Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, March 6, 2008

Heidegger

Heidegger: Mistik Keseharian Manusia
Oleh Ahmad Sahidin

Tulisan ini bukan hendak menyaingi acara-acara mistis yang ditayangkan televisi maupun surat kabar yang menyuguhkan tentang itu. Saya dengan tulisan ini cuma sekedar membuka realitas, bahwa yang disebut mistis bukan hanya yang supranatural, bukan hanya yang ada di “luar alam” kita, atau yang bersifat irasional dsb; akan tetapi persoalan keseharian hidup manusia pun sebenarnya mistis.

Awalnya saya mengira bahwa hidup bukan sebuah persoalan. Namun ketika suatu hari direnungkan nampak sebuah persoalan yang jelimet alias tak terungkap secara rasional. Hal ini terasa hingga saya beranggapan bahwa hidup tidak lebih dari lingkaran yang kembali dari awal ke akhir dan kembali lagi ke awal, lalu ke akhir dan begitu seterusnya. Siklus ini yang terasa pada keseharian saya dan mungkin juga yang lainnya. Bangun pagi, mandi, makan, beraktivitas (sekolah atau kerja), bersantai, ngobrol dan akhirnya tidur. esoknya kembali seperti semula. Inilah dimensi hidup yang “menghidupkan” sekaligus “mematikan”, karena senantiasa memunculkan hal yang sama dan terulang kembali.

Saya pusing dengan hal di atas, hingga suatu ketika tidak dapat berbuat apa-apa selain tidak tahu–saking mistisnya. Namun apa yang saya alami dan rasakan, ternyata dialami dan dirasakan pula oleh seseorang yang bernama Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialisme Jerman, yang katanya tidak atheis seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus dll.

Heidegger dilahirkan di kota Messkirch pada 26 September 1889 dan wafat tahun 1976. Ia dikisahkan pernah terlibat dengan Gereja Katolik sekaligus menjadi pendukung Nazisme-Hitler. Juga seorang profesor yang disenangi mahasiswinya yang bernama Hannah Arendt (filusuf politik besar yang hidup 1906-1975) yang kemudian terjadilah perselingkuhan cinta dengannya. Bahkan karena mahasiswi itulah Heidegger rela membuat puisi-puisi yang kemudian diberikan sebagai tanda cintanya. Karena takut mengalami bentrokan keluarga, Heidegger yang tua pergi ke sebuah tempat yang jauh dari peradaban kota dan menetap di pondok Todtnaw-Berg.

Di tempat sepi inilah ia menghabiskan waktu-kesehariannya dalam keheningan. Dari tempat itu Heidegger menghasilkan karya Sein und Zeit, sebuah karya yang berbicara perkara keseharian yang ia alami, sakit, takut, cemas, terasing, bahagia dll. Isi yang menarik pada buku itu adalah persoalan eksistensi dan kecemasan. Menurutnya kecemasan adalah proses untuk masuk pada eksistensi diri yang ada dan ketiadaan sebenarnya tak ada, karena yang sesungguhnya disebut tiada adalah penampakan dari yang disebut ada. Dari ketiadaan itulah yang menunjukan ke-ada-an dalam ketidaknampakan di dalam waktu, dan itu sebabnya waktu dan ke-ada-an yang dikemukakan Martin Heidegger dianggap sebagai proses untuk “hidup” dalam keberadaan yang nampak, atau mencoba menikmati apa yang sesungguhnya telah hadir dan nampak pada hidup kita.

Apakah ini yang disebut (theology) predestination yang kerap menelantarkan manusia untuk tetap tinggal dalam keberadaanya; seada-adanya, sa-ayana? Jika ini yang dimaksudkannya, maka tak salah lagi bila sikap pasif dan disprogressif adalah menjadi jargon-jargon yang sengaja dihidupkan. Dan tentunya bila ini diterima maka hidup bukan lagi sebagai dinamika, tetapi stagnasi yang mau tak mau harus diterima–sebab takdir adalah otoritas sang tiran untuk berbuat jahat dan dalih si bodoh bagi kegagalannya, begitu kata Amborse Bierce (1842 - 1914).

Benarkah Heidegger menganjurkan hidup demikian? Eksistensi bukan insistensi. Itu sebabnya manusia senantiasa mengatasi dirinya sendiri dengan transendensi atas dirinya sendiri atau sebuah upaya memahami yang berdasar pada masa silam, keseharian dan rencana ke depan. Dengan cara itu hidup senantiasa diatasi dengan membuat transendensi atas ke-ada-annya. Inilah eksistensialisme Heidegger yang mencoba menentukan faktisitas sebagai bingkai bergeraknya eksistensi, yang seakan-akan terlempar di dunia karena bukan hasil penentuan sendiri. Ini pula yang menjadi alasan bagi semua interfretator yang ingin menghadirkan semua bentuk pengalaman–pengalaman lain.

Di sini Heidegger sebenarnya mewartakan bahwa pemahaman (verstehen) bukan sekedar peristiwa kejiwaan, akan tetapi suatu proses ontologis, yaitu “penguakkan” (mukasyafah) atas pelbagai hal. Di sini sudah ada ikhtiar untuk berada dalam suatu jaringan keseluruhan yang saling menunjuk atau memungkinkan terbukanya “sesuatu” yang dilihat sebagai “ini” atau sebagai “itu”. Keterbukaan inilah yang disebutnya verstehen, yang terutama bermula dari vorhabe (yang sudah dipunyai sebelumnya), vorsicht (yang sudah dilihat sebelumnya) dan vorgrieff (dan yang sudah ditangkap sebelumnya).

Karena itulah Heidegger memahami manusia sebagai makhluk yang tidak pernah hidup di masa kini, tapi juga dari masa lalu hingga ingin ke masa depan. Manusia yang hidup di masa kini senantiasa berada antara masa silam dan masa depan.Yang dipenuhi dengan rencana dan kemungkinan-kemungkinan yang dipikirkan untuk sampai pada hakikat manusia itu sendiri. Jadi eksistensi bukan insistensi adalah cara berada khas manusia. Artinya manusia bukan sebagaimana benda yang berada di dalam dirinya sendiri, tetapi berada untuk ke luar dari dirinya; dan sekaligus bisa mengatasi dirinya dengan menciptakan dan membuat transendensi atas dirinya sendiri. Maka dari itu bentangkanlah cita-cita, harapan dan mimpi–walaupun itu cuma rencana.

Heidegger memang murid Edmund Husserl yang tidak melanjutkan kerja gurunya. Malah kembali pada proyek Immanuel Kant yang belum selesai tentang das sein manusia. “Saya darimana? Kemana saya? Saya ini apa sebenarnya? “—adalah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat das sein, berada-di sini-sekarang sebagai makhluk hidup.

Karena persoalan di atas merupakan tentang eksistensi manusia, maka Heidegger membagi dua yang disebut eksistensi : yang asli dan bukan asli, yang rendah dan bukan rendah, atau yang wajar dan bukan wajar. Contohnya adalah kejatuhan Adam dan Hawa setelah berdosa dan jatuh dalam eksistensi yang bukan asli karena kejatuhan dalam tempat yang bukan dari sebelumnya yang bermakna rendah, atau keterlemparan dari yang asali.1) Di sinilah faktisitas manusia ibarat batu yang dilemparkan ke dalam empang dan batu itu tidak tahu dimana ia mengadanya.

Maka di sini das sein harus diupayakan untuk bisa mengada dari keterlemparannya itu melaui, atau dengan menciptakan sesuatu yang mendahului wujud (dalam kemaujudannya). Sebab setiap pilihan dan usaha menjadi wujud akan senantiasa ber-relasi dengan pelbagai kemungkinan-kemungkinan dan tidak akan pernah melebihi dari kemungkinan-kemungkinan itu (yang ada atau yang diciptakan sebelumnya). Dengan kata lain, Heidegger menghendaki untuk mendahulukan “diri” dengan mengada dalam dunia–karena das sein merupakan hal untuk mengada di dunia.

Selain hal di atas, menurut M.A.W. Brouwer, dalam pemikiran Heidegger ada yang terpenting yaitu waktu (zeit). Sebab menurutnya bahwa persoalan usaha (sorge) dalam analisa eksistensial Heidegger merupakan kesatuan struktur dari das sein; dan hal yang mendasar dalam das sein adalah waktu.

Persoalan tentang waktu, bagi Heidegger, ada kaitannya dan berujung dengan persoalan mati. Dari mati itulah ia berpandangan bahwa das sein bermula dan berakhir pada mati; dan karena mati itulah yang mengkabarkan ketidak-mengada-an manusia dari mengadanya manusia; yang sekaligus bermakna sebagai finalitas esesnsial dari hidup manusia. Maka dari sini kemudian lahir gejala “takut mati”.

Dengan ketakutan inilah manusia senantiasa akan berusaha menjadikan dirinya (sanggup) untuk menjadi manusia. Dari persoalan mati (tersebut) pula dikatakan bahwa masalah (waktu) retensi dan protensi akan mepersatukan dalam keseluruhan eksistensi manusia. Misalnya orang hadir (atau yang membaca tulisan ini) adalah yang bermula dari sebelum sekarang (membaca tulisan ini) dan setelah sekarang (membaca tulisan ini). Pendeknya, keberadaan (sekarang) adalah waktu kemarin dan yang akan datang yang berada dalam keberadaan kita sebagai makhluk yang mengada. Dan mati merupakan titik capai dari apa-apa yang dikerjakan, dilakukan dan direncanakannya, adalah menjadi penyebab dari apa yang telah diupayakan hingga mewujud dalam eksistensi manusia otentik.

Atas konsepsi tersebut dapat dimengerti kenapa “mati” tidak dianggap sesuatu yang menakutkan bagi orang-orang yang merasa dirinya telah melakukan “pengorbanan” sebagai bukti dari ke-mengadaan-nya sesuatu (yang diyakininya). Konsepsi inilah dalam Islam-Syi`ah disebut dengan syahadah–yang telah banyak dibuktikan, salahsatunya Imam Husein, seorang cucu Rasulullah Saww yang berani menjemput kematian di padang Karbala, Irak (abad tujuh masehi).

Jadi, takut (angst) dan mati (tot) merupakan salah satu syarat yang wajib ada pada manusia untuk membawa dirinya pada eksistensi Yang-otentik. Ini pula yang membedakan Heidegger dengan Nietzsche.2) Bagi Neitzsche, takut adalah sesuatu yang harus dikuasai atau dikendalikan dengan mengatakan “ya”—sebagai bentuk penyatuan antara “harapan” yang berbenturan dengan “kenyataan”.

Dengan inilah Nietzsche sadar bahwa tidak ada yang disebut progresifitas (yang dikoarkan kaum modernism); sebab yang nampak adalah kembalinya segala sesuatu (sirkular an-sich). Ini yang dikatakan Heidegger bahwa, Nietzsche masih “keranjingan” dengan kehendak untuk berkuasa agar dapat mempertahankan otentisitasnya. Agar bisa keluar dari masalah di atas, Heidegger menyarankan untuk melakukan transendensi. Tetapi bagi saya, dengan merujuk fenomena-eksistensial keseharian, ia terlalu cepat mengambil kesimpulan sehingga hal-hal kecil yang terjadi dalam keseharian digeneralisir sebagai lingkaran tak bermakna (nihilsm).

Padahal bila kita teliti dengan cermat, bahwa tidak ada sesuatu yang sama/mirip pada dua saat yang berbeda. Artinya, dalam setiap pergeseran manusia dalam ruang-waktu, baik itu peristiwa dan kejadian-kejadian yang dialami manusia, meskipun terlihat sirkular atau mengulang-ulang yang pernah dialami, akan tetapi pada tiap-tiap perulangannya itu ada “hal-hal” yang membedakannya dengan yang dialami sebelumnya. Atau senantiasa ada yang bersifat “unik/khas” dalam setiap perulangannya itu. Atas landasan ini, bila hal-hal yang “khas/unik” ini disadari adanya dan kemudian dijadikan sebagai “nilai-nilai”, maka dengan uapaya terus-menerus akan sampai/menuju eksistensi Yang-Sejati.

Demikian tuturan saya tentang Heidegger, yang secara keseharian terasa ada benarnya dalam hidup yang kita arungi. Namun terlepas dari kebenaran itu, atau tepatnya pada Heidegger yang berupaya maksimal untuk mengatasi diri dari keterasingan, ketakutan dan kesia-siaan dengan sikap pasrah-aktif yang dilakukannya melalui antisipasi dengan pelbagai rencana atau membuat transendensi-diri. Tetapi di sisi lain tergusur pada sisi terlemparnya “diri” dari realitas sosial.

Memang di sini harus ada upaya kembali untuk menuntaskan sisi yang belum tersentuh oleh Heidegger. Karena persoalan keseharian dan keberadaan manusia adalah senantiasa menuntut solusi yang tuntas. Akan tetapi dari upaya ketuntasan itu seringkali menyisakan keterlenaan atas hal-hal yang pelik dan bahkan bisa melebar dan meluas. Ini mungkin siklus yang tidak akan cepat selesai dan berakhir dengan tarekah-polah manusia agar bisa keluar dari siklus tersebut.

Untuk itu, memang diperlukan semacam alat dan antisipasi agar tidak terulang-kembalinya ke sisi keterlemparan (manusia) dari sisi sosial, sejarah maupun budaya—seperti Heidegger yang menyisihkan dirinya dari kehidupan ramai ke tempat yang sepi, pondok Todtnaw-Berg.

Di sana Heidegger memang menghasilkan refleksi yang mendalam (dalam bentuk karya)—tetapi ia bukan Nabi Muhammad Saww yang setelah tenggelam-merenung di gua Hira dan mendapatkan pencerahan, yang segera membereskan persoalan hidup, kemelut sosial dan kemanusiaan (Arab) hingga berhasil mencerahkan masyarakat.

Akhirnya, saya sendiri tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Atau jangan-jangan, saya lah yang tidak tahu apa yang terkandung di dalam pikiran-pikiran Heidegger. Atas inilah saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip salahsatu kalamullah;: janganlah kamu mengikuti apa yang tidak sampai pengetahuanmu ke sana, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan perasaan; semuanya itu akan di minta pertanggungan jawabnya (QS. Al-Isra : 36).

Catatan :

1) Tentang Adam ini ada penjelasan yang menarik dari Muhammad Iqbal (1877-1938). Menurutnya, Adam bukanlah individu yang terlempar karena dosa, tetapi ia adalah symbol dari konsep manusia sadar-diri. Artinya, kejatuhan Adam adalah bermakna peralihan (mengalir) dari tingkat naluriah primitive (yang terpenjara) menuju ke tingkat kesadaran-diri yang merdeka dengan tetap dapat mengalami keraguan dan keingkaran yang manusiawi. Kondisi Adam inilah yang membuktikan bahwa manusia tidak sempurna—sehingga ia senantiasa untuk berada dalam proses menuju/menjadi sempurna. Demikian dengan hal yang bersifat keseharian, kata Iqbal, kita sepatutnya menghubungkan diri dengan lingkungan materiil untuk meningkatkan diri yang sejati; yang terkait dengan siapa aku sebenarnya melalui kehendak-kreatif, atau refleksi yang mendalam hingga sadar dan tahu bahwa ada yang Lebih-Mahasempurna. Lihat Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002) halaman 35; dan Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003) halaman 83.

2) Nietzsche dianggap orang yang berpengaruh kepada Hiedegger sekaligus menjadi inspirasi dari beberapa gagasan eksistensialisme; yang sampai-sampai memberikan ulasan yang bernasdan berilian, dalam bentuk seperti (1) Nietzsche :The Will to Power as Art; (2) Nietzsche : The Eternal Resurrence of Same; (3) Nietzsche :The Will to Power as Knowledge and Metaphysics; (4) Nietzsche : Nihilsm. Mengenai Nietzsche, ada yang menarik darinya yaitu tentang teriakan: ” Gott Ist Tot!”. Adalah teriakan yang menggumamkan “kematian” atas apa yang manusia modern agungkan seperti rasionalitas, logika, ide-ide progresif dll; yang seringkali dijadikan segalanya bagi manusia modern sudah tidak ada apa-apanya lagi. Dalam hal ini Nietzsche menggunakan metafor “Tuhan” untuk menunjuk apa-apa yang dijadikan pegangan dan jaminan oleh manusia modern. Dikarenakan di dalam sejarahnya “Tuhan” tersebut telah menimbulkan krisis yang menyeluruh, maka ia teriak: “Tuhan Telah Mati”—yang gantikan dengan “nihilsm”. Artinya, paradigma abad modern sudak tidak laku lagi karena ada kekurangan-kekurangan yang mendasar. Di sini ia telah berjasa dalam mengadakan refleksi filsafat yang mendalam, meskipun menghina metafisika, rasionalitas, kebenaran, dan bahkan menertawakan ilmu pengetahuan. Ia hanya percaya pada satu kebenaran, yaitu “tidak ada kebenaran”—karena segalanya hanya interpretasi dan perspektif. Lihat dan baca karya St. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LKiS, 2001).

No comments: