Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, January 16, 2009

Islam

Islam Bukan Arabisme
Oleh AHMAD SAHIDIN

KONON ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya dipakai kembali di masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuh. Secara logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah berbeda dengan ukuran tubuhnya. Jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu kekecilan. Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya satu pilihan: membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan desain (pola) yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.

Ini hanya ilustrasi yang saya kaitkan dengan persoalan Islam di masa sekarang, terutama masalah penerapan syariat Islam yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan beberapa harakah di negeri ini. Kita sebagai Muslim dianjurkan untuk berdialog dengan penuh kearifan (hikmah) atau bijaksana. Maka atas dasar itulah tulisan ini dihadirkan.

Untuk mengawalinya, saya berpijak pada persoalan sumber utama Islam yaitu Al-Quran (wahyu) terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik pokok berbagai pesoalan Islam muncul di masa sekarang ini adalah disebabkan kurangnya pemahaman terhadap kalamullah yang sesuai dengan hakikatnya.
 
Saya sebagai orang awam beranggapan, wahyu atau kalamullah adalah pedoman sekaligus perangkat dalam menjalankan kehidupan bagi manusia agar teratur dan sejahtera di dunia dan akhirat. Al-Quran saat diturunkan dari “langit” tidak serta merta semuanya, tetapi bertahap. Kenapa? Karena ia adalah petunjuk, pedoman dan aturan yang turun atas respon realitas sosial-kultur-geografis atau melihat jiwa zaman masyarakat waktu itu. Al-Quran juga saya maknai sebagai arahan dan bimbingan hidup yang mesti dilekatkan, layaknya baju sebagai pelindung dari serangan alam dan untuk memperindah bentuk tubuh; atau dalam bahasa agama: untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang a-moral, a-susila, dehumanis dan sebagainya. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa sebaik-baiknya baju adalah takwa. Artinya, memahami dan menjalankan hidup ini harus berlandaskan nilai-nilai yang mendekatkan dan menambah keimanan atau ketakwaan kepada Allah. 

Kontek sosio-historis dalam turunnya wahyu senantiasa tidak lepas. Sebagai contoh ayat tentang khamr. Masyarakat Arab pada masa lahirnya Islam dikenal gandrung dengan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Meminum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang digandrungi saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan “ketidaksadaran” sang peminum yang kemudian berani berbuat dan bertindak yang tidak semestinya, maka turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Allah melalui utusan-Nya (Rasulullah saw) yang menceritakan bahaya khamr dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman yang memabukkan tersebut. 

Sama halnya dengan adanya aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Turunnya aturan tersebut menurut mufasir Ibn Katsir dan Imam Zarkasyi, bahwa perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya, bahkan mereka senang menjulurkan kain ke belakang—mungkin yang sedang ngetrend—hingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi nafsu birahinya. 

Menurutnya, model pakaian seperti ini dipakai perempuan elit bangsa Arab dan model ini bisa memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Bahkan, para perempuan Arab menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil membunuh Muhammad bin Abdullah, yang dianggapnya merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu. Itu sebabnya Allah menurunkan surat An-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudungnya ke bagian kantong-kantong dada perempuan Muslim—khususnya istri-istri Nabi—sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model dan jenis busananya (lihat QS. Al-Ahzab: 59). Dan yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Maka atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti muslimah Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwatnya dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.  

Bila dilihat lebih dalam lagi, persoalan tersebut berkaitan dengan konstruksi budaya pathrialkal yang mendominasi. Misalnya, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw merasa malu ketika memiliki anak perempuan, hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, atau kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima`) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas (selevel) ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “Hu”, “Lahu”, “Al -Lahu”, “Huwa” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.

Fenomena itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh Masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah. Bukankah Islam itu bersifat menyeluruh dan universal? Setiap Muslim pasti mengakuinya bahwa Islam bukan Arabisme. Wallahu`alam bi ash-shawab.

AHMAD SAHIDIN, alumni jurusan sejarah dan peradaban Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

No comments: