Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, June 18, 2007

Pluralis

Meretas Pluralitas
Oleh te. Ditaufiqrahan


Pada awal abad ke 21 ini terdapat tiga gejala umum yang mendominasi kehidupan manusia, pertama, akibat dari perkembangan teknologi informasi, setiap saat manusia selalu berhadapan dengan jutaan informasi yang muncul begitu saja, tak terduga, tak dapat ditolak, tak tertebak, menghenyak-desak tampil dalam segala aspek kehidupan.

Media massa-cetak maupun elektronik-tersebar di segala penjuru dunia mengirimkan informasi-informasi terbaru setiap detik yang menciptakan pula keusangan, kebasian informasi setiap menit-detiknya. Dunia seolah berlari tak terkejar oleh derapan kaki manusia, manusia terengah-engah membuntuti dunia yang tak pernah berhenti berubah, bahkan dalam hitungan satuan waktu terkecil sekalipun, sehingga informasi tentang perubahan pun muncul terus menerus seperti tembakan sinar laser yang tak putus-putusnya.


Sementara manusia harus mengambil pelbagai keputusan bagi hidupnya, dan keputusan tersebut didasarkan oleh informasi yang didapatkannya. Pertanyaannya, informasi mana yang harus diikuti?

Kedua, maraknya pelbagai pertikaian antar golongan primordialisme, baik pertikaian antara agama, ideology, suku, ras, munculnya kelompok kepercayaan (cult), pelbagai kerusuhan akibat bentrokan dua kelompok yang mengklaim mewakili suatu kepercayaan tertentu dan pelbagai bentrokan primordial lainnya, merupakan contoh umum dari gejala ini.

Di lingkungan kampus sering organisasi mahasiswa tak terlalu hirau terhadap pendapat-pendapat, opini-opini, gagasan-gagasan dari pihak lain karena telah menganggap pendapat dirinyalah yang benar, gagasan kelompoknyalah yang betul sementara yang lain adalah salah.

Pertikaian itu sering kali seolah tak berujung. Tiap pihak memaksakan kepercayaan dan kehendak mereka kepada pihak lain. Pemaksaan itu pada akhirnya melibatkan kekerasan baik fisik maupun psikis dan memakan korban yang tak kecil jumlahnya, namun tetap saja tak ada jawaban kepercayaan mana yang benar atau paling benar karena yang ada hanya pihak mana yang lebih kuat, pihak mana yang lemah atau pihak mana yang jatuh korbannya sedikit dan pihak mana yang jatuh korbannya lebih banyak.
Ketiga, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang mengarah kepada pluralisme paradigma, ditolaknya homologi pandangan tentang tidak adanya realitas objektif, kegagalan emasipasi manusia, serta hilangnya kebenaran sejati, telah menyebabkan munculnya keserbabolehan dan keserbabenaran.

Filsafat dan ilmu pengetahuan, yang sempat dianggap sebagai tolak ukur kebenaran, kehilangan legitimasinya dalam penetuan apa yang benar dan apa yang salah. Di sisi lain, agama dan etika pun kehilangan legitimasinya untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.

Munculnya ketiga gejala tersebut mengakibat manusia dalam kebingungan, linglung, kehilangan peta dan arah tujuan hidup. Agama yang dianggap sebagai pegangan sudah diombrak-abrik oleh segelintir kelompok yang menentukan dirinyalah yang paling benar dan berhak menentukan bahwa yang lain salah.

Sementara manusia tak bisa hidup tanpa pegangan dan pedoman, tetapi di sisi lain pedoman yang mana akan diambil juga masih tak tentu juntrungannya. Yang ada hanyalah saling klaim pendapat, opini, gagasan dan memperanjingkan asumsi bahwa agama datang untuk kemaslahatan umat manusia di dunia bukan hanya sekedar untuk mengagungkan nama Tuhan.

Lpik; Candradimuka Pluralitas

Dalam menyemai pertikaian, percekcokan, persinggungan dan perselisihan pendapat, opini dan gagasan jalan keluar yang sering ditawarkan adalah tindakan persuasi yaitu dialog. Dialog bukannya monolog. Sayangnya, sekarang ini banyak orang ataupun kelompok lebih banyak lihai dan pintar melakukan monolog tanpa disertai dengan kemampuan dialog.

Sederhananya dialog adalah kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Dalam pandangan ini, ada dua tokoh yang menyuarakan akan pentingnya dialog untuk menyelesaikan perbedaan. Menurut Habbermas dalam rangka menyelesaikan perbedaan yang diperlukan hanyalah membicarakan apa yang beda-beda itu.

Dialog perlu sebab setiap individu dimungkinkan memiliki kebenarannya masing-masing, jadi setiap orang atau kelompok tidak perlu mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan yang lain salah. Nah, dengan jalan dialog ini setiap pendapat diadukan, dipertempurkan, dikomparasikan kebenarannya di ruang public dengan tindakan persuasi yang sering kita sebut dengan diskusi. Dimana argumentasi kebenaran yang paling bertahan dan kuat itulah yang paling benar dan disepakati sebagai kebenaran yang baru.

Sedikit berbeda dengan Habbermas, Rorty menandaskan asumsinya bahwa pada dasarnya setiap orang dan kelompok itu berbeda apapun itu argumentasinya, yang jadi persoalan adalah ketidaksiapan seseorang atau kelompok untuk menerima perbedaan. Jadi menurut Rorty tidak ada konsesus dan kesepakatan, yang ada hanya kesiapan dari setiap individu untuk menerima dengan terbuka setiap perbedaan.

Apapun itu konsepsinya mengenai perbedaan dan solusi untuk keluar dari perbedaan. Lpik hadir ditengah-tengah perbedaan bukan sebagai pembeda melainkan sebagai sebuah lembaga yang memegang berprinsip pluralitas yang secara otomatis mengakui pluralitas kelompok ataupun individu.

Oleh karena salah satu prinsip Lpik pluralitas maka bisa dirumuskan bahwa kesadaran pluralitas yang dibangun dalam tradisi Lpik adalah; a) kritik ideology, b) dekonstruksi, c) analogi permainan, d) imajinasi dan fantasi, e) membiasakan untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan.

Kritik ideology dilakukan untuk membantu manusia untuk membiasakan individu bersikap kritis terhadap bias-bias keyakinan atau pengaruh-pengaruh non rasional lainnya. Dengan kritik ideology, tindakan social dipahami sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Di dalam tindakan, ada faktor-faktor lingkungan dan kepercayaan-kepercayaan individu yang ikut menentukan jenis-jenis dan tujuan-tujuan tindakan.

Dekonstruksi atau pembongkaran dilakukan untuk membantu manusia memahami mana yang alamiah dan mana yang histories. Lebih jauh lagi, dekonstruksi membantu manusia untuk selalu awas dan hati-hati terhadap pembakuan makan dan realitas. Dengan dekonstruksi, manusia dibantu melenturkan skema-skema kognitifnya sehingga mampu menyerap hal-hal baru.

Analogi permainan merujuk pada aktivitas membandingkan pelbagai tindakan dan keyakinan manusia dengan permainan. Setiap permainan memiliki aturan main yang ditentukan oleh pencipta para pemainnya. Dengan analogi permainan dapat dipahami bahwa tindakan dan keyakinan manusia merupakan sebuah kreasi manusia untuk menimbulkan efek-efek tertentu yang memuaskannya. Bahwa tiap individu atau kelompok akan bertahan dengan aturan permainannya masing-masing, tidak berarti orang atau pihak lain harus ikut serta terkena aturan itu.

Imajinasi dan fantasi membantu manusia melampaui apa yang dianggapnya nyata untuk dapat membayangkan apa yang mungkin. Dengan membayangkan apa yang mungkin, kesadaran manusia dapat mengarahkan tindakan pada pencapaian hal-hal yang baru. Imajinasi dan fantasi membantu manusia meningkatkan kreativitasnya sesuai dengan kehendak bebasnya.
Pembiasaan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan akan membantu manusia untuk melenturkan skema kognitif, sehingga siap menerima pelbagai kemungkinan baru yang saat ini masih dianggap sebagai hal yang tidak nyata. Dengan pembiasan ini, manusia dapat mengarahkan tindakannya untuk mengeksplorasi pelbagai kemungkinan baru.

Dengan rumusan yang diuraikan diatas diharapkan setiap individu-individu Lpik khususnya bisa memiliki kemampuan kritik ideology dan dekonstruksi sebagai ajang muhasabatun nafs sedangkan analogi pemainan, imajinasi dan pembiasaan hal yang jarang dilakukan sebagai iman dari setiap amal shaleh.

Kelima formulasi itu tidak akan didapatkan nggetihnya manakala tradisi diskursus (baca, nulis, diskusi) jarang dilakukan secara individual dan lebih-lebih akan mendapatkan legitimasi dan ruhnya dalam komunal.

Wallahu ‘alam bissowab

No comments: