Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, June 10, 2007

Lagi IPDN

IPDN Undercover, Kesaksian yang Berani

Oleh AHMAD SAHIDIN

BUKU yang memuat peristiwa traggis itu berwarna merah darah. Di cover depan tampak seorang praja junior berseragam lengkap membukuk dengan tangan terikat di belakang dan mata ditutup kain.

“IPDN Undercover, Sebuah Kesaksian Bernurani”, itulah buku yang mengkabarkan kekejaman dan rusaknya sistem yang ada di lingkungan kampus yang dibiayai rakyat. IPDN, yang dulunya bernama STPDN, tak kunjung baik. Namanya berganti, namun sistem dan praktek kekerasannya masih tetap dipelihara.

Apa jadinya bila seorang Inu Kencana Syafiie, bila tak membocorkannya ke pihak yang berwajib. Tentu kejadian getir, pahit, berdarah, dan raungan sakit pun akan tertimbun begitu saja. Cerita akan tinggal cerita, berganti dengan cerita yang baru, yang senada raungannya.

Bak selebritis, kian hari nama Inu Kencana Syafiie kian melambung. Wajahnya menghiasi hampir semua media elektronik dan cetak. Bahkan, kehidupannya pun mulai dikenali dan orang-orang pun membicarakannya. Ini semua akibat tragedi kematian yang menimpa Wahyu Hidayat dan Cliff Muntu yang dianiaya para seniornya di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) Sumedang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Dengan berani, Dosen IPDN ini mengungkapkan berbagai kasus, skandal, tragedi yang merengut korban jiwa di lembaga pendidikan milik Departemen Dalam Negeri dalam bukunya yang berjudul “IPDN Undercover, Sebuah Kesaksian Bernurani”.

Menurut pengakuan Inu, yang menuturkan di awal bukunya, buku tersebut sudah ia tawarkan hingga 17 penerbit. Namun tak satu pun yang menerimanya. Besar kemungkinan karena takut berhadapan dengan pelindung IPDN yaitu, kementerian dalam negeri, atau tak punya daya jual di masyarakat. Tapi nyatanya, Penerbit Progresio, Syaamil Pustaka, yang kini sedang meraup untung cukup besar.

Inu Kencana Syafiie, sebagai lelaki yang dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat 55 tahun lalu, serta dibesarkan di Siak, Bengkalis dan Pekanbaru Riau, telah menunjukkan kelaki-lakiannya, yaitu dengan berani mem kasus kematian Wahyu Hidayat—salah seorang Praja STPDN tahun 2003 hingga kasus tewasnya Cliff Muntu, Madya Praja IPDN yang menggemparkan itu; sehingga berbagai teror dan ancaman pun datang silih berganti.

Dalam buku itu, Inu terus terang bahwa keberaniannya membongkar kasus tragis IPDN, menyeretnya pada sidang senat IPDN. Pimpinan senat langsung menekannya, bahwa tindakan yang dilakukannnya itu mencoreng nama baik IPDN. Inu dianggap membuka aib ditempatnya mengais rezeki. Namun Inu justru membantahnya dengan alasan yang kemanusiaan dan untuk perbaikan IPDN. Meski begitu, tetap saja Inu kerap dapat SMS
teror.

Tapi, semua itu tak mengendurkannya untuk membuka terus berbagai masalah atau “borok” dan tragedi di kampus tempatnya berkiprah, yang dituangkan dalam buku setebal 282 halaman dan diterbitkan April 2007 oleh Progresio, kelompok penerbitan Syaamil Pustaka, Bandung.

Dalam buku yang sudah dirancang beberapa tahun silam itu, Inu Kencana Syafiie selain mengisahkan apa yang terjadi di IPDN—kasus seks bebas, narkoba, dan kasus kematian Wahyu Hidayat—juga mengetengahkan autobiografi penulisnya yang sempat menjadi atheis dan akhirnya jatuh dalam pelukan Islam; dan juga memuat kisah masa kecil dan pengalamannya mendapatkan istri serta pahit getirnya menjalani kehidupan ini.

Buku yang dijual seharga Rp. 48 ribu dengan cetak perdana 10.000 eksemplar ini dilengkapi foto-foto terjadinya kekerasan terhadap Praja oleh Seniornya. Namun, sayang, kasus kematian Cliff Muntu yang mencuatkan namanya itu, justru tidak disinggungnya dalam buku ini—hanya diulas pada pengantar saja. Kita berharap, Inu Kencana Syafiie suatu hari nanti—bila memang ada permintaan untuk cetak ulang—menambahkan kekurangannya itu.

AHMAD SAHIDIN, Wartawan Lepas di Beberapa Media Cetak dan Elektronik

No comments: