sekitar proyeksi dorongan destruktif? Atau juga dijabarkan jadi perilaku yang mencoreng wajah martabat kemanusiaan kita yang memantulkan kesucian diri, dengan melakukan tindak kekerasan?

Hidup tak terperiksa

Berita kekerasan fisik di negeri ini juga menggambarkan suara hati nurani yang terhujam di kedalaman hati hanya untuk diri sendiri. Manusia selain dirinya dipandang sebagai “yang lain” dan tidak patut dihargai. Maka penderitaan pun menjadi sebuah kondisi psikologis yang (hanya) pantas diberikan kepada selain dirinya.

Dalam konteks inilah, kekerasan atas dalih kepentingan, kepuasan dan keserakahan diri menggejala. Militer tidak lagi segan memukul dan menembaki rakyat. Teroris berani merancang peledakan bom hanya untuk menderitakan nasib orang lain atas dalih agama.

Kekerasan fisik yang dilakukan mahasiswa dan Pembina IPDN atas alasan senioritas juga adalah potret buram dari etika moral kepemimpinan bangsa kita. Pun demikian, kekerasan berbalut diskriminasi keadilan sosial (khususnya ketimpangan ekonomi) mengundang “tuntutan” dari pelbagai daerah di Indonesia untuk mengibarkan “bendera lokal”.

Peristiwa itu menampar kita dari belakang. Mencekik rasa kemanusiaan kita dari arah yang tak disangka-sangka, bahkan menghancurkan martabat kita yang mestinya menebarkan kasih-sayang. Kekerasan juga merupakan cermin bergambar dari pantulan hidup yang tak terperiksa atau tidak diisi dengan refleksi kritis atas eksistensi diri. Tak salah jika Socrates pernah berujar “Hidup yang tak terperiksa, tidak layak untuk diteruskan”.

Sebab jiwa para pejabat kita tumpul dari kepekaan, mati suri dari rasa kepedulian sosial dan direcoki bisikan nekrofilia yang destruktif. Nilai-nilai kemanusiaan sebagai ciri keotonoman serta tanda dari eksisnya jasad dan spiritualitas kita di mata orang lain, jika tak terperiksa secara kritis akan terseret arus kekerasan dalam pelbagai bentuk.

Kekerasan Vs kebersamaan

Kekerasan adalah sebentuk pelanggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang mengakibatkan bertebarannya penderitaan hingga pada ambang batas yang mengkhawatirkan. Kekerasan juga dapat berproduksi jadi dua stigma yang bertentangan – meminjam istilah J Galtung – yakni kekerasan “dapat diwujudkan” dan “dapat dielakkan”. Kekerasan juga kerap muncul ke permukaan dibumbui doktrinasi Agama, politik kekuasaan, dan perbedaan etnis (Hagen Berndt, 2006).

Berkaitan dengan merebaknya isu kekerasan di tubuh bangsa ini, penting untuk mengembalikan landasan bern egara, berbangsa dan bermasyarakat pada nilai-nilai etika moral berbalut kebersamaan. Tanpa kehadiran soliditas di dalam tubuh bangsa, boleh jadi aneka bentuk kekerasan akan meramaikan jagad keindonesiaan. Dengan persatuan dan kerja bersama-sama atau “sama-sama kerja” menanggulangi “benang kusut” persoalan bangsa, maka semangat gotong royong ini akan menyingkirkan duri di tubuh bangsa.

Dalam teks buku lawas tanpa tahun terbit, yang bertajuk: Pancasila dan Religi, Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ menulis: “Menurut strukturnya ada kita itu baru ada bersama. Bahwa ada berarti ada bersama. Manusia tidak hanya meng-Aku, dia juga meng-Kita. Aku selalu memuat engkau. Hanya dengan dan dalam pertemuan dengan engkaulah; aku menjadi aku.” (hlm 12).

Artinya, hubungan berlandaskan cinta-kasih-sayang antarsesama ialah keniscayaan yang tak pernah nisbi dimakan usia yang meruang dan mewaktu. Ia akan terus-menerus dibutuhkan bangsa ini. Maka, kita mestinya terus mempertanyakan apa dan bagaimana fungsi kita (manusia) di dunia profan ini. Mengutip bahasa Max Scheler “Was ist der Mensch, und was ist seine Stellung in Sein”, Apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realita penampakkan?

Apabila kita merasai bersama bahwa manusia atau bangsa ini, secara eksistensial mesti menampakkan apa dan bagaimana fungsi kemanusiaannya. Maka, yang nampak ialah bahwa manusia bukanlah “monade” atau barang yang tidak memiliki relasi dengan apa pun juga. Namun, sebaliknya. Ia (manusia atau warga bangsa) selalu memiliki keterangan yang jelas tentang dirinya dan menunjukkan kesalinghubungan bersama melalui cara hidup dalam ruang sosial tanpa kekerasan.

*Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM) Bandung. Kini, tinggal di Garut.

No comments: