Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, June 15, 2007

Titik 2

Sajak-Sajak BADRU TAMAM MIFKA

Beratus Tahun Bebaring | Berita Zaman | Di Negeri Ini Cinta Digusur Kekuasaan | Doa Yang Tercatat | Di Tikungan Jalan | Dik, Ini Juga Untukmu | Dzikir Satu | Inti Rindu Diriku | Jalang | Jika | Setapak Tanda.


Beratus Tahun Bebaring


Malam bangkit Heningnya tegak seperti alif
Seorang lelaki tersuruk di mata malam
Ada teriak yang berulangkali dipendam

Ia bangkit dan memulai kesedihannya
dengan nyanyi sunyi, lalu doa-doa yang demikian terbuka
Tetapi berulangkali ia terluka, terlunta:

“...haruskah aku menjahit bibirku agar tak diteriakkan lagi puisi
paling sepi yang kelak begitu mudah
menajamkan pedih didadaku?”

Lelaki itu perlahan rebah—beratus tahun terbaring
Tuhan, malam bangkit, lelaki itu kelak
tak bangkit kembali. Hening

November 2006


Berita Zaman


Ada ribuan berita melata diantara
hati yang terbakar dan bumi yang tercemar
Seperih mata, mulut kecut
dan kulit yang sakit, kita mendengar suami
membunuh isteri, isteri membunuh suami
dan penduduk yang menghisap
racun-racun limbah industri

200 juta rakyat sekarat
diantara keserakahan pejabat-pejabat
yang korupsi dan kematian perlawanan puisi
Masyarakat diancam kekerasan, dihantui kelaparan
dan dijerat penipuan
Populasi penduduk bengkak dan ambisi
berdesak-desak saling gasak

Undang-undang berbusa-busa ditindih
kaset-kaset palsu, VCD porno bajakan,
obat-obat oplosan dan uang palsu
Ada ternak diberi minum banyak
oleh pedagang-pedagang daging yang tamak
Agama juga dibuang di tong sampah,
dikerubuni lalat-lalat dipinggir jalan

Di kaca televisi orang membincang
skandal dan sex bebas
Ibu-ibu muntah melahap sinetron
Setiap hari penjahat-penjahat menguasai berita
Ketakutan-ketakutan menyelimuti jam dinding

Ada anak-anak kekurangan gizi
Ada antrian pembeli minyak tanah yang langka
Orang-orang miskin kehilangan nafkah dan rumahnya
Banjir dan lumpur panas menenggelamkannya
Menenggelamkan kesejahteraan
Membenamkan harapan

Dinegeri ini,
Ada kecurangan dalam pembangunan
Ada keji dalam janji-janji
Ketika pemerintah bukan lagi pembawa amanah
Ketika ulama bukan lagi peyambung agama
Ketika kejaksaan jadi komplotan
Ketika polisi jadi gadungan
Ketika pengajar jadi kurang ajar
Ketika manusia bukan lagi manusia
Ketika manusia lenyap dimabuki fantasi

O, zaman edan
Kita hidup di zaman kurapan
ketika kepala berotak diganti bola dunia
Ribuan nilai berputa-putar
menukik, mematuki diri
seperti cabikan beribu burung nazar
Berbusa-busa mulut di depan televisi
Berbusa-busa dalam ilusi
Disana kita yang dibangun dan kita yang
berulangkali dihancurkan zaman

O, zaman edan
Kita hidup di zaman kurapan
ketika tubuh dijadikan tuhan dan
pusat pemujaan yang angkuh
dalam irama komoditi
Agama dibendakan, dicari-cari
dilipatan celana Madonna
Moralitas dirobotkan, diputar-putar
dalam mekanisme libido yang binal
Kemanusiaan dimesinkan
Berjuta tanda dusta mempercepat
geliat hasrat
Berpacu dengan dahaga
Berpacu dengan berhala
Orang-orang kesurupan
dan yang lainnya ketakutan
Berlomba-lomba menenggak
fatamorgana zaman dengan segelas
luka saudaranya

Ada ribuan berita melata
Diantara koran-koran bekas yang
diinjak sepatu-sepatu dan ditiduri
anak-anak gelandangan
Televisi dimatikan dan radio berganti saluran
Listrik padam dan siang menjelang malam

Di negeri ini,
Ada ribuan orang berpesta
Ada ribuan yang lainnya dinista

2006

Di Negeri Ini Cinta Digusur Kekuasaan


Mata hati, mata hati gelisah Mata luka sejarah
Di negeri ini cinta digusur kekuasaan
Air mata ditumpahkan
Perempuan-perempuan dijatuhkan

Manusia-manusia berdesakan dalam ruang yang gelap.
Putus asa. Orang-orang kalah yang dipecah.
Mereka dikerat-kerat, digilas khianat.
Mereka diculik haknya. Dicekik kemerdekaannya.
Jika negara adalah neraka
Maka rakyat adalah gelora luka yang diperdagangkan
Ribuan orang sisa disampahkan pembangunan
Dibutakan jiwanya, ditulikan hatinya
dibisukan waktunya

Keringat bercampur air mata kehilangan
Kemiskinan meradang menerjang keseharian
Gedung-gedung dibangun, pengangguran dihiraukan
Anak-anak dididik untuk jadi gelandangan
Gelepar kelaparan, darah dingin kemiskinan
Rakyat merajut nganga rasa pedih
Rakyat dicabik rasa sedih

Dibawah telapak kaki pejabat dan hisap pengusaha
Dibawah tapak sepatu-sepatu tentara
Dibawah harapan-harapan yang dihancurkan
Dihancurkan. Mereka dihancurkan!

Jika kerja adalah serigala
Maka mereka adalah ribuan buruh yang tak utuh
Meletakkan nyeri berkelindan diantara hak, upah dan vagina
yang dilecehkan majikan
Mulut mereka dikunci, dibungkam baja dipenjara-penjara janji
Runtuhlah marsinah-marsinah diceruk kata kekuasaan
Tanpa keadilan

Jika ladang adalah murka
Maka mereka adalah petani-petani yang sakit hati
Menyandarkan rasa resah ditembok-tembok para tuan tanah
Menggarap pengap lahan pertanian, gabah yang disampahkan
Ribuan penduduk melata menyerbu kota, bermain dadu kematian
dilubang nista

Jika lapak adalah perkara
Maka mereka adalah para pedagang yang terbuang
Mengais mimpi yang robek di tepi trotoar dan di pasar-pasar
yang gusar dengan kaki yang dipatahkan, dilumpuhkan,
direbut mata pencahariannya
Atas nama ketertiban
Atas nama keindahan!


Doa Yang Tercatat


Kutulis doa ini untukmu, perempuanku
sebab aku ingin mencatatmu dalam
hitungan tahun yang panjang
—seperti hitungan takzim dan ketukan kerinduan
yang saling bersentuhan

Selalu ada dunia berpendar di mata kekasih
Lalu kita belajar berharap bahwa Cinta seperti ibu
yang melahirkan kita
Seperti keteduhan yang acap meluruskan muram
dan sunyi yang kerap melengkapi malam

Aku ingin mencintaimu, kekasihku
seperti kelak begitu mesranya anak-anak kecil
mencium kedua belahan pipiku
Sebelum hati-hati kuikat tali sepatuku
Sebelum pelan kau masukkan setiap kancing bajuku
Sebelum kelak kau bercerita padaku
bahwa doa-doa semalam hanyut di arus gerimis
Lalu separuhnya terselip diantara
angka-angka kalender dan temaram

Dan jika waktu adalah batu-batu
maka kita akan berjalan jauh menapakinya
Sampai akhirnya kita akan mengetuk pintu
dengan perasaan yang perkasa menerima setiap
suara kenyataan yang dihadirkan deritnya
Disana aku menjadi telaga bagi resahmu
Dan kau menjadi telaga bagi gelisahku

Selalu ada tanda yang tersisa untuk diterjemahkan
—barangkali luka dan kekhawatiran
Selalu ada makna yang diraih ketika pedih dicerna
dengan hati yang bersih, sikap yang lembut dan
pikiran yang tak lagi kalut

Hidup ini, kekasihku, seperti ribuan helai panjang
hitam rambutmu
Ada saatnya aku terlalu gemetar mengurainya
Ada saatnya kau begitu rapi menggerainya
Ada saatnya kau tak bisa lengkap merabanya
Ada saatnya aku aku begitu pasti membelainya
Atau begitu sepi langitmu dan anak-anak kecil
tampak berlarian nakal di teras mesjid ini
Atau begitu perihnya pikiranku dan kulihat bayi kecil
menangis di pangkuan bapaknya
Atau begitu harumnya kebersamaan dan aku ingin
menemanimu mencium aromanya
Atau kelak kita akan mengajari anak-anak yang penakut
untuk menulis puisi dengan bolpoint yang tiba-tiba
tintanya kering, jiwa yang tiba-tiba kering

Kutulis doa ini untukmu, perempuanku
sebab aku ingin mencatatmu dalam
hitungan tahun yang panjang
—seperti hitungan menempuhi ketabahan dan
harapan yang bersahutan

Dan jika waktu adalah restu
maka kita akan belajar saling mempertautkan kehalusannya
Selalu, kekasihku, aku ingin mencintaimu
Jadilah ibu bagi puisi-puisiku yang berserak
Jadilah ibu bagi anak-anakku kelak.

Kampus, 22 Desember 2006

“Selamat Hari Ibu”
Di Tikungan Jalan


Di jalan yang menikung,
kita akan menemukan selembar doa
kita lipat saja dikerumunan hujan
biar ditabuh gerimis
digerayangi dingin

Bangun surau kita
lebih dekat dengan jalan
dan kita saling merapatkan kata-kata
Menafsir setiap ketukan dipintunya
sebagai sebuah kekalahan usia

Di jalan yang menikung,
terkadang ada beberapa doa
mengajarkan kita tetap tersenyum
pada sesuatu yang percuma

April 2006


Dik, Ini Juga Untukmu


Betapa ingin aku tetap berpaut denganmu
Seperti temali Tuhan di kerapuhan iman ini
Seperti napas Tuhan di urat leher kita

“Berjalanlah disampingku, sepenuh usia dan sendu.”

Lalu tibalah rindu ini di rumah-rumah hikmah
—tempat kita tak lelah memanen makna
dalam perbendaharaan peristiwa
Dan kitapun dipergilirkan
seperti musim dan warna cuaca yang
berubah-ubah, berganti-ganti
Disana, segala pertemuan akan menjadi seluas
pengetahuan dan perpisahan menjadi seraih pelajaran

“Temani aku, Dik, sebab kita fana dilingkaran dunia.
Agar lebih keras kita bekerja dan lebih lembut
kita berharap.”

Betapa ingin kuamalkan jiwa ini
sebelum aku lupa menghukumi diri
Sungguh, tak henti mesti kita hijrahkan diri ini
menuju Cinta
Tak henti, tak henti-henti bermanusia

Betapa ingin aku tetap berpaut denganmu, Adikku
seperti puisi-puisi. Seperti doa-doa yang sunyi.

Maret 2007


Dzikir Satu


Perempuan,
dzikir ini lahir dari mata hati yang
merapatkan dirinya pada setiap
tikungan bismillah
Ia mengurai diri dalam keheningan
yang selalu berkata pelan:
“berikan aku suara terbaik dalam
setiap kerinduan yang engkau berikan
dengan tabah untuk seorang kekasih.”

Ia takzim pada setiap gagasan yang
memberi kita sepetak hamdallah
untuk bersujud mensyukuri Cinta
Dengarlah suaranya, kekasihku
--suara yang dapat kita dengar
tanpa telinga, tanpa sedikitpun kebencian

Dzikir ini lahir dari mata hati yang
merapatkan dirinya pada setiap
tikungan bismillah
Ketika ia menatap,
maka ikutilah kemana arah ia menatap
maka pergilah menuju arah ia menatap

2006


Inti Rindu Diriku


Engkau bersemayam dalam
Inti Rindu Diriku
Beribu-ribu kali basuh igauku
Dalam kelipatan gelisah dan putus asa
Andai aku mampu ucapkan seutuhnya
Tentang Engkau dalam kata
Andai aku mampu lukiskan seutuhnya
Wajah Engkau atas kanvas

Andai aku mampu tuliskan seutuhnya
Sosok Engkau lewat puisi
Andai aku mampu nyanyikan seutuhnya
Ada Engkau diantara lirik lagu
Andai aku mampu hadapkan wajahku
dengan wajah-Mu
Hanya remuk memahat maksud
Rahasia-Mu sudah cukup beri Mabuk
Dalam setiap ingat

Jauh kebelakang sebelum itu
Aku menebar cari Engkau dalam
dahaga jarak
Di luar diri
Engkau kesepian dalam pencarianku
ke barat, timur, utara, selatan,
kungan dan sudut-sudut langit yang jauh
Engkau disini ternyata
Dalam Inti Rindu Diriku
Amat dekat, utuh Engkau dalam akrab.

2003

Jalang


Perjalanan ini demikian berjatuhan
Sebab setiapkali senja pulang
Ada setapak malam menjauh mengiris arah

Aku rangkum leluka dalam muara cinta
Menyusuri semua nyeri
Lewat kekuatan puisi

Lalu apa yang dapat kita dekap
Dalam arti menunggu?
Apa yang dapat kita tangkap
Dalam arti mencari?

Kutafsir hadirmu dalam keletihan bahasa
Juga seribu diam tengadah mengukur
Setiap garis langit yang patah

Dan hidup ini jalang, saudaraku
Ia kerap mengajak kita
Bertengkar dengan
Harapan dan rasa kehilangan.
Tak henti. Tak hening.

April 2006


Jika


Jika kita lahir dari kebenaran Cinta,
kenapa harus mata jiwa dipaksa buta?
Jika kita lahir dari keberanian Cinta,
kenapa harus degup bathin dibiarkan membatu?
Jika kita lahir dari keindahan Cinta,
kenapa harus selaksa mata menata leluka?

Jika kita lahir dari kemerdekaan Cinta,
kenapa harus sabda tak kunjung bersuara?
Jika kita lahir dari kesetiaan Cinta,
kenapa harus kalah meraba kisah?
Jika kita lahir dari keabadian Cinta,
kenapa harus nurani dilarang menari?

Jika kita lahir dari penempuhan Cinta,
kenapa harus usia harapan adalah angan kematian?
Jika kita lahir dari kelembutan Cinta,
kenapa harus detik bathin demikian dingin?
Jika kita lahir dari kejujuran Cinta,
kenapa harus makna terpenjara dusta?
Kenapa harus jika?

2006


Setapak Tanda

Waktu yang berputar itu berpendaran —seperti kerikil yang dilempar dan menyembunyikan
bunyi ketika sampai di dasar danau
Lalu do`a-do`a juga cabar, menembus dinding, majalah,
diary, obrolan dan surat kabar

Barangkali ada setapak tanda dari setiap langkah
Burung-burung berhamburan dan debu bertaburan
Disitu berulangkali hidup masih saja terasa menyekap
dan membebaskan
Semua orang bersitatap, mencari pahlawan
Mencari nabi dan pahlawan hari ini
Kitab hari ini
Tuhan hari ini
Peta hari ini

Semua orang mencerna mencari makna
Menggali rencana
Semua orang menyulam dunia

2006

No comments: