Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, May 12, 2008

Urang

'Urang' Bandung Dalam Politik Praktis
Oleh Cian Ibnu Sinna Sj*

Kalau seorang sosiolog melakukan riset perilaku politik masyarakat Kota dan Desa itu wajar, seorang psikiater memberikan pelayanan konsultasi intensif bagi pasien kelainan jiwa memang sudah semestinya, seorang bocah dicabuli ayah kandungnya bukan lagi berita, seorang mahasiswa ingin menjadi pegawai negeri sipil itu pragmatika cerita lama.

Tapi kalau orang Sunda Bandung terlibat langsung dalam politik praktis ? Ini juga sebenarnya tidak begitu luar biasa, masih biasa-biasa saja. Meski pun yang bersangkutan harus aktif, kreatif dan inovatif serta membutuhkan kedalaman merenung dan berpikir. Kemerdekaan dalam bertindak dan tentu saja ketepatan berpendapat dan kelihaian wicara (komunikasi). Politik adalah tindakan komunikasi yang berlangsung dalam wicara dan persuasif.

Demikian pada dasarnya politik boleh dilakukan oleh siapa saja, di mana dan kapan saja. Sebab semua orang memiliki jiwa politik, meski semua mereka tidak menjadi politisi. Politik bukan milik siapa-siapa. Ia milik pemikir, pengamat, praktisi, pegawai pabrik bahkan ibu rumah tangga sekali pun. Terlebih lagi orang Sunda, Bandung. Karena hak (ber) politik adalah hak semua orang; laki-laki perempuan, tua muda, kaya miskin serta yang lainnya. Politik dapat muncul dari kampus, dari pasar, mesjid mau pun galeri. Politik juga bisa muncul dari golongan, masyarakat, hingga indiviu-individu. Tegasnya politik dapat lahir di mana dan kapan saja. Ia hadir bersama kepentingan; agama, sosial, ekonomi, pendidikan hingga seni. Maka signifikansi politik adalah sepenting signifikansi yang lainnya, terlebih kebijakan publik.

Begitu lah dalam kenyataannya, politik berjalan begitu beragam. Ada yang sederhana, polos dan biasa-biasa saja. Tapi ada pula yang aneh, mengagetkan dan penuh teka-teki. Sementara pelaku politik sendiri ada yang telanjang, longgar, bugil dan mudah ditebak. Namun ada juga yang bercadar, ketat, berjilbab dan sulit diterka. Prinsipnya politik tidak dapat lepas dari suatu kepiawaian, kecerdikan, dan kelincahan para pelakunya. Bicara politik bukan bicara salah benar, bukan rasional atau tidak, bukan baik atau buruk. Bicara politik adalah bicara tentang kebijakan demi kepentingan masyarakat banyak. Dalam bahasa populer bicara politik berarti berkata kalah menang, suatu modus seni presentasi. Lebih tepat lagi dikatakan politik sebagai seni. Politik lebih merupakan sebagai kuasa wicara atau daya yang serba mungkin.

Demikian politik bukan sekedar monopoli politisi dan politikus atau ilmuwan politik. Senyawa politis senantiasa merapat erat bersama rakyat, sosiolog, aktivis, filosof, tukang kuli, hakim, tukang daging, pelacur, psikolog, pengamen dan sastrawan maupun agamawan. Daftar ini seperti dikatakan berdasarkan kenyataan bahwa suatu klasifikasi tukang cukur, tukang beca, tukang sayur termasuk politisi “biasa”. Sebaliknya pemikir, pengamat, pegawai negeri sipil, birokrat, pejabat pemerintah dan militer termasuk politikus “tidak biasa”. Boleh jadi yang disebut pertama, mereka adalah partisipan saja. Sementara yang disebut belakangan adalah “pelaksana” yang mendapat dukungan penuh dari partisipan itu. Orang atau seseorang kalau tidak menjadi pelaku politik dapat dipastikan menjadi partisipan. Atau juga pihak ketiga, yaitu orang apolitis.
Bagaimana dengan masyarakat Sunda Bandung ? Justru "menolak" keduanya; partisipan maupun politikus. Hanya saja antara yang menolak menjadi politisi lebih banyak dari yang menolak sebagai partisipan. Yang menolak sebagai partisipan dapat digambarkan sebagai pemilih golput (memilih untuk tidak memilih satu pilihan). Sedangkan yang menolak menjadi politisi tergambar dalam sikap orang Sunda pada umumnya yang pasif, dan orang Bandung pada khususnya. Ini tentulah tidak mengada-ngada dan tidak berlebihan bahwa orang Sunda memang cukup “dingin” malah cenderung “tidak aktiv” dalam politik praktis. Sejak tahun 70-an ke belakang, politisi banyak dari Sumatera sedikit dari Jawa. Kemudian tahun 70-an ke depan politisi banyak orang Jawa dan sedikit Sumatera. Kalau tidak dari pulau Jawa pasti pulau Sumatera. Bagaimana dengan orang Sunda, ada namun teramat sedikit. Tidak pernah banyak apalagi menguasai.

Untuk menyebut beberapa contoh. Pada masa Orde Lama tokoh politik dari kalangan Sunda tidak begitu banyak, demikian juga masa Orde Baru. Dari kalangan Sunda tulen misalnya, sebut saja Safrudin Prawiranegara untuk masa pra kemerdekaan. Ia pernah menjabat sebagai presiden sementara untuk Republik Rakyat Indonesia. Sementara untuk masa setelah kemerdekaan, Umar Wirahadikusumah menjadi wakil presiden. Kini untuk masa reformasi belum ada lagi yang muncul. Orang Sunda menjadi pemimpin memang sangat jarang, kecuali menjadi pejabat birokrat bisa dianggap lebih banyak dari yang menjadi tokoh sentral politik. Demikian juga yang menjadi Menteri, Gubernur, Wali Kota, Bupati, hingga kepala Desa, tentu saja banyak. Ini pun hanya berlaku di daerahnya, dan sangat jarang menjabat di daerah lain.
Dalam hal kepemimpinan politik orang Sunda boleh dibilang “tidak mau” memimpin. Sebaliknya orang Sunda lebih memilih sebagai yang dipimpin. “Saha wae anu mingpin mah anu penting tentrem tur adil teu ngadolim ka rahayat na”. Artinya “Siapa saja yang memimpin yang penting tentram serta tidak berbuat aniaya kepada rakyatnya”. Selain itu memang dalam tradisi Sunda dikenal dua istilah Mandala (Masyarakat) dan Nagara (Negara). Yang pertama berarti suatu masyarakat dengan tidak adanya kepemimpinan politik. Mandala ini dipelihara oleh masyarakat adat sekarang, seperti Baduy, Kampung Naga, Kampung Dukuh dan banyak lagi. Sedangkan yang kedua suatu masyarakat dengan adanya kepemimpinan politik. Nagara ini dipelihara oleh masyarakat Sunda modern, yaitu orang Sunda yang telah meninggalkan adatnya dan siap berpolitik dalam masyarakat kontemporer.

Hasil penelitian dari Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) yang dilakukan oleh Siti Fatimah menunjukan bahwa preferensi dan persepsi politik orang Bandung cukup rendah. Hasil riset ini telah dibukukan dengan judul: Enggan Jadi POLITIKUS; Preferensi dan Persepsi Politik Orang Bandung. Dalam buku ini diceritakan minat dan partisipasi politik warga Sunda Bandung. Selain itu, kampanye golput begitu sering didengungkan, misalnya oleh penyair Acep Zam-zam Noer dan penyair lainnya. Memilih golput bagi warga Sunda Bandung lebih sebagai pilihan dari pada kekecewaan terhadap sistem politik yang tengah berlangsung. Sampai di sini maka penjelasan penting bagi Orang Sunda Bandung (khususnya) dan masyarakat Sunda yang lain (umumnya) berarti mental Mandala di kota masih ada. Meski mental Nagara dalam masyarakat adat sudah punah. Wallahu A’lam Bissawwab []

* Cian Ibnu Sinna Sj adalah pemerhati dinamika politik lokal, tinggal di Bandung.

No comments: