Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, June 20, 2007

Harus Di Baca (2)

Nasihati “Si Entong”, Yuk!
Oleh O Solihin

Sobat muda muslim, yang suka nemenin adiknya (kalo saya nemenin anak) nonton tivi kayaknya agak-agak apal, atau bahkan apal banget ama sinetron yang tayang di TPI, yakni Si Entong (Abunawas dari Betawi). Sebagai hiburan, sinetron yang skenarionya ditulis oleh Ayesha Adam, Imam Salimy, dan Zainal Radar T memang oke banget. Lucu dan tokoh-tokohnya sangat berkarakter, sehingga pemirsa yang sering nonton sinetron ini mengenal betul karakter khas para tokohnya.

Sinetron bergenre drama komedi religi ini dibintangi oleh Fachri (Entong), Adi Bing Slamet (Ustad Somad), Rheina Ipeh (Fatimah), Hafiz API (Salim) Ana Shierly (Mpok Lela) dan pemeran lainnya. Sinetron ini mengisahkan kehidupan Entong, anak lelaki berusia 12 tahun, anak semata wayang Fatimah. Ayahnya sih udah meninggal dunia. Penampilan Entong yang suka berpeci merah dan mengenakan kain sarung yang dikalungkan di lehernya ini punya guru ngaji, namanya Ustad Somad.

Layaknya anak-anak yang lain, Entong juga punya teman sekaligus ‘musuh’ bebuyutannya, yakni Memet, Udin, Ucup, dan Siti. Meski kalo dilihat sebenarnya yang dominan nakal tuh Memet, ketiga kawannya sih cenderung ngikutin aja apa maunya Memet. Apalagi Siti, meski banyak nge-gank ama Memet, tapi suka curi-curi kesempatan biar bisa ketemuan ama Entong. Maklum Siti nih suka ama Entong.

Banyak kejadian kocak khas Betawi dalam sinetron ini. Berbagai peristiwa dikemas dengan menarik meski sebenarnya kejadian yang biasa terjadi sehari-hari. Barangkali di sinilah kekuatan sinetron Si Entong ini.

Meski demikian, bukan berarti sinetron ini adalah tontonan yang aman buat anak-anak dan bahkan untuk orangtua. Lho kok?

Tanya kenapa?
Pertama, sinetron ini kerap mengeksploitasi hal-hal yang nggak masuk akal. Dari judul per episodenya aja bisa ketahuan, misalnya Pancing Ajaib, Gelang Laba-laba Ajaib, Baju Ajaib, Tongkat Ajaib dan lainnya. Ada sih judul yang nggak pake kata ajaib, tapi umumnya cerita itu ya seputar keajaiban juga. Pada episode Senter Wasiat misalnya, senter yang dimiliki Entong, kalo disorotkan ke wajah orang, maka tuh orang wajahnya langsung jadi cantik atau ganteng. Kalo disorotkan ke makanan, maka makanan tiba-tiba jadi banyak.

Hmm… juga dalam episode Memet Jadi Dua, Ustad Somad menjelaskan ketika ngisi pengajiannya Entong Cs, bahwa manusia itu punya teman dalam dirinya, yang disebut hati nurani atau hati kecil. Memet yang penasaran pas nyampe rumah langsung bercermin dan mencari-cari teman dalam dirinya. Tapi nggak nemu. Eh, pas Memet pergi malah bayangannya di cermin nggak mau pergi. Tetap ada di cermin, bahkan bisa keluar kemudian main layaknya Memet yang asli. Nah, bayangannya itu disebut Mumut. Hihi.. lucu dan kreatif, plus menghibur. Yup, memang sinetron ini sifatnya hiburan, tapi kenapa harus melanggar logika?

Ya, mungkin manusia memang menyukai hal-hal yang ajaib dan segala hal yang berkaitan dengan kekuatan atau kelebihan ideal yang diinginkannya dari diri atau sebuah benda. ‘Kebiasaan’ menyukai hal yang ajaib ini memang bukan milik orang-orang sini aja, di Amerika pun udah ada sejak dulu. Misalnya cerita Superman, Batman, Catwoman, Hulk, X-Men, Fantastic Four, Spiderman, Captain America dan cerita superhero fiksi lainnya.

Jangankan anak-anak, orang dewasa aja suka. Apalagi setelah diangkat ke layar lebar, gambaran kekuatan tokoh superhero yang ada di komik jadi lebih terasa nyata dengan bantuan teknologi. Misalnya saja film X-Men (yang diangkat dari komik karya Stan Lee dan Jack Kirby), tokoh Wolverine/Logan yang memiliki cakar besi di tangannya jadi kelihatan gagah. Juga Ororo Munroe/Storm yang punya kekuatan menghadirkan badai petir, nampak lebih keren dengan bantuan efek. Scott Summers/Cyclops bisa nyemburin api dari matanya. Wah, kalo mo dipreteli satu-satu bakalan banyak dan nggak cukup halamannya di buletin ini.

Kedua, sinetron Si Entong ini sering nampilin adegan pergaulan antara laki-perempuan yang longgar, khususnya tokoh yang dewasa. Misalnya, adegan tentang Ustad Somad yang kerap mampir ke warungnya Fatimah yang janda itu. Kalo ketemuan, duduknya juga suka deketan. Apalagi Fatimah naksir berat sama Ustad Somad. Begitu juga Ustad Somad dengan Jamilah. Jamilah diajarin ngaji sama Ustad Somad. Lha, apa nggak ada ustazah tuh buat ngajarin kaum Hawa?

Oke, mungkin bagi sebagian orang hal ini dianggap wajar. Toh, dalam kehidupan sehari-hari juga banyak yang begitu. Cuma persoalannya nih, apakah realita yang ada di tengah kehidupan itu nggak bisa kita nilai? Hanya dibiarkan apa adanya dan bahkan dijadikan inspirasi tanpa ada penilaian dari si penulis cerita untuk menjelaskan bahwa hal itu sebenarnya nggak boleh?

Ketiga, obrolan yang ditampilkan kerap kasar dan tidak mendidik anak-anak. Apalagi kalo tokoh Salim dan Samin bertemu, pasti banyak ungkapan, obrolan, sindiran, dan adegan yang nggak pantes ditonton. Setali tiga uang dengan Salim-Samin adalah tokoh Mpok Lela dan Mamake Memet, yakni Mpok Zaenab. Dua orang ini kerap mengumbar ungkapan dan istilah yang juga nggak pantes untuk diteladani.

Sekadar hiburan?
Mungkin aja ada yang bertanya, emangnya nggak boleh kalo bikin cerita tentang khayalan kayak X-Men dan sejenisnya, termasuk Si Entong, kan yang penting menghibur?

Sobat muda muslim, saya malah khawatir dengan pernyataan orang-orang yang menganggap bahwa hiburan ya hiburan dan itu bebas nilai. Hiburan dipercaya sebagai bagian dari kesenian dan ekspresi berkesenian. Mereka beralasan bahwa namanya juga hiburan, yang penting kan bisa mengobati kepenatan, kejenuhan dan membuat kita rileks.

Oke, penulis juga nggak anti kok sama hiburan, toh sinetron ini penulis tonton juga untuk mendampingi anak yang memang hobi nonton sinetron ini sambil harus rajin ngasih tahu mana yang benar-salah, mana yang baik-buruk, dan yang nggak boleh dan boleh dilakukan. Namun, jujur aja bahwa kita juga nggak bisa memantau setiap hari tontonan anak-anak. So, yang diperlukan adalah kerjasama dari pihak lain, khususnya yang bergelut di media massa televisi supaya nggak menampilkan film atau sinetron yang nggak mendidik. Baik aspek kognitif maupun afektifnya. Mungkin kalo orang dewasa sih nggak mudah dibohongi dengan cerita semacam itu. Tapi anak-anak? Nggak ada jaminan kan kalo kemudian nggak terpengaruh dengan melakukan adegan yang berhasil ditiru dari tokoh cerita tersebut?

Waktu kecil dulu, saya dan temen-temen main sering mengekspresikan diri dengan tokoh-tokoh superhero fiksi yang dilihat di televisi: Superman, Batman, Flash Gordon, Gundala dan sejenisnya.

Jadi, kalo pun ingin menampilkan cerita tersebut, harus ada penjelasan di akhir cerita bahwa itu sekadar khayalan belaka. Tapi menurut saya lebih baik bikin cerita yang masuk akal dan pendidikan yang sesuai dengan kenyataan kehidupan manusia pada umumnya.

Begitu pula apakah kita kembali berlindung dengan pernyataan: “Ini kan hiburan. Nggak usah diributkan. Nikmati aja. Repot amat!”
Well, apakah kemudian kita berdalih pula ketika adik atau anak kita yang terpengaruh sebuah adegan atau obrolan dan ungkapan dari sebuah tayangan yang nggak mendidik, bahwa hal itu sekadar efek biasa dari sebuah hiburan? Sesederhana itukah berpikirnya? Padahal, kebiasaan akan berubah menjadi karakter. Bayangkan jika ada tokoh yang ditontonnya itu sering berkata tidak baik, kemudian ia mencontohnya dalam kehidupan nyata dan berlaku kasar kepada temen-temennya. Sudah saatnya kita menerapkan prinsip bahwa hiburan yang kadang disebut sebagai hasil ekspresi dari sebuah estetika, tetap harus berdampingan dengan etika. Nggak cuma menampilkan estetika (keindahan seni menghibur), tapi sekaligus selaras dengan etika. Utamanya, etika dalam ajaran agama kita, yakni Islam. Setuju kan? Yes! (backsound: harusnya ini jawabannya ya!)

Hiburan yang mendidik
Sobat, betul banget kalo dikatakan bahwa kita sangat butuh hiburan. Tapi kan masalahnya nggak semua hiburan bisa kita nikmati begitu saja. Ada ukuran dan nilai yang harus dimiliki sebuah hiburan sehingga kita nggak sembarang menikmati. Sebagai seorang muslim, tentu saja hiburan harus disesuaikan dengan standar ajaran Islam. Bukan ajaran yang lain. Itu sebabnya, meski kita butuh hiburan, tapi nggak melampiaskannya dengan dugem, kumpul bareng teman (campur-baur cowok-cewek) di diskotik dan menikmati irama musik yang hingar-bingar. Ya, bagi seorang muslim/muslimah, menikmati hiburan jenis itu jelas nggak sesuai ajaran Islam.

So, berarti kita kudu pandai-pandai memilih dan memilah jenis hiburan. Lebih bagus lagi jika kita bisa menikmati hiburan yang mendidik dan sekaligus sangat bermanfaat bagi perkembangan kognitif (ilmu pengetahuan), afektif (perasaan atau emosional), dan psikomotorik (keterampilan) yang sesuai dengan gaya hidup kita sebagai seorang muslim. Tul nggak sih?

Sobat, sebenarnya bisa saja hiburan kemudian dijadikan sarana untuk menyampaikan informasi yang benar dan mendidik. Sangat bisa dan sangat mungkin untuk digarap. Sehingga nggak sekadar hiburan an sich. Tapi ada nilai yang bisa membentuk kepribadian kita: baik pola pikir maupun pola sikap kita. Nilai yang benar dan baik tentunya. Bukan ukuran nilai universal atau humanisme, tapi nilai berdasarkan Islam. Malu dong, ngakunya muslim, tapi kelakuan sekuler abis, hedonis en permisif. Sungguh terlalu! (silakan nyebutin kalimat ini pake gaya Samin di sinetron Si Entong kalo mau hehehe..)

Insya Allah nggak ada ruginya ngajarin dan nyampein kebaikan. Hiburan yang baik dan bermanfaat dalam mendidik insya Allah selain membantu orang untuk menjadi benar dan baik, kita juga dapat pahala. Sebaliknya, kalo ngajarin keburukan tentu aja kita dapet bagiannya juga, yakni dosa. Rasulullah saw. bersabda:

“Siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang baik kemudian beramal dengannya, maka ia mendapat balasannya (pahala) dan balasan serupa dari orang yang beramal dengannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang buruk kemudian ia berbuat dengannya, maka ia mendapat balasannya dan balasan orang yang mengikutinya tanpa mengurangi balasan mereka sedikit pun,” (HR Ibnu Majah)

Oke deh, ini aja sekadar nasihat kecil buat “Si Entong”, yakni bagi penulis ceritanya, produsernya, sutradaranya dan seluruh kru yang terlibat di sana. Ini nasihat karena Entong mengusung genre drama komedi religi (dalam hal ini nilai-nilai ajaran agama Islam). Jadi, ini sekadar tanda cinta dari saya untuk saling menasihati dan mengingatkan sesama muslim. Iya nggak sih? Gejlig! Tewewew! [solihin: www.osolihin.wordpress.com]

*Penulis Pengelola Wibsite www.studia-online.com

No comments: