Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, June 18, 2007

Ustadz.?

“USTADZ DALAM PENELANJANGAN”
-dekonstruksi sosiologis pemahaman tentang ustad-

Oleh Faisal El Amir

perkembangan selanjutnya kata ustadz selalu berkonotasi kepada agama Islam an sich haL ini wajar sebab secara genealogis kata ustadz berasal dari bahasa arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kristen mempunyai istilahnya sendiri untuk penyebutan orang yang paham tentang agama yaitu pastor tidak ustadz, budha menyebut bikhu, yahudi menamai rabbi dan sebutan-sebutan khas lain dari agamanya masing-masing.

Maka bisa disimpulkan bahwa orang yang memiliki pemahaman lebih atau mendalam terhadap agama Islam sudah bisa disebutkan dengan ustadz, namun yang perlu diingat juga, bahwa pemahaman term ustad di Indonesia dan title ustadz di timur tengah [sedikit] berbeda. Di wilayah Timteng (Timur Tengah) seseorang yang disebut ustadz biasanya sudah hafal qur’an, minimal lebih dari dua puluh juz (red.tentunya tidak lebih dari tiga puluh juz, sebab Tuhan belum ada niat buat nurunin wahyu lagi).

Lain Timteng lain juga di Indonesia, di Indonesia orang sudah bisa disebut ustadz manakala hanya mengajar Iqra (a ba ta tsa) kepada anak-anak, anggapan ini juga diperparah lagi dengan anggapan bahwa orang yang pake peci, baju koko atau sarung tak peduli apakah dia paham atau tidak tentang ajaran Islam disebut juga ustad. Dari dua kasus ini maka bisa ditarik kesimpulan ada dua cara dalam memahami term ustadz ini; pertama secara substansiil dan formil.

[b]
Tentu saja secara definitif kita tak akan bisa merujuk istilah ustad dalam pengertian yang dipakai di timur tengah, namun saya akan jadikan hal itu sebagai acuan saja dengan kata lain; idealnya seperti itu sebab biasanya untuk ajaran Islam selalu mengkiblat ke timur tengah. Maka untuk konteks keindonesiaan pemahaman yang saya pakai adalah realnya di Indonesia, secara deskriptif-sosiologis saya akan memaparkan bagaimana istilah ustadz dipakai di Indonesia, bagaimana pengertiannya dan implikasinya.

Dilihat dari sisi epistemologis, pengertian ustadz mengacu kepada orang yang paham secara mendalam tentang agama Islam, mengamalkan dan mengajarkannya kepada yang lain. Dari asumsi ini semua orang bisa menjadi ustadz, semua orang bebas menjadi ustadz, siapapun; tukang beca, tukang roti bakar, petani, tukang ojeg, dosen, seniman, tukang VCD bajakan sekalipun.

Sebab, ajaran Islam luas semua manusia yang beragama Islam bisa mengamalkan dan mengajarkan ajarannya kepada yang lain. Kita bisa menjadi ustadz bagi yang lain begitu sebaliknya, orang lain adalah ustadz bagi kita. Pada titik ini, pengertian ustadz hanya dimahkotai dengan atribut sosial semisal jujur, penjilat, pintar, bejat dan sebagainya. Semua orang bisa belajar tentang agama Islam dan semua mengajar.

Namun ketika proses belajar-mengajar agama Islam (selanjutnya saya akan menyebut dengan ‘ajaran Islam’ untuk mengganti kata ‘agama Islam’) diinstitusikan dalam sebuah lembaga yang sering dinamakan pesantren maka lamat-lamat istilah ustadz mulai menyempit. Pada dasarnya pelembagaan proses belajar-mengajar ini untuk memudahkan orang-orang dalam mensistematisir materi ajaran Islam tapi ternyata sebuah implikasi adalah sebuah keniscayaan dalam setiap perubahan.

Dalam sebuah pesantren ini selalu ada orang yang dijadikan panutan, tokoh, ageman dalam penafsiran ajaran Islam yang lazim dikenal dengan kiyai, ajeungan. Setiap pesantren selalu ada satu ‘ustadz’(guru)-nya. Sistem yang berlaku di pesantren memang sangat terkesan feodal, monarkhi akan tetapi hal ini sangat wajar sebab waktu dulu mempelajari ajaran Islam adalah sesuatu hal yang sangat mewah, tidak sembarang orang bisa belajar mesti ada jampi-jampi dan mantranya, sangat sacral oleh karena itu [ketidaklogisan yang tidak] logis bagi sebagian santri di pesantren mengganggap kiyai laksana dewa atau wali. Nggak sembarang orang bisa menafsirkan ajaran-ajaran Islam, qur’an dan hadist. “Doraka!” Begitu kata orang tua dulu.

Mau tidak mau ajaran Islam terpusat di pesantren, karena setiap orang yang mendalami ajaran Islam kemudian mendirikan pesantren. Orang yang mau belajar ajaran Islam maka masuklah pesantren. Pesantren adalah locus agama Islam. Maka orang berebut masuk pesantren dan menjadi santri untuk mendalami ajaran Islam.

Santri diartikan sebagai murid atau siswa yang mendalami ajaran Islam di pesantren dari kiayi, ajengan atau dari ustadz besarnya. Ustadz adalah guru besar di pesantren, semisal professor di perguruan tinggi. Santri ini nantinya juga akan menjadi ustadz. Dari pengertian ustadz sebagai atribut sosial lambat laun berubah menjadi sebuah peran dan status dalam masyarakat.

Karena pelembagaan ini, salah satunya, orang mulai tidak sembarang memberikan label ustadz kepada setiap orang. Predikat ustadz hanya diberikan kepada orang pesantrenan. Hal ini berimplikasi kepada pemberian otoritas yang berhak berbicara tentang ajaran Islam; hanya ustadz saja, hanya orang pesantrenan saja, dilain itu lain belum tentu benar.

Akibatnya, masyarakat hanya menunggu para ustadz untuk mendulang pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam. Maka seringlah para ustadz keluar ‘kandang’ dari pesantren untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat awam dan umum.

Pertumbuhan semakin pesat, banyak masyarakat yang memasukan anak-anaknya untuk belajar di pesantren. Di satu sisi hal ini sangat positif, dikarenakan makin banyak anak-anak yang paham tentang ajaran Islam dimungkinkan masyarakat makin baik juga karena ajaran Islam menyuruh kepada kebaikan, tetapi di sisi lain patut diketahui tanpa disadari pesantren juga mulai ikut-ikutan berubah menjadi pabrik yang memproduksi ustad-ustad secara massal.

Kalau dahulu orang belajar di pesantren memang benar-benar dalam artian yang sebenarnya; untuk menyebarkan ajaran Islam tapi sekarang lain, menjadi aktivitas rutinitas sosial seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren tak ada bedanya dengan lembaga pendidikan lainnya. Hal ini sangat berimplikasi terhadap sosok santri itu sendiri yang nantinya akan menjadi ustadz.

[c]
Penyempitan istilah ustadz ini sangat tidak terasa dan tanpa disadari, sekarang kita menerima pengertian ustad sebagaimana adanya, “ustad? Ya … itu, orang yang sering ceramah, pake peci atau sorban… dan beristri banyak.. (eh..!)”.

Pandangan seperti ini memang bukan tanpa sebab, mungkin kita kurang menaruh perhatian terhadap hal ini... ya karena kita menganggap nggak penting. Tapi untuk sekarang ini melihat sosok, image dan citra ustadz yang beredar di masyarakat kiranya, selaku umat Islam keterlaluan deh kayaknya kalau tidak menaruh perhatian.

Masyarakat luas akan mengenal Islam dari para penyerunya dan umatnya. “Kembali ke laptop!!” begitu teriak Tukul. Ustadz, yang kita pahami sekarang, adalah seorang guru [agama Islam] di pesantren, orang yang sering ceramah, orang yang paham tentang ajaran Islam. Untuk melanjutkan tulisan ini, saya ingin mengajukan sebuah tesis; uatad dewasa ini adalah sejenis profesi.

Perdebatan ustadz sebagai profesi memang sudah basi, tetapi orang jarang membicarakan apa implikasi-implikasi dari sebuah profesi itu, sekedar contoh; seorang aktris berani tampil telanjang tanpa takut masuk angin karena profesinya menuntut demikian, seseorang bisa melakukan apa saja karena tuntutan profesi. Singkatnya, kadang kala karena tuntutan profesionalitas orang berani melanggar apa saja termasuk norma-norma agama.

Profesi adalah sejenis pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; sandang, pangan, papan. Profesi harus setia pada tuntutan pasar, pada logika pasar, kalau pasar menuntut beda maka kita pun mesti beda sebab kalau tidak kita tidak akan laku. Seorang penyanyi karena tuntutan pasar berani memodifikasi penampilan dan lainnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar; “ idealis sih idealis, tapi lihat pasar dong, komersil nggak? Laku nggak di pasaran.”

Hasilnya kita tak bisa membedakan mana ustadz mana selebritis, mana kiyai mana artis, mana fatwa agama mana gossip, mana penafsiran mana isu. Ustad tak ada bedanya dengan artis. “ya sekarang ustad sudah saatnya go public” begitu kilah salah satu ustad kenamaan “masuk tv supaya dalam penyebaran agama Islam dapat diterima masyarakat luas, kalau dalam mimbar di mesjid-mesjid terbatas orang yang tahu” . Penyebaran ajaran Islam atau malah memenuhi tuntutan pasar?

“ajaran Islam itu harus disederhanakan” ungkap salah satu ‘ustad gaul’ “agar anak-anak muda familiar dengan ajaran Islam, makanya saya lebih menyukai penampilan gaul and santai” . Penyederhanaan ajaran Islam supaya lebih bisa diterima remaja atau kehilangan pangsa pasar? Entalah, sepertinya ustad yang belum masuk tv dan terkenal belum dikatakan sukes dalam penyebaran agama Islam. Imannya itu “dakwah” atau “popularitas” susah dibedakan.

Memang, kita bisa menerima alasan bahwa dakwah mesti memasuki segala elemen kehidupan dan salah satu jalannya dengan tv, tetapi rasanya keterlaluan juga kalau ustad termasuk pemburuan gossip dalam acara infotainment, akan terasa sangat recehan. Tapi “ustad juga manusia” , siapa bilang kalau ustad malaikat? Itulah, kita juga sering mempunyai anggapan bahwa sosok ustad adalah orang yang suci, padahal ustad bukan nabi.

Kalau nabi adalah “ustad” seluruh umat manusia; kenapa nabi memilih menjadi seorang yang ‘miskin’ padahal nabi bisa saja lebih kaya dari siapapun di dunia ini? Sebab yang paling merasakan toleransi, tenggang rasa, setia kawan, jujur, dan kebersihan hati rata-rata dimiliki oleh orang yang kurang berada secara materi yaitu orang miskin. Hal ini sangat logis sebab tak ada beban dalam hidupnya selain memenuhi kebutuhan tubuh dan eksistensinya, apa yang mesti ditakuti dari orang lain.

Sebab nabi tidak menjadikan ustad sebagai profesi, ladang pencarian penghidupan melainkan menjadi kebutuhan eksistensi, visi dan misi selama hidupnya.

Profesionalisme terkait dengan citra, semakin hebat citranya maka akan dianggap semakin professional, sedangkan citra didapatkan dari performance maka kadang kala orang melupakan hal lain hanya untuk sebuah “performance”. Karena televisi adalah permainan tumpukan dan gundukan performance. Dalam profesi juga tersimpan nilai-nilai pragmatisme sedangkan ustad bukan untuk memperdagangkan ayat-ayat Tuhan melainkan mengamalkan dan menyeru. Akhirnya, ustad tak memikirkan perubahan dalam umatnya bertambah baik atau tidak, sebab ceramah dan mengajar adalah sebuah rutinitas seperti halnya kencing, tidur, makan setelah dilakukan kemudian gegas dilupakan.

[d]
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyitir kasus poligami aa gym, dalam bingkai kerangka ustadz yang telah saya paparkan. Kasus poligami aa gym adalah sebuah kasus yang bukan membicarakan poligami it self boleh atau tidak, diskursus poligami dari ayat-ayat al quran beserta pemahaman fiqh empat madzhab yang terkenal saya anggap sudah beres.

Tapi kenapa persoalannya menjadi beda ketika aa gym yang poligami? Bukankah tidak aa gym saja ustad yang poligami? Inilah, yang dituntut dalam diri seorang ustadz adalah kewajiban moralnya bukan kewajiban formal sosialnya saja. Sebab profesi ustadz adalah bisa dianggap profesi paling moralis diantara pekerjaan lainnya.

Sedangkan pasar tidak melihat moral kalau moral rame maka bisa saja pasar bermoral kalau menguntungkan kalau tidak mending jadi a moral sajalah daripada rugi. Maka jangan aneh kadang kala ustad juga nggak bermoral. Sebab ustadz juga manusia bukan? Maka sudah pasti ustad juga bisa nggak bermoral.

Mau dapat izin atau tidak dari istri tetap saja poligami jelek dan jelek adalah stigma tendesi moral negatif, kalau kita lihat sekarang aa gym jarang melakukan ceramah di tv-tv sebab untuk masyarakat umum dan awam “aa gym sudah nggak laku lagi”, maka untuk mensiasatinya pasar mengangkat teh Ninih, karena teh Ninih adalah tokoh protagonis dalam peristiwa ini aa gym tetap antagonis sekalipun ustadz. Untuk kepentingan pasar aa gym didomestifikasikan dulu deh, menunggu pamornya naik lagi. Beginilah nasibnya kalau ustad besar oleh pasar jangan-jangan nanti agama juga tergantung pada pasar ‘kan gawat?!

Pengertian ustad menjadi demikian sangat sempit, ustad bukan lagi orang yang paham mendalam tentang agama Islam tetapi mesti juga diperkuat dengan penampilan yang menunjukkan bahwa dia ustadz, secara sosiologis, hal ini sangat dramaturgis. Actor mesti memiliki property untuk menguatkan peran yang dimainkannya “masa ustadz tidak pake peci, masa ustadz tidak pake baju koko, masa ustad tidak pake jenggot (…wah! Itu makin parah!)”

Memang anggapan-anggapan ini muncul dari kebiasaan, biasanya yang pake peci itu ustadz, biasanya yang pake jenggot itu ustadz. Tetapi hidup bukan hanya sebatas pengulangan kebiasaan, sekarang banyak yang pake jenggot personil band misalnya, vokalis Sistem Of Down saja pake jenggot, apakah dia juga disebut ustadz. Nico siahaan, artis yang beragama Kristen, sering juga pake peci kalau syuting, apakah dia juga ustadz.

Anggapan-anggapan seperti ini pada dasarnya akan menimbulkan pemahaman yang jauh dari inti yang sebenarnya, mengantarkan kepada pengertian yang banal, dangkal dan hanya mementingkan formalitas dan ritualitas sedangkan semangat dan substansi telah kehilangan jatah.

Pemahaman yang kurang ngena ini bakalan menghancurkan norma ustadz itu sendiri, lalu yang seperti bagaimana ustadz itu. Yang jelas tidak selamanya yang pake sorban itu ustad, meski orang-orang menyebut ustad. Tidak menjamin yang pake peci itu ustadz meski dia sendiri mengaku ustad. Ustadz itu bukan yang punya jenggot panjang hingga sedada misalnya, mungkin saja dia tak punya uang buat dicukur.

Ustadz itu adalah, sesuai dengan pengertian yang ada dalam kamus, orang yang paham tentang agama Islam. Orang yang paham tentang agama Islam bisa jadi dia tidak pake peci, tidak berjanggut, tidak pake baju koko. Mungkin rambutnya gondrong, mungkin merokok dan yang paling penting mungkin dia tidak mengaku bahwa dirinya adalah ustadz!

Akhirnya, ustadz tentunya bukan nabi meski sedikit mirip secara fungsionalitasnya, kesamaannya hanya terletak pada tugasnya dalam menyiarkan ajaran Islam. Kalaulah benar kita mau menggolongkan ustadz kepada kriterium ulama maka secara otomatis ustad adalah pewaris para nabi. Ilmunya terlebih lagi adalah pribadinya.

Sikap altruistic tidak perlu menjadi senjata untuk menumpas kemunafikan id. Ustadz adalah sebuah profesi adalah sebuah fakta yang harus kita terima tetapi kita juga mesti siap untuk menerima fakta yang lainnya lagi. Sebuah fakta yang menyebutkan bahwa profesi mesti mengikuti selera pasar kalau nggak mau ketinggalan, bangkar, gulung tikar dan rugi. Begitulah sikap dalam sebuah profesi karena inti dari profesi adalah berdagang.

Dengan diterimanya prinsip perdagangan ini maka muncul pengkonfirmasian misi-misi idealitas dengan kebutuhan pasar, bahkan terkadang nilai-nilai idealisme mesti turut diredam. Kalau begini keadaannya ustadz tak ubahnya dengan pelacur! Perbedaannya kalau pelacur menjual tubuh, kalau ustad menjual ayat-ayat suci, lebih jelek mana? Lebih jelek HP teman saya he.he

Ini adalah sebuah prawacana untuk diskursus yang lebih baik lagi.Wallahu ‘alam bish showab

Penulis adalah Sekretaris Umum LPIK UIN Bandung (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman)

1 comment:

biangkerok said...

maaf ya mas, menurut saya klo yg namanya ustadz ceramah di tv, apalagi bulan puasa, saya anggap dia bukan ulama tapi saya golongkan sebagai selebritis yaitu seperti presenter atau pelawak. Ada yg marah ya mas..silahkan dosa ditanggung sendiri2 ini. suka2 gw donk yg nilai gw yg kasih komentar gw