Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, January 23, 2009

Filsafat

Gen Yahudi dan Co-Creator
Oleh AHMAD SAHIDIN


Alhamdulillah, Jumat pagi kemarin saya bisa mendapatkan pencerahan dari seorang penulis dan saintis Dr. Tauhid Nur Azhar. Bapak tiga putra ini datang ke kantor dengan gaya dan ke-khas-an yang tetap melekat padanya. Sosok yang berperawakan tinggi dan full senyum itu langsung naik ke lantai dua, bersalaman, dan duduk di kursi meja rapat tempat kami berkumpul.

Salah seorang teman saya, yang kini menempati jabatan cukup strategis dalam penerbit tempat saya bekerja ini, langsung menyambut dan memberikan informasi tentang maksud dihadirkannya Dr.Tauhid NA dalam acara koordinasi pekanan kali ini. Setelah dibacakan profil Dr.Tauhid NA, dimulailah “ceramah” yang mencerahkan itu.

Seperti biasa, Dr.Tauhid mengawali pembicaraannya itu tidak lepas dengan humor-humor. Awalnya ia memaparkan tentang hijrah dan makna-maknanya, termasuk hijrah dalam konteks “gen” manusia dan gen Yahudi.

Menurutnya, gen itu merupakan potensi (dasar) manusia yang sudah tertanam bersamaan dengan lahirnya manusia ke alam dunia. Tiap bayi yang lahir pasi memiliki gen (asli) yang, seiring dengan perkembangan tubuh dan otaknya, mengalami perubahan hingga mengerucut pada salah salah satu “gen” yang ada dalam diri manusia.

“Manusia memiliki gen yang bermacam-macam. Ada gen yang bisa berkembang menjadi orang baik dan juga terdapat potensi yang dapat menjadikan diri manusia itu zalim atau berakhlak buruk. Seperti Yahudi, hakikatnya bukan bangsa, tapi gen atau sifat dasar manusia terburuk yang ada pada manusia. Sehingga karakter culas, tidak menepati janji, anti kemanusiaan, licik, bisa pula melekat pada diri kita. Jika kita berperilaku itu, ya berarti bisa disebut Yahudi,” paparnya.

Bila diri kita tidak ingin seperti Yahudi, lanjutnya, maka energi negatif berupa sifat-sifat buruk dalam diri manusia itu harus dikendalikan (manage) dengan energi positif kita sehingga menghasilkan energi suportif. Misalnya tentang kemalasan, yang biasanya menjadi karakter yang sulit dilepaskan dari manusia, bila terus dipacu dengan motivasi yang baik bisa berubah menjadi rajin.

“Tanaman yang kurang perhatian manusia atau hanya dipupuk saja, hasilnya beda dengan yang tanaman yang dipupuk dan diberi sentuhan kasih sayang atau perhatian manusia. Pasti lebih segar dan tumbuhnya bagus ketimbang yang tidak diperhatikan,” katanya.

Karena itu, menurutnya, seorang manusia (Muslim) haruslah melakukan hijrah agar kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Yakni dengan mengenali hakikat diri dan hal-hal di luar diri, sehingga dalam proses berjalannya bisa lebih baik dan dapat terdeteksi ke ara mana langkah kita. Menuju ke arah yang membinasakan atau justru yang melejitkan diri kita menjadi manusia yang berprestasi. Untuk meraih itu, manusia tidak boleh tetap bersikukuh memegang pemahaman lama, tapi harus mencoba menghasilkan sesuatu yang baru dengan senantiasa pro-aktif.

Paradigma “jemput bola” atau pro-aktif ini oleh Dr.Tauhid disebut dengan istilah co-creator. Ia mendefinisikannya sebagai “metode” gabungan antara realitas (kondisi riil) dengan cita-cita (hasrat) dalam rangka menghasilkan kesimpulan atau keputusan sehingga dari sana bisa menghasilkan produk. “Sudah bukan zamannya lagi kita memaksakan bacaan atau buku kepada orang agar dibeli atau dinilai berguna. Karena tiap orang kebutuhan bacanya beda, jadi tak bisa dipaksakan. Karena itu sebaiknya penerbit coba menggunakan metdode co-creator dalam menghasilkan buku bacaan. Yakni dengan melakukan riset kebutuhan pasar dan dari fakta itu redaksi bisa memulai bekerja,” kata doktor lulusan Universitas Sains Malaysia ini.

Sebenarnya, banyak point-point penting dikemukakan oleh Dr.Tauhid NA, termasuk tentang buku terbarunya tentang “DNA Rasulullah saw” yang akan diterbitkan Penerbit Salamadani pertengahan tahun ini. Buku Dr.Tauhid NA yang telah diterbitkan Salamadani adalah “Love for All”, “Haram Bikin Seram”, ”Ajaib bin Aneh”, ”Simbol-simbol Shalat”, “Berkawan dengan Malaikat Maut”, “Gelegar Otak”, dan “Jejak Kuliner”.

Meskipun dari judul-judulnya tampak sederhana, tapi isinya masih tidak bisa lepas dari nuansa sains (ilmiah). Bahkan, dalam ceramah atau diskusi yang sempat saya hadiri, meskipun tema acara itu membahas philanthropy, tetap saja ada nuansa sainstis. Mungkin sudah menjadi icon dari sosok Dr.Tauhid NA. Karena bernuansa sains, bagi pembaca seperti saya yang kurang memahami dunia sains menjadi sebuah wawasan baru; pencerahan yang menyadarkan tentang pentingnya memahami persoalan dari berbagai perspektif.

Kembali ke wacana co-creator. Gagasan tentang co-creator yang dikemukakan Dr.Tauhid NA bukan hal yang baru dalam khazanah filsafat Islam. Sebut saja penyair dan filsuf Muslim modern Muhammad Iqbal. Dalam pemikiran filsafat manusia, Iqbal menjelaskan tentang co-creator. Menurutnya, manusia dalam mengembangkan jati diri (insaniyah) yang berperan sebagai khalifatullah sebenarnya adalah co-creator yang memiliki potensi sama dengan yang dilakukan Tuhan. Namun bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan Tuhan. Tapi hanya berperan sebagai pengembang dari ciptaan Tuhan. Contohnya tentang kelahiran manusia baru. Kelahiran bayi (manusia baru) bisa terjadi bila ada hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Aktivitas seks yang hingga membuat hamil istri dan kemudian lahirlah manusia baru ke dunia ini—dalam konsep penciptaan—bisa disebut co-creator; yang maknanya bahwa manusia itu memiliki sifat Creator Tuhan dalam menghasilkan manusia baru.

Mengapa bisa terjadi? Bukankah banyak pasangan suami-istri yang bertahun-tahun menikah tapi belum dikaruniai anak? Jawabannya: belum ada kesatuan kehendak dengan Tuhan. Meskipun manusia bermohon-mohon, bila tidak ada kehendak dari Tuhan tidaklah terjadi. Jadi, konsep co-creator bisa terwujud bila ada kesatuan kehendak: antara keinginan manusia dan keridhaan Ilahi. Sehingga wajar bila umat Islam oleh Rasulullah saw diperintah untuk selalu mendekatkan diri dengan Allah; karena Dia merupakan sumber dari terjadinya alam semesta dan kehidupan manusia. Dia merupakan wujud asal dari semua wujud yang tanpak di alam semesta ini; Dia yang menjadikan segalanya tercipta dan terjadi hanya dengan Kun faya kun.

Gagasan tentang co-creator ini dalam wacana filsafat kontemporer mengalami perkembangan yang mulai mengerucut ke arah filsafat integralisme; yang mencoba menyatukan pengetahuan atau disiplin ilmu-ilmu dalam satu paradigma universal. Di negeri kita, gagasan integralisme ini telah diawali oleh Armahedi Mazhar—guru besar ilmu fisika ITB—yang menulis buku “Filsafat Integralisme” (yang diterbitkan oleh Pustaka ITB dan edisi revisi oleh Mizan); Husein Heriyanto—dosen UI Jakarta—yang menulis buku “Paradigma Holistik” (diterbitkan oleh Teraju); dan pakar filsafat Islam Dr.Mulyadi Kartanegara yang menulis buku “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik” (diterbitkan oleh Mizan). Dalam buku yang terakhir ini, diulas tentang landasan-landasan untuk menyatukan kembali khazanah ilmu-ilmu agama dan sekular (umum); dengan merujuk klasifikasi ilmu-ilmu dari para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Mulla Shadra, dan lainnya. Dan kabarnya, wacana tersebut kini menjadi salah satu disiplin (ilmu) yang diajarkan di pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

AHMAD SAHIDIN, alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

No comments: