Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, January 30, 2009

Teologi

Belajar Teologi dari Kuncen Kampus
Oleh AHMAD SAHIDIN

SABTU (11/10/2008) sore itu saya langsung naik ke lantai empat. Masuk ke ruangan tempat guru bertapa. Saat didatangi ternyata guru saya sedang bercanda ria dengan temannya dalam chat. Setelah bersalaman dengan guru dan temannya yang duduk bersebelahan meja, guru saya yang lama mengajar teologi dan filsafat di almamater langsung bertanya, “Jadi, apa itu teologi?”

“Sistem keyakinan plus pemikiran.”

“Menurut guru?”

“Sebuah disiplin yang mengkaji persoalan Tuhan, metafisika, akidah, tauhid, yang didasarkan pada teks suci. Sebuah tafsir atas teks-teks suci yang berupaya memahami hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan.”

“Ooo…”

“Mana karyamu?”

“Ini guru,” kata saya sambil menyerahkan setumpuk kertas print out. Guru memegangnya. Membuka halaman demi halaman. Kembali membuka bagian pengantar penerbit dan pendahuluannya. Diam beberapa saat. Melihat layar laptop. Melihat kembali pada kertas yang dipegangnya.

“Rajin. Tapi ini hanya membahas teologi Islam dari sisi sejarah dan konteks sosial politik. Tak ada yang baru.”

“Maksud guru?”

“Ya, berbicara teologi itu bicara hal-hal berat. Tidak semua orang mampu.”

Guru terdiam. Tangannya mengambil kopi dan menyeruputnya dan kembali memelototi situs yang sedang dibukanya.

“Apakah teologi berangkat dari keinginan memahami teks suci? Dalam sejarah Islam, kan lahir karena pertikaian politik?”

“Ya, tapi juga tak dipungkiri, setelah dari politik itu berkembang ke upaya memahami teks yang juga sebagai upaya mempertahankan pendapatnya sehingga ia mencari rujukan dalam teks suci. Sejarah Islam banyak memuat fakta tersebut.”

“Jadi, apa itu teologi?”

“Seperti yang kau bilang, dari upaya memahami teks suci terbentuklah corak pemikiran yang kemudian menjadi disiplin ilmu teologi. Tiap pemikiran teologi yang lahir berbeda satu sama lain hingga kemudian menjadi sekte, mazhab atau aliran teologi tersendiri. Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah, Asyariah, Syi`ah dan lainnya.”

Guru terdiam. Mengambil rokok dan membakarnya. Pelan-pelan mengisapnya. Tenang dan damai terlihat di wajahnya.

Saya diam. Menunggu kelanjutan kuliah teologi yang diberikannya. Ah, luar biasa tertinggalnya saya dalam khazanah Islam, gumam saya saat melihat catatan yang tergeletak di meja. Sebuah tulisan guru tentang eksistensialisme dan pluralitas dalam pemikiran teologi yang cukup ‘berat’ dipahami karena banyak menggunakan bahasa filsafat dan teologi.

Saya lihat guru membuka sebuah file yang berjudul tauhid. “Nah, ini tulisan yang terbaru. Namun belum selesai. Tentang teologi Islam yang berpijak pada konsep manusia sebagai khalifah Allah. Tulisan ini diawali dari konsep asal muasal kehadiran manusia,” kata guru sambil menyeruput kopi dan melanjutkan pembicaraannya, “Entah selesai atau tidak, tapi ini baru sekitar 80 halaman. Tapi harus selesai, entah kapan?”

“Jadi, yang membedakan teologi klasik dan teologi kontemporer itu apa?”

“Bedanya tipis. Klasik itu bicaranya persoalan teoritis seperti sifat Allah, kufur, kafir, dosa, dan lainnya. Sedangkan kontemporer lahir dari upaya menjawab konteks social yang ada dan bentuknya praktis. Teologi pembebasan, lingkungan, humanistic dan lain-lainnya. Intinya, teologi klasik mencoba menjelaskan perihal ketuhanan atau dasar atau pokok ajaran agama dengan pemahaman nalar yang merujuk pada tekstual nash. Sedangkan teologi kontemporer tidak bersifat teoritis, hanya menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau dihadapinya. Seperti katamu, ketika teologi itu dianut dan kemudian menjadi way of life maka terjeratlah dalam kotak yang disebut mazhab atau sekte. Dari sinilah sekte teologi tersebut biasanya terjebak atau berpotensi menjadi agama baru. Tepatnya, keluar dari agama ‘mainstrem’ yang menjadi induknya.”

“Oh, jadi lahirnya Ahmadiyah, Baha`iyah, Komunitas Eden, Al-Qiyadah Islamiyah dan lainnya itu karena keluar dari agama ‘maenstrem’. Terus, mengapa pada abad pertengahan Islam di Sunni teologi terhenti. Tepatnya saat muncul Al-Ghazali?”

“Ya, karena sudah jenuh dan konteks serta momentumnya beda. Mereka jenuh dengan hal-hal teoritis sehingga beralih ke yang aplikatif seperti fiqh, sufisme, dan pengamalan akhlak. Ini yang terjadi di kalangan Sunni. Tapi berbeda dengan di kalangan Syi`ah, yang justru malah berkembang. Bahkan, memadukan teologi dengan tasawuf dan filsafat seperti Mulla Shadra, Suhrawardi Al-Maqtul, Ath-Thusi, dan lainnya. Sebenarnya bila ditelusuri atau dikaji, khazanah sufisme yang ada di dunia Sunni pun memiliki konsep teologis juga. Hanya tidak kentara karena sulit untuk dipilahnya. Bedanya adalah, bila teologi itu berpijak pada nash dan sufisme itu pengalaman spiritual (dzauq); sedangkan filsafat berdasarkan pada nalar (akal). Tapi kalau dilihat dari produknya, tetap saja itu karya atau intelektual Islam. Bedanya hanya pada epistemologi saja. Hasilnya tetap saja jadi bagian dari khazanah Islam atau produk pemikiran manusia, yang kebenarannya tidak seratus persen,” jelas guru.

“Hmmm… sepertinya harus menulis buku teologi Islam yang sifatnya tematis ya?”.

“Ya, mungkin. Tapi berat dan butuh waktu. Tapi sekarang lagi memulainya dengan tulisan ini,” jawab guru sambil memperlihatkan tulisan yang berjudul ‘Adabul Ikhtilaf’ dan ‘Tauhid’.

Memang di beberapa blognya saya sempat melihat beberapa tulisan bernuansa filsafat, agama, pendidikan, teologi, dan budaya yang ditulis guru. Yang hampir semuanya panjang-panjang dan mengernyitkan kening. Mungkin hanya mereka yang terbiasa dengan wacana akademis saja yang bisa mencernanya. Padahal, di Indonesia, umat Islam yang mengenyam pendidikan sarjana dan master baru sedikit. Kalau diterbitkan, tulian-tulisan seperti itu yang merespon tidak akan banyak. Peminatnya terbatas: hanya kaum akademisi dan peminatnya saja.

“Guru, mau kopi?” .

“Ya”

Saya bergegas pergi ke ruang dapur antik. Di sana saya seduh kopi hitam. Tiga cangkir yang saya buat: untuk guru, temannya, dan saya. Usai menyajikan kopi, saya ke toilet untuk wudhu karena adzan Isya telah berkumandang.

“Ya, kelewat lagi maghrib. Tapi tak mengapa, bukankah dalam salah satu mazhab fiqh ada yang membolehkan menggabungkan dua shalat,” gumam saya sambil langsung menggelar sajadah dan memulai shalat.

Setelah shalat dan saat masih dalam keadaan menduduki sajadah, pikiran saya melayang pada pernyataan yang disampaikan guru. Yakni tentang perbedaan teologi Islam klasik dan kontemporer.

“Ah, saya tuliskan saja dulu biar bisa terpetakan,” gumam saya sambil bergegas ke meja komputer. Saya hidupkan dan buka program untuk mengetik. Lalu memijit tombol-tombol keyboard dan mulai menulis: perkembangan sejarah pemikiran Islam dan wacana teologi Islam pada masa sekarang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Para cendekiawan Muslim tampak sudah mulai melakukan kajian dan penafsiran yang lebih mendalam dan kontekstual atas sumber-sumber teologi Islam—Al-Quran dan As-Sunnah—dengan lebih kritis dan ilmiah.

Bentuk teologi Islam yang dikajinya berbeda dengan teologi Islam klasik, terutama dari pokok bahasan dan bentuk karyanya. Bila dalam teologi Islam klasik yang dibahas adalah persoalan hakikat yang berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah saw yang berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, dan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan teologi Islam kontemporer yang dibahas adalah persoalan bagaimana mewujudkan nilai dan ajaran Islam dalam konteks praktis dan aksi kemanusiaan yang sedang dihadapi umat Islam, sehingga bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Contohnya adalah Farid Essack di Afrika Utara yang mengembangkan teologi pembebasan dan pluralisme. Dengan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Al-Quran, Essack mampu membangkitkan semangat perlawanan orang-orang dhu`afa dan para petani miskin terhadap penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah dan berhasil menciptakan kehidupan perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih baik.

Begitu juga Murtadha Muthahhari, Ali Syari`ati, dan Imam Khomeini. Dengan kekuatan nalar dan tafsir aktual yang bersumberkan ajaran Islam dan tradisi Sy`iah, mereka sukses menggerakkan masyarakat Muslim Iran untuk keluar menggulingkan pemerintahan rezim Pahlevi dan menggantinya dengan pemerintahan Islam khas teologi Sy`iah yang dikenal dengan istilah ‘teodemokrasi’ atau wilayah faqih.

Contoh lainnya, yang bersifat sosial kemasyarakatan adalah Muhammad Yunus dan aksi Grameent Bank-nya di Bangladesh, yang berhasil memberdayakan kaum dhu`afa dan orang-orang miskin, terutama wanita. Yunus melalui Grameent Bank memberikan pinjaman modal dengan pembayaran yang ringan dan terjun membimbing masyarakat miskin Bangladesh dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi mikro hingga mereka terlepas dari jeratan rentenir dan tengkulak. Bila dilihat secara nash, aktivitasnya itu merupakan perwujudan atau tafsir aplikatif surat Al-Balad yang memerintahkan untuk membebaskan perbudakan dan tafsir aktual dari surat Al-Ma`un yang memerintahkan agar menyantuni anak yatim dan miskin; yang dalam penafsiran Muhammad Yunus berarti membebaskan orang dari jeratan atau perbudakan yang dilakukan rentenir yang menghisap ‘darah’ masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah dengan pinjaman-pinjaman yang berbunga. Bahkan, Yunus pun terjun ke masyarakat untuk mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha dan bekerja secara mandiri dengan menciptakan produk-produk khas daerah dan industri rumah tangga. Inilah bentuk teologi Islam kontemporer yang berorientasi untuk transformasi sosial masyarakat.

Memang bila dilihat dari fakta, aliran teologi Islam baik itu yang klasik atau kontemporer, pada dasarnya memang membingungkan kalangan umat Islam ‘yang awam’ karena biasanya terjerat dengan kotak mazhab atau firqah. Tapi bila dilihat secara jernih, ternyata aliran-aliran tersebut telah menunjukkan betapa kaya dan beragamnya pemikiran dan penafsiran umat Islam terhadap sumber dan ajaran Islam.

Ya, harus diakui bahwa teologi Islam merupakan karya para ulama Islam terdahulu yang berupaya memecahkan persoalan zamannya dengan kiprahnya dalam khazanah intelektual yang sangat beragam. Sehingga dengan khazanah itulah kita bisa melihat dan menilai langkah apa saja yang telah mereka lakukan untuk Islam.

Malam kian larut. Hawa dingin gelayuti gedung-gedung tinggi. Mentereng. Sepi. Hanya mereka yang ‘tapa’ saja yang mengisinya: menunggu setia para pencari ilmu.

(12 Oktober 2008/Jam: 00.10.wibb)
www.ahmadsahidin.wordpress.com


No comments: