Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, March 6, 2008

Sosok

Sosok Pemimpin Teladan
Oleh Sukron Abdilah

Keteladanan pemimpin sangat erat kaitannya dengan pribadi yang baik, memiliki etika-moral, dan menempatkan kepentingan publik di atas segalanya. Tanpa itu bukanlah pemimpin namanya, melainkan penguasa congkak yang menganggap Negara sebagai milik sendiri. Itu terjadi akibat sebagian pemimpin tidak menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.

Kepentingan kalangan bawah hanya dikremasi di atas kertas berbentuk rancangan, tidak diwujudkan jadi nyata di dunia nyata. Ketika ketidakpedulian birokrat seperti ini terus menggejala, apatisme rakyat terhadap pemimpin semakin mengakar-kuat. Maka kepercayaan atas pemimpin akan meredup sehingga demokratisasi ternoda kembali karena suara rakyat bukanlah suara Tuhan.
....
Lebih tepat suara pejabat adalah suara Tuhan! Vox vopuli vox dei juga pada posisi demikian hanya berbentuk sloganistik, pajangan konstitusional, dan buah bibir sesaat. Tidak dapat - meminjam bahasa Paulo Freire - mewujud dalam bentuk tindakan praksis membebaskan. Prinsip, sumber atau patokan (nilai) yang dapat memberi arah kepada manusia (bangsa) pun tercerabut dari akar budaya.

Tidak gandrung kekuasaan

Kita lihat saja, kursi panas kekuasaan dapat diduduki dengan menggunakan dana dari luar, hingga prinsip timbal balik pun terlihat dari kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Tidak prokerakyatan. Lebih tepat disebut kebijakan propejabat, propengusaha, dan prokantong pribadi dan kelompok dekat. Budaya penguasa lebih dekat pada cara berpikir dan bertindak bagaikan seorang pengusaha. Hanya logika ekonomi mengembalikan modal (keuntungan pribadi/kelompok) yang diprioritaskan. Sementara itu, kepentingan publik disimpan di kantong belakang. Bukan di saku baju depan (baca: diprioritaskan)!
Mari kita flash back sejenak. Banyak sekali kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan bangsa yakni soal kemiskinan yang sedang dihadapi negeri Indonesia . Aksi nekat warga Indonesia yang menjadi Askar Wathaniyah Negara Malaysia adalah bukti kongkrit bahwa Negara belum bisa memberikan jaminan ekonomi yang pasti kepada warga di daerah perbatasan. Ketidakjujuran bahwa dirinya mendapat sumbangan dana kampanye merupakan budaya penguasa yang tidak ingin merugi karena disinyalir akan menurunkan pamor pada pemilu.

Betapa keteladanan pemimpin di negeri ini berada pada ketidakmenentuan. Dalam konteks ini, maka kita memerlukan keteladanan seorang pemimpin. Maka, pabrikasi pemimpin adalah pekerjaan rumah bagi bangsa ini. Bisa tidak kita menciptakan institusi pendidikan informal yang menelurkan calon pemimpin yang tidak mangreh (menguasai) tetapi ngemong (melindungi) bagaikan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?

Ya, bukan hanya pemimpin yang menggandrungi kekuasaan saja yang dipilih nanti. Tapi, yang bisa melindungi rakyat dari impitan persoalan hidup. Pemimpin yang patut menjadi teladan adalah yang mampu membebaskan warganya dari belitan kemiskinan, pengangguran, mahalnya harga pokok, dan bisa menyuarakan “jerit-tangis” hati rakyat atau warganya kepada pemerintah pusat.

Lebih baik bermimpi

Kita seolah terbangun dari tidur yang sedari tadi sedang merasakan mimpi menakutkan. Akan tetapi, persoalan yang melilit bangsa Indonesia bukanlah sebuah konstruksi mimpi yang derajat keabsahannya dibawah rata-rata. Dalam perspektif Sigmund Freud mimpi adalah proyeksi psikologis yang berasal dari pengalaman-pengalaman pahit yang sedari dulu dipendam di bawah alam tak sadar. Maka, sewaktu-waktu jika tak bermimpi, pengalaman pahit itu akan meledak dan memicu kekacauan hidup.

Ketika warga masyarakat Indonesia dihimpit harga kebutuhan pokok yang mahal, luberan lumpur Lapindo, merajalelanya pejabat yang tak jujur; aktivitas tidur mereka tentu saja tidak akan nyenyak. Sebab, mimpi mereka (malam tadi dan sebelumnya) sangat menakutkan - bukan jadi bunga tidur - melainkan berubah menjadi racun tidur. Setelah mereka terbangun di pagi hari, ternyata mendapati harga sembilan bahan pokok (kehidupan) membumbung tinggi. Ah, lebih baik (aku) berada di alam mimpi meskipun harus dikejar-kejar hantu yang menyeramkan. Daripada harus hidup dalam dunia riil yang menyengsarakan. Itulah bisikan hati publik Indonesia yang jarang kita empati bersama-sama.

Alih-alih berempati, malahan politikus kita seakan memusuhi falsafah hidup sepi ing pamrih. Berputar haluan mengarah pada falsafah hidup rame ing pamrih!. Mendagangkan suara rakyat untuk menggolkan pemimpin yang sadar terhadap kenyataan kongkrit permasalahan rakyat Indonesia hanya per lima tahun sekali.

Meminjam pemikiran Ignas Kleden (Kompas, 06/Juni/07), ia mengatakan: “Kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya)”.

Bangsa ini memang membutuhkan keteladanan pemimpin yang rela sengsara terlebih dahulu sebelum rakyatnya sengsara. Atau kehadiran seorang manusia nge-indonesia yang bisa dijadikan pusat perhatian karena penuh keteladanan (exemplary center). Tidak harus dari kalangan “darah biru”, melainkan mampu tidak kinerjanya diawasi dan dipersembahkan untuk rakyat.

Tapi, adakah model pemimpin seperti itu di daerah ini? Mudah-mudahan eksis dan terus mengada agar dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi warga tatar Sunda dan bangsa! Maka, pilihlah Cagub dan Cawagub pada Pilgub Jabar 2008 yang bisa dijadikan teladan oleh pemimpin-pemimpin di masa mendatang. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, pilihlah pemimpin yang ahli memimpin dan kalaulah yang dipilih itu tidak ahli, tunggulah kehancuran. Wallahua’lam

No comments: