Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, June 18, 2007

Gender

"Kelamin" Yang Berkesadaran Gender

Oleh te. Ditaufiqrahman

/1/
Perempuan. Apa yang ada dalam benak bagi kita kaum laki-laki manakala kata “perempuan” diucapkan? Jorok, bingung, linglung, perusak umat, surga yang ada di telapak kakinya, penyembuh bangsa, pemuas seks!? Atau malahan mungkin, tak ada bayangan dan gambaran apapun dalam benak kita manakala kata “perempuan” disebutkan? Itu lebih gila! Dan gawat. Bukankah ibu kita seorang perempuan.

Isu perempuan, atau tema diskusi perihal perempuan sudah kaprah dalam dunia akademisi bukan hal yang tabu lagi. Hal ini di mulai dengan pemublikasian isu tentang gender, gerakan feminis dan lainnya. Tetapi benarkah kita sudah awas terhadap persoalan ini. Jangan-jangan hanya permainan kata dan argumentasi yang melulu sebagai ornamentasi untuk memenuhi tuntutan pasar atau sekedar mencari popularitas.

Seperti teman saya, ketika hanya ada kasus yang rame membicarakan tentang poligami saja ia menjadi avantgarde yang meneriakkan dengan lantang tentang ketidakadilan gender. Mulutnya seolah menjadi kokang senjata yang terus memuntahkan peluru "tolak poligami! Tolak poligami!" tetapi setelah nggak rame mulutnya terkatup, "ketidakadilan gender? Sudah lupa tuh!?".

Rupa-rupanya, di sekeliling kita banyak penjilat wacana, pemerkosa ideology, pelacur gagasan, dengan berbagai macam kilah; "sekarang 'kan poligami sudah tidak rame lagi, sudah nggak up to date!" emang urusan moral hanya terbatas pada lingkaran out of date atau up to date? Apakah membela kaum tertindas sudah ketinggalan zaman?
Ternyata kita para pesorak buku yang berusaha militan terserang juga penyakit; sebentar ribut membicarakannya, lalu segera melupakannya dengan berbagai macam alasan rasional (atau sengaja dirasionalisasi). Tidak sampai disana, hebatnya kita adalah, ketika kita melupakannya kita sudah siap dengan alasan untuk melupakannya. Kita harus bangun dan kenyataan harus dikabarkan, begitulah seru bang Iwan. Dan kenyataan tidak ada yang ketinggalan zaman.

Poligami adalah seketil persoalan yang sering dibahas dalam isu gender dan masih seabreg permasalahan lain lagi yang gegas untuk dibahas. Pada kesempatan ini, saya ingin menyegarkan kembali pembicaraan bahwa pembahasan gender itu penting sepenting adanya perempuan.
/2/
Gender secara sederhana diartikan dengan kesetaraan. Kenapa isu gender ini begitu penting, sebab bertolak pada kenyataan ada ketidaksetaraan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Misalnya perkara yang luput dari perhatian kita; kenapa perempuan selalu di posisikan menjadi sekretaris, kenapa kebanyakan perempuan menjadi bendahara?

Mari saya ceritakan sebuah contoh yang paling sarkas, yang pernah saya temui, muncul dari penulis De Beauvoir yang mengesankan adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. De Beauvoir menyebutkan adalah seorang Giacometti, seorang seniman, dengan gaya hidupnya yang luar biasa. Ia tinggal di dalam sejenis gubuk yang atapnya bocor, ia menangkap air hujan dalam mangkuk-mangkuk yang bocor juga; lantainya tergenang, tetapi ia tidak peduli.

Ia mempunyai studio kecil yang sangat tidak menyenangkan, tempat ia bekerja sepanjang malam; ia tidur semaunya, seutas benang dijadikan ikat pinggang untuk menyangga celananya; kedua tangannya belepotan plaster. Ia tidak peduli sama sekali dengan penampilan, dan semua orang menganggapnya biasa bahwa ia memilih hidup seperti itu; sebab ia seniman.

Segala sesuatu diperbolehkan dan khususnya istrinya menerima jenis kehidupan dia ini. Jadi mutlak ia tidak bersalah, tidak ada yang perlu dipikirkan selain patung-patungnya. Tidak banyak dibutuhkan banyak imajinasi untuk menebak apa yang akan terjadi pada seorang seniman perempuan yang mengikuti contoh gaya hidup Giacometti.

Ia akan dikurung, atau setidaknya diperlakukan sebagai seorang gila. Tidak mungkin membayangkan seorang suami menyesuaikan diri dengan jenis gaya hidup seperti ini untuk istrinya, ia pasti akan dikucilkan! Tetapi ironinya lagi, dalam kenyataan perempuan sendiri akan menolak menjalani kehidupan semacam itu (De Beauvoir; 2000)
Sadar tidak disadari memang ada kesenjangan antara perempuan dan laki-laki; apapun itu bentuk dan kondisinya. Maka pembahasan tentang gender ini menjadi mendesak dan penting untuk dibahas sebab pada dasarnya perempuan dan laki-laki adalah sama dan setara dalam posisinya masing-masing.

Mari saya sebutkan beberapa ayat al qur'an yang mengindikasikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara; "ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi… "(al Baqarah; 30). Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa sesungguhnya tujuan/misi Tuhan menciptakan manusia adalah untuk menjadi khalifah. Bukan laki-laki bukan perempuan melainkan manusia.

Manusia melingkupi perempuan dan laki-laki. Dalam teks ayat tersebut tidak dikhususkan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki menjadi khalifah dan perempuan tidak. Kesetaraan yang sangat jelas dan tegas bahwa posisi manusia sama, entah itu laki-laki maupun perempuan adalah sama; menjadi khalifah.

Maka tesis yang saya ajukan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sama, tugas yang sama yaitu menjadi khalifah. Kesetaraan yang terkandung dalam ayat ini dijelaskan lebih lanjut lagi oleh ayat "hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"(al Hujurat; 13)
Demikianlah, perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab sosial yang sama. Hal ini sangat masuk akal karena tugas kekhalifahan tidak hanya dibebankan al Qur'an ke pundak laki-laki tetapi juga ke perempuan (Musdah Mulia, 2005; 32), sebagaimana Allah berfirman "orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (at Taubah; 71).

Sebagai khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil âlamîn). Satu hal yang paling penting untuk menuju kesana adalah adanya kesadaran untuk menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar (amar ma'rûf nahi munkar).

Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara jenis yang lain melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh tuhan untuk saling bekerja sama, bahu membahu dan mendukun dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik dan indah.

/3/
Kesadaran mengenai kesetaraan gender ini mesti ada di kedua belah pihak; tidak hanya perempuan saja dan tidak laki-laki saja. Ketimpangan kesadaran inilah, yang menurut hemat saya, menyebabkan adanya perlakuan yang tidak adil kepada salah satu jenis kelamin. Misalnya, dikarenakan kesadaran masyarakat tentang beban khalifah ini hanya dipupuk kepada laki-laki saja maka timbullah sikap arogansi-primordialitas kelamin; merasa diri paling kuatlah, merasa diri paling benarlah, merasa diri paling pintarlah, merasa diri paling hebatlah, dan merasa "kelamin" diri lebihlah.

Dari arogansi-primordialitas kelamin ini bisa memunculkan sikap kesewenang-wenangan yang salah satu bentuknya adalah kekerasan. Hal ini memang tidak bisa disalahkan kepada pihak laki-laki saja melainkan perempuan juga mesti memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah khalifah. Pernyataan yang mesti segera terus didengungkan kepada laki-laki adalah bahwa ada orang lain yang sama-sama memikul beban kekhalifahan yaitu perempuan.

Dan sebaliknya dengan perempuan, mesti segera dihentakkan dalam kesadaran benaknya bahwa dia adalah khalifah yang memiliki tugas dan peran yang sama dengan laki-laki. Lantas persoalannya; kenapa perempuan nggak banyak yang nyadar bahwa dirinya khalifah? Begitu juga sebaliknya, kenapa laki-laki juga nggak sadar bahwa bukan dirinya saja yang menjadi khalifah.

Dengan ini bisa disimpulkan bahwa pendidikan tentang gender mesti lebih diprioritaskan kepada pihak laki-laki, karena pihak laki-lakilah yang ternyata banyak yang tidak memiliki kesadaran gender. Bahwa perempuan memiliki kesadaran gender itu sudah wajar dan memang seharusnya demikian tetapi laki-laki memiliki kesadaran gender itu masih jarang. Makanya banyak kekerasan yang terjadi itu dikarenakan laki-laki tidak berkesadaran gender.

Yang jelas, menurut saya untuk mengawali kajian tentang gender ini, laki-laki yang memiliki kesadaran gender lebih baik daripada perempuan yang memiliki kesadaran gender. Sebagaimana dikatakan; orang yang dimintai maaf lebih mulia daripada orang yang meminta maaf. Wallahu 'alam bish showab.

Bandung 4 March 2007

No comments: