Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, June 18, 2007

Bolotisme

Menggugat Budaya Bolotisme Mahasiswa
Oleh Ridwanfaridz*

"Aku berbicara lewat akaianku"
-Dick Hebdige-


Keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi atau sekarang lebih populer dengan sebutan universitas, tentunya diiringi dengan kesadaran. Kalaupun tidak, minimal sadar akan statusnya sebagai mahasiswa setingkat lebih tinggi dari siswa. Kenapa? karena kesadaran akan status setidaknya menetukan bagaimana keberadaan (eksistensi) seseorang. Dalam hal ini mungkin tepat juga apa yang pernah diungkapkan oleh Marx bahwa keadaan sosial sesorang menetukan kesadarannya. Tapi itu sebatas kemungkinan, karena faktanya tidak sedikit yang berbicara sebaliknya.


Keberadaan mahasiswa, di sadari atau tidak, adalah bagian integral yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Masyarakat menurut Ali Syariati, ibarat sebuah kerucut. Dimana terdiri dari lapisan bawah yang dihuni oleh masyarakat kebanyakan (baca:biasa) dan lapisan atas yang dimukimi masyarakat elit yang salah satunya adalah golongan intelektual. Bila berkaca dari pemikiran sosiolog islam tersebut, maka mahasiswa menempati lapisan atas dalam masyarakat. Hal ini logis, karena mahasiswa dipandang oleh khalayak ramai, sebagai golongan yang terpelajar.

Konsekuensi logis dari sebuah status adalah adanya peran dan tugas yang diemban. Dalam teori sosiologi lazimnya disebut role and status. Teori ini menjelaskan bahwa setiap status senantiasa dibarengi dengan kewajiban peran dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.Dalam hal ini, mahasiswa yang statusnya dalam lingkungan sosial sebagai kaum cerdik pandai, tentu keberdaan mengenai peran menjadi suatu keniscayaan. Salah satu peran mahsiswa yang paling urgen adalah sebagai agen perubahan sosial (Agent of social change).

Melihat realitas mahasiswa hari ini, wabil khusus mahasiswa kampus gersang (baca: UIN SGD) meminjam isttilah para aktivis kampus. Dimana mahasiswa lebih disibukan dengan gaya hampa makna, berkutat wanita miskin wacana, gemar menggosip anti mengkritik, kuliah hanya dengan konsep D2P (datang, duduk pulang) dan segenap persoalan miris lainnya. Apakah mungkin, peran sebagai agen perubahan sosial itu akan terwujud?

Jawaban persoalan tersebut mungkin bisa mungkin juga tidak. Bagi seorang pesimis mungkin menanggapinya dengan sinis dan jawabannya tidak mungkin karena budaya mahasiswa hari ini meminjam istilah Antonio Gramsci telah di hegemoni oleh budaya konsumerisme sebagai anak emas kapitalisme. Menurut Yasraf Amir Pilliang, dalam bukunya Sebuah Dunia yang Dilipat, ia berpendapat bahwa dalam budaya konsumerisme konsumsi tidak lagi diartikan semata sebagai lalu lintas kebudayaan benda, tetapi akan menjadi panggung sosial yang di dalamnya makna-makna sosial diperebutkan. Lebih lanjut ia berujar bahwa budaya ini menjadi suatu medium untuk pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup dan cara differnsiasi status sosial yang berbeda.

Bercermin dari pemikiran Yasraf tersebut, tidaklah mengherankan bila realitas hari ini menunjukan bahwa mahasiswa yang telah terjerumus dalam budaya tersebut telah lupa akan perannya karena terninabobokan oleh budaya bujuk rayu yang berimbas pada aktivitas mahasiswa yang hanya disibukan mengurusi hand phone yang harus diganti dengan model baru atau gaya pakaian yang sedang ngetrend serta segenap persoalan lain yang dangkal makna. Hal tersebut menjadi akut dalam diri mahasiswa. sehingga untuk merubah kondisi tersebut adalah nonsens belaka.

Sebaliknya dari jawaban diatas, bagi orang optimis akan berpikir kenapa tidak, toh tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau berusaha. Persoalannya kita yang sadar dengan kondisi tersebut berani tidak merubahnya? Untuk merubah kondisi tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan.

Dalam hidup ini, kita sebagai manusia harus menyadari bahwa kita diberikan keistimewaan oleh Tuhan untuk mencerna problem dunia yaitu dengan di berikannya potensi berpikir sebagai konsekuensi logis adanya akal pikiran. Karena manusia hidup tergantung pikirannya. Tuhan pun pernah mengatakan bahwa Aku seperti apa yang kamu pikirkan. Jika kita memandang hidup dengan optimis, maka hidup akan semangat begitu juga sebaliknya. Bahkan jauh-jauh hari Descartes pernah bergumam bahwa berpikr adalah sebuah proses bagi manusia untuk menentukan eksistensinya, dengan jargon yang terkenal yaitu cogito ergo sum.

Kalau kita sudah menyadari bahwa pikiran adalah onramen penting penggerak hidup manusia, maka untuk merubah kondisi hidup manusia jalannya adalah dengan merubah cara bepikirnya atau bahasa kerennya paradigmanya.

Kembali kepersoalan pokok, yaitu bagaimana merubah kondisi mahasiswa yang telah terjerat dalam budaya bolotisme? (baca: gaya, uang dan wanita) Jawabannya, rubahlah paradigma berfikirnya. Diakui atau tdak, mahasiswa hari ini telah terjerat dalam budaya tersebut, imbasnya pikiran mahasiswa hanya dijejali dengan uang untuk bergaya dan sibuk mencari wanita. Kalau pun tidak, mereka berusaha untuk kuliah secepat mungkin beres. Tidak peduli dapat ilmu atau tidak yang penting cepat dapat ijazah kemudian kerja, ujung-ujungnya duit juga.

Sangat ironis kalau kondisi seperti ini dibiarkan akut karena pada endingnya mahasiswa akan terjerembab dalam jurang keterasingan teralienasi dengan dirinya sendiri. Imbasnya mahasiswa akan tuli dengan keadaan-keadaan sekitar dan lupa akan perannya sebagai agent perubahan sosial. sehingga alih-alih menjadi agent of sosial change malahan menjadi agent of sosial problem. Naudzubillahhi mindalik.

Untuk memberangus budaya tersebut, maka paradigma berfikir mahasiswa harus di kembalikan kepada khitahya, yaitu sebagai agen perubahan sosial. Untuk itu mari kita bulatkan tekad untuk pencerahan pikiran kita dengan sebuah kalimat yang di gaungkan Wiji Tukhul kepalkan tangan maju kemuka; lawan !!!

Wallahu'alam bis shawwab.
Pojok Pena 290906.0100.
*PenulisadalahmahsiswaSosiologiSemester V dan Sekarang nyantri di LPIK UIN Bandung.

No comments: