Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, July 2, 2007

Ekstrimsme

Khawarij dan Ekstrimisme Islam

Oleh AHMAD SAHIDIN


Pagi itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap berjejer rapih. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah. Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. Kembali ia memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian berperang? Bukankah sama-sama Muslim?”

Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris dengan barisan keturunan Rasulullah SAW. Ia berdiri dan bertanya, “Ya Amirul Mukminin Ali karamallohu wajhah, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang? Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?”

Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir , atas perintah Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di sana. Dahulu, bersama Rasulullah SAW, aku memerangi bendera itu untuk tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita”.

Dalam peperangan, pihak Muawiyah terdesak. Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Quran dan melakukan tahkim (damai-musyawarah).

“Tuanku Muawiyah, jika mereka menyetujui, kita atur dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran Amr . Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali memilih Malik al-Asytar. Tapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa al-Asyari—yang lebih tua dan zuhud serta tak berambisi politik—mewakili Ali bin Abu Thalib.

Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan memilih secara bersama-sama di antara keduanya yang berhak menjadi pemimpin umat Islam. Karena Musa lebih senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya sebagai pimpinan.

Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku, Musa al-Asyari, karena Ali bin Abu Thalib telah turun sebagai khalifah, maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua”.

Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri dengan aturan hukum yang harfiah. Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum Allah SWT. Karena itu mereka semua, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus bertobat. Namun ajakan tobat itu tak digubris. Sebab, Ali bin Abu Thalib membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”.

Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang. Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat.

Hanya satu orang yang berhasil dibunuh, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah, di Masjid Kufah saat shalat subuih. Menatu Rasululllah SAW ini wafat ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam, yang mengayunkan pedangnya hingga melukai kepala Imam Ali bin Abu Thalib.

Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, “Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan; dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya” (Nahjul Balaghah—khutbah 59).

Ia juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya. Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melepasi kerongkong mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat (HR.Muslim).

Ghuluw sebagai ektrimisme agama
Dalam khazanah ilmu kalam, almarhum Ayatullah Murtadha Muthahhari menyebut Khawarij sebagai model firqah ghuluw (ekstrim). Muthahhari mengaitkannya dengan surat Al-Maidah ayat 77, “ …janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tak benar dalam menjalankan agamamu…” ; dan surat Annisa ayat 171, “…janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…”.

Dalam istilah Quran, ghuluw bermakna mereka yang tidak mengenal hakikat nash; sehingga serampangan dalam menerapkannya. Jadi, arti ghuluw adalah mereka yang mencari kebenaran, tapi belum menemukannya dan sehingga terjerumus dalam ekstrimisme agama. Contoh gerakan ini adalah Khawarij. Mereka dalam sejarah melakukan kedzaliman terhadap umat Islam yang pahamnya berbeda dengan cara membunuhnya. Mereka juga membuat standar aturan agama secara harfiah. Pernah diceritakan, kaum Khawarij yang rata-rata berdiam di padang pasir dan gurun-gurun, melakukan investigasi akidah terhadap orang-orang yang ditemuinya. Jika ada orang yang mengaku Muslim ditanyakan perihal keimanan Ali bi abu Thalib. Jika mengatakan beriman, maka berakhirlah hidupnya di tempat itu. Jika mengatakan tidak tahu, maka selamat. Mereka juga berbeda dalam memperlakukan orang. Jika seorang Muslim, akan selalu dicurigai. Tapi bila non-muslim, amanlah dari kedzalimannya. Di masa berkembangnya Khawarij, orang-orang Islam selalu menghindar dari mereka dengan mengatakan dirinya bukan muslim.

Namun keberadaan mereka tidak lama. Sebab penguasa yang berkuasa, Dinasti Umayyah, tak menghendaki keberadaannya. Begitu juga keluarga dan pengikut Rasulullah SAW memadamkan pengaruh mereka dengan mengikis habis konsep ekstrim tersebut melalui bantahan dan peperangan. Karena corak dan perilaku yang ekstrim, Khawarij kian hari tak mendapatkan tempat di masyarakat. Sedikit demi sedikit punahlah mereka.

Selain Khawarij, gerakan yang se-model terlihat pada Wahabiyah di Arab Saudi—yang memberangus, membid`ahkan dan mengkafirkan tharekat-tharekat dan aliran Islam yang bercorak sufistik; gerakan reformasi Kemal Atturk di Turki—yang mengubah bacaan shalat, adzan, dan ucapan salam dengan bahasa lokal serta larangan keras untuk mengenakan busana muslimah yang berjilbab; rezim Thaliban di Afghanistan—yang mewajibkan laki-laki berjanggut, mengenakan ujung celana di atas mata kaki dan keharusan memakai cadar atau burdah serta larangan bekerja di luar rumah bagi kaum perempuan. Jika tidak mematuhi, maka hukuman keraslah yang diterima warga Afghanistan; dan beberapa aksi bom di Tanah Air serta pencekalan terhadap beberapa organisasi Islam, juga termasuk kategori ekstrimisme agama.

Namun sebenarnya, tidak hanya mereka yang menfasirkan nash-nash agama secara harfiah yang dianggap ekstrimisme agama, juga kalangan liberalisme dan sufisme yang yang bepegangteguh dalam pemahannya dan menganggap salah terhadap yang lain pun bisa dikategorikan ekstrimis.

Penyebab lahirnya ekstrimisme agama
Ayatullah Murtadha Muthahhari, dalam buku Islam dan Tantangan Zaman (diterbitkan Pustaka Hidayah, Bandung, 1996) setidaknya menyebutkan dua hal yang menyebabkan seseorang atau firqah terjerumus dalam ekstrimisme agama. Pertama adalah dikarenakan menafsirkan nash-nash Islam secara harfiah dan tak mau menggali khazanah ilmu-ilmu Islam yang lebih luas. Kedua, dikarenakan kebodohan (jahl) dan kejumudan (tafrith) pola pikir .

Sehingga mereka yang bercenderungan ekstrim, menurut Dr.Yusuf Qardhawi, ulama Ahlussunah di Mesir, dalam buku Membedah Islam Ekstrim (diterbitkan Mizan, Bandung, 2001), biasanya dicirikan dengan selalu fanatik pada satu pendapat dan tak mengakui pendapat yang lainnya. Tak bisa membedakan antara nilai-nilai agama dan cenderung bersikap keras dan kasar. Juga cenderung buruk sangka dan mudah mengkafirkan orang yang berbeda dengan pahamnya.

Ekstrimisme agama beda dengan Kafir
Seperti yang dijelaskan Imam Ali pada kedua putranya, orang yang bersikap ekstrim dalam beragama berbeda dengan orang yang berbuat bathil. Orang bathil bisa dikategorikan yang tidak tunduk atau menolak kebenaran dan melawan yang haqq secara terang-terangan. Mereka ini bisa disebut kafir atau kufur, yang bisa diartikan menolak kebenaran atau yang benar-benar secara kasat mata melawan dan merongrong Islam dan menindas umat manusia.

Menurut Ustadz Jalaluddin Rakhmat, konsep tentang kafir ada di dalam Al-Quran dan Sunnah. Kata kafir di dalam Al-Quran selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Orang non- muslim yang berakhlak baik tidak masuk kategori kafir. Ia mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al-Quran, bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih (syukur)– “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih).

“Di sini (dalam ayat-ayat di atas—penulis) kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan,” kata Cendekiawan Muslim dari Yayasan Muthahhari, Bandung, yang biasa disapa Kang Jalal dalam wawancara dengan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla beberapa tahun lalu.

Menurut Kang Jalal, dalam Al-Quran konsep kafir dihubungkan dengan kata pengkhianat atau kemaksiatan yang berulang-ulang—atsîman aw kafûrâ. Karena itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn–Bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya”. “Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg tak bisa diingetin pantas disebut kafir. Nabi SAW sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan,” kelakar Kang Jalal.

Islam bukan agama teroris
Harus kita akui bahwa islam bukan agama teroris. Sebagaimana yang sering dilayangkan penguasa Adi-kuasa dunia, Amerka dan konco-konconya. Tapi meski begitu, Islam memang punya landasan untuk bersikap keras dan juga bersikap lembut. Seperti yang dikemukakan Ayatullah Muthahhari dari Iran, dalam kitab Asyna’i ba Qu’an (Mengenal al-Quran) menyatakan bahwa dalam Islam terdapat cinta dan benci. Namun cinta dan benci yang bersifat rasional, bukan bersifat emosional atau tanpa dasar dan tanpa tolok ukur.

Beliau menambahkan: “Islam adalah agama pedang dan cinta. Ia adalah agama kekerasan dan kelembutan. Hanya kekerasan yang pada tempatnya saja yang diperbolehkan oleh Islam. Sebagaimana kelembutan yang pada tempatnya yang diperbolehkan oleh Islam. Justru dari sinilah letak keagungan dan keutamaan Islam. Jika Islam tidak menyatakan hal ini di mana kekerasan tidak dijawab dengan kekerasan pula atau logika harus dijawab dengan logika, niscaya kita tiada akan menerimanya. Islam tidak pernah mengatakan, jika salah satu dari pipi anda ditempeleng, maka berikanlah pipi Anda yang lain. Namun Islam mengatakan, barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadap kalian (QS al-Baqarah: 194). Jika hal ini tidak dikatakan oleh Islam maka dari sinilah letak kelemahan dan kekurangan Islam. Islam sangat menjunjung tinggi cinta kasih. Namun jika cara penggunaan cinta kasih tidak lagi bermanfaat maka Islam melarang (pengikutnya) untuk berdiam diri.”

AHMAD SAHIDIN, anggota Post - Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Kontak e-mail: jajahilan@yahoo.com, reportase@telkom.net, jajahilan@plasa.com

No comments: