Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, November 5, 2010

Umat Islam dan Kesadaran Ekologi yang Minimalis

Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

“Dan tidaklah aku utus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (al-anbiya:107)

Tidaklah perlu untuk membuka dan membolak-balik lembaran al-Qur’an untuk memastikan “doktrin” Islam tentang kemestian untuk memperhatikan dan peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup (alam). Karena, salah satu tujuan utama kehadiran Islam di muka bumi ini adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Lebih dari sekedar kemestian untuk itu, bahkan al-Qur’an tegas-tegas mengingatkan bahwa tangan manusialah yang berperan aktif dan signifikan dalam melakukan kerusakan di muka bumi ini; itu artinya bahwa manusia pulalah yang harus mengambil tanggung jawab untuk memperbaikinya setelah Allah memperbaiki dan menyerahkan bumi ini kepada manusia (khalifah), baik sebagai individu maupun komunal. Dan, akibat dari kerusakan itu bukan hanya akan menimpa orang yang melakukannya.

Baik dan buruk perilaku dan karakter manusia, bukan hanya ditentukan oleh keadaan kehidupannya dalam lingkungan masyarakat manusianya, akan tetapi juga ditentukan oleh keadaan lingkungan alamnya. Memperbaiki kondisi kehidupan manusia tidak bisa tidak harus satu paket dengan perbaikan atas lingkungan alamnya tempat di mana manusia hidup.

Diakui atau tidak, ruang lingkup aktivitas dakwahnya yang dilakukan umat Islam, khsusunya umat Islam di Indonesia, baru sampai kepada keperdualian dan kesadaran pada tataran ritual dan sosial. Dalam arti, bahwa perbaikan kehidupan manusia dan umatnya baru secara langsung menyentuh aspek kehidupan sosial ansich, belum menyentuh aspek alamnya di mana mereka tinggal.

Sejumlah organisasi sosial keagamaan umat Islam di Indonesia setelah berbenah menyelesaikan persoalan kehidupan ritual keagamaan, juga kehidupan sosial dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan tidak atau belum dilanjutkan pada persoalan lingkungan alam. Bukan mustahil bahwa sejumlah “kegagalan” gerakan sosial yang dilakukan umat Islam dan lembaga-lembaga dakwahnya, dikarenakan sikap lupa mereka pada kepedulian dalam memelihara dan memperbaiki lingkungan alamnya.

Secara praksis Umat Islam belum secara integral melihat alam sebagai bagian dari misi dakwah yang harus dilakukannya. Lebih tegasnya, persoalan alam masih dipisahkan dari persoalan “manusia dan kemanusiaan”, termasuk di dalamnya agama. Apakah fenomena itu muncul dari anggapan bahwa persoalan lingkungan alam sama sekali tidak memiliki hubungan langsung dengan kondisi spiritual (baca=keimanan), akhlak, kenyamanan (kekhusuan) beribadah, kesejahteraan ekonomi dan lain sebagainya? Atau gampangnya, bahwa persoalan alam dan lingkungan hidup bukan bagian integral dari persoalan agama dan kehidupan beragama? Rasanya tidak juga, dan ini tidak mungkin.

Dalam ranah kesadaran kognitif mereka, paling tidak secara parsial, menyadari bahwa untuk melakukan ritual shalat (sebagai contoh) memerlukan air untuk bersuci. Pengetahuan ini semestinya melahirkan kesadaran terhadap relasi manusia (beragama) dengan kelestarian alam. Kesadaran yang semestinya akan melahirkan dorongan untuk melakukan aksi nyata pemeliharaan dan perbaikan ekosistem air, mulai dari gunung, sungai hingga lautan.

Bencana banjir, longsor, dan kekeringan haruslah dilihat bukan hanya sebagai bencana alam murni yang lepas dari kemungkinan kontrol manusia. Melainkan lebih sebagai bencana yang dibikin dan atau disebabkan oleh manusia. Dengan kata lain, bencana-bencana seperti itu terjadi karena dua hal. Pertama karena secara langsung disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang melakukan kerusakan. Kedua, karena ketidakpedulian manusia untuk memperbaiki kembali kerusakan alam yang disebabkan oleh tangan-tangan mereka.

Manusia yang melakukan kerusakan dan manusia yang membiarkan kerusakan itu semestinya sadar bahwa sikapnya itu merupakan sikap dhalim. Bukan hanya dhalim pada alam, tapi juga pada seluruh manusia dan juga pada dirinya sendiri.

Islam tegas-tegas mempersamakan orang yang melakukan kerusakan di muka bumi sebagai pembunuh terhadap manusia bahkan seluruh manusia (al-Maidah: 32). Dalam ayat tersebut secara tersirat terungkap bahwa membunuh manusia (hukum mati?) hanya boleh dilakukan pada orang yang membunuh sesama manusia dan atau melakukan kerusakan terhadap alam. Karena, merusak alam akan berakibat timbulnya bencana, dan bencana cenderung menimbulkan korban jiwa dan kesengsaraan.

Alam, sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia adalah juga menjadi sumber utama munculnya kesengsaraan dan bencana bagi manusia, bila alam tidak mendapat perhatian serius dari manusia sebagai penghuni utamanya (subjek, khalifah). Upaya dan kepedulian untuk menyelamatkan dan mensejahterakan manusia hanya akan tercapai bila alam memberi dukungan positif bagi usaha manusia itu. Dan, dukungan alam hanya akan kita dapatkan hanya dan hanya jika manusia memberikan perhatian yang bersifat proaktif (bukan hanya reaktif) terhadap kelestarian alam.

Dalam logika fiqh (ushul fiqh) ditegaskan bahwa sesuatu yang akan memungkinkan dan menyempurnakan perbuatan yang bersifat wajib, maka sesuatu itu pun wajib sifatnya. Katakanlah, kalau pun pemeliharaan terhadap lingkungan hidup bukan merupakan kewajiban syar`i yang secara langsung (doktriner) diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, pemeliharaan terhadap alam itu menjadi wajib, karena menjadi rukun bagi tercapainya penyelamatan dan kesejahteraan manusia, bahkan bagi terlaksananya ritual utama dalam Islam (shalat) yang memerlukan air untuk bersuci (wudlu). Dengan kata lain, memelihara kelestarian lingkungan hidup wajib hukumnya bagi umat Islam.

Ada pepatah mengatakan, bahwa hanya perlu seorang manusia untuk merusak alam, akan tetapi untuk memperbaikinya diperlukan keterlibatan semua manusia di muka bumi ini. Umat Islam adalah masyarakat terbanyak yang menghuni negeri ini, maka semestinya menjadi umat yang paling bertanggung jawab dan paling depan dalam melakukan pemeliharaan dan perbaikan alamnya. Dengan sejumlah organisasi keislaman yang tidak sedikit dan demikian besar, sebenarnya bukan hal yang sulit dan mustahil untuk memulai melakukan sesuatu terhadap alam demi kemanusiaan, dan juga “atas nama agama (Islam)”.

Namun, sangat disayangkan bahwa kepedulian ormas Islam sebagai bentuk dari institusi umat Islam yang terorganisir ini belum memperlihatkan perannya secara nyata, bahkan sekedar pengembangan wacana pun harus disebut masih sangat langka. Padahal bisa dipastikan betapa sangat efektif dan tentunya memiliki pengaruh yang sangat besar apabila kekuatan-kekuatan ormas Islam ini melibatkan diri dalam wacana dan aksi perbaikan dan pemeliharan lingkungan hidup. MUI sebagai contoh, masih lebih memperhatikan dan membangun wacana serta fatwa berkenaan dengan hal-hal yang kesannya sepele dan efeknya sangat terbatas. MUI sepertinya belum melihat persoalan lingkungan hidup ini sebagai persoalan besar yang perlu ditangani secara serius. Yang hasilnya, bukan hanya akan dirasakan oleh perorangan, komunitas tertentu tapi oleh seluruh manusia di muka bumi ini.

Sejumlah bencana, seperti banjir, longsor dan kekeringan secara sangat signifikan telah merusak tatanan kehidupan yang telah sekian lama dibangun dengan biaya yang sangat besar.

Bila hal itu terus terus belanjut, kapan kesejahteraan umat akan tercapai? Dan, bencana-bencana sejenis itu, sudah bisa dipastikan disebabkan oleh terjadinya kerusakan alam (khususnya hutan) yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia. Siapa pun yang melakukan kerusakan-kerusakan itu, dan kita membiarkan kerusakan itu terus berlanjut, sama saja dengan ikut terlibat secara aktif melakukan kerusakan-kerusakan itu.

Lebih dari itu, kita pun akan merasakan pula akibatnya. “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim (melakukan kerusakan) saja di antara kamu.Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya” (Al-Anfal :25).

No comments: