Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, June 18, 2007

Pasca Bencana

Sosiologi Masyarakat Pascabencana

Cian Ibnu Sinna AS*

Pada tanggal 8 Juni 2006 Pikiran Rakyat memuat tulisan Darsono Supriadi: “Psykologi Masyarakat Pascabencana”. Tulisan ini sangat menarik bukan untuk dibaca saja, melainkan dilengkapi. Sebab masyarakat pascabencana tidak hanya dikhawatirkan memiliki kerentanan secara kejiwaan individual (psikologis), melainkan juga kejiwaan secara sosial (sosiologis). Demikian diketahui bahwa potret jiwa seseorang begitu populer secara psikologis, namun tidak demikian terkenal secara sosiologis. Padahal jiwa sosial tak kalah pentingnya, ia sebenarnya yang lebih realissimum (yang paling nyata) dari pada jiwa individual. Tulisan ini ingin menunjukan pentingnya kontribusi penjelasan sosiologis bagi masalah sosial masyarakat pascabencana.

Tidak ada perdebatan dibenak kita kalau tragedi gempa bumi yang telah menelan ribuan korban jiwa di seantero Nusantara ini, sangat memukul perasaan masyarakat Pangandaran. Kini kita setuju bahwa secarik takdir memang tak mungkin dipungkiri. Ia begitu saja mampir tanpa janji, datang tanpa diundang. Pergi tanpa pamit kembali lagi tanpa ciri-ciri. Bencana alam tak mau berembuk dengan penduduk setempat. Ia tidak mengajak bantuan siapa pun, ia begitu saja menimpa kita tanpa basa basi. Sungguh bencana tak kenal sakral, alam tidak sering panca kaki dengan penghuninya. Demikian untuk setiap bencana alam tidak ada jawaban yang indah selain menunduk sujud pasrah terhadap keputusan-Nya, sedahsyat apa pun bencana itu.

Selain jawaban teologis, tentu saja ada banyak jawaban lagi. Antara lain bencana alam dapat dijawab secara sosiologis. Isyarat Allah Swt melalui kalam-Nya menegaskan kalau kerusakan di darat dan di laut adalah karena tangan manusia sendiri. Maka persoalan bencana alam menjadi sepenuhnya persoalan (sosial) kemanusiaan. Lebih bijak kita menyimulkan setiap bencana adalah suatu peringatan untuk kebaikan penghuninya. Maka wajar saja kalau bencana mengingatkan manusia (kita) yang lupa. Setiap lupa ada obatnya, yaitu peng-ingat. Sebelum lupa itu (kita) larut menjadi ingatan yang mapan, maka peringatan datang ketika lupa menjadi benar-benar sangat ingat. Tentu saja peringatan bukan hanya untuk korban, melainkan untuk kita yang “selamat” dari bencana gempa atau tsunami ini.
Masalah Bencana Sebagai Masalah Sosial
Tak pelak lagi sebagian masyarakat Pangandaran memendam perasaan yang sangat mendalam dan sangat luar biasa (di luar kebiasaannya) pasca dilanda musibah bencana alam tsunami. Betapa tidak, semula mereka memilki rumah, sekarang hilang begitu saja (tanpa alasan apapun dan tidak bisa menyalahkan siapapun). Dalam waktu sekejap saja, mereka kehilangan kondisi sosial yang telah mapan. Mereka harus rela kehilangan anggota keluarga; ayah, adik, dan kakak. Tidak hanya itu, mereka juga dituntut harus memulai kehidupan baru lagi, setelah sekian lama mereka jalin. Sekarang mereka harus memulai kembali dari nol. Kini lingkungan sosial tidak seperti dahulu, mereka harus menenun kembali kenyataan sosial yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya.
Dalam perspektif sosiologi terdapat Life Change Unite (Unit Perubahan Kehidupan). Setiap orang mengalami LCU ini, baik secara sosial maupun individual. Secara kuantitatif, semakin sering LCU menimpa seseorang maka semakin terancam orang itu. Akibatnya depresi berat hingga mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Demikian semakin jarang LCU menimpa seseorang maka semakin nyaman orang itu. Penelitian sosial menunjukan semakin sering dan berbobotnya LCU seseorang semakin kompleks sistem sosial yang tengah berlangsung, sehingga bisa melahirkan patologi sosial. Teori ini dikembangkan oleh sosiolog Hans Selye dalam bukunya The Stress of Life sejak tahun 1956.

Selain itu, LCU juga memiliki daya kualitatif. Di sini perubahan tidak sering tapi berbobot (mutu atau kualitas), bahkan di luar dugaan sekali pun. Seseorang akan berubah drastis misalnya, jika tiba-tiba ditinggal kekasihnya tanpa sebab yang dapat dimengerti. LCU kualitatif seperti ini sangat memungkinkan depresi yang akut. Seorang anak ditinggal ayah hanya karena bercerai (tanpa si anak tahu sebabnya), si anak bukan hanya mendapat gangguan psikologis yang berat. Tapi justru goncangan sosiologis yang memungkinkan anak itu menjadi sosiopat (kelaian sosial) karena terasing dan kehilangan kasih sayang orang tuanya. Bahkan bisa lari ke patologi sosial.
Begitulah seorang wanita menjadi pelacur, bukan hanya disakiti kekasihnya secara psikologis. Tapi lebih disakiti secara sosiologis, sehingga ia memasuki dunia baru (memilih menjadi pelacur) dan meninggalkan dunia lama (kembali tanpa kekasih). Beberapa penelitian dalam ilmu sosial membuktikan bahwa berpindahnya word view (pandangan terhadap dunia) dalam diri seseorang lebih dikarenakan oleh hentakan sosiologis dari pada psikologis. Sebab dimensi psikologis adalah ruang pribadi, lingkungan dalam. Sedangkan dimensi sosiologis adalah dimensi ruang publik, lingkungan luar. Demikian orang sakit jiwa bukan saja melemah kejiwaannya secara pribadi, tetapi lebih karena kehilangan kondisi sosialnya. Ia terasing dari lingkungan sosial di mana kenyamanan kemudian memudar dan asing.
Bagaimana dengan masyarakat Pangandaran, apalagi. Gempa bumi dan tsunami telah mengubah kedaan mereka. Bukan hanya pisik, melainkan juga non fisik. Dahulu Aceh ditimpa gempa tsunami, sekarang belum pulih secara sosiologis. Kini gempa bumi menimpa daerah pantai selatan, sekarang masyarakat menunggu uluran tangan kondisi sosial nyata dari kita. Demikian secara sosiologi, maka masyarakat setelah bencana akan mengalami beberapa kerentanan.

Pertama, masyarakat kehilangan sistem sosial lama yang telah mapan, sekaligus dituntut harus mengulanginya kembali. Bila ini tanpa dampingan, masyarakat bisa jatuh sakit. Jelas di sini bukan sakit secara medis-biologis, tapi sakit sosial yang hanya dapat terobati oleh proses sosial lagi. Kondisi stress sosial masyarakat dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan sosial yang baru.

Kedua, masyarakat kehilangan solidaritas sosial yang telah mapan. Dalam waktu relatif singkat, masyarakat harus memulihkan kembali tatanan solidaritas yang telah runtuh akibat hebatnya bencana. Kata sosiolog Emile Durkheim, ancaman solidaritas bisa mendorong orang berbuat jahat. Solidaritas adalah sebuah nomos (keteraturan) bagi masyarakat, ketika solidaritas hancur maka nomos berubah menjadi anomie (terasing secara sosial). Karena anomie bunuh diri bisa menjadi solusi, misalnya harakiri di Jepang. Semakin tinggi tingkat anomie semakin banyak orang melakukan bunuh diri.

Ketiga, terkurasnya mobilitas sosial hingga kekurangan, dapat membuat anggota masyarakat kehilangan kebiasaan. Ancaman ini berakibat pada lenyapnya kesempatan pencaharian kebutuhan hidup. Dampaknya orang gampang memilih jalan pintas mencuri atau menjual diri. Diterangkan secara sosial, setelah Putus Harapan Kerja (PHK) orang tidak menjadi salah melakukan pencurian demi sesuap nasi. Apalagi PHK oleh bencana alam, maka kejahatan bisa saja semakin beralasan. Memerlukan Kerja Sama

Dalam menghadapi masyarakat pascabencana ini tidak lah mungkin dilakukan secara sepihak. Tetapi dibutuhkan kerja sama yang menyeluruh dengan berbagai pihak yang terkait agar dapat dicapai hasil yang optimal. Terutama bagi dinas sosial sendiri. Sebab dinas sosial merupakan satu-satunya yang berwenang menanganinya, wakil pemerintah. Demikian pula pihak LSM diharapkan dapat memberi cinta dan kasih sayang sesuai hak mereka. Karena kecelakan mereka hanya karena mereka terlahir dan mendiami Pangandaran. Unsur lain yang teramat penting adalah masyarakat setempat terutama mereka yang paling dekat. Sebab mereka sebenarrnya tidak hanya butuh dikasihani tapi juga ditemani.

Maka tanpa adanya pertemanan dengan mereka tidak lah mungkin pemecahan masalah korban bencana dapat berlangsung secara optimal. Para tokoh agama diharapkan dapat bersikap proaktif terhadap warga sekitar. Sedangkan kerja sama pemerintah dengan seluruh unsur masyarakat merupakan muara proses sosial bagi masalah bencana ini. Karena permasalahan bencana juga permasalahan pemerintah. Begitu pun posko-posko sukarelawan sebaiknya melihat korban sebagai teman bukan sebagai korban bencana alam. Sebab mereka telah banyak kehilangan teman sepanjang hidupnya.

Sebagai antisipasi dari kerentanan sosial tersebut, Negara memberikan dana konpensasi. Tentu saja belum tentu memadai. Maka wajarlah bila segenap aktivis, banyak mahasiswa, dan sebagaian besar ormas-ormas Islam menggalang dana sebagai rasa integritas sosial sesama masyarakat. Boleh jadi selama perawatan, masyarakat pascabencana seakan terhibur kekalutan sosialnya. Namun, setelah posko-posko bantuan selesai, mereka kembali terusik oleh ingatan sosial yang terkubur bersama bangunan hancur.

Sungguh dapat dipastikan sumbangan dana sosial itu tidak akan selamanya mengalir, maka siapa kah gerangan yang akan sanggup menggantikan stabilitas sosial mereka yang dalam sekejap telah hilang oleh tsunami. Siapa lagi yang sudi memberi ketentraman sosial yang nyata setelah hancur luluh ? Dengan siapa lagi masyarakat pascabencana bersenda gurau menyusun mahligai sosial yang telah ambruk, menenun solidaritas sosial yang telah hanyut terbawa gempa ?. Ini tentu saja tantangan besar bagi pemerintah untuk menanggulangi kekhawatiran-kekhawatiran sosial masyarakat pascabencana. Juga bagi kita untuk membuka mata lebar-lebar. Kini banyak anak yatim, janda-janda, anak putus sekolah, dan banyak lagi.

Atas dasar prinsip kemanusiaa teramat tidak wajar bila terdapat beberapa gelintir oknum menyelewengkan dana hibah sosial bantuan dari luar negeri. Ini tentu saja harus segera ditindak tegas oleh pemerintah berdasarkan prinsip kemanusiaan pula. Dan yang paling penting, kini masyarakat pascabencana bukan hanya mereka yang mendapat musibah, melainkan juga kita. Yang sedang diingatkan oleh kasih sayang-Nya, karena mungkin lupa kita telah benar-benar sangat ingat. Kalau kita bisa menerima kasih sayang-Nya. Maka sebuah bencana adalah sebuah pelajaran yang teramat agung bagi kita. Wallahu A’lam Bissawwab ][

* Penulis Pemerhati Masalah Sosial-Budaya, tinggal di Bandung

No comments: