Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, May 12, 2008

Kitab

Cerpen Badru Tamam Mifka
Kolektor Kitab Suci

Seumur hidup baru saya temui seorang manusia yang sangat mencintai kitab suci seperti orang ini. Namanya Abu Dzahir. Semua orang tahu, setiapkali ia melewati kebun itu dengan tas besar berisi kitab suci, ia akan berteriak pada para gembala: “Lihatlah, aku dapat banyak kitab suci lagi dari luar kota. Puji Tuhan!”

Mendengar itu, para gembala akan berlari menghampirinya. Setelah menyaksikan sendiri apa yang diucapkan Abu Dzahir, para gembala sama-sama bergumam takjub, dan seseorang diantara mereka berucap: “Puji Tuhan, wahai Abu Dzahir, bagus nian kitab-kitab suci ini. Dari mana engkau mendapatkannya?”

Begitulah, setiap minggunya Abu Dzahir selalu berkeliling mengunjungi berbagai kota di Nusantara hanya untuk mencari kitab suci dengan ragam warna, sampul emas yang indah dan bentuk yang membuat orang berdecak kagum. Ia akan mengangkat kitab suci satu persatu sambil menyebut nama-nama tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan lainnya.
Yang paling menakjubkan, Abu Dzahir juga punya banyak koleksi kitab suci dari luar negeri. “Lihatlah, ini kitab suci dari Makkah, ini dari Madinah, Ini Iran. Lihat, Lihat yang berwarna perak ini dari Irak. Nah, ini dari Mesir…” katanya sembari menunjuk satu persatu koleksi kitab sucinya di rak-rak lemari tua di kamarnya. Orang-orang yang kebetulan melihatnya takjub. Sebagian orang yang kebetulan menyaksikannya iri bukan main.

Suatu hari saya menemuinya. Saking sibuknya ia menyusun banyak kitab suci kesayangannya, ia tak dengar salam saya di muka rumah. Setelah saya memberanikan diri masuk ke dalam dan menepuk pundaknya, barulah ia sadar.

“Bagaimana kau ini orang asing, muslimkah? Kenapa tak kau beri salam dulu?”
Saya buru-buru minta maaf lalu memberinya salam.
“Walaikum salam…”sahutnya berat.
“Ada apa gerangan kau menemuiku?”
“Saya wartawan. Saya sengaja datang kesini, Abu. Saya sudah lama dengar bahwa Abu adalah kolektor kitab suci. Jadi saya ingin mewawancarai Abu sekaligus tertarik untuk melihat koleksi-koleksi kitab suci Abu.”
“Jangan bilang aku kolektor. Bilang aku pencinta kitab suci.” ucapnya. Saya manggut-manggut.
“Apa kau juga mengumpulkan banyak kitab suci?”
“Tidak.” Sahutku. Abu Dzahir terlihat mengusap-usap jenggotnya dan melangkah memasuki ruangan. Saya pelan mengikutinya dari belakang.
“Dari mana kau ini?”
“Saya asli dari Palembang. Tapi bekerja disini.”
“Waw, Palembang. Saya pernah kesana, dan ini kitab suci yang sempat saya beli disana.”

Ucapnya sambil gegas menunjuk salah satu kitab suci bersampul cokelat tua.
Sungguh, saya melihat begitu banyak kitab suci bertumpuk tebal-tebal memenuhi ruangan kamarnya yang lumayan luas. Tapi dia bilang ini bukan kamar, ini ruang perpustakaan. Saya manggut-manggut. Mulailah saya mewawancarainya untuk rubrik profil di surat kabar lokal tempat saya bekerja. Saya jadi banyak tahu bagaimana Abu Dzahir mendapatkan semua kitab suci ini. Setiap minggu, ia akan berkeliling keluar kota dengan uang tabungannya untuk mencari bentuk kitab suci yang antik. Ia tak segan membeli kitab suci dengan harga mahal sekalipun. Bahkan ia tak segan menjual mobilnya untuk menutupi kekosongan tabungannya. Koleksinya dari mulai kitab suci ukuran besar hingga kitab suci berukuran mini. Iapun menunjukkan kardus-kardus yang masih tertutup di ruang tamu. Dia bilang itu borongan kitab suci dari Jawa Timur dan Iran.

Untuk koleksi kitab suci dari luar negeri, biasanya ia menitipkan uang pada tetangga yang kebetulan naik haji, atau pada mahasiswa yang bersekolah di luar negeri. Amat girang jika ia mendapatkan koleksi-koleksi yang diinginkannya. Ia memang berharap dapat mengumpulkan kitab suci dari seluruh pelosok dunia, dan berharap hobinya ini kelak dapat diteruskan oleh anak-anaknya. Saya tak tahu sudah berapa ratus koleksi kitab sucinya, karena Abu Dzahir pun mengaku lupa tak menghitungnya.

Saya, sebagai seoang wartawan, sebenarnya perlu tahu jumlah koleksi-koleksi Abu Dzahir untuk bahan tulisan saya. Tapi tak apalah. Saya hanya melihat koleksi-koleksi itu telah menghabiskan tempat di rak-rak lemari. Sebagian koleksinya yang lain tampak disusun diatas meja, hampir menyentuh atap-atap kamar dan menutupi lubang-lubang cahaya jendela. Saya membayangkan setahun ke depan koleksinya tentu akan mencapai pintu kamarnya. Saya melihat ada kitab suci yang disimpan dalam bingkai berkaca. Bentuknya unik.

“Sebenarnya apa yang membuat Abu tertarik untuk mengoleksi kitab suci?”
“Sudah saya katakan, saya mencintai kitab suci. Saya jatuh cinta pada keindahan bentuk-bentuk kitab suci. Sungguh, apapun akan saya lakukan untuk memenuhi kesenangan saya ini. Atau kau mulai berpikir ini konyol?” Ucapnya. Saya menggelengkan kepala dan tersenyum lebar.
Setelah dirasa cukup mewawancarainya dan mengambil beberapa gambar, saya pamit. Saya lihat Abu Dzahir kembali sibuk menyusun kitab sucinya. Saya dengar dua anak kecil menangis di ruang tamu. Saya lihat seorang perempuan sibuk mengangkat jemuran di halaman rumah. Langit mendung. Hujankah?

***
Seminggu kemudian, profil Abu Dzahir sudah naik cetak. Saya sengaja datang lagi ke rumahnya untuk mengabari soal ini sekaligus membawa seorang rekan kerja yang penasaran ingin melihat koleksi kitab suci Abu Dzahir. Setibanya disana, kebetulan ia baru pulang dari luar kota. Ketika saya memperlihatkan profilnya, ia buru-buru memperlihatkan koleksi baru dari tas besarnya. Lalu kami diajaknya berbincang-bincang di ruang perpustakaan. Saya dan rekan saya terpana melihat koleksi kitab suci Abu Dzahir yang sudah menggunung. Hampir saja ruangan itu habis dipenuhi tumpukan kitab suci.

Setelah rekan saya puas melunasi rasa penasarannya, kami pun pamit. Sepanjang jalan, dia tak henti memuji Abu Dzahir. “Puji Tuhan, saya baru pertama kalinya menemukan orang yang begitu hebat mencintai kitab suci seperti Abu Dzahir…” Mendengarnya saya cuma mesem. Cuaca mulai redup, seperti biasanya.

Sebulan kemudian, ketika saya sedang meliput tentang demonstrasi mahasiswa, saya menerima telepon dari rekan saya. Ia menyampaikan berita yang menghentakkan dada saya: Abu Dzahir meninggal dunia!

“Dapat kabar dari siapa kau?!”
“Tadi pagi aku berkunjung kesana! Jam 4 shubuh dia meninggal! Sekarang saya ada di rumah Abu Dzahir!”
“Sebab apa!?”
“Pembunuhan!”
Saya tersentak kaget. Pembunuhan?!!

Sepanjang jalan menuju rumah Abu Dzahir saya tak habis pikir. Siapa yang membunuh Abu Dzahir? Apakah pembunuhnya orang yang iri pada Abu Dzahir karena koleksi-koleksinya itu? Atau dia punya musuh? Pikiran saya bersilangan. Sungguh, ini bisa menjadi berita menarik! Usut tuntas!

Sesampainya di rumah Abu Dzahir, orang-orang tampak berkerumun memenuhi halaman rumah. Saya berusaha menerobos kerumunan. Terdengar tangis isteri Abu Dzahir dan kedua anaknya. Mayat Abu Dzahir sudah ditutup kain putih. Orang-orang berbisik-bisik. Suasana haru. Saya perlahan menghampiri seorang warga.
“Pak, mungkin Anda tahu, bagaimana kejadiannya?”
“Entahlah, kejadiannya tadi shubuh.”
“Sudah ada polisi yang datang kesini?”
“Belum.”
“Kejadiannya dimana, Pak?”
“Di kamarnya.”
Kepala saya mengkerut. Di kamarnya? Siapa yang membunuhnya? Saya bertanya-tanya dalam hati. Kepala berputar kanan kiri mencari rekan saya.
“Pak, sudah diketahui pembunuhnya?” Tanya saya kembali. Orang yang ditanya menatap saya tajam. Ia mengkerutkan kening begitu hebat hingga membuat alisnya seperti kumis.
“Siapa dikau?”
“Saya wartawan.”
“Tidak ada pembunuhan disini.” Ucapnya. Saya kaget.
“Lalu kenapa Abu Dzahir meninggal dunia?”
“Lha wong dia mati tertimpa tumpukkan kitab suci.”
Saya tersentak kaget. Dengan perasaan yang kesal saya keluar dari kerumunan warga. Di ujung jalan, saya melihat rekan saya tengah duduk santai sambil menghisap rokoknya. Nikmat nian kelihatannya…
Beberapa bulan kemudian, orang-orang disana tak lagi melihat tumpukkan kitab suci yang bertambah. Mereka hanya sempat melihat kitab-kitab suci itu mulai habis dimakan rayap…

28 April 2008

No comments: