Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, March 6, 2008

Menulis

Menulis Petanda Orang Beradab
Oleh Ibn Ghifarie

Saat ngimpul bareng kawan-kawan Sunan Gunung Djati beberapa pekan lalu. Kala senja mulai tertutupi oleh awan dan munculnya warna merah di ufuk barat petanda Sang Raja Siang ingin ‘berpamitan sejenak’ kepada kita dalam rutinitas kesehariannya.

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan satu pertanyaan yang dilontaskan oleh temenku ‘Kenapa benyak penulis brilian dari Sumatra atau paling tidak ada keturunan Minangnya daripada Jawa, termasuk Sunda?’

‘Seperti Buya Hamka, A Nafis, itu yang sudah meninggal atau Buya Syafie dan Azra yang masih hidup!!

Kata Pamali;Sumber Ketidak Bebasan Berekspresi
Aku hanya bisa menjawab ‘Sejak awal mereka tidak pernah mendapatkan larangan saat mengelurkan pendapat sekalipun berbeda dengan orang tuanya’

Coba liat dalam obrolan Nenek kepada Cucunya saat bertamasya ke Kampung halamannya ‘Saat ada yang bertanya Ari ujang kadieu sareng saha? [Bareng siapa kesini]

Naek pasawat terbang [Naik pesawat terbang], jawabnya

Aduh teu kenging nyarios kitu pamali. Pan ujang teh kadieu sareng Bapak naek mobil pan!! [Jangan biang begitu. Kan cucu datang ke sini sama Bapak itu naik mobil bukan!] Tegur Nenek.
Disadari atau pun tidak, kata-kata pamali inilah yang membuat daya fakir masyarakat Sunda (maaf) sedikit tidak bebas. Imajinasi untuk menuliskan satu gagasan menjadi terganjal.

Berwatak Bebas, dan Tak Peodal
Deretan pertanyaan sahabatku, terus muncul sekaligus menuntut jawaban. Sampai-sampai saat mengikuti acara Seminar di Universitas Kristen Maranatha (UKM), Bandung Jum’at (29/02) dengan tajuk bertema "Eksplorasi Potensi Mahasiswa melalui Media".

Nah, saat penjamuan makan siang pula akhirnya pertanyaan serupa ku lontarkan juga pada kedua Narasumber; Wilson Lalengke, Pimred HOKI dan Andreas Hirata, penulis Tetralogi Laskar Pelangi.

Menyoal kebanyakan penulis berasal dari masyarakat sekaligus keturunan Minangkabau, Sumatra daripada Jawa atau Sunda Wilson Lalengke, Pimred HOKI menjelaskan ‘Mungkin saja karena budaya Jawa itu terlalu peodal dan mangut-mangut terhadap orang tua atau yang kita tuakan, jelasnya

Berbeda dengan kami setiap anak saat saya masih kecil bebas untuk mengepresikan apa yang kita rasakan, alami dan liat untuk ditulis, tambahnya.

Selain itu, kebiasaan merantau ke daerah lain untuk laki-laki dan jangan harap kembali bila sebelum berhasil, baik dalam urusan materi maupun imateri, ujarnya.

Faktor-faktor inilah yang memicu terlahirnya ribuan penulis. Kendati besarnya para penulis tidak di daerah aslnya. Melaikan setelah merantau ke Ibu Kota, tegasnya.

Hal senada juga diamini oleh Andreas Hirata, penulis ‘Tertalogi Laskar Pelangi’ menuturkan liarnya imajinasi saat anak-anak menumbuh kembangkan gagasan yang brilian ‘Berbeda dengan kebiasaan masyarakat luar Sumarta, maaf terlalu dikungkung oleh atauran-aturan yang kaku.’
Tradisi inilah yang terus memicu anak muda untuk terus berkarya sekeil apa pun, ungkapnya.

Baca, Diskusi dan Merenung Modal Menulis
Kebiasaan tulis-menulis tak selamanya hadir tanpa sebab. Melainakn harus dibina secara terus menerus supaya terlatiih. Banyaknya bacaan, seringnya berdiskusi dan membiasakan diri untuk tetap menulis apa yang kita rasakan, alami, lihat, tentu akan membuahkan tulisan yang renyah dibaca. Adakah waktu tepat untuk menuliskan sesuatu?

Menanggapi kehadiran ide-ide untuk membuat tulisan di malam hari saat orang lain tertidur lelap. Sukron Abdillah, tukang Bewara Sunan Gunung Djati menjelaskan ‘Kalaulah tak segera dituangkan dalam sebuah tulisan, jiwa ini seakan terus-menerus mengidap penyakit "insomnia" di malam hari.’

Bahkan ketika masalah tak pernah dituangkan dalam sebuah teks, malam serasa siang dan siang pun serasa malam sehingga hidup selalu dilingkari kegundahan. Mungkin inilah yang disebut oleh Umberto Eco--menulis adalah sebuah kewajiban moral, kilahnya.

Lebih berapiapi lagi Ia menuturkan ‘Tanpa adanya kesemangatan dalam diri, mungkin tulisan tidak akan pernah lahir, hingga pada akhirnya, aktivitas membaca pun hanya sesuatu yang “absurd”.’

Dari tesis inilah, mungkin bisa juga aku katakan bahwa ketika menangkap ide dan mengurungnya dalam sebuah tulisan, itu semua merupakan upaya dari proses meredakan kecemasan. Sama seperti ketika sahabatku merasa terganggu jiwanya ketika tidak menuangkan segala masalah hidupnya dalam sebuah tulisan di buku diary.

Memang menulis tidak muncul dalam kesendirian, tapi selalu terkait dengan budaya membaca, diskusi dan merenung.

Sejatinya kebiasaan menulis tak perlu diembel-embeli dengan perasaan takut tak dibaca atau di terbitkan. Pramoedya Ananta Toer mempunyai strategi jitu dalam menepis anggapan ini “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,”

Tentunya, menulis merupakan pertanda orang-orang beradab. Lihat saja jargon dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) ‘Sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian).

Mencoba mengikuti orang-orang berakhlak mulia, maka tak ada car alain selain menulis, menulis dan menulis. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Bumi Abdi, 1/03/08;00.34 wib

No comments: