Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, August 4, 2008

Ilmu

Pentingnya Menuntut Ilmu
Oleh Ahmad Sahidin

Tidak ada agama yang begitu serius mengatur persoalan ilmu dan pendidikan, selain agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Agama yang diridhai Allah Ta`ala ini, menempatkan ilmu pada posisi yang luar biasa, sehingga umat Islam diwajibkan untuk menuntutnya.

Ada beberapa hadits yang menjadi rujukan mengenai hal tersebut. Di antaranya adalah “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (HR.Bukhari); “Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penunutu ilmu tanda ridha dengan yang dia perbuat”(HR.Muslim); “Barangsiapa keluar dalam rangka mencari ilmu, maka dia berada di dalam jalan Allah hingga kembali” (HR. Tirmidzi); dan dalam hadits yang diriwayatkan Ar Rabii’, Rasulullah SAW bersabda, “Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Sedangkan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat.”

Bahkan dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menegaskan pentingnya mencari, mempelajari, dan menjadi orang berilmu. Di antaranya ” …Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S.Al-Mujaadilah [58] : 11); ”Katakanlah: ’Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Q.S. Az-Zumar [39]: 9); “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang yang berilmu (ulama)” (Q.S.Fathir [35]: 28); dan ayat-ayat lainnya.

Ilmu yang bermanfaat
Meski memang sangat dianjurkan, namun dalam menuntutnya tidak sembarang ilmu. Ilmu yang wajib dituntut oleh umat Islam adalah ilmu yang bermanfaat, yang benar, yang bisa mendekatkan kepada Allah, dan mendapatkan kebahagiaan bagi diri, keluarga, dan masyarakat, serta bermanfaat di dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak cucu Adam wafat, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholih yang mendoakan orangtuanya” (HR.Muslim). Salah satu jenis ilmu yang termasuk dalam hadits tersebut, adalah ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lainnya yang banyak bersinggungan dengan kehidupan umat Islam. Adapun ilmu yang tidak manfaat, bahkan terlarang adalah ilmu sihir, ilmu meramal (astrologi), ilmu-ilmu umum atau teknologi yang digunakan di jalan kemaksiatan, kedurhakaan, atau yang dapat menghancurkan bangsa.

Mengingat pentingnya menuntut ilmu yang bermanfaat, Rasulullah SAW sendiri dalam sebauh riwayat pernah memohon dalam salah satu doanya, “Allaahumma inni a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u (Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).

Ada dialog Nabi Daud a.s yang menerima wahyu dari Allah. Allah berfirman, “Wahai, Dawud, pelajarilah ilmu yang bermanfaat.”

“Ya, Rabbi, apakah ilmu yang bermanfaat itu?” tanya Nabi Daud a.s.

Allah berfirman, “Ialah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui keluhuran, keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan engkau kepada-Ku”.

Jelas dari hadits qudsi ini bahwa ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang bisa membuat kita semakin mengenal Allah, dekat kepada Allah, dan yang bisa meningkatkan keimanan kita kepada Allah Ta`ala.

Hikmah menuntut ilmu
Selain bisa mengangkat derajat, ilmu juga bisa menurunkan derajat manusia hingga membawa kehancuran. Nuklir atau senjata modern yang digunakan menghancurkan negara yang tak jelas dosanya, menjadikan pelakunya mendapat cemoohan dan hujatan, sehingga wibawa kemanusiaanya tak dihargai lagi dunia. Contohnya Amerika Serikat dan Israel serta sekutunya, hingga kini citranya buruk di mata dunia.

Hikmah lainnya, ilmu menjadi bukti kontribusi bagi peradaban dunia. Sejarah Islam telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya tentang ilmu al-jabar atau algoritma dikembangkan oleh Al-Khawarizmi; bidang kedokteran oleh Avicenna (Ibnu Sinna); bidang ilmu sosial dan filsafat oleh Averroes (Ibnu Rusyd); bidang sejarah dan sosiologi oleh Ibnu Khaldun; bidang ilmu jiwa dan spiritual oleh Imam Al-Ghazali; bidang politik dan kosmologi oleh Farabi dan Al-Kindi; bidang hukum dan ekonomi Islam oleh para fuqaha(Imam Ja`far Ash-Shadiq, Imam Asy-Syafi`i, Imam Ahmad bin Hambali, Imam Malik bin Anas, dan Abu Hanifah); bidang sastra dan bahasa oleh Ibnu Thufail; dan tokoh-tokoh muslim lainnya.

Di masa sekarang pun kita mengetahui beberapa tokoh muslim yang berhasil mendapatkan penghargaan dunia atau nobel, seperti Abdussalam dalam bidang sains dan Muhammad Yunus di bidang pemberdayaan masyarakat.

Mereka menjadi terkenal di dunia ilmu pengetahuan karena ketekunannya dalam menuntut ilmu sehingga berhasil meraih prestasi yang gemilang. Para tokoh tersebut tetap saja dikenang meski telah wafat. Jelaslah bahwa dengan menuntut ilmu dan belajar, derajat manusia terangkat dan menjadi teladan sepanjang sejarah. Karena itu, sungguh tidak sesuai dengan landasan agama bila seorang muslim tidak belajar atau menuntut ilmu sepanjang hidupnya.

*Alumni SPI (Sejarah dan Peradaban Islam) Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung

Sains

Sains dan Agama dalam Sketsa
Oleh Arken

Historiografi Sains dan Agama

Pertemuan sains dan agama pada dasarnya tidaklah selalu mengkerucut ke dalam anggapan akan pertemuan dua ranah yang berbeda, sebab keduanya seolah membaur dalam keseharian yang hampir tidak dapat dicerna secara terpilah. Bahkan untuk menentukan manakah dari keduanya yang lebih dulu merasuki kehidupan manusia, juga tidaklah pernah mendapat jawabannya yang pasti.

Dalam hal ini tentu istilah sains dan agama sendiri lebih dirujukkan pada pengertian awalnya yakni; yang pertama, penyelidikan dan penafsiran atas semesta hingga bisa diketahui jawaban dari pelbagai fenomena yang terjadi, dan yang kedua sikap dan pemikiran yang menempatkan rasa ketuhanan dalam kehidupan. Namun, membahas sains dan agama dengan melibatkan seluruh historiografi pengetahuan dan religiusitas manusia, tentu di sini bukanlah tempat yang tepat mengingat banyaknya data yang dibutuhkan untuk melengkapi penelitian ini.

Henry Smith Williams dalam “A History of Science”, misalnya, telah menunjukkan pada kita bahwa sains dalam pengertian itu sebenarnya telah ada dalam masa yang hampir tidak bisa dipastikan usulnya, terkecuali dengan mengadakan pemotongan data historis tentang perkembangan mula sains. Mengingat bahwa istilah sains sendiri adalah istilah yang selalu berdengung dalam keseharian kita, meskipun belum tentu setiap orang bisa menjelaskannya dengan baik, maka uraian tentang istilah sains sendiri mutlak diperlukan. [1]

Istilah sains, mengikuti penjelasan lanjut H. Smith Williams, adalah sebuah kata yang mengandung beberapa hal yaitu: pertama, bundelan pengetahuan yang didapatkan melalui observasi (gathering knowledge through observation); kedua, sains adalah klasifikasi pengetahuan tertentu yang dielaborasi dari prinsip-prinsip dan gagasan umum (classification of such knowledege, and through this classification, the elaboration of general ideas or principles); atau dalam definisi Herbert Spencer, sains adalah pengetahuan yang terorganisir (organized knowledge). [2]

Pada abad pertengahan istilah sains tentu belum dikenal dan merujuk pada pengertian sebagaimana yang terpahami pada saat sekarang. Sebab, pada masa itu istilah sains merupakan bagian dari pembahasan tentang filsafat alam. Buku yang ditulis oleh Sir Isaac Newton: Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam, mencerminkan bagaimana asingnya istilah sains kala itu. Rumusan tentang filsafat alam sendiri berasal dari kategorisasi filosofis Aristoteles tentang ilmu pengetahuan. Meskipun begitu, filsafat (ilmu) alam yang akan menjadi cikal bakal rumusan sains modern, sudah tampil dalam kemasan epistemologis yang dibedakan secara jelas dengan metafisika. Filsafat sebagai ilmu reflektif pada titik ini sedikit banyak akan kehilangan sisi holistik perenungannya terhadap semesta realitas. Dari sini sebenarnya bisa dipahami mengapa filsafat disebut sebagai rahim pengetahuan manusia sebelum banyak bidang pembahasan yang melepaskan diri darinya.

Sejarah sains sendiri bermula sejak lebih dari ribuan tahun sebelum masehi. Babylonia, Egypt, bahkan bangsa-bangsa yang sampai pada kita hanya jejak fosil peradabannya, pada dasarnya sudah mempunyai tradisi pengetahuan dan teknologi sendiri. Meskipun, pada akhirnya wacana yang berkembang sekarang lebih memantapkan tradisi filsafat Yunani sebagai cikal bakal perkembangan sains.

Hal seperti ini juga terjadi pada agama. Ia hadir semenjak mula kehadiran manusia di muka bumi. Meskipun tidak dalam pengertian pelembagaan spiritualitas dan ritus yang sistematis, namun perenungan-perenungan awal manusia, sejatinya tidak pernah terlepas dari kisaran kosmologis dan teologis. Sebagaimana halnya doktrin yang sampai pada kita yang beragama sekarang, Tuhan sudah selalu menurunkan rasul-Nya di setiap zaman dan tempat.

Melacak perkembangan keduanya dalam pengertian yang jauh, pada akhirnya akan menyeret kita pada logika sederhana pertautan perenungan kosmologis dan teologis. Hal inilah yang sekiranya tampak pada masa keramaian pembongkaran mitos di Yunani oleh filsafat. Masyarakat yang mulanya terbiasa berpikir mitis pada akhirnya dibongkar paksa kejumudannya oleh tradisi baru berpikir logis yakni, Filsafat. Thales, Empidocles, Heraclitus, Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak lagi nama lainnya adalah sedikit dari orang-orang yang telah mengenalkan tradisi baru tersebut. Paradigma mitologis yang mengolah daya pikir masyarakat dalam melihat fenomena hanya sebatas penerimaan atas warisan dongeng dan takhayul, diganti dengan paradigma kosmologis yang berusaha menjejaki seluruh fenomena lewat analisa rasional, koheren dan logis. Efek dari hal ini tentu saja adanya perubahan konsepsi secara mendasar orang-orang tentang alam, kedirian, dan Tuhan. Ketegangan yang terjadi pun tidak hanya berkisar pada ranah politis, epistemologis, ataupun sosiologis, akan tetapi juga pada ranah teologis. Hanya saja jalinan cerita perjalanan upaya manusia menyibak rahasia semesta tersebut, tidak selalu tampil dalam kondisi yang diwarnai adanya konflik antara pemikiran filosofis di satu sisi, dan keyakinan teologis di sisi lain.

Tradisi baru ini pun menyebar ke berbagai pelosok dan berhasil membawa angin segar bagi perkembangan intelektualitas masyarakat di segala bidang. Hal ini bisa kita lihat pada dunia Arab-Islam dengan keunggulan peradaban dan tradisi pemikiran filosofis-teologisnya. Ada banyak ilmuwan yang lahir dari rahim penggabungan dua tradisi ini. Al Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, hingga Ibn Rusyd dalam bidang religio-filosofis. Serta Al Biruni, Jabir ibn Hayyan, Ibn Rabban al Tabari, Al Khawarizmi, hingga Al Battani yang secara gemilang telah membuat penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ranah “sains”. [3]

Hal yang perlu dicermati kemudian pada masa ini adalah perenungan filosofis, dan pemikiran teologis tidak didudukkan secara diametral, bertentangan, melainkan dalam kerangka yang saling mendukung satu sama lainnya. Terdapat kesinambungan yang luar biasa antara doktrin religius di satu sisi dan semangat elaborasi intelektualitas di sisi yang lain. Point ini tentu akan menjadi penting tatkala pada nantinya kita harus melacak perkembangan pertemuan antara sains dan agama di dataran geografis yang lain. Sebab, apa yang terjadi di dunia Barat (Eropa) misalnya, akan menuai hasil dan cerminan yang berbeda dari apa yang terjadi di dunia Arab-Islam.

Barat, selama abad kegelapan pada dasarnya adalah antonim dari dunia Arab-Islam. Sebab, tradisi religio-filosofis yang sama tidak berlaku selain berada dalam lajur kejumudan doktrin dan kekerasan otoritas gereja. Saat dunia Arab-Islam diselimuti masa keemasan peradabannya, Eropa justru berada dalam masa yang paling menakutkan; masa inkuisisi. Kalangan agamawan lewat otoritas doktrin dan gereja yang disalahgunakan meraja-lela dalam menyingkirkan siapa pun yang tidak sehaluan dengan kepercayaan mereka. Sejarah pun pada akhirnya menuturkan bahwa ada banyak konflik dan ketegangan yang menghiasi keseharian masyarakat di sana. Hal ini tentu saja mengakibatkan terhentinya perkembangan pengetahuan serta terputusnya tradisi logis pemikiran. Meskipun demikian, sebab adanya kontak dengan dunia luar saat “crusades” berlangsung misalnya, pada akhirnya akan membawa dunia Barat pada benih-benih abad pencerahan (aukflarung). Hal lain yang dituturkan sejarah juga adalah lahirnya beberapa tokoh pelopor utama terjadinya pembalikan radikal tradisi pemikiran filosofis di Barat. Nicolas Copernicus, Tycho Brahe, Galileo Galilei, Johannes kepler, Rene Descartes, Francis bacon, hingga Isaac Newton merupakan orang-orang yang pemikirannya pada nantinya menjadi tonggak utama kemajuan pemikiran saintifik dan tradisi filosofis dunia Barat (Eropa). [4]

Abad Pencerahan dan Revolusi Saintifik

Sebelum abad pencerahan digelar, sistematika astronomi Ptolemaeus pada dasarnya adalah astronomi yang diterima secara umum oleh masyarakat Barat vis a vis doktrin kitab suci dan otoritas gereja yang meyakini bahwa manusia merupakan pusat semesta. Hal ini kemudian juga sejalan dengan filsafat alam Aristoteles yang memang dianggap sebagai pemegang otoritas pengetahuan ilmiah. Namun, sejak tragedi Galileo yang evidensi empirik teleskopnya lebih mempercayai skema Copernicus, maka sedikit banyak pandangan orang-orang pun terpicu menuju perubahan dasariah akan antroposentrisme otoritas agama dan pengembangan tradisi pengetahuan fisik yang baru. [5] Hal ini kemudian ditambah oleh lagi oleh sikap gereja yang tidak lagi fair menghadapi letupan-letupan kritik hasil tradisi pikir yang logis-empirik sehingga memunculkan kegerahan masyarakat ilmiah pada otoritas gereja secara umum, serta berbagai perkembangan baru dalam bidang filsafat alam.

Meluasnya penerimaan atas mekanika Newton, adanya terapan tradisi ilmiah yang mewujud dalam bentuk praktis-teknologis oleh semisal, James Watt, hingga kesumat harapan masyarakat yang menginginkan sebentuk paradigma pikir yang baru, pada akhirnya menghantarkan Barat pada masa pencerahan. Sayangnya, bidang filsafat alam juga mulai menemukan benih-benih yang akan menceraikannya dari induknya (filsafat) dan menjadi disiplin tersendiri yang berbeda. Revolusi yang diidam-idamkan pun terjadi. Masyarakat ilmiah dapat dengan bebas melanggengkan tradisi pengamatan empiris. Ini juga diadaptasi oleh kalangan filsuf dan sebagian teolog yang ikut andil dalam merumuskan bagaimana seharusnya sikap agama dan doktrin ketuhanan yang mesti dijalankan via revolusi ilmiah. Akan tetapi, secara umum para ilmuwan pada masa ini ini sebenarnya merupakan para penganut agama yang taat. Sehingga, adanya konflik antara masyarakat ilmiah dengan otoritas gereja, lebih ditafsirkan sebagai pertentangan antara ilmuwan dan kalangan literalis biblikal.

Kemunculan Darwin pada abad 19 dengan teori evolusinya adalah persoalan yang paling mendapatkan sorotan dalam kerangka pertemuan sains dan agama. Sebab, apa yang dikemukakan oleh evidensi empiris Darwin benar-benar mengguncang hampir keseluruhan kerangka doktrinal agama. Dalam hal ini, Ian G. Barbour sendiri menyebutkan bahwa ada 3 isu utama yang berkembang seiring dengan kelahiran teori evolusi Darwin yaitu: 1) tantangan terhadap literalisme biblikal; 2) tantangan terhadap martabat manusia, dan; 3) tantangan atas desain ilahi. Pada yang pertama, teori evolusi dijelaskan sebagai pandangan yang mengandung gagasan semisal tentang adanya perubahan evolusioner dalam perjalanan penciptaan alam semesta yang memakan kurun waktu yang lama (jutaan tahun) dan tentu saja berlawanan dengan diktrin kitab suci yang menyatakan bahwa penciptaan dilangsungkan dalam hitungan saat yang sebentar: tujuh hari.

Meskipun dalam hal ini sebagian teolog mengakui perlunya interpretasi simbolis atas kitab suci, namun pada dasarnya mereka lebih memilih untuk menolak teori evolusi (sikap yang sama dengan kalangan literalis), karena menekankan keistimewaan penciptaan ruh manusia. Sedang pada point kedua, teori evolusi dipahami sebagai pandangan yang merendahkan usul keunggulan rasionalitas, keabadian jiwa dan moral manusia. Karena, implikasi dari teori ini adalah, manusia hanya dihargai sebagai bagian alam yang sama seperti makhluk lain. Tidak ada perbedaan antara manusia dengan binatang dalam sisi perkembangan sejarah maupun dalam sifat kekiniannya. Dan ketiga, teori evolusi dianggap menyerang pandangan statis alam semesta, yakni, di mana fungsi dan kompleksitas keharmonisan alam merupakan batas argumentatif adanya Pencipta, dengan hipotesis Darwin yang menyatakan bahwa hal tersebut dapat dijelaskan lewat proses variasi dan seleksi alam yang tan-pribadi. [6]

Singkat kata, kelahiran teori evolusi, yang kemudian diperluas konvergensinya dalam bidang sosiologi, dan bidang-bidang lainnya, sedikit banyak telah membawa cakrawala baru kompleksitas hubungan sains dan agama. Akan tetapi secara umum, pelbagai temuan baru dunia ilmiah dan pengukuhan sains akan dirinya yang proses pembuktian kebenarannya lebih valid dan mendasar dibanding filsafat dan agama, pada akhirnya telah membawa sains menjadi disiplin yang diterima sebagai pandangan hidup masyarakat Barat, alih-alih doktrin religi.

Bagaimana proses rasionalisasi saintisme masyarakat modern sendiri sebenarnya bisa dilacak usulnya dari kelahiran positivisme ilmiah yang dicanangkan oleh August Comte. Ia membagi konteks paradigmatis masyarakat menjadi 3 tahapan linier yaitu: teologis atau mitis, metafisis dan yang terakhir positivis. [7] Pada tahap yang terakhir inilah, August Comte meneruskan, kita seharusnya berada. Dan hal itu hanya mesti diselengggarakan dalam bentuk menjadikan sains dan teknologi sebagai kerangka utama untuk landasan peradaban. Positivisme ini memandang bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kebenaran, atau dengan kata lain cara-cara berpikir non-logis selain cara pikir saintifik harus diberangus agar pengetahuan bisa diraih. Walhasil yang tersirat kemudian adalah bahwa bentuk penalaran sebagaimana yang diujarakan agama ataupun filsafat idealistik hanyalah ‘sampah’ yang tidak mempunyai kegunaan apapun.

Apa yang disimpulkan oleh August Comte ini kemudian seolah menjadi zeitgeist baru masyarakat modern. Bahwa sains dan metode ilmiah adalah bentuk penalaran “netral” yang mesti dipegang oleh masyarakat modern. Bahkan kalaupun kita harus memiliki keimanan, maka itu hanya keimanan terhadap sains. Ia bahkan semakin menemukan ruangnya, sebab masyarakat modern seolah sudah terbius dengan pola pikir yang sebelumnya telah diolah oleh rasionalisme metodis Rene Descartes dan rumusan metodis evidensi empirik Isaac Newton. [8]

Kedua tokoh ini menjadi fondasi utama tegaknya rasionalisme-saintifik dalam cara pandang masyarakat modern karena beberapa hal diantaranya: pertama, pelbagai revolusi monumental dalam konteks pencerahan dan setelahnya (revolusi ilmiah, revolusi industri, revolusi teknologi dan lainnya) tak lepas dari pengaruh kedua tokoh ini; kedua, Rene Descartes sudah diakui secara luas sebagai bapak filsafat modern, sementara Isaac Newton merumuskan bibit sains modern dengan mekanika klasiknya; dan ketiga, adanya pelbagai titik singgung dan kesamaan prinsip-prinsip dalam pemikiran keduanya yang saling mengisi dan berhasil menjadi karakteristik utama pola pandang dan pikir masyarakat modern. [9] Rumusan keduanya pada akhirnya menjadi, mengikut istilah Thomas Kuhn sebagai, “paradigma” komunitas masyarakat modern. [10]

Seiring dengan tertanamnya jenis paradigma ini di benak masyarakat modern, maka cara pandang yang positivistik, materialistik, dan dualistik pun juga ikut bersemayam di dalamnya. Akibat langsung dari hal tersebut adalah masyarakat modern semakin terbiasa untuk mendudukkan segala sesuatu dalam kerangka dualistik-materialistik. Sehingga mau tak mau, cara pandang lain yang idealistik-spiritualistik tanpa mekanisme penalaran ilmiah dianggap sebagai cara pandang yang mitis, penuh takhayul dan mustahil untuk menemukan kebenaran. Agama pun pada juntrungnya seringkali harus diletakkan pada posisi yang berlawanan dengan sains. [11] Adanya konflik antara keduanya berulangkali berawal dari cara pandang seperti ini. Meskipun kita tentu saja tidak bisa mengesampingkan bahwa adanya historiografi, model, prinsip, serta paradigma yang berbeda antara keduanya juga ikut membentuk sedari awal kompleksitas pertautan yang terjadi. [12]

Paradigma Baru Sains dan Teologi

Menjelang milenium ketiga, saat laju modernitas mencapai titik global, masyarakat ilmiah dan sains berkembang sedemikian pesat. Beragam fenomena kebaruan semesta dan peristiwa selalu diiringi pula dengan runtutan teori yang menjelaskannya. Kompleksitas dan keluasan alam tak lebih kalkulasi fisik yang bisa dibongkar dan diutak-atik setiap saat. Sains seakan menjadi finalitas dan satu-satunya jawaban bagi segala permasalahan. Sebab, dengannya ruang, waktu bahkan hidup seolah bisa diukur, dirinci setiap saat. Ia pun menjadi world view masyarakat modern dalam hampir segala bidang. Sebab, apa yang dibuahkannya benar-benar menyentuh laju keseharian yang berwujud dalam praktisasi teknologis.

Hal ini bisa dimaklumi, bukan hanya karena rasionalitas-ilmiah yang ditanamkannya seiring dengan maklumat logis perenungan manusia, namun juga karena di sisi lain baik agama atau pun filsafat tak lagi mampu berbenah dalam mengolah dirinya agar bisa menyediakan detail jawaban yang dibutuhkan masyarakat untuk melanjutkan hidup. Meskipun begitu, anggapan tentang apakah laju sains atau ilmu pengetahuan secara umum berjalan secara linier atau tidak masih menjadi bahan pembicaraan kalangan akademis tanpa jawaban final. Sebab, ada banyak implikasi negatif yang pada akhirnya timbul sejak ditetapkannya paradigma Cartesian-Newtonian menjadi world view masyarakat modern, atau cara pandang rasionalistik-saintifik secara umum. Di satu sisi ia memang telah memukau kita dengan mengilhamkan imajinasi bangkitnya peradaban manusia melalui sains dan teknologi, namun di sisi yang lain, pelbagai krisis global yang menghinggapi masyarakat modern sekarang justru juga berusul darinya. Maka, di abad 20 ini, tak heran banyak pemikir yang timbul dan secara bertubi-tubi mulai melancarkan serangan atas paradigma tersebut. Beberapa prinsip dasar yang melekat secara inheren dalam paradigma sains pun mulai dipertanyakan. Mulai dari asumsi dan prinsip mendasar tentang alam semesta statis, determinisme, dualisme subjek-objek, mekanisme metode ilmiah, materialisme-atomistik, reduksionisme, prinsip objektivikasi sains, dan secara lebih umum adalah positivisme ilmiah. [13]

Sejalan dengan itu, sains juga mengalami revolusi pemikiran yang demikian menakjubkan. Lahirnya teori relativitas oleh Albert Einstein, seakan menjadi tonggak awal dipertanyakan implikasi filosofis sains Newtonian, dan runtuhnya tetapan fisika klasik tentang keberadaan ruang-waktu. Berlanjut pula dengan kemunculan dan perluasan disiplin-disiplin tertentu semisal; biologi molekular, neurosains, dissipative structures, Genetika, chaos theory hingga mekanika kuantum, walhasil fisika klasik pun berhasil disempurnakan keruntuhannya. [14]

Sementara itu, beberapa kecenderungan yang mulai lahir di masyarakat modern, bahkan merupakan terusan penting penyikapan atas fenomena modernitas yang digugat. Bangkitnya jenis-jenis spiritualitas baru hingga diliriknya bentuk-bentuk kearifan dan ajaran-ajaran kuno (juga dalam kalangan ilmuwan sendiri), adalah rentetan upaya manusia modern untuk mengobati perihal krisis yang telah disebabkan oleh cara pandang paradigma modern. [15] Point-point penting dari fenomena-fenomena tersebut yang perlu digaris bawahi kemudian adalah, a) timbulnya gugatan atas paradigma modern; b) adanya perkembangan baru dalam hubungan sains dan agama disebabkan beberapa temuan baru dalam dunia sains seolah mengisyaratkan dikembalikannya Tuhan dalam sains modern; serta c) mulai dirumuskannya bentuk-bentuk teologi yang lebih berafiliasi dengan interpretasi filosofis sains modern. [16]

Berkaitan dengan persoalan bagaimana terusan nasib hubungan antara sains dan agama, maka adanya pelbagai rekonstruksi konsep filosofis dari sains modern dan teologi sendiri, seolah membuka cakrawala baru bagi semakin tersedianya ruang dialog antar keduanya. Sebab, formula filosofis baru yang ditawarkan oleh sains modern serta perkembangan pemikiran teologis, memang menuai karakteristik yang saling mempertimbangkan. Meskipun disamping itu, tentu saja kita juga tidak bisa melepaskan perhatian akan tetap adanya sikap mempertahankan materialisme-ateistis dalam penafsiran para ilmuwan dalam sains modern, serta konservatisme sebagian kalangan teolog dalam memandang logika keduanya. Namun, secara umum kecenderungan yang terjadi mengarah pada sisi positif hubungan keduanya.

___________________________________

1. Elaborasi lengkap bagaimana historisitas sains dan pelbagai usul tradisi pengetahuan di beberapa peradaban baik klasik maupun modern bisa dibaca dalam: Henry Smith William, M.D., L.L.D History of Science, Vol. 1, The Beginnings of Science, (e-text, http://www.lib.virginia.edu)
2. Ibid. History of Science, Chapter 1, Prehistoric Science. (e-text, http://www.lib.virginia.edu).
3. Sebagai catatan dalam point ini, banyak kalangan pemikir muslim, terkait proyek Islamisasi ilmu dan upaya menemukan sains Islam, yang membuat karakteristik perbandingan antara sains Barat dan sains Islam. Ziauddin Sardar misalnya dalam “Exploration in Islamic Science”, yang dikutip oleh Nasim Butt, membuat daftar perbedaaan karakteristik antara sains Islam dan sains Barat, yakni; karakter sains modern (Barat) adalah: a) percaya pada rasionalitas; b) sains untuk sains; c) satu-satunya metode untuk mengetahui realitas; d) netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas; e) tidak memihak; f) tidak adanya bias; g) penggantungan pendapat; h) reduksionisme; i) fragmentasi; j) universalisme; j) individualisme; k) netralitas; l) loyalitas kelompok; m) kebebasan absolut; dan n) tujuan membenarkan sarana, sementara ukuran sains Islam adalah: a) percaya pada wahyu; b) sains adalah sarana untuk mendapatkan keridhoaan Allah; c) banyak metode berlandaskan akal dan wahyu; d) komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial; e) pemihakan pada kebenaran; f) adanya subjektifitas; g) menguji pendapat; h) sintesis; i) holistik; j) universalisme; k) orientasi masyarakat; l) orientasi nilai; m) loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya; n) manajemen sains merupakan sumber yang tidak terhingga nilainya; o) tujuan untuk membenarkan sarana. Point-point tersebut dijabarkan secara lengkap dalam: Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Bandung, Pustaka hidayah, 1996. hal. 73 - 76.
4. Beberapa catatan tentang tokoh-tokoh tersebut adalah: Nicolas Copernicus, merupakan orang yang merintis revolusi ilmiah dunia modern dengan mengalihkan tatanan astronomi geosentris ke heliosentris; Johannes Kepler, adalah ilmuwan yang mendukung sistem Copernicus lewat perumusan hukum tiga gerak lintasan planet. Ia, dalam ungkapan Nasr, adalah orang pertama yang mengganti teologi langit Skolatisisme menjadi fisika langit; sedang Galileo adalah ilmuwan yang merintis tetapan bahasa matematis sebagai bahasa sains, sehingga rumusan Copernicus bisa diterima secara umum di kalangan ilmuwan. (lih. Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta, Teraju, 2003. hal. 37 - 3 8)
5. Tafsiran-tafsiran seputar kasus yang menimpa Galileo ini adalah: bahwa meskipun pada akhirnya Galileo menyerah di pengadilan dan setuju untuk menarik kembali pendapatnya yang menyalahi pandangan otoritas gereja saat itu, akan tetapi ia tetap melakukan meneruskan kegiatan ilmiahnya dan mengingkari putusannya di pengadilan dengan menuliskan hal tersebut pada putrinya lewat surat-menyurat. Hal ini akan berbeda andaikata Galileo menuruti pernyataan Osiander dalam pengatar buku Copernicus de Revolutionibus, bahwa; “tidaklah perlu hipotesa ini benar, atau bahkan mirip-mirip kebenaran, cukuplah bahwa ia menyediakan kalkulasi yang sesuai dengan pengamatan”. Hanya saja Galileo ternyata percaya bahwa tata Copernicus bukan cuma perangkat instrumental untuk penelitian, melainkan pandangan yang sungguh-sungguh benar tentang dunia.
6. Karya monumental Charles Darwin tersebut adalah: “Origin of Species” (1859), “Descent of Men” (1871), dan “Voyage of The Beagle” (1909). Penjelasan lengkap dari perkembangan dan efek dari 3 isu utama seiring kelahiran teori evolusi Darwin ini terhadap interaksi sains dan agama bisa dibaca dalam: Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama (diterjemahkan dari: When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners?), Bandung, Mizan, 2002. hal 50 - 54
7. 3 hal di atas disebut juga sebagai hukum tiga tahap yakni: tahap teologis, di mana terjadi dominasi penjelasan antropomorfis dan animistis atas realitas; tahap metafisik atau tahap di mana realitas diuraikan menurut hukum-hukum umum tentang alam. Tahap ini juga merupakan lanjutan dari tahap pertama atau tahap dimana kehendak pada tahap pertama didepersonalisasi dan diabstraksi. Dan tahap positif, atau tahap di mana realitas dijelaskan secara ilmiah, diuraikan berdasarkan kalkulasi matematis, dan dirincikan dengan logika saintifik. (lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia pustaka Utama, 2000. hal. 864 - 865)
8. Descartes dalam formula filosofisnya sangat menekankan aspek subjektifitas yang mengacu pada aktivitas rasio subjek. Kesadaran tentang ke-ego-an yang sadar (cogito ergo sum) inilah yang menjadi landasan filsafat rasionalisme-nya. Ia (kesadaran cogito) juga bersifat apriori, sebab ia dicanangkan setelah melalui tahap keraguan metodis, yakni bahwa keberadaan segala sesuatu dapat diragukan kecuali kesadaran tentang keraguan itu sendiri. Maka secara tidak langsung kesadaran melalu aktivitas keraguan telah membuktikan keberadaannya sendiri (self-evident). Ini kemudian menjadi jalan bagi rasionalisme Descartes dalam upaya memperoleh kebenaran pengetahuan secara jelas dan terpilah (clearly and distinctly). Sebab sistematika filsafatnya itu, serta pandangannya yang sangat menekankan kebenaran matematis, maka Descartes juga dikenal sebagai tokoh yang mempunyai gagasan untuk mematematisasi alam. Hal ini kemudian mendorongnya pada kesimpulan bahwa alam tak lebih dari mesin raksasa yang bergerak lewat hukum-hukum mekanis. Darinya keseluruhan alam bisa dimengerti hanya dengan meneliti bagiannya (reduksionisme-mekanistik). Sementara Isaac Newton, adalah ilmuwan penting abad pertengahan yang berhasil merangkum seluruh prestasi pendahulunya (Kepler, Bacon, Galileo) dalam satu formula yang disempurnakan atas landasan filsafat Descartes. Mekanika yang dirampungkannya pada hakikatnya adalah penggabungan rasionalisme Descartes dan empirisme Bacon. Meskipun dalam sejarahnya Newton banyak mengkritik Descartes dan tidak menyetujui gagasan-gagasan filosofisnya, namun Descartes mempunyai pengaruh besar atas Newton. Mengikut Morris Berman, meski fakta-fakta ilmiah Descartes salah, dan teorinya tidak didukung oleh Newton, akan tetapi gagasan sentral Descartes bahwa dunia ini ibarat mesin raksasa yang terdiri dari materi dan gerak dan tunduk pada hukum-hukum matematika, sepenuhnya divalidasi oleh karya mekanika Newton. (lihat penjelasan lengkapnya dalam: Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta, Teraju, 2003. hal. 31 - 42).
9. Ibid, hal. 30 - 31. Hal yang perlu dicatat di sini juga adalah proses hegemoni paradigma yang dihasilkan dari keduanya. Bagaimana ia kemudian bisa tertanam dan mengakar pada masyarakat modern. Dalam ungkapan Berman, bahwa sebuah sistem gagasan tidaklah lahir dari suatu kevakuman sosio-kultur, maka amatlah penting untuk memahami bagaimana historisitas yang melingkari proses hegemoni ini. (Uraian lengkapnya baca: Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, … hal. 25 -71).
10. Penggunaan istilah paradigma dalam konsepsi Thomas Kuhn sebenarnya berada dalam multi-arti, di antaranya: model atau pola pikir, matriks disipliner, ataupun pandangan dunia yang dimiliki oleh kalangan ilmuwan. Namun dalam pengertian umum, istilah paradigma mengacu pada perangkat kerja saintifik yang dibentuk dari suatu set konsepsi dan asumsi metodologis dan dianut secara bersama dalam suatu komunitas ilmiah tertentu. Hanya saja, istilah paradigma yang digunakan di atas adalah istilah yang diperluas cakupan arti dan fungsinya (uraian jelasnya bagaimana sebuah paradigma bisa dibentuk dan bagaimana ia berdaya-guna dalam proses pembentukan serta kaitannya dengan revolusi di dunia saintifik bisa dibaca dalam: Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains (diterjemahkan dari: The Structure of Scientific Revolution), Bandung, Remaja RosdaKarya, 1993).
11. Singkat kata sains seringkali didefinisikan sebagai sesuatu yang objektif, universal, terbuka, kumulatif dan progressif. Sementara agama dipandang sebagai lawannya yakni; subjektif, tertutup, parokial, anti-kritik (uncritical), dan kaku atau jumud (resistant to change). (lih, Ian G. Barbour, Religion in an Age of Science, The Gifford Lectures 1989 - 1991, Vol. 1, San Francisco: Harper & Row,1990. hal. 5).
12. Ian G. Barbour sendiri dalam bukunya “Religion in an Age of Science” (San Francisco: Harper & Row, 1990) telah menjelaskan perbedaan struktur, model dan paradigma yang membentuk keduanya secara historis. Menurut Barbour secara struktural, sains berlandaskan pada dua komponen utama yakni: data dan teori, sementara agama pada: kepercayaan (iman) dan pengalaman religius. Pada sains, lanjut Barbour, model-model yang digunakan bersifat analogis. Dengan kata lain, analog menjadi point penting bagi ilmuwan untuk menjelaskan teori yang mereka punya, yang kemudian model-model tersebut mempunyai signifikansi tersendiri dalam perluasan sebuah teori. Model-model itu pada dasarnya juga bisa dipahami sebagai unit-unit yang memberikan gambaran mental bagi ilmuwan untuk lebih memahami keseluruhan kompleksitas hubungan antar teori, ataupun realitas. Sedang pada Agama, meskipun juga memakai analog, namun ia diterapkan dalam kerangka bahasa dan bahasan yang berbeda. Model-model tersebut merupakan satu kesatuan konseptual yang bisa diwujudkan dalam bentuk metafor, simbol, ataupun parabilitas (cerita perumpamaan) yang tentu saja dapat mengalami perluasan (extensible) dalam penggunaannya sesuai dengan lingkup tuntutan persoalan dan batasan kaidah keagamaan yang berlaku. Sementara itu, dalam persoalan paradigma yang melandasi keduanya, Barbour menyimpulkan bahwa, baik data teoritis (dalam sains) maupun pengalaman religius (dalam agama) keduanya selalu berada dalam lingkup paradigma tertentu yang bersifat dependen. Meskipun kemudian, tentu saja tetap ada sebagian data atau pengalaman religius yang bisa diterima dan disepakati oleh penganut paradigma lain. Paradigma keduanya juga sangat rentan terhadap falsifikasi, karena bagaimanapun baik konsepsi teoritis saintifik maupun interpretasi teologis tetap bersifat temporal dan kontekstual, yang berarti selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Dan yang terakhir, pada keduanya tidak ada aturan atau kaidah khusus untuk memilih suatu paradigma tertentu, walaupun di sana ada beberapa kriteria untuk menilai dan mengevaluasi suatu paradigma. (Penjelasan lengkap tentang hal ini bisa dilihat dalam: Ian G. Barbour, Religion in an Age of Science, The Gifford Lectures 1989 - 1991, Vol. 1, San Francisco: Harper & Row, 1990).
13. Dalam hal ini, kita bisa mencermatinya dari upaya kalangan filosof dan pemikir kontemporer semisal Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, Karl Popper yang telah menelurkan pemikiran brilian seputar kritik tersebut. Di antaranya: kritik epistemologi sains oleh Popper, anti-metode oleh Feyerabend dan adanya gagasan tentang “revolusi paradigma saintifik” oleh Thomas Kuhn. Bagi Popper, metode induksi dan verifikasi yang begitu menonjol dan prinsipiil dalam sains sebenarnya mempunyai cacatnya sendiri. Sebab, keilmiahan ilmu pengetahuan bukan terletak pada apakah ia sudah dibuktikan atau belum, melainkan pada apakah ia dapat diuji atau tidak. Ungkapan seperti: “semua angsa berwarna putih”, akan mendapatkan validitasnya selama ia dapat diuji dengan percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Tugas metode ilmu pengetahuan bagi Popper adalah mencari kesalahan dari setiap ‘ungkapan’ yang dibangunnya. Darinya, prinsip induktif epistemologi saintifik, yang dianggap sebagai garis demarkasi antara ilmu empiris dan yang lain, oleh Popper mestilah diganti dengan metode deduktif-falsifiabilitif. Dengan kata lain, kalau metode induktif membangun kesimpulannya dari penarikan pernyataan universal dari hal yang singular, seperti terungkap dalam modus ponens (kalau p maka q, yang ada q, maka kesimpulannya p) dalam logika, maka falsifiabilitas itu muncul atas dasar modus tollens (kalau p maka q, yang ada -q, maka kesimpulannya -p) yakni suatu pernyataan universal mesti dapat dikontradiksikan oleh pernyataan singular, agar bisa diketahui mungkinnya keberadaan kepalsuan di dalamnya. Selain itu, Popper pada dasarnya ingin mengajukan prinsip falsifikasi sebagai pengganti prinsip verifikasi, yakni prinsip bahwa sebuah teori ilmiah bisa dipegang, namun mesti selalu digempurkan dengan realitas yang bisa menggugurkannya agar bisa terus diuji keabsahannya. Sementara itu, Thomas Kuhn, seorang pemikir brilian lainnya, juga menguraikan bahwa kenyataan kesimpulan saintifik adalah kenyataan tentatif yang sangat terkait dengan banyak hal; lokalitas, subjektifitas, serta lingkup konvensi paradigmatik yang mengelilinginya. Perjalanan sains adalah perjalanan perubahan revolusioner pelbagai paradigma yang berbeda. Dengan ini Kuhn menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah sebenarnya sangat rentan dan tergantung pada anomali yang menyebabkan terjadinya revolusi pemikiran di dalamnya. Sedang Feyerabend bergerak lebih jauh lagi dengan menihilkan segala bentuk metode, yang mengklaim objektifitas murni, perolehan pengetahuan ilmiah, sebab baginya prinsip relativitas lebih bisa diterima dalam penjelajahan manusia akan realitas dan ilmu pengetahuan. (lih. Karl Popper, Objective Knowledge, A Realist View of Logic, Physic, and History, Clarendon Press, 1966. dan Paul Feyerabend, Against Method, Outline of An Anarchistic Theory of Knowledge, Humanitities Press, 1975. Kedua e-text tersebut diambil dari http://www.marxist.org/referrence/subject/).
14. Beberapa ikhtisar filosofis singkat dari kemunculan dan perkembangan disiplin serta teori baru tersebut adalah: a) teori relativitas umum dan gagasan tentang kontinum ruang-waktu membawa kita pada pengertian alam semesta yang dinamis dan primasi relasi terhadap entitas; b) mekanika kuantum dengan derivasi gagasan tentang prinsip ketidakpastian dan prinsip komplementaris telah merusak pandangan akan determinisme, dan dualisme subjek-objek mekanika klasik; c) biologi molekular dan genetika lewat pandangan tentang entitas sebagai suatu organisme biologis, mekanisme penyampaian informasi secara genetik, dan pembuktiannya akan eksitensi riil jiwa, pada akhirnya memberikan konsepsi baru dalam memandang interaksi pikiran dan tubuh serta peran sang Pencipta dalam proses evolusi; d) teori dissipative structures yang melihat adanya proses swa-pengaturan tiap entitas eksistensial telah mengusung alternatif pendapat untuk membaca alam semesta (realitas) secara sistemik sebagai sebuah tatanan yang kompleks. (tabel lengkapnya bisa dilihat dalam: Husain Heriyanto, Paradigma Holistik,… hal. 130).
15. Fenomena ini mungkin lebih tepat untuk digambarkan sebagai, mengutip Capra, turning point yakni; terjadinya titik balik arah dan kecenderungan masyarakat serta pola pandang dalam masyarakat Barat modern yang mengarah pada bentuk warisan tradisional seperti kearifan Timur klasik (Tao, Zen dll). Hal ini seringkali berlangsung sebab masyarakat modern sudah dijangkiti virus sublimasi kedirian pada teknologi, alienasi, reifikasi dan kekeringan spiritualitas. Perubahan fundamental tentang pandangan dunia ini, lanjut Capra, tak ubahnya seperti revolusi Copernikan, meskipun ia belum menjangkau sebagian besar benak orang-orang untuk mengubah persepsi mereka tentang dunia.dan satu-satunya solusi yang bisa diandalkan adalah solusi yang berkelanjutan (sustainable). (Uraian lengkap tentang hal bisa dibaca dalam: Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2001, lihat juga, Fritjof Capra, Menyatu Dalam Semesta, Menyingkap Batas Antara Sains dan Spiritualitas, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 1999).
16. Paling tidak ada 3 bentuk utama teologi yang ikut dalam perbincangan perihal pertautan sains dan agama ini yakni; natural theology, theology of nature, dan sintesis sistematis. Yang pertama, menyudutkan bahasan pada anggapan bahwa desain alam mencerminkan kecerdasan dan ketelitian tertentu yang bisa menjadi argumen bagi adanya Tuhan; kedua, pada dasarnya argumen dan validitas teologi yang dibangun lebih banyak berurusan dengan hal-hal di luar sains, namun perkembangan dunia saintifik dan segenap temuan baru di dalamnya serta implikasi filosofis yang dikandungnya bisa memberi muatan dan pertimbangan bagi teologi ini; sedang pada yang ketiga, baik sains maupun agama pada saling memberikan kontribusi pandangan, sehingga bisa dimunculkan alternatif semisal metafisika inklusif sebagaimana filsafat proses A.N. Whitehead (lih. Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Bandung, Mizan, 2002. hal. 82 - 83).

Monday, July 7, 2008

Beasiswa

Beasiswa Penulisan & Penerjemahan Novel - Majelis Kata Indonesia 2008

Majelis Kata Indonesia merupakan lembaga filantropi yang berikhtiar menumbuhkan dan mewadahi bentuk-bentuk penciptaan sastra yang menggerakkan kritisisme sosial, semangat toleransi, dan kesadaran kebangsaan. Lembaga ini mendorong dan mendukung bentuk-bentuk penciptaan sastra yang memperluas cakrawala memahami kemanusiaan.

Majelis Kata Indonesia menyelenggarakan beasiswa penulisan dan penerjemahan novel 2008 dengan ketentuan-ketentuan ini:

1.

Gagasan penulisan dan penerjemahan novel yang menggerakkan kritisisme sosial, semangat toleransi, dan kesadaran kebangsaan dengan topik apa pun dan tanpa batasan jumlah halaman.
2.

Penerima beasiswa penulisan novel diberi dana setiap bulan sebesar Rp 1.000.000,- selama 6 bulan. Masa penulisan novel selama 6 bulan.
3.

Penerima beasiswa penerjemahan novel diberi dana setiap bulan sebesar Rp 1.000.000,- selama 6 bulan dan setiap hasil terjemahannya dihargai sesuai harga pasar. Masa penerjemahan novel selama 6 bulan.
4.

Penerima beasiswa penulisan novel bisa mendapatkan data atau konsultan yang relevan dari penyelenggara beasiswa.
5.

Novel penerima beasiswa akan diterbitkan oleh penyelenggara beasiswa dengan royalti sebesar 10% dari setiap kontrak penerbitannya. Penerima beasiswa penulisan novel berhak menawarkan novelnya ke penerbit lain setelah 4 tahun sejak penerbitannya yang pertama.
6.

Novel terjemahan penerima beasiswa akan diterbitkan oleh penyelenggara beasiswa tanpa royalti dari setiap penerbitannya. Penerima beasiswa penerjemahan novel berhak menawarkan novel terjemahannya ke penerbit lain setelah 4 tahun sejak penerbitannya yang pertama.
7.

Pelamar beasiswa mengirimkan 3 rangkap sinopsis novel yang akan ditulis atau 3 rangkap sinopsis novel yang akan diterjemahkan disertai judul novel, nama pengarang, nama penerbit, tahun terbit, dan fotokopi sampul depan. Pelamar beasiswa penulisan dan penerjemahan novel menyertakan fotokopi bukti identitas yang masih berlaku, nomor telepon, alamat pos, alamat e-mail, dan biodata singkat. Alamat penyelenggara beasiswa ini: MAJELIS KATA INDONESIA 2008, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Jl. Gatot Subroto Kav. 96-97, Mampang, Jakarta 12700
8.

Gelombang pertama beasiswa ini menerima surat lamaran hingga 1 Agustus 2008 (cap pos). Pelamar gelombang pertama yang disetujui akan dihubungi via telepon atau e-mail oleh penyelenggara beasiswa pada Minggu kedua September 2008. Penyelenggara beasiswa tidak mengembalikan dokumen para pelamar.
9.

Sinopsis penulisan novel dan sinopsis novel yang akan diterjemahkan akan diseleksi dan dinilai oleh tim kurator penyelenggara beasiswa. Semua keputusan tim kurator tidak untuk diganggu gugat.
10.

Demi profesionalitas, setiap penerima beasiswa akan menandatangi surat kontrak penulisan novel atau penerjemahan novel.

Wednesday, July 2, 2008

Tulis

Bagus Tak Bagus, Tulis Aja!
Oleh Ahmad Sahidin

Bagaimana membuat tulisan renyah dan enak dibaca? Ini pertanyaan yang saya ajukan pada seorang editor di Penerbit Mizan, Hernowo Hasim, yang saya kirim beberapa waktu lalu melaui sebuah e-mail.

Beberapa hari kemudian, ada balasan. Menurut Hernowo, seorang penulis atau yang baru belajar menulis harus memulainya dengan memperbanyak baca buku-buku untuk memperkaya kosa-kata.

“Perkayalah diri Anda dengan kata-kata. Banyaklah membaca buku-buku yang membuat Anda senang. Hanya dengan membaca, tulisan kita akan tidak membosankan. Jika kita ‘miskin kata/bahasa’ hasil tulisan kita juga akan monoton, tidak bisa mengalir enak,” tulis Hernowo.

Selanjutnya, ia harus mulai memilih dan memilah materi atau hal-hal yang akan ditulisnya. Jadi, pilihlah materi yang akan ditulis yang memang sudah menjadi bagian terdalam pengalaman diri sendiri. Libatkan benar diri ketika menulis. Jika diri terlibat, tulisannya akan kaya emosi dan menyentuh, tidak kering dan kaku.

”Pisahkan kegiatan mengeluarkan bahan tulisan dengan pengoreksian. Jangan mengoreksi saat Anda menulis. Keluarkan secara bebas bahan tulisan Anda hari ini, dan koreksi esok harinya. Semoga 3 tips itu bermanfaat bagi Anda. Saya akan coba kunjungi blog Anda,” tulisnya mengakhiri.

Oooh begitu caranya membuat tulisan yang enak dibaca dan tidak kaku itu. Tapi bila saya telusuri, aktivitas saya dalam tulis menulis sejak 2002-2003. Saya memulainya dengan membuat sebuat bulletin Alternatif (Institute for Human and Cultural Studies), sebuah media kampus tingkat fakultas. Saya bersama tiga kawan membuatnya dengan dana dan digarap pun bersama. Tirasnya sekitar 25 eksemplar. Jumlah halamannya mencapai 6-8. Ukurannya setengah kertas kuarto.

Pada edisi perdana saya menulis pengantar dan kolom opini. Saya juga sajikan beberapa ulasan buku-buku terbaru. Seorang dosen langsung merespon positif. Ia jadi penyumbang dana, materi dan tulisan. Hingga beberapa dosen pun memperbincangakan perihal bulletin tersebut. Saya sedikit merasa bangga karena dalam pembiacaraan mengenai kreatifitas mahasiswa fakultas, nama saya disebut-sebut. Tambah lagi ketika beberapa puisi dan esai pendek saya dimuat di HU. Pikiran Rakyat Bandung.

Dan beberapa kawan dan dosen memberikan selamat. Sampai dosen jurnalistik saya bilang, “Ente tak usah masuk kuliah. Nilai ente sudah ‘A’”. Wow, karena prestasi menulis, saya tak usah cape-cape bangun pagi dan masuk kuliah. Hhmm. Beberapa teman saya langsung meminta saya untuk mengajarinya. Saya pun ajarin. Hanya waktu itu saya tak punya teori seperti yang disampaikan Hernowo.

Saya hanya membaca buku yang banyak tentang bahan yang akan ditulis. Kalau akan menulis esai atau artikel filsafat sejarah, baca dulu buku filsafat sejarah minimal 4 buku. Baru setelah itu akan meluncur, mengalir begitu saja. Atau kalau tulisannya sebuah curhat, ya tulis apa adanya. Begitu pun komentar, tulis aja. Untuk membiasakan menggoreskan pena. Itu tips awal belajar tulis menulis yang saya gunakan dan ajarkan pada teman-teman.

Selanjutnya, bila sudah berhasil menuliskannya, berarti sudah menulis. Tulisan itu
kemudian dibaca berulang-ulang, ditimbang-timbang isinya, dan dinilai oleh sendiri. Dan setiap kali membaca yang saya tulis, ternyata banyak kurangnya. Saya pun menambah sana sini dan akhirnya tulisan pun panjang. Saya kaget, kok ternyata saya bisa juga menulis panjang gini. Ini yang ajaib buat saya. Padahal, jika saya memaksakan diri mengeluarkan atau menggores dua paragrap saja tak rampung, alias mandeg.

Tulisan yang sudah ditimbang dan ditambah kekurangannya, biasanya saya serahkan kepada teman dan kadang pada dosen. Saya minta mereka komentari. Biasanya mereka senang kalau diminta komentar dan perbaikan-perbaikan. Meski mereka bukan ahli tulis menulis, tapi biasanya jeli dan tahu letak kesalahan tulisan saya.

Saya pun memperbaikinya dan memuatnya dalam bulletin. Jadi dalam menulis satu tulisan, waktunya mencapai satu bulan. Ini hanya satu tulisan. Ini awal sih. Tapi ketika membuat tulisan yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, mengalir saja dan terasa begitu cepat. Dalam satu bulan, saya berhasil membuat lima tulisan.

Oh iya, dalam proses kreatif yang saya jalani itu, salah seorang kolumnis dan Pemimpin Redaksi Majalah Sunda Cupumanik, Hawe Setiawan, yang sempat saya minta komentarnya, menyarankan saya untuk melihat atau mencotoh alur dan gaya tulisan dari tokoh yang saya kagumi. Karena waktu itu saya lagi kagum pada catatan pinggir Gonawan Mohammad (GM) di Majalah Tempo, saya tiap sore sebelum menghadiri kajian selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk membaca catatan pinggir GM. Berbundel-bundel Majalah Tempo lama kubaca.

Hampir enam bulan saya baca Majalah Tempo dan buku-buku GM. Saya fokus, saya ingin meniru gaya tulisnya yang khas dan berbeda dari orang lain. GM: tulisannya sungguh hidup, renyah, tak ada kosa-kata atau kalimat yang mati. Seluruh kalimat dan kata-kata yang dipakainya berjalin-kelindan, menyatu-padu, dan tak kering. Ini kesan saya setelah membaca catatan pinggir GM. Jumlahnya mungkin sudah ribuan, bahkan lebih. Meski sudah usang wacana dan aktualitasnya, tapi bila dibaca, sepertinya punya “lokasi” tersendiri, sehingga saya tak merasa jemu atau merasa kadaluarsa ketika membacanya. Ini yang saya berbeda dan khas GM.

Satu lagi yang membuat saya begitu terpikat. Ia sosok yang luar biasa dalam khazanah Islam dan piawai dalam berkomunikasi, baik lisan mapun tulisan. Ya, tak salah lagi, Ustadz Jalaluddin Rakhmat (JR). Selain seorang ustadz, ia juga ahli dalam ilmu-ilmu rasional dan dikenal pakar komunikasi. Setiap kali saya baca buku-bukunya, terasa menyentuh dan bermakna.

JR dalam menorehkan gagasannya seringkali diawali dengan kisah-kisah sufi yang menyentuh. Atau juga mengambil petikan kata-kata hikmah dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam. Bahasanya renyah dan mudah dicerna. Alurnya enak, mengalir, dan mudah diingat. Ini yang membedakannya dengan GM. GM bahasanya kadang filosofis dan berbelit-belit, bahkan cenderung tak mengerti kalau si pembacanya tak paham isi dan arah dari tulisannya itu.

Masa proses kreatif itu saya pun mengasah tulis-menulis dengan meluncurkan sebuah bulletin LATERAL yang diterbitkan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) unit kegiatan mahasiswa IAIN, kini bernama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya menulis bersama teman-teman. Namun sayang hingga kini belum ada yang meneruskan atau melanjutkan media tersebut. Padahal kalau biacara fasilitas, generasi LPIK sekarang lebih mudah dan terfasilitasi. Berkarya itu memang butuh kemauan yang kuat dan berani berbuat. Ini intinya, menurut saya.

Alhamdulillah, aktivitas saya dalam tulis menulis pun berbuah: tahun 2004 saya masuk redaksi Majalah Swadaya—sebuah media pemberdayaan umat yang diterbitkan Lembaga Amil Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT) yang berlokasi di Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, pimpinan Aa Gym (KH.Abdullah Gymnastiar).

Dari redaksi Majalah Swadaya saya mulai mengenal kerja jurnalistik. Saya pun merambah dunia fotografy dan shooting video. Juga dunia internet, hingga punya blog http://altanwir.co.cc sebagai ruang dialog bersama teman-teman kuliah dan aktivis ormas/gerakan Islam Indonesia.

Saya pun hingga kini masih terus belajar tentang menulis yang baik, renyah, enak dibaca dan “bergizi” (istilah Hernowo) plus menggerakan pembaca. Itu sebabnya saya belajar, belajar, dan belajar, dari mereka yang senatiasa tak lelah untuk menorehkan pena. Dibaca tak dibaca, bagus tak bagus, tulis aja! Biar saya sendiri yang baca!.

AHMAD SAHIDIN,Kelahiran Bandung, 05 Agustus 1981. Alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Mengapa

Mengapa Manusia Suka Bermain?
Oleh Ahmad Gibson Al-Bustomie

Setelah filsafat manusia mengenal banyak sebutan untuk menamai atau menyebut identitas yang menjadi ciri khas pada manusia. Dua istilah dalam antropologi filsafat seperti homo erectus (manusia tegak) dan homo sapiens (manusia bijak), misalnya, selalu dipakai untuk menjelaskan kedudukan istimewa yang melekat pada manusia.


Yaitu, karena kemampuan intelegensinya,manusia bisa mengatasi, menguasai dan memperdaya hewan dan alam ciptaan lainnya seperti homo faber (manusia tukang) dan homo economicus (manusia hemat). Dua istilah ini mau dipakai untuk menunjukkan keterampilan manusia dalam menciptakan alat-alat dan keuletannya dalam mempertahankan hidup.

Terhadap bakat manusia untuk mengadakan hubungan dengan Yang Transenden dipakailah sebutan homo religiusus (manusia religius). Tetapisejak tahun 1938-an sebutan baru sebagai homo luden (manusia bermain) yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh sejarahwan Belanda, Prof. Johan Huizinga (1872-1945) harus diberikan pada manusia. Dengan demikian, kalau kita sekarang mendapat pertanyaan tentang siapakah manusia itu atau manakah identitasnya, maka dengan mudah kita akan bisa menjawabnya: Manusia adalah makhluk hidup yang (suka) bermain.

Universal, Serius dan Spontan
Manusia suka bermain. Saya pikir, terhadap pernyataan ini kiranya tak ada orang yang tidak menyetujuinya. Sebab, bermain merupakan satu kegiatan yang khas manusiawi yang sifatnya universal. Permainann dan aktivitas bermain selalu ditemukan di mana-mana pada setiap bangsa dan kebudayaan. Ruang lingkup kegiatan bermain dan permainan itu sendiri secar obyektif mampu menembus batas-batas usia dan jenis kelamin.

Keyakinan yang kini masih melekat pada beberapa orang, bermain hanya merupakan kegiatan yang khas terdapat pada dunia anak-anak, sama sekali tidak benar. Pengalaman kita sehari-hari bisa memperlihatkan, betapa banyak pula orang-orang dewasa bahkan mereka yang sudah berpredikat sebagai kakek-nenek pun sering kali sangat suka mengisi waktu senggangnya dengan bermain kartu atau catur.

Kini kita harus bertanya: Bermain, ini merupakan sebuah kegiatan yang sifatnya serius atau tidak? Saya cenderung untuk mengatakan sebagai kegiatan serius. Untuk menanggapi pertanyaan itu, baiklah kita menengok kosa kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia yaitu tiga pasang kata “main”, “bermain” dan “main-main”.

Makna literer yang terkandung pada masing-masing kata tersebut jelas berbeda satu sama lain. Dua kata yang terakhir yakni main dan main-main cenderung bernada peyoratif dan memberi kesan tidak serius atau sekedar iseng-iseng. Sedangkan aktivitas bermain hampir selalu dilakukan sebagai sebuah kegiatan yang serius, meskipun dalam praktiknya kegiatran tersebut sering dikemas rapi dalam suasana rileks dan lucu.

Fakta, setiap bentuk dan wujud permainan itu sifatnya serius barangkali sering dijelaskan demikian. Kita bisa menyaksikan sendiri, setiap orang yang terlibat aktif dalam kegiatan bermain itu dalam arti tertentu wajib memainkan satu peran atau memainkan benda-benda permainan anak-anak tradisional Jawa seperti pasaran.

Dalam permainan itu terlihat dengan jelas betpa anak-anak putri dengan serius menekuni perannya sebagai mbakyul bakul, embok-embok dan seterusnya. Demikian juga kalau orang dewasa sedang main brigde. Ketrampilan dan keseriusan dalam memainkan kartu-kartu itu jelas merupakan hal yang tak dapat ditawar untujk tidak dilakukan.

Sikap serius dalam bermain menjadi sangat tampak dan lebih jelas pada jenis-jenis permainan tertentu yang mengandung unsur kompetitif atau perlombaan. Disini keseriusan merupakan hal yang mutlak. Ini rup0anya berkaitan erat dengan unsur kompetitif atau persaingan yang melekat pada permainan itu sendiri, yakni keharusan untuk memenangkan persaingan di antara pihak-pihak yangh bermain.

Bisa juga dikatakan, keseriusan saat bermain adalah mutlak demi tegaknya sebuah bangunan nilai tertentu yang dengan sendirinya akan muncul ketika permainan itu dimulai. Masalahnya, bila orang tidak bersikap dan bertindak serius, maka bangunan nilai yang berupa aturan-aturan permainan itu pasti akan ambrol dan permainan itu sendiri akhirnya tidak bisa dijalankan lagi. Kini menjadi jelas, dalam bermain orang tidak bisa main-main. Demikian misalnya, anak-anak yang sedang bermain petak umpat akan selalu bersikap serius dalam memikirkan satu halyakni bagaimana mereka dapat bersembunyi tanpa harus diketahui musuh.

Menikmati Ketegangan
Disadari atau tidak, keseriusan dalam bermain ternyata mampu menciptakan sebuah ketegangan atau suasana tegang. Dalam arti tertentu hal itu malah mampu mnyuguhkan kenikmatan atau kepuasan. Menarik disimak kenyataan , ternyata orang senang mengalami dan merasakan ketegangan itu.

Banyak orang sangat betah dengan suasana permainan yang menumbuhkan ketegangan dan merasakan ketegangan itu sebagai kenikmatan, maka orang lalu memperoleh kepuasaan batin. Ini terjadi justru karena ketegangan itu baru bisa dibangun dan dicapai lewat sebuah perjuangan tertentu yaitu usaha keras dan keseriusan. Ibarat orang yang suka naik gunung ia akan mendapatkan kepuasaan batin yang sulit dicari gantinya, justru karena kepuasaan itu dicapai dengan usaha keras dan keseriusan.

Dalam permaian-permainan yang mengandung unsur kompetitif seperti adu ketangkasan, keterampilan, gerak cepat, kekuatan fisik atau kecepatan berpikir, persaingan dalam memenangkan permainan akan menjadi unsur dominan. Dalam konteks ini harus disebut, perlombaan dan pertandingan-pertandingan olah raga sebenarnya merupakan bentuk-bentuk permainan. Tetapi disini harus diberikan catatan penting. Sejauh mana pertandingan-pertandingan olahraga tersebut boleh disebut murni sebagai permaian?

Kiranya kriteria berikut ini bisa dipakai sebagai tolok ukur. Sejauh kegiatan olah raga itu betul-betul diadakan hanya demi sebuah permainan antarmanusia dan tidak menghilangkan ciri khas setiap permainan, uinsur spontanitas serta bebas dari unsur bisnis atau bukan demi satu prestise tertentu, maka kegiatan itu masih bisa disebut permaian.

Menjadi jelas, memang sangatlah lebar jurang perbedaan antar permainan spontan homo ludens sebagaima yang dimaksud Huizinga yakni bermain sebagai kegemaran manusia yang sifatnya arkais dan yang muncul dari kodrat asali kita sebagai manusia di satu pihak dengan kebiasaan bermain dalam pertandingan-pertandingan olah raga, baik yang amatir maupun lebih yang profesional di lain pihak. Dalam permainan-permainan jenis terakhir ini, yang berbucara bukan lagi unsur spontanitas sebuah permainan melainkan lebih-lebih pertimbangan praktis-ekonomis seperti demi sebuah prestasi atau demi fulus atau duit.

Suka Bermain
Mengapa manusia suka bermain? Kiranya jawaban atas pertanyaan ini sebaiknya kita gali dari pengalaman kita sehari-hari dalam menjalankan aktivitas bermain. Untuk itu, baiklah kita bertanya: Perasaan macam apa yang biasa kita peroleh setelah bermain? Jawabannya tentu saja bisa beragam. Orang dapat ,mengatakannya sebagi kepuasaan, kenikmatan, kesegeran kembali, perasaan plong, dan seterusnya. Kiranya memang unsur-unsur perasaan itulah yang secar tidak langsung mau dicari orang bila ia bermain atau aktif terlibat dalam aneka macam bentuk permainan.

Menarik disimak kenyataan, berbagai bentuk kepuasan di atas justru bisa diperoleh karena dalam bermain orang boleh-bahkan sering kali malah diharuskan-membangun sebuah dunia rekaan baru yang lain sama sekali dari kenyataan sehari-hari. Dengan demikian, orang seakan harus pindah beralih dari kenyataan yang faktual ada menuju pada sebuah dunia lain yang buisa menjanjikan sesuatu, seperti misalnya kepuasan batin.

Dengan cara itu, segala urusan tektek bengek sehari-hari bisa sedikit terlupakan dan dengan masuk ke dalam dunia rekaan ini, orang pun lantas merasa tertarik untuk mengejar kepuasan batin. Dalam arti ini memang bisa dikatakan, permainan bisa membius orang, tetapi tentu saja dalam arti yang sangat positif. Sebab, dengan bermain manusia justru bisa mengalami variasi dalam hidupnya. Bisa dibayangkan betapa manusia akan menjadi bosan kalau hidup dalam sebuah rutinitas melulu tanpa adanya variasi dalam hidupnya. Variatio delectat, variasi itu menyenangkan orang, demikian bunyi pepatah Latin.

Satu-satunya cara agar dunia rekaan itu tetap eksis dalam permainan, maka setiap orang yang terlibat dalam permainan itu juga haraus menjaga keseriusan. Setiap pihak harus patuh dalam bersikap yakni memelihara agar bangunan nilai yang berupa aturan-aturan main itu sungguh ditaati. Kalaupun melanggar harus ada sanksinya. Sekali saja orang tidak mau patuh dan melanggar aturan permainan tetapi tidak mau menerima sanksinya, runtuhlah semua pilar-pilar yang menyangga bangunan dunia rekaan itu.

Bukan Monopoli Manusia
Dalam kata pengantar bukunya, Homo ludens. Proeve eener bepaling van het spel-element der cultuur (Manusia Bermain. Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya), Prof. J. Huizinga mengatakan, julukan baru untuk manusia sebagai homo ludens (manusia bermain) sudah selayaknya perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan sebutan-sebutan lain untuk manusia yang sudah ada sebelumnya. Komentar seperti ini jelas mengartikan, bermain merupakan unsur konstitutif dalam eksistensi manusia dan mencirikan siapa manusia itu sesungguhnya.

Tetapi kita tergoda untuk bertanya lebih lanjut: Apakah bermain itu hanya kegiatan yang dimonopoli manusia saja? Jawaban atas pertanyaan ini kiranya jelas: tidak. Sebab, binatang pun sering bermain. Bukan saja hal itu dilakukan sendiri, melainkan seringkali malah dalam sebuah kelompok. Demikianlah misalnya, dua anak kucing yang bermain-main dengan saling mencakar dan saling mengejar antar mereka sendiri. Kucing pun bisa asyik dalam sebuah permainan.

Unsur apa yang membedakan antara kegiatan bermain pada manusia dan permainan pada binatang? Kiranya harus disebut begini. Permainan dalam dunia hewan menampilkan fakta, binatang melakukan hal itu sebagai kegiatan main-main saja. Kita lihat, misalnya, kejadian dimana dua atau tiga ekor kucing sedang bermain. Bilamana satu anak kucing sudah mulai mengeong tajam karena gigitan temannya pada lehernya dirasa terlalu keras, maka secara spontan kucing satunya akan melepaskan gigitan itu. Dan kemudian mereka bermain lagi.

Sedangkan permainan dalam dunia manusia ternyata menampilkan fakta yang berbeda. Bermain pada umumnya merupakan kegiatan serius, dalam arti dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semua ini dilakukan demi mendapatkan fun yakni gabungan unsur lucu dan menyenangkan. Meski dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh, unsur fun akan selalu tetap eksis dalam setiap permainan manusia. Dan memang inilah ciri khas paling unik pada setiap permainan manusia. Kiranya jelas, justru karena adanya unsur fun ini pada setiap permainan, maka saya, anda dan kita semua pasti sangat suka diajak teman untuk bermain.


PENULIS adalah dosen filsafat di Fakultas Filsafat dan Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Hunung Djati Bandung

Wahib

Sayembara Penulisan Esai Ahmad Wahib Award 2008

Forum Muda Paramadina, Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (HIMAFA) Universitas Paramadina, dan Soetrisno Bachir Foundation menyelenggarakan sayembara penulisan esai Ahmad Wahib Award bagi mahasiswa (S1) seluruh Indonesia.

Total hadiah: Rp. 45 Juta.

Ketentuan Sayembara:
1. Naskah harus asli, bukan terjemahan, saduran, atau mengambil dari karya yang sudah ada.
2. Belum pernah diterbitkan di media apapun, dan tidak sedang diikutkan dalam sayembara apapun;
3. Peserta sayembara memilih salah satu dari tiga tema yang telah ditentukan;
4. Sayembara esai ini menekankan aspek argumentasi, ketajaman pemikiran, dan gaya penulisan;
5. Lima orang nominator penulis esai terbaik akan diwawancarai oleh Dewan Juri. Pemberitahuan akan disampaikan kemudian;
6. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak, mengikat dan tidak bisa diganggu-gugat;
7. Naskah yang masuk menjadi hak panitia dan tidak dikembalikan;
8. Sayembara ini tidak berlaku bagi panitia.

Persyaratan- Persyaratan:
1. Peserta hanya boleh mengirim 1 (satu) naskah;
2. Naskah sayembara dikirim rangkap 2 (dua), diketik di atas kertas ukuran kuarto (margin 3 cm di setiap sisi), spasi ganda, menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, dengan panjang naskah antara 20-30 halaman;
3. Kiriman naskah harus dilengkapi dengan identitas penulis: biografi singkat; fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM); 2 (dua) lembar foto berwarna ukuran 3 x 4; dan alamat lengkap, nomor telepon, serta alamat e-mail;
4. Naskah dimasukkan ke dalam amplop tertutup, dengan di sudut kiri atas amplop ditulisi “Sayembara Esai Ahmad Wahib Award�;
5. Naskah dikirim ke alamat panitia: Pondok Indah Plaza III, Blok F 4-6. Jl. TB. Simatupang, Jakarta, 12310;
6. Naskah dikirim paling lambat, Jumat, 29 Agustus 2008 (cap pos atau diantar langsung).

Rincian Hadiah:
Juara I Rp. 20..000.000,-
Juara II Rp. 15.000.000,-
Juara III Rp. 10.000.000,-

Pengumuman Pemenang
Kamis, 30 Oktober 2008
Di Universitas Paramadina, Jakarta

Tema
 Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia
 Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam
 Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?

Dewan Juri
 Budhy Munawar-Rachman
 Ihsan Ali-Fauzi
 Lies Marcoes-Natsir
 Luthfi Assyaukanie
 Maria Hartiningsih
Contact Person:
Achun (0856 9768 5005), Indra (0856 7907 785)

Monas

Pelurusan Fakta Tragedi Berdarah Monas
Oleh Saidiman

Tragedi Monas, 1 Juni 2008, berupa penyerangan kelompok Front Pembela Islam (FPI) kepada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan telah menjadi bahan perbincangan publik yang terus bergulir tak tentu arah.

Tulisan ini ingin sedikit memberi klarifikasi terhadap kesimpangsiuran berita yang mulai cenderung salah arah tersebut.

Penyerangan, Bukan Bentrok

Beberapa media tidak segan-segan menyebut tragedi ini “bentrokan” antara massa FPI dan AKKBB. Istilah bentrokan sungguh menyesatkan karena itu mengandaikan AKKBB juga terlibat dalam aksi kekerasan tersebut.

Faktanya, FPI menyerang massa AKKBB. Saat itu, acara belum dimulai. Sebagian massa AKKBB berada di pelataran Monas menunggu aksi longmarch yang akan dimulai dari kawasan belakang stasiun Gambir. Sambil menunggu massa AKKBB yang lain, massa yang ada di pelataran Monas tersebut duduk-duduk. Ketika massa FPI mendekat, massa AKKBB diperintahkan untuk duduk. Saya sendiri yang menyampaikan kepada massa untuk tidak terprovokasi, karena kami melihat massa FPI semakin dekat dan berteriak-teriak sambil mengancung-acungkan pentungan. Saya lalu meminta massa untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Belum sempat lagu kebangsaan itu dinyanyikan, massa FPI sudah menyerbu. Mereka memukul dengan pentungan bambu, meninju, menendang, menginjak-injak, sambil melontarkan sumpah serapah. Saya masih sempat menyeru massa AKKBB untuk tetap duduk, sebab kesepakatan kita, aksi ini adalah aksi damai. Kalau ada serangan fisik, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Massa AKKBB memang patuh kepada kesepakatan, tidak ada satupun massa yang melakukan perlawanan. Tetapi karena serangan begitu massif, akhirnya massa AKKBB bubar menyelematkan diri. Ibu-ibu menangis, anak-anak menjerit ketakutan, puluhan orang menderita luka.

Tidak Ada Provokasi

Beberapa hari setelah tragedi, muncul pemberitaan bahwa massa AKKBB melakukan provokasi terlebih dahulu melalui orasi yang menyatakan bahwa massa penyerang itu adalah “laskar setan atau iblis.” Itu adalah dusta besar. Faktanya, acara belum dimulai. Orasi belum dilaksanakan. Yang ada hanyalah seruan kepada peserta AKKBB untuk duduk, untuk tidak terprovokasi, dan untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Dan tidak pernah ada bukti bahwa orasi provokasi benar-benar dilakukan oleh AKKBB.

Patut dicatat beberapa pernyataan dalam orasi-orasi pemimpin serangan FPI pada saat serangan telah dilakukan. Alfian Tanjung mengatakan di depan massa FPI: “Saya bangga dengan Anda semua yang telah melibas mereka dengan cepat.” Indikasi bahwa aksi ini dilakukan secara terencana dan dengan restu Riziq Shihab bisa dilihat dari pernyataan Alfian Tanjung selanjutnya: “Pada pertemuan terakhir kita dengan Habib Riziq, dia memegang tangan saya, “Ustadz Alfian, hari minggu siang kita perang.” Pada kesempatan itu, Alfian juga mengatakan bahwa mereka baru saja menang satu kosong, dan mereka akan terus menang sampai 1000 kosong.

Menjelang bubar, Munarman menyampaikan kepada massanya bahwa aksi mereka hari itu belum apa-apa: “Kita belum memenangkan pertempuran… Berikutnya kita akan datangi tempat-tempat mereka. Kita akan datangi yang namanya Goenawan Mohamad. Kita akan datangi yang namanya Asmara Nababan.” Munarman juga menyampaikan: “Sudah ada penyampaian baik dari polisi maupun intelijen kita yang menyatakan konsentrasi massa pembela-pembela Ahmadiyah itu sudah bubar. Tidak ada kegiatan di HI dan di depan RRI.”

Bukti-bukti orasi ini sangat penting untuk melihat FPI memang melakukan serangan secara terencana dan bukan insidental.

Senjata Api

Ada foto yang beredar tentang seorang berbaju putih yang mengangkat pistol. Ini, oleh beberapa berita, disebut sebagai provokasi dari AKKBB. Perlu ditegaskan kembali bahwa aksi hari itu adalah aksi Apel Akbar Peringatan 63 Tahun Pancasila dengan tema “Satu Indonesia untuk Semua.” Sejak awal, aksi AKKBB adalah aksi damai. Jangankan memprovokasi, kita bahkan sepakat bahwa jika ada serangan, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Tidak pernah ada instruksi bagi peserta aksi untuk membawa senjata tajam. Fakta bahwa banyak peserta aksi adalah ibu-ibu dan anak-anak adalah bukti bahwa aksi ini memang dirancang dalam format damai.

Ada anggapan bahwa si pembawa pistol adalah massa AKKBB karena mengenakan pita merah putih di lengan bajunya. Yang harus diketahui adalah bahwa panitia aksi hari itu sama sekali tidak menyediakan atribut pita merah putih yang dipasang di lengan baju. Panitia hanya menyediakan kalung pita merah putih yang hanya dipakai oleh para perangkat dan simpul-simpul aksi. Aksi ini sendiri bersifat umum karena mengundang siapa saja melalui media massa dan pengumuman internet. Penggunaan atribut pita merah putih di lengan baju dilakukan pada aksi AKKBB sebelumnya, 6 Mei 2008. Tetapi pada 1 Juni 2008, panitia tidak menyediakan atribut serupa.

Ada pernyataan Munarman yang menarik. Dia mengatakan: “Kami tidak bisa dibohongi karena sudah menyusupkan orang kami di tengah-tengah mereka….” (Sabili No. 25 Th. XV).

Keluar Rute

Massa AKKBB juga dianggap menyalahi pemberitahuan kepada pihak polisi karena tidak patuh kepada rute awal, yakni belakang stasiun gambir kemudian menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI). AKKBB dianggap melanggar karena masuk ke pelataran Monas.

Faktanya, rencana aksi AKKBB akan dimulai pukul 14.00 WIB. Penyerangan yang dilakukan FPI di dalam pelataran Monas adalah pukul 13.15 WIB. Perlu diketahui adalah bahwa massa AKKBB yang ada di pelataran Monas tersebut tidak sedang melakukan aksi, melainkan bersiap-siap menuju tempat dimulainya aksi, yakni belakang stasiun Gambir. Massa yang diperkirakan hadir pada aksi peringatan Pancasila tersebut adalah sekitar 10.000 orang. Massa ini belum berkumpul pada satu titik secara utuh, mereka masih berpencar di sekitar Monas, karena hari itu memang Monas sangat ramai. Massa AKKBB masih menunggu dimulainya aksi. Massa AKKBB masih bergerombol di banyak sekali tempat di sekitar Monas. Salah satu kumpulan massa yang terbesar adalah di tempat di mana massa FPI menyerang tersebut. Massa AKKBB masih ada di banyak tempat, sebagian besar masih dalam perjalanan. Tidak benar aksi keluar dari rute, sebab aksi belum dimulai.

Menipu Peserta

Berita terakhir yang banyak beredar bahwa AKKBB telah menipu massa anak-anak dan ibu-ibu yang diajak untuk berwisata ke Dufan, tetapi kemudian diarahkan menjadi peserta aksi. Ini juga adalah dusta.

Faktanya, aksi peringatan Pancasila ini sudah diberitakan melalui tidak kurang dari delapan media cetak. Pemberitahuan ini juga ditambah dengan pengumuman di pelbagai mailing list. Dan tidak pernah keluar bukti bahwa para peserta itu ditipu. Yang terjadi adalah upaya untuk memfitnah aksi AKKBB ini dengan pelbagai cara.

Pengalihan Isu BBM

Fitnah yang paling keji dan menggelikan adalah ketika tragedi Monas disebut sebagai bentuk pengalihan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sengaja dilakukan oleh AKKBB. Fitnah ini sangat keji, karena peserta aksi AKKBB yang prihatin terhadap gejala pengabaian dasar negara, Pancasila, kemudian tanpa bukti disebut untuk mengalihkan isu.

Faktanya, jika tragedi ini disebut sebagai pengalihan isu, maka sesungguhnya yang patut disebut sebagai pelaku pengalihan isu adalah massa penyerang. Inisiatif menyerang ada di tangan FPI. Kalau mereka tidak melakukan gerakan serangan, maka barangkali isu kenaikan harga BBM akan tetap jadi perbincangan. Sekali lagi, AKKBB adalah korban dari sebuah inisiatif serangan dari pihak FPI.

Teologi

Teologi Keberagamaan Pluralisme Liberatif
Oleh Apuy

“Meskipun ada bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka’bah?....oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; namun pabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuannya terarah hanya pada satu tujuan.”[Jalaludin Rumi]

AGAMA adalah obyek perbincangan dan pergerakan yang senantiasa terus menarik untuk didiskusikan sepanjang zaman, rentangan waktu dari hal-hal yang berbau mitos hingga dimana sains mendominasi dalam berbagai hal. Hal ini di sebabkan karena fungsi dan peran agama yang unik dan menarik, yaitu sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama, di satu sisi menjadi pedoman kehidupan, perdamaian, dan tuntunan moralitas demi keselamatan baik individu maupun social secara universal. Akan tetapi, di sisi lain agama sering menjadi penyebab konflik, peperangan, kultus, dan kekacauan atau chaos bagi kelangsungan hidup umat manusia.


Di samping itu, fenomena dan fakta yang terjadi di lapangan, agama sering dicampuradukkan dengan penafsiran keagamaan. Maksudnya; perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Adanya truth claim; pada kelompok sendiri, dan kelompok yang lain dianggap jauh menyimpang dari kebenaran diluar dari golonganya, agamanya, keyakinannya dan dicap sesat atau murtad (orang yang keluar dari agama), sedangkan yang menurut mereka benar adalah apa yang jalani menurut keyakinannya. Seperti apa yang dikemukakan oleh kelompok konservatif garis keras yang menolak fakta pluralisme, yang terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu tentu saja berbahaya karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan keagamaan.

Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya. Munculkan klaim kebenaran dan penafsiran agama itu juga menjadikan para pemeluk agama dan tokoh agama berperilaku dengan menggunakan standar ganda (double Standards) kebenaran. Maksudnya baik orang Islam ataupun non Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang bersifat ideal dan normative untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain, memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis.

Paradigma Keberagamaan
Penafsiran dan keberagamaan, pada dasarnya muncul sesuai dengan tingkat pengetahuan, lingkungan sosial dan kultural, serta keyakinan yang dibawanya sejak dari kecil (agama orang tua). Hingga dewasa ini, paradigma keberagamaan umat manusia umumnya bisa ditipologikan menjadi tiga golongan.

Pertama, paradigma eksklusif, pandangan yang dominan ada pada kalangan ini, adalah bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” , sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi” Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.

Kedua, paradigma inklusif, menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu dengan mereka, seluruhnya ditulis oleh Allah Ta’ala bahwa menyesuaikan diri dengan pembawa, kaum penerima, bahasa, serta lingkungan geografis. Menurut pandangan Umar Sulaiman Al-asyqar, seorang sarjana Muslim yang berdomisili di Kuwait, memaparkan pandangaannya tentang kesatuan agama menegaskan bahwa agama yang diturunkan Allah kepada Nabi dan rasul adalah satu, yaitu Islam. Islam bukan nama untuk satu agama tertentu, tetapi adalah nama yang didakwahkan oleh semua nabi. Senada dengan apa yang dikatakan Nurcholish Madjid. “ Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah dalam (Q 3:85 dan Q 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka nabi Muhammad s.a.w diutus, melainkan hal ini merupakan suatu hokum umum (hukm amm, ketentuan universal) tentang manusia masalau dan manusia kemudian hari. Kesemuanya itu mengisyaratkan adanya titik temu agama-agama ini harus dijadikan sarana untuk membuka diri atau bersimpati terhadap kebenaran agama orang lain. Kalau Allah menghendaki, maka umat manusia itu menganut satu agama saja, tetapi Allah menciptakan beragam agama, agar bisa menguji siapa yang paling baik amalnya, yang diharuskan adalah berlomba-lomba dalam kebajikan (Fatabikhul khairat)

Ketiga, paradigma pluralis atau paralel. Menurut kalangan ini, setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. Tokoh paradigma ini adalah John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Menurut dia, teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai "agama primordial" atau "nilai perenial".

Oleh karena itu, perbedaan agama pada kalangan ini diterima sebagai pertimbangan dalam prioritas "perumusan iman" dan "pengalaman iman". (Islam Pluralis, hal. 49-50). Sama apa yang dirumuskan oleh Sayyid Hossein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut. Sikap pluralis bisa diterima jika seandainya perbedaan antara Kristen dengan Islam diletakan dalam posisi yang lebih penting diantara keduannya. Islam mendahulukan perumusan iman, dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sedangkan dalam ke Kristenan mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akal Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan pada sakramen Misa dan Ekaristi) dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis melalui Trinitas.
Ketiga tipologi paradigma keberagamaan di atas bukanlah hal yang kaku dan tetap. Akan tetapi, semuanya adalah persoalan pilihan kehidupan dan keyakinan. Apa yang kita anggap sesuai dengan keyakinan kita tentang konsepsi teologi tanpa menjustifikasi penganut lain yang tidak sepaham. Hal itu menjadi masalah tersendiri, ketika realitas sosial dan masyarakat yang ada menunjukkan fakta yang berbeda dengan keyakinannya. Artinya, paradigma keberagamaan itu bisa mengganggu orang lain dan kurang memberikan manfaat pada tatanan sosial yang ideal.
Fakta dan keniscayaan pluralisme

Pluralitas adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Hal itu nampak pada pluralitas agama, budaya, latar belakang pendidikan, ras dan suku, serta kesenangan bahkan jalan hidup masing-masing manusia. Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.

Keragaman di atas pada awalnya memang tidak menimbulkan persoalan atau gejolak sosial. Mari kita lihat apa yang yang merjadi konflik di Indonesia akhir-akhir ini, dimana konflik merebak dengan mengusung bendera agama dan ras, kalau kita menelaahnya sesungguhnya konflik tersebut berawal dari factor social, ekonomi, dan politik seperti kerusuhan bernuansa SARA menewaskan ribuan manusia seperti kerusuhan Ambon, timor-timur, Sambas dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang terjadi karena dilator belakangi oleh konflik agama. kerusuhan masaal yang terjadi tahun 1998 dimana ratusan gereja dan tempat usaha etnis China dibakar, dirusak dan dijarah, bahkan yang tidak manusiawi anak-anaknya diperkosa bahkan ada yang sampai dibunuh.

Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama yang berjuang menegakan ajaran Tuhan dimuka bumi Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan. Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.

Yang menjadi kecurigaan; jangan-jangan ada kekuatan lain yang menggerakannya sehingga yang muncul adalah konflik yang dibangun seakan-akan bermuatan SARA. Karena mereka sering dibarengi dengan keinginan untuk menguasai, (social, politik dan ekonomi) meminjam istilah Nietzsche - will to power -, sering menjadikan mereka menghalalkan segala cara. Penghalalan segala cara adalah naluri hewaniah manusia yang sering muncul ke permukaan. Padahal, ada sebuah nilai keluhuran manusia berupa akal sehat dan hati nurani yang harus senantiasa dipertimbangkan ketika melakukan sebuah tindakan.

Nilai keluhuran dan kemanusiaan itu ketika diperhadapkan dengan realitas pluralitas, adalah sebuah sikap yang menghargai perbedaan disertai dengan kearifan menerima dan mengakui kebenaran orang lain. Dalam keberagamaan, sikap ini mewujud dalam implementasi paradigma pluralisme agama sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, dalam realitas pluralitas yang terbentang di hadapan kita, sebuah sikap pluralis dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Amin Abdullah (1999), realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme keagamaan itu, disebabkan oleh adanya hegemoni kepentingan dan egoisitas pada sekelompok orang atau golongan tertentu. Tindakan dan kepentingan itu juga sering mereka justifikasi dengan landasan teks-teks keagamaan.

Anehnya, penafsiran teks keagamaan itu sering mereka lakukan secara terpisah dengan realitas sosial yang terbentang di permukaan. Padahal, untuk menciptakan sebuah pluralisme keagamaan meniscayakan penafsiran yang mengompromikan antara aspek historisitas dan normativitas teks keagamaan (baca-kontekstualisasi).

Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat "gado-gado" agama, atau dalam istilah lain disebut sinkretisme yaitu pandangan yang mencampuradukan semua agama atau menjalankan ajaran semua agama sekaligus karena semuannya dianggap memberikan keselamatan (Jalaludin Rakhmat) ;namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti ditegaskan oleh Alwi Shihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya (Islam Inklusif, Mizan, 1997). Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah sikap untuk menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran. karena setiap pemeluk agama lain terdapat keselamatan.
Pluralisme keagamaan dan praksis sosial

Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawabannya atas problem kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar. Maka, pernyataan Gregory Baum (1999) yang menyatakan bahwa kebenaran agama terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris, sangatlah relevan. Bila agama tidak menunjukkan kedua hal itu lewat penafsiran dan perilaku pemeluknya, maka lambat laun agama pasti menjadi komoditi yang tidak laku di pasaran. Bahkan akan sampai pada pembunuhan nilai-nilai spiritual seperti yang terjadi akhir-akhir ini dimana agama dikambing hitamkan penyebab berbagai konflik horizontal. Jika seorang pemeluk agama bentrok dengan pemeluk agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan melawan kezaliman” sedangkan jika orang yang berada di agama lain akan berpikiran sebaliknya.

Oleh karena itu, pluralisme keagamaan haruslah juga menghadapkan dirinya dengan problem kemanusiaan kontemporer. Maksudnya, teologi pluralis haruslah mempunyai tujuan spesifik untuk membebaskan kesengsaraan dan penderitaan umat. Hal tersebut bisa dilakukan, jika para agamawan dan umat beragama mengembangkan - meminjam istilah Erich Fromm - keberagamaan yang humanistik. Artinya, mereka senantiasa peduli, peka, dan mempunyai komitmen terhadap penderitaan yang terjadi di sekelilingnya. Kepedulian dan kepekaan ini, menurut Paulo Freire, akan terwujud jika mereka memiliki kesadaran kritis dalam melihat setiap kejadian dan permasalahan.

Bila teologi pluralis itu tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirubuhkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan (Jurgen Habermas, 1993). Maka, teologi pluralis sudah selayaknya mempunyai dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.

Sebab, jika tidak dilakukan, teologi itu justru bisa dimanfaatkan oleh sekelompok agamawan guna melanggengkan status quo kekuasaan dan pemberangusan kritisisme masyarakat seperti yang terjadi menimpa umat Islam sekarang dimana hanya tunduk pada titah sang Kyai yang hanya mendasarkan agama secara tekstual tradisional, sehingga santrinya didorong dipaksa bersikap taklid terhadap keyakinan baik secara teologis maupun dalam tataran praksis.

Sekedar Penutup
Akhirnya, keberagamaan pluralis adalah sebuah agenda pekerjaan mendesak yang membentang di hadapan kita. Mengingat, banyak problem-problem ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan kemanusiaan lainnya yang tidak lekas terselesaikan akibat ketidakseriusan sebagian orang. Maka, kaum agamawan dan umat beragama hendaknya memelopori sebuah praksis sosial yang berwujud pada kesadaran kritis dan keterlibatan pada upaya demokratisasi dan pengentasan krisis terutama krisis berfikir. Apa yang kita harapkan adalah munculnya pandangan-pandangan keagamaan yang lebih progresif, inklusif, dan kesaling pengertian antar agama, yang telah menjadi obsesi cultural maupun teologis kita di Indonesia.
*****
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat. Jakarta: Kompas, 2002.
Akbar S Ahmed. Postmodernisme and Islam, Terjemahan Afif Muhammad. Mizan, Bandung, 1998.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung: 1999.
Bulletin Kebebasan. Edisi 01,02,03 dan 04. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Jakarta; 2006
Jurnal Emanasi, edisi 01, Lembaga Kajian dan Penulisan UIN SGD Bandung, 2001
John Hickk, God and the Universe of Faiths, One World Publications Oxford, i993
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keislaman, Kemanusiaan, Dan Kemodernan, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet 3
Madjid, Nurcholish. Pluralisme di Indonesia, jurnal Ulumul Qur’an, No 03, Vol VI i995
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 1997
Muhammad, Afif. Islam Mazhab Masa depan: Menuju Islam Non-Sekterian. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998
Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Pluralisme; Nurcholish Madjid. Paramadina; Jakarta 2007
Rachman, Budhy Munawar. Pluralisme dan Masalah Teologi Agama-agama, 1999
Osman, Fathi. Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an, kemanusiaan, sejarah, dan peradaban. Paramadina; Jakarta 2006
Schoun, frithjop. Mengenai jejak-jejak agama abadi (Sur Les traces de la Religion perenne) diterbitkan pada tahun 1982
Schoun, frithjop. Mencari titik temu Agama-agama, terj, Safroedir bahar dari judul asli, The Transenden Unity of Religion, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987