Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, January 23, 2009

Menulis

Telisik Lengkap Ghost Writer
Oleh BAMBANG TRIM

APAKAH ada hantu dalam jagat penulisan? Ya benar, hantu itu sering disebut ghost writer--para penulis profesional yang bergentayangan di dunia tulis- menulis. Para ghost writer ini benar-benar paham bahwa menulis bukan lagi pekerjaan, melainkan sebuah bisnis.

Apa itu ghost writer? Saya kutipkan saja defenisi dari wikipedia berikut ini. Anda upayakan sendiri terjemahannya, ya.

(A ghostwriter is a professional writer who is paid to write books, articles, stories, reports, or other content which are officially credited to another person. Celebrities, executives, and political leaders often hire ghostwriters to draft or edit autobiographies, magazine articles, or other written material. In music, ghostwriters are used in classical music, film score composition, and popular music such as top 40, country, and hip-hop. The ghostwriter is sometimes acknowledged by the author or publisher for his or her writing services.)

Penulis bayangan (demikian padanannya menurut saya, bukan penulis hantu) adalah seorang penulis profesional. Artinya, dia memang sudah malang melintang di dunia kepenulisan dan bukan seorang penulis pemula. Ada yang spesialis pada bidang tertentu dan ada pula yang cenderung generalis. Mereka dibayar untuk menuliskan sesuatu dengan langsung menyerahkan hak cipta (termasuk hak ekonomi dan hak moral penulisan) kepada si pemesan. Dengan demikian, urusan eksploitasi naskah tersebut menjadi produk bisnis dan nama pencipta yang dicantumkan sudah menjadi hak si pemesan.

Ghost writer sebatas dibayar dengan tarif tertentu untuk menuliskan naskah dan dia memang pada umumnya tidak disebut-sebut sebagai penulis naskah itu atau namanya tidak tercantum di cover buku. Pada beberapa kasus, namanya disebut dengan ungkapan "with ..." (Dian Putri dengan Bambang Trim) ataupun "as told to ..." (Seperti yang Diungkapkan kepada Bambang Trim). Ada lagi yang namanya disebut dalam halaman ucapan terima kasih (acknowledgement) , ada yang disebut sebagai kontributor ataupun asisten periset.

Pekerjaan yang biasa diberikan kepada seorang ghost writer adalah menulis naskah, sekaligus terkadang juga menyunting naskah. Untuk kerja profesional ini, ia pun harus mampu bekerja layaknya seorang jurnalis dan periset. Beberapa naskah memang membutuhkan aktivitas wawancara dan riset yang intensif. Terkadang seorang ghost writer hanya menerima draft naskah mentah dari seorang penulis dan tugas beratnya adalah mewujudkan draft tersebut menjadi naskah yang sempurna.

Ghost writer tidak sama dengan co-writer ataupun co-author. Co-writer adalah penulis pendamping (profesional juga) yang biasa diajak oleh seseorang untuk menulis buku bersama-sama. Misalnya, Jack Canfield mengajak Mark Victor Hansen untuk menulis buku Chicken Soup. Alasannya, Jack Canfield bukan seorang penulis, melainkan seorang trainer dan penggagas saja. Nama c0-writer sebagai penulis jelas dicantumkan dan biasanya menjadi nama kedua setelah penggagas (author).

Ada beberapa kompetensi penting yang perlu dimiliki seorang ghost writer (menurut saya) :

1) kemampuan berbahasa yang baik dan benar, termasuk menguasai ejaan; 2) keterampilan dan kecepatan menulis di atas rata-rata; 3) kemampuan jurnalistik; 4) kemampuan berkomunikasi dengan semua kalangan; 5) kemampuan dan keterampilan editing; 6) wawasan kepenulisan dan dunia penerbitan; 7) kemampuan menggunakan teknologi tinggi.

Ghost writer dapat bekerja secara mandiri (one man show) ataupun bergabung di dalam lembaga jasa alihdaya penerbitan (publishing service) . Tentu setiap pilihan ada untung dan ruginya. Jikalau memilih bekerja sendiri, paling tidak harus disiapkan peralatan berbasis teknologi tinggi, seperti laptop untuk mobile, mobile modem untuk akses internet, mobile phone (diupayakan smart phone seperti communicator ), tape recorder atau yang lebih canggih digital recorder, kamera digital minimal 8 megapixel, dan tentunya PC di rumah serta buku-buku referensi. Namun, bekerja sendiri tentu lebih mengundang kepuasan, termasuk dalam soal penghasilan. Adapun bekerja bersama lembaga, tentu segala sesuatu seperti peralatan sudah disediakan. Namun, dari sisi penghasilan hanya mendapatkan gaji, plus bonus bagi hasil.


Telisik Tarif
Adakah standar tarif seorang ghost writer? Mari kita lihat dulu basis penentuan tarif penulisan seperti yang berlaku di dunia kepenulisan.

1) Tarif dibayarkan per kata (biasanya untuk tulisan ringan atau sedikit halaman, seperti artikel, feature, dan resensi). Tarif per kata di luar negeri bisa mencapai $4 per kata. Wah, mahal sekali! Di Indonesia, tarif per kata bisa kita sebutkan Rp500 per kata. Jika asumsi dalam satu halaman A4 (1,5 spasi) ada 300 kata, berarti Rp150.000 per halaman. Tarif ini bisa lebih rendah lagi. Adapun tarif untuk editing Rp25 per kata dengan asumsi Rp7.500 per halaman. Untuk seorang profesional, jumlah ini termasuk minim.

2) Tarif dibayarkan per halaman biasanya untuk penulisan buku yang memang tebal dan memerlukan riset. Lembaga jasa alihdaya (outsource) penerbitan di India memberlakukan tarif $12-$18 per halaman atau dengan kurs saat ini (rata-rata Rp12.000) bisa mencapai Rp144.000 per halaman. Hmm... lumayan banget karena menulis 10 halaman saja sudah hampir sama dengan UMK di daerah Bandung, padahal jasa alihdaya di India ini termasuk sangat murah (bisa hemat 50% dari jasa sejenis di Eropa-Amerika) . Untuk Indonesia, tarif per halaman ini bervariasi minimal di Rp25.000 per halaman dengan asumsi Rp250.000 per sepuluh halaman.

3) Tarif kombinasi dalam hal ini seorang ghostwriter mendapatkan advance fee dengan jumlah tertentu dan selanjutnya mendapatkan bagian royalti antara 2%-3% dari total royalti misalnya 10%. 4) Tarif total yaitu tarif yang ditetapkan langsung per proyek atau per buku. Seorang ghost writer di Eropa-Amerika dibayar flat per buku antara $12.000-$28. 000. Di Kanada ditetapkan flat fee minimum untuk ghost writing yaitu $25.000 untuk buku dengan tebal 200-300 halaman. Biaya flat fee minimum ini di luar biaya riset yang dikategorikan extra charge. Di Jerman, seorang ghost writer untuk penulisan kategori confidential ditetapkan dengan bayaran $100 per halaman. Di India, tarif per buku lebih murah lagi antara $3.000-$5.000 untuk buku dengan ketebalan 200 halaman. Koran The New York Times membayar ghost writer untuk buku biografi Hillary Clinton hingga angka $500.000! Di Indonesia, masih banyak penerbit yang menetapkan tarif flat fee untuk naskah dengan ketebalan 80-120 halaman sebesar harga bandrol Rp3 jutaan-Rp5 jutaan. Bahkan, Depdiknas lewat program BSE-nya membandrol harga buku dengan sistem flat fee untuk penguasaan selama 10-15 tahun sebesar Rp40-Rp100 juta. Jumlah ini dikatakan sangat layak membantu kehidupan para penulis, tetapi jika Anda bandingkan tarif di luar negeri sangat kurang layak menurut saya untuk sebuah buku pelajaran yang digunakan oleh jutaan siswa di Indonesia dan ditetapkan sebagai public domain.

Telisik Aturan Kerja
Pengguna jasa ghost writer ini, termasuk di Indonesia. Banyak orang yang ingin mencurahkan pemikiran atau gagasannya ke dalam tulisan, tetapi tidak mampu. Karena itu, orang-orang seperti ini cenderung akan menggunakan jasa ghost writer.

Seorang Yusril Ihza Mahendra populer sebagai seorang ghost writer pidato untuk Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Megawati, bahkan juga Presiden SBY. Dulu kita mengenal almarhum Ramadhan KH sebagai spesialis penulis buku biografi para pejabat. Saya kira pun kini banyak ghost writer yang bergentayangan di Indonesia ini, termasuk saya sendiri.

Ghost writer harus memahami aturan dan kode etik sebagai penulis. Dalam hal ini ghost writer hendaknya mengikat perjanjian tertulis dengan klien ataupun paling tidak mendapat surat perintah kerja (SPK) resmi dari klien. Dalam hal ini patut dipahami perbedaan pekerjaan menulis dan menyunting dan pekerjaan meriset. Anda sebagai ghost writer bisa menetapkan tarif khusus untuk tulisan, sedangkan meriset menjadi extra charge atau ditanggung pembiayaa nnya oleh klien di luar penulisan, seperti akomodasi, transportasi, maupun pembelian buku- buku referensi.

Hal utama yang harus dijaga oleh seorang ghost writer adalah kerahasiaan content buku ataupun kerahasiaan klien apabila diminta. Ghost writer tidak boleh sembarangan mengumbar pekerjaannya kepada publik secara detail. Hal ini biasanya diungkapkan di dalam perjanjian.

Setelah menerima permintaan klien, ghost writer perlu membuat proposal penulisan buku dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan, riset yang akan dilakukan, serta penawaran tarif sesuai dengan basis yang diinginkan. Jaminan yang dipertaruhkan adalah jaminan kualitas, content yang akurat, serta ketepatan deadline. Kendala utama ghost writer biasanya kendala waktu untuk mengejar deadline karena terkadang harus menyesuaikan waktu dengan narasumber ataupun klien.

Ghost writer juga harus mempertimbangkan apakah dirinya sanggup menulis di bidang yang memang bukan bidang keahliannya. Sikap profesional perlu ditunjukkan termasuk kejujuran apabila memang tidak mampu.


Jejak Pengalaman Saya
Saya menjadi ghost writer tidak pernah disengaja. Awalnya memang terdorong dari kemampuan menulis yang sudah saya miliki. Di perusahaan tempat saya bekerja, saya dilanggan untuk menulis berbagai macam dokumen, dari mulai surat dinas, proposal, makalah, hingga pidato untuk atasan saya. Semua saya kerjakan dengan senang hati. Lalu, order tulisan pun mengalir ke bentuk lain, seperti puisi ucapan selamat ulang tahun, ucapan selamat lebaran, hingga termasuk surat pengunduran diri dan surat minta naik gaji (he-he-he). Secara tidak langsung, order tulisan ini meskipun saat itu baru dibayar dengan sebatang coklat ataupun ditraktir makan siang, sangat membantu mengasah kemampuan saya menulis berbagai hal--menjadi generalis.

Di Penerbit Rosda, tempat awal saya berkarier, saya mulai membantu merancang berbagai teks iklan buku. Alhasil, saya pun menjadi seorang copy writer. Selain itu, saya mulai banyak menulis artikel, feature, dan resensi untuk beberapa media massa.

Saya lalu membantu kakak saya yang kebetulan pemusik untuk membuat syair lagu. Satu syair lagu saya buat untuk Dimensi Band. Lalu, saya pun membuat beberapa syair untuk jingle iklan dan mars perusahaan. Untuk hal ini, saya baru dibayar ratusan ribu rupiah.

Di MQS, saya menjadi ghost writer untuk sebagian buku-buku karya Aa Gym. Saya mulai menimbang-nimbang menjadi profesional dalam dunia tulis-menulis untuk membantu beberapa orang tokoh.

Saya pernah menjadi ghost writer untuk buku yang ditulis oleh seorang dokter militer tentang manajemen rumah sakit. Buku ini memberi kesan tersendiri bagi saya karena saat buku ini terbit, saat itu pula terakhir sang dokter tersenyum. Operasi jantung beliau gagal sehingga buku tersebut mengiringi kepergiannya.

Kini saya tengah mengerjakan sekitar dua proyek buku pesanan dengan posisi sebagai ghost writer. Ada juga satu proyek editing buku spiritual. Jumlah ini belum termasuk buku pesanan dengan posisi saya sebagai penulis murni.

Berapa tarif saya? Saya menetapkan tarif tertinggi untuk satu halaman (saya mengambil basis halaman) Rp250.000 dan sudah ada yang deal untuk jumlah tersebut. Lalu, ada juga tarif Rp100.000 per halaman dan juga sudah ada yang deal. Tarif terendah yang saya tetapkan untuk buku adalah Rp50.000 per halaman. Rata-rata ketebalan halaman adalah 160 hingga 250 halaman naskah dengan format A4 dan spasi 1,5. Harga demikian di luar extra charge untuk akomodasi serta transportasi yang menjadi beban klien.

Untuk tarif penyuntingan, saya tetapkan minimum adalah Rp10.000 per halaman dalam kategori copyediting. Namun, untuk editing total (termasuk substantive editing) adalah Rp20.000-Rp25. 000 per halaman. He-he-he mengutip iklan: harga sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Prosedur yang saya berlakukan untuk menangani klien adalah: 1) tahap penjajakan yaitu pertemuan untuk menelisik kebutuhan dan harapan klien terhadap naskah yang akan dibuat atau melihat draft naskah; 2) tahap pengajuan proposal dan negosiasi untuk mencapai kesepakatan, baik tarif maupun deadline; 3) tahap penandatanganan perjanjian dan penerimaan SPK; 4) tahap penulisan dengan memberikan rencana penulisan serta draft outline.

Kadang-kadang ada juga proyek sosial yaitu jasa penulisan yang saya berikan kepada beberapa kolega ataupun sahabat tanpa dibayar ataupun dengan biaya minim. Bisa jadi saya mengerjakan juga beberapa buku anak dengan bayarang bandrol Rp3 jutaan ataupun makalah dengan bayaran ditraktir makan. Untuk soal ini, bagi saya silaturahmi lebih penting daripada tarif secara profesional. Nah, saya kira pun ada ghost writer lain yang lebih berpengalaman dengan tarif lebih besar dari yang saya tetapkan. Albertine Endah, misalnya, saya kira tarif beliau lebih tinggi karena spesialis menangani buku- buku para selebritas, seperti Krisdayanti dan almarhum Chrisye.

Menjelang Pemilu 2009 nanti, peran ghost writer tampaknya akan semakin signifikan dan mungkin laris manis. Saya kira para calon presiden ataupun calon wakil presiden tidak akan ragu-ragu merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah buku bermutu ataupun artikel berbobot di media massa. Tidak pelak sebuah tulisan membuat posisi intelektual mereka akan naik di mata publik.

Anda berminat menjadi ghost writer? Mengapa tidak? Writing is not a job; it's a business.


BAMBANG TRIM,
Ketua Forum Editor Indonesia


Islam

Firqatun Naajiyah
Oleh AHMAD DIMYATI

SAAT di sekolah Madrasah Aliyah (MA) saya diajari seorang guru, suatu paham yang mengubah peta politik dan budaya Hijaz khususnya Saudi Arabia. Pencetus ajaran tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab. Guru saya tersebut membagikan dengan gratis sebuah buku kecil berwarna (kalau tidak salah) hijau dengan judul “Al-Fiqrqatun An-Naajiyah” dengan tulisan berbahasa Arab dan seluruh isi kitab tersebut berbahasa Arab gundul (tidak berharokat).

Waktu itu, saya dan teman-teman bersikap polos dan mengikuti pengajian yang dirancang guru tersebut dengan keinginan kuat untuk menguasai Bahasa Arab. Sehingga sampai akhir studi tidak banyak perubahan pada diri saya dan teman-teman berkaitan dengan pemahaman dan pengamalan agama. Namun, saat ini saya tertarik untuk membahas judul buku tersebut, yaitu “Al-Fiqrqatun An-Naajiyah” yang artinya golongan yang selamat.

Kata firqah dan naajiyah mengacu kepada sabda Rasulullah yang mengabarkan bahwa umat Islam akan berpecah kepada 73 golongan (sekte), sebagaimana mana kaum Nashrani dan Yahudi yang berpecah ke dalam 71 atau 72 golongan. Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa semua golongan umat Islam tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Selanjutnya, banyak kaum cendekia muslim yang mengatakan bahwa nominal 71, 72, atau 73 tersebut menunjukkan makna banyak. Artinya, ada kemungkinan sebenarnya golongan umat Islam yang saling berbeda pendapat itu banyak sekali. Bahkan saya sendiri mendapat kabar ada yang mengatakan di Indonesia saat ini hampir ada ribuan kelompok (sekte) umat Islam. Di antara ribuan itu saling ada perbedaan pemahaman, tetapi ada yang tajam sekali dan ada yang tidak.

Sebagaimana telah saya tulis sebelumnya, bahwa kata firqah mengandung konotasi pandangan bahwa golongan saya atau kami benar dan golongan orang lain salah. Berbeda dengan istilah madzhab yang berkonotasi pandangan bahwa saya atau kami benar dan mungkin yang lain juga benar. Selain itu, firqah mengandung makna bahwa perbedaan adalah “laknat”, sedangkan madzhab mengandung makna perbedaan adalah “rahmat”.

Dengan demikian al-Firqah an-Naajiyah mengandung makna hanya satu golongan yang paling benar dan akan masuk surga, sedangkan golongan lain pasti salah dan masuk neraka. Namun masalahnya, siapa atau apa yang termasuk golongan selamat itu? Di sinilah akhirnya kembali terjadi konflik kepentingan antar golongan yang saling mengklaim dirinya atau golongan dirinya yang benar. Tambah-tambah ada bumbu yang menambah tajamnya konflik tersebut, di antaranya kepentingan politik penguasa. Akhirnya pertentangan kelompok yang misalnya disebabkan perbedaan fikih (paktik ibadah) dapat menjadi pemicu adanya konflik baik vertikal (antara umat dan penguasa) maupun horizontal (antara umat dengan umat). Di tengah kondisi umat yang sudah kondusif dalam memahami perbedaan paham, sudah selayaknya kita membuang jauh-jauh ta’assub (fanatisme) kelompok tanpa dasar yang kuat. Sudah sewajarnya para ulama mulai melakukan usaha untuk menghilangkan penyebab terpecahnya umat, di antaranya terpecahnya atau kurang silaturahmi-nya antarulama (atau ustadz).

Menurut saya, kini akan lebih elok jika seorang ustadz berkata di depan pendengarnya tentang kelebihan (kebaikan) ustadz lain daripada membicarakan kekurangan (kesalahan) mereka. Jika hal ini dilakukan umat tidak akan bingung dalam mencari ilmu kepada setiap ustadz yang dianggap layak diambil ilmunya. Kini pun saya merindukan para ustadz sebulan sekali berkumpul di satu forum untuk diskusi atau belajar bareng. Misalnya, bulan pertama berkumpul di seorang ustadz yang ahli di bidang tafsir atau hadits, bulan berikutnya di tempat ustadz yang ahli di bidang bahasa Arab, teknologi, dan lain-lain. Saya setuju pendapat Astri Ivo yang mengatakan keteladanan lebih bernilai dari 1000 nasihat.

Oleh karena itu selayaknya para ustadz jangan hanya meminta umat untuk mengaji, tetapi para ustadz juga harus terus belajar agar ilmunya semakin bertambah. Bukankah, mencari ilmu itu wajib sejak lahir sampai meninggal dunia?

AHMAD DIMYATI,
Pemimpin Majelis Ilmu dan Pengusaha Kecil Bandung

Filsafat

Gen Yahudi dan Co-Creator
Oleh AHMAD SAHIDIN


Alhamdulillah, Jumat pagi kemarin saya bisa mendapatkan pencerahan dari seorang penulis dan saintis Dr. Tauhid Nur Azhar. Bapak tiga putra ini datang ke kantor dengan gaya dan ke-khas-an yang tetap melekat padanya. Sosok yang berperawakan tinggi dan full senyum itu langsung naik ke lantai dua, bersalaman, dan duduk di kursi meja rapat tempat kami berkumpul.

Salah seorang teman saya, yang kini menempati jabatan cukup strategis dalam penerbit tempat saya bekerja ini, langsung menyambut dan memberikan informasi tentang maksud dihadirkannya Dr.Tauhid NA dalam acara koordinasi pekanan kali ini. Setelah dibacakan profil Dr.Tauhid NA, dimulailah “ceramah” yang mencerahkan itu.

Seperti biasa, Dr.Tauhid mengawali pembicaraannya itu tidak lepas dengan humor-humor. Awalnya ia memaparkan tentang hijrah dan makna-maknanya, termasuk hijrah dalam konteks “gen” manusia dan gen Yahudi.

Menurutnya, gen itu merupakan potensi (dasar) manusia yang sudah tertanam bersamaan dengan lahirnya manusia ke alam dunia. Tiap bayi yang lahir pasi memiliki gen (asli) yang, seiring dengan perkembangan tubuh dan otaknya, mengalami perubahan hingga mengerucut pada salah salah satu “gen” yang ada dalam diri manusia.

“Manusia memiliki gen yang bermacam-macam. Ada gen yang bisa berkembang menjadi orang baik dan juga terdapat potensi yang dapat menjadikan diri manusia itu zalim atau berakhlak buruk. Seperti Yahudi, hakikatnya bukan bangsa, tapi gen atau sifat dasar manusia terburuk yang ada pada manusia. Sehingga karakter culas, tidak menepati janji, anti kemanusiaan, licik, bisa pula melekat pada diri kita. Jika kita berperilaku itu, ya berarti bisa disebut Yahudi,” paparnya.

Bila diri kita tidak ingin seperti Yahudi, lanjutnya, maka energi negatif berupa sifat-sifat buruk dalam diri manusia itu harus dikendalikan (manage) dengan energi positif kita sehingga menghasilkan energi suportif. Misalnya tentang kemalasan, yang biasanya menjadi karakter yang sulit dilepaskan dari manusia, bila terus dipacu dengan motivasi yang baik bisa berubah menjadi rajin.

“Tanaman yang kurang perhatian manusia atau hanya dipupuk saja, hasilnya beda dengan yang tanaman yang dipupuk dan diberi sentuhan kasih sayang atau perhatian manusia. Pasti lebih segar dan tumbuhnya bagus ketimbang yang tidak diperhatikan,” katanya.

Karena itu, menurutnya, seorang manusia (Muslim) haruslah melakukan hijrah agar kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Yakni dengan mengenali hakikat diri dan hal-hal di luar diri, sehingga dalam proses berjalannya bisa lebih baik dan dapat terdeteksi ke ara mana langkah kita. Menuju ke arah yang membinasakan atau justru yang melejitkan diri kita menjadi manusia yang berprestasi. Untuk meraih itu, manusia tidak boleh tetap bersikukuh memegang pemahaman lama, tapi harus mencoba menghasilkan sesuatu yang baru dengan senantiasa pro-aktif.

Paradigma “jemput bola” atau pro-aktif ini oleh Dr.Tauhid disebut dengan istilah co-creator. Ia mendefinisikannya sebagai “metode” gabungan antara realitas (kondisi riil) dengan cita-cita (hasrat) dalam rangka menghasilkan kesimpulan atau keputusan sehingga dari sana bisa menghasilkan produk. “Sudah bukan zamannya lagi kita memaksakan bacaan atau buku kepada orang agar dibeli atau dinilai berguna. Karena tiap orang kebutuhan bacanya beda, jadi tak bisa dipaksakan. Karena itu sebaiknya penerbit coba menggunakan metdode co-creator dalam menghasilkan buku bacaan. Yakni dengan melakukan riset kebutuhan pasar dan dari fakta itu redaksi bisa memulai bekerja,” kata doktor lulusan Universitas Sains Malaysia ini.

Sebenarnya, banyak point-point penting dikemukakan oleh Dr.Tauhid NA, termasuk tentang buku terbarunya tentang “DNA Rasulullah saw” yang akan diterbitkan Penerbit Salamadani pertengahan tahun ini. Buku Dr.Tauhid NA yang telah diterbitkan Salamadani adalah “Love for All”, “Haram Bikin Seram”, ”Ajaib bin Aneh”, ”Simbol-simbol Shalat”, “Berkawan dengan Malaikat Maut”, “Gelegar Otak”, dan “Jejak Kuliner”.

Meskipun dari judul-judulnya tampak sederhana, tapi isinya masih tidak bisa lepas dari nuansa sains (ilmiah). Bahkan, dalam ceramah atau diskusi yang sempat saya hadiri, meskipun tema acara itu membahas philanthropy, tetap saja ada nuansa sainstis. Mungkin sudah menjadi icon dari sosok Dr.Tauhid NA. Karena bernuansa sains, bagi pembaca seperti saya yang kurang memahami dunia sains menjadi sebuah wawasan baru; pencerahan yang menyadarkan tentang pentingnya memahami persoalan dari berbagai perspektif.

Kembali ke wacana co-creator. Gagasan tentang co-creator yang dikemukakan Dr.Tauhid NA bukan hal yang baru dalam khazanah filsafat Islam. Sebut saja penyair dan filsuf Muslim modern Muhammad Iqbal. Dalam pemikiran filsafat manusia, Iqbal menjelaskan tentang co-creator. Menurutnya, manusia dalam mengembangkan jati diri (insaniyah) yang berperan sebagai khalifatullah sebenarnya adalah co-creator yang memiliki potensi sama dengan yang dilakukan Tuhan. Namun bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan Tuhan. Tapi hanya berperan sebagai pengembang dari ciptaan Tuhan. Contohnya tentang kelahiran manusia baru. Kelahiran bayi (manusia baru) bisa terjadi bila ada hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Aktivitas seks yang hingga membuat hamil istri dan kemudian lahirlah manusia baru ke dunia ini—dalam konsep penciptaan—bisa disebut co-creator; yang maknanya bahwa manusia itu memiliki sifat Creator Tuhan dalam menghasilkan manusia baru.

Mengapa bisa terjadi? Bukankah banyak pasangan suami-istri yang bertahun-tahun menikah tapi belum dikaruniai anak? Jawabannya: belum ada kesatuan kehendak dengan Tuhan. Meskipun manusia bermohon-mohon, bila tidak ada kehendak dari Tuhan tidaklah terjadi. Jadi, konsep co-creator bisa terwujud bila ada kesatuan kehendak: antara keinginan manusia dan keridhaan Ilahi. Sehingga wajar bila umat Islam oleh Rasulullah saw diperintah untuk selalu mendekatkan diri dengan Allah; karena Dia merupakan sumber dari terjadinya alam semesta dan kehidupan manusia. Dia merupakan wujud asal dari semua wujud yang tanpak di alam semesta ini; Dia yang menjadikan segalanya tercipta dan terjadi hanya dengan Kun faya kun.

Gagasan tentang co-creator ini dalam wacana filsafat kontemporer mengalami perkembangan yang mulai mengerucut ke arah filsafat integralisme; yang mencoba menyatukan pengetahuan atau disiplin ilmu-ilmu dalam satu paradigma universal. Di negeri kita, gagasan integralisme ini telah diawali oleh Armahedi Mazhar—guru besar ilmu fisika ITB—yang menulis buku “Filsafat Integralisme” (yang diterbitkan oleh Pustaka ITB dan edisi revisi oleh Mizan); Husein Heriyanto—dosen UI Jakarta—yang menulis buku “Paradigma Holistik” (diterbitkan oleh Teraju); dan pakar filsafat Islam Dr.Mulyadi Kartanegara yang menulis buku “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik” (diterbitkan oleh Mizan). Dalam buku yang terakhir ini, diulas tentang landasan-landasan untuk menyatukan kembali khazanah ilmu-ilmu agama dan sekular (umum); dengan merujuk klasifikasi ilmu-ilmu dari para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Mulla Shadra, dan lainnya. Dan kabarnya, wacana tersebut kini menjadi salah satu disiplin (ilmu) yang diajarkan di pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

AHMAD SAHIDIN, alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Friday, January 16, 2009

Islam

Islam Bukan Arabisme
Oleh AHMAD SAHIDIN

KONON ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya dipakai kembali di masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuh. Secara logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah berbeda dengan ukuran tubuhnya. Jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu kekecilan. Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya satu pilihan: membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan desain (pola) yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.

Ini hanya ilustrasi yang saya kaitkan dengan persoalan Islam di masa sekarang, terutama masalah penerapan syariat Islam yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan beberapa harakah di negeri ini. Kita sebagai Muslim dianjurkan untuk berdialog dengan penuh kearifan (hikmah) atau bijaksana. Maka atas dasar itulah tulisan ini dihadirkan.

Untuk mengawalinya, saya berpijak pada persoalan sumber utama Islam yaitu Al-Quran (wahyu) terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik pokok berbagai pesoalan Islam muncul di masa sekarang ini adalah disebabkan kurangnya pemahaman terhadap kalamullah yang sesuai dengan hakikatnya.
 
Saya sebagai orang awam beranggapan, wahyu atau kalamullah adalah pedoman sekaligus perangkat dalam menjalankan kehidupan bagi manusia agar teratur dan sejahtera di dunia dan akhirat. Al-Quran saat diturunkan dari “langit” tidak serta merta semuanya, tetapi bertahap. Kenapa? Karena ia adalah petunjuk, pedoman dan aturan yang turun atas respon realitas sosial-kultur-geografis atau melihat jiwa zaman masyarakat waktu itu. Al-Quran juga saya maknai sebagai arahan dan bimbingan hidup yang mesti dilekatkan, layaknya baju sebagai pelindung dari serangan alam dan untuk memperindah bentuk tubuh; atau dalam bahasa agama: untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang a-moral, a-susila, dehumanis dan sebagainya. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa sebaik-baiknya baju adalah takwa. Artinya, memahami dan menjalankan hidup ini harus berlandaskan nilai-nilai yang mendekatkan dan menambah keimanan atau ketakwaan kepada Allah. 

Kontek sosio-historis dalam turunnya wahyu senantiasa tidak lepas. Sebagai contoh ayat tentang khamr. Masyarakat Arab pada masa lahirnya Islam dikenal gandrung dengan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Meminum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang digandrungi saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan “ketidaksadaran” sang peminum yang kemudian berani berbuat dan bertindak yang tidak semestinya, maka turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Allah melalui utusan-Nya (Rasulullah saw) yang menceritakan bahaya khamr dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman yang memabukkan tersebut. 

Sama halnya dengan adanya aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Turunnya aturan tersebut menurut mufasir Ibn Katsir dan Imam Zarkasyi, bahwa perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya, bahkan mereka senang menjulurkan kain ke belakang—mungkin yang sedang ngetrend—hingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi nafsu birahinya. 

Menurutnya, model pakaian seperti ini dipakai perempuan elit bangsa Arab dan model ini bisa memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Bahkan, para perempuan Arab menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil membunuh Muhammad bin Abdullah, yang dianggapnya merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu. Itu sebabnya Allah menurunkan surat An-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudungnya ke bagian kantong-kantong dada perempuan Muslim—khususnya istri-istri Nabi—sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model dan jenis busananya (lihat QS. Al-Ahzab: 59). Dan yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Maka atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti muslimah Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwatnya dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.  

Bila dilihat lebih dalam lagi, persoalan tersebut berkaitan dengan konstruksi budaya pathrialkal yang mendominasi. Misalnya, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw merasa malu ketika memiliki anak perempuan, hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, atau kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima`) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas (selevel) ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “Hu”, “Lahu”, “Al -Lahu”, “Huwa” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.

Fenomena itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh Masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah. Bukankah Islam itu bersifat menyeluruh dan universal? Setiap Muslim pasti mengakuinya bahwa Islam bukan Arabisme. Wallahu`alam bi ash-shawab.

AHMAD SAHIDIN, alumni jurusan sejarah dan peradaban Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sunday, November 16, 2008

Berjuang

Pejuang adalah yang Berjuang Terus!
Oleh Sukron Abdilah

Pada konteks kekinian, bangsa memerlukan generasi yang melawan penjajahan laten; baik di aras sosial, politik, budaya, terutama ekonomi. Sebab, musuh utama yang mesti dilawan dan dihancurkan, setelah diraihnya kemerdekaan tahun 1945, adalah kemiskinan struktural yang bisa memengaruhi iklim sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa Indonesia di tiap daerah. Setelah kita merdeka dari penjajahan Belanda, lantas siapa dan apa yang mesti kita usir dari bumi tercinta ini?

Adalah soal kemiskinan, pengangguran, perilaku politik amoral, konflik horizontal, trafficking, dan ketakmandirian ekonomi bangsalah, yang harus diusir para pejuang hari ini. Penjajahan yang mengerangkeng kebebasan bangsa, menuntut kehadiran pejuang dari pelbagai elemen bangsa yang tercerahkan. Dan, mereka memiliki kesadaran atas realitas, yang dihuni keberbagaian soal hidup, yang akan mengangkat harkat, martabat dan derajat bangsa ke arah kemandirian.



Dalam bahasa lain, bangsa sangat memerlukan kehadiran generasi yang sadar atas peran dan fungsi kemanusiaannya, agar rakyat bisa bernafas lega menghirup udara kesejahteraan yang didambakan. Sebab, kesejahteraan adalah hak dan impian setiap warga masyarakat di daerah manapun. Maka, menggapai kesejahteraan merupakan jalan utama rehumanisasi bangsa yang telah diintimidasi dan dijajah kaum pribumi sendiri (baca: pejabat korup). Oleh karena itu, usaha membebaskan keterbudakan jiwa warga masyarakat adalah inti perjuangan dari pejuang hari ini, yang eksistensinya kian tergerus ke arah sikap hidup individualistik, nihil empatik, dan tidak berhasrat heroik-patriotik.

Kepahlawanan hari ini

Geliat kepahlawanan dalam bidang sosial kemasyarakatan di Indonesia dapat kita bagi jadi beberapa program kerja kemanusiaan, seperti perbaikan aspek sosial-ekonomi, kesehatan dan pendidikan rakyat. Untuk bidang perekonomian, misalnya, kita dapat menghidupkan kembali usaha kecil menengah dengan memberikan modal pinjaman yang tidak membebani agar pengusaha kecil dapat mulai menjalankan roda perusahaan sehingga bisa menyerap tenaga kerja dari lingkungan sekitar.

Kemudian, di bidang kesehatan adalah mendirikan pusat pelayanan publik yang mudah diakses warga desa terisolir, misalnya, hingga langkah penanggulangan persebaran terganggunya kesehatan warga (flu burung, gizi buruk, demam berdarah, dsb) bisa berjalan sesuai harapan. Jangan terjadi seorang penduduk di salah satu desa harus berjalan ratusan kilo meter hanya untuk memeriksakan kesehatan disebabkan akses pelayanan publik seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di daerahnya sangat langka.

Sementara itu, pada aspek pendidikan persoalan yang mendesak diperhatikan kini adalah merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, memerhatikan kesejahteraan guru, memurahkan (atau menggratiskan) buku pelajaran, dan menciptakan kurikulum multikultural hingga ke depan arah hidup siswa-siswinya mewujud dalam sikap dan laku tolerantif, integratif dan konstruktif-transformatif. Itulah yang harus dilakukan oleh pahlawan hari ini, yang dijabarkan melalui proses memanusiawikan rakyat seperti di atas sebagai tugas paling mendasar kaum muda di bumi nusantara ini.

Berjuang bersama

Apabila ada orang yang bisa menanggulangi soal-soal di atas, mereka layak dikategorikan sebagai pejuang sosial karena mampu membebaskan warga dari aneka kolonialisasi laten berupa kesenjangan sosial (seperti kemiskinan struktural) yang acapkali rawan mengundang terjadinya konflik. Jika ditilik secara seksama, kita sangat memerlukan kehadiran pejuang sosial yang mampu menghapus penjajahan dan perbudakan yang dilakukan bangsa sendiri dan oleh bangsa luar yang menghisap kekayaan di tiap daerah dengan mendirikan korporasi yang tidak adil pembagian.

Apalagi jika kondisi sosial perekonomian "amburadul", laku lampah elit birokrasi yang dijibuni motif kolusif-koruptif, dan permasalahan degradasi di ranah pendidikan, kesehatan dan ekonomi melingkari hidup warga. Boleh jadi, hadirnya pejuang yang berjuang terus mutlak kehadirannya. Jika melihat penduduknya yang berjumlah dua ratus juta jiwa lebih, tidak punya rasa malu saya kira kalau di bumi pertiwi ini tidak ada orang-orang yang peka terhadap kondisi bangsa. Sebab, kita tidak seperti homo homini lupus!

Di dalam novel bertajuk Aku Pangeran Dipanegara (1967), dijelaskan bagaimana Pangeran Dipanegara alias Antawirya atau Syech Ngabdulrahim, seorang anak bangsa yang berjiwa patriotis-religius melakukan sebuah perlawanan karena ia membenci segala bentuk penjajahan bangsa Belanda dan sekutunya. Beliau berusaha mempersatukan rakyat dalam sebuah kekuatan dahsyat untuk membuat jera kaum penjajah, agar mereka (penjajah) meninggalkan bumi pertiwi.

Oleh karena itu, terus memacu diri untuk mengeluarkan bangsa dari aneka penjajahan laten adalah keniscayaan. Perlawanan yang dilakukan juga mestinya menampakkan kearifan (hikmat) dan kebijaksanaan, sebagai pertanda bahwa kita bangsa yang beradab, yaitu dengan cara memenuhi kesejahteraan rakyat. Sebab, musuh bersama yang harus diusir dari Negara Indonesia saat ini adalah soal ketidaksejateraan, akibat minimnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Ketika seluruh rakyat bersatu padu, maka muncul kekuatan menentang penindasan dan penjajahan bangsa asing. Mereka bersatu dan bekerjasama melawan kesemena-menaan yang dilakukan penjajah sebagai modal kolektif yang berakar kuat dalam jiwa pejuang dulu. Mereka bertekad, kami harus merdeka dari segala bentuk penjajahan bangsa luar yang eksploitatif, manifulatif, dan destruktif. Itulah seharusnya semangat yang terpateri dalam diri kaum muda, yang kini tengah sibuk bergelut dan bergulat di dunia politik praktis untuk melakukan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Wallahua'lam

SUKRON ABDILAH, Penulis Lepas, Bergiat di Tepas Institute.

Duit

Cerpen Badru Tamam Mifka
Nyiar Duit

Zaman kiwari mah neangan duit teh hese kacida. Komo deui ayeuna mah harga-harga kabutuhan sapopoe ge geus mahal tur mahiwal. Putat-petot aprak-aprakan sapoe jeput nyiar napkah, hasilna mah sakali beak sapoe ge. Kabeh jalma geus lieur ku duit. Lieur ngalana, bingung pareng rek dibalanjakeunna, basa kerenna mah dilema. Kateuing ari jalma beunghar jiga artis atawa pajabat nu loba duit mah, meureun ngaluarkeun duit teh asa ngaluarkeun hitut.

Isuk-isuk keneh kuring rek mangkat ka Cileunyi, dititah ku babaturan kuli ngarombak imah Haji Junedi. Karasa hoream uncag-incig teh dalah ongkos angkot ge ayeuna mah pikasieuneun. Tisaprak harga BBM naek, ongkos angkot milu naek. Kahayang mah leumpang, tapi era ku tukang batagor. Kapaksa we nyokel celengan si Teteh. Mun pareng nempo kuring nyokelan celengan teh, pamajikan mah sok gogodeg bari nyeungseurikeun.

Geus jarang ayeuna mah nu numpak angkot teh. Lolobanamah ngabelaan pasedek-sedek naek beus DAMRI, cenah ongkosna kaitung murah. Nyaan pisan ongkos DAMRI leuwih murah pisan batan angkot. Ti Tanjungsari ka Kebon Kalapa ge ukur mayar 4000. Mun angkot mah 4000 teh ukur nepi ka Cileunyi. Loba jalma nu rek ka Jatinangor atawa ka Cileunyi, malahan milih naek DAMRI, mayar sarebu ge ditarima cenah.

Tapi poe ieu kuring milih naek angkot. Sirah keur jangar kieu mah teu sudi teuing pasedek-sedek nangtung dina DAMRI, kuring mah sok kapiuhan.

“Tiiseun kieu Kang, angkot teh?” cekeng teh ka supir

“Ah, kieu we upami enjing-enjing dugi ka siang mah, Kang, tiiseun. Leuheung siang mah aya bubaran barudak sakola, janten teu ngahelas teuing.”

“Tuh, tingali Kang, DAMRI mah marema nya.”

“Muhun, beus badag nurustunjung, ngarebut panumpang. Rek ka Cileunyi nu deukeut ge diangkut si bangkawarah teh.” Ceuk supir bari nyiduh kaluar. Kuring ukur seuri ngadanguna. Singhoreng ayeuna mah DAMRI jeung angkot teh keur mumusuhan.

Jalma pantaran kuring mah nyiar duit teh kudu bolokot heula jeung kesang, malahan geutih. Sirah jadi hulu, hulu jadi sirah. Najan hasil nu katarima teu sapira, tapi hatur lumayan keur kabutuhan sapopoe mah. Kitu we, basana mah gali lobang tutup lobang. Tapi kuring mah bagja boga pamajikan daek sabar diajak sangsara ge. Atuh nahas mun urang boga pamajikan teu sabaran, sing pareng dibere beunghar ge, bakal riweuh jauh ti kabagjaan. Jalma pantaran kuring mah nyiar duit teh kudu daek papanasan kawas kieu. Tapi teu karasa gawe di imah Haji Junedi teh geus tereh beres deui. Atuh da digeder ti isuk, komo dibantuan ku nu lian mah, pagawean teh gancang beres. Haji Junedi atoh nempo hasil gawe kuring jeung nu sejenna. Karasa, jalma beunghar kawas Haji Junedi mah teu koret ka jalma kuli jiga kuring teh. Manehna nyuguhan, ngajak dahar bareng, tuluy teu asa-asa mere buruh. Kuring moal cangcaya, manehna pasti abus surga. Ti kajauhan kadangu sora adan asar. Kuring geuwat milu mandi di imah Haji Junedi. Awak karasa genah dipake solat ge. Nuhun, Gusti…

—oOo—

Najan geus asup sore, tapi hawa masih keneh karasa bayeungyang. Angkot ka sorenakeun mah katempo marema, komo deui beus DAMRI nepika dengdek-dengdek wae bakating ku pinuh. Sore mah geus loba nu mulang gawe.

Di jero angkot, awak karasa mingkin hareudang, lantaran panumpang ngabelaan nangkel di lawang panto ngahalangan angin. Di jero bujur geus silih geol, karasa panas. Najan kasiksa ku hareudang, tapi teu ambek da kuring di jero ngabaur jeung panumpang awewe, teu jangar teuing. Sok atoh mun aya nu turun, bujur bisa usik lega. Komo ayeuna mah nu narangkel teh geus tarurun palebah Cikuda ge. Hiji dua panumpang mulai turun. Di pengkolan Ciromed, turun pamuda jabrig. Sor ngasongkeun duit, teuing sabaraha.

“Timana, Jang?”

“Ti Jatinangor.”

“Kurang lima ratus.”

“Ah, biasana ge mayar sakitu.”

“Beda ayeuna mah, bengsinna ge geus mahal.”

“Sayah mah mahasiswa, mayarna murah!”

“Rek mahasiswa, rek presiden ge mayar mah sarua!”

“Na ari maneh sok maksa!” ceuk si pamuda bari nakol kaca spion mobil.

“Gelo siah, mahasiwa sangsara! Kalahka rek ngarusak mobil. Gelut siah jeung aing!”

“Sok kadieu turun wani mah, pehul!”

Supir turun, si mahasiswa kekerot. Silih haok, silih suntrung. Antukna mah silih cabok, buk-bek silih teunggeul di sisi jalan. Kabeh panumpang awewe di jero angkot jejeritan. Awewe mah sok riweuh, nonton gelut jeung nonton mengbal teh sarua wae, jejeritan teu puguh. Nyaan awewe mah, jiga nu gelut teh kabogohna wae.

Nempo dua jalma masih buk-bek gelut teh, kuring geuwat turun, niat rek misah. Orokaya nu gelut geus teu bisa dipisah. Crot geutih kaluar tina irung supir. Cer irung si mahasiwa ge sarua ngucur geutih. Pokona mah cur-cor pikasieuneun. Untung pisan ti kajauhan katempo loba jalma lalumpatan milu rek misah. Nu duaan teh pada nyarekelan, pada misah.

“Sok wani mah siah tuluykeun, sirah bihun!”

“Sok siah gelo, haramjadol Beuteung kardus!”

Duh, Gusti, pira oge duit lima ratus, nepika pasea kitu…

—oOo—

Imah kontrakkan kuring karasa tiiseun. Kuring keketeyepan abus ka jero. Lalaunan kuring ngelol ka kamar pamajikan. Katempo manehna keur anteng maca majalah. Kuring ngadehem, tuluy nanya.

“Nuju naon, Teh?” nu ditanya teu ngalieuk. Kuring ngadehem deui, tapi pamajikan jiga nu embung ngalieuk. Teu sasarina kitu. Lalaunan kuring nyampeurkeun manehna. Katempo manehna baeud. Kuring hemeng nempona.

“Teteh kunaon baeud?” cekeng teh semu ngaheureuyan. Nu ditanya kalahka malik nonggongan.

“Raray Teteh janten awon pami nuju baeud mah nya…” kuring ngaheureuyan deui. Nu diheureuyan kalahka malik molotot. Duh, Gusti, panonna meni endah.

“Aa tadi nyandak artos sabaraha tina celengan?” pamajikan nanya semu ambek.

“Salapan rebu, naon kitu?”

“Tadi Teteh uih ti bumi Bi Nuni, naek ojeg kirang artosna, kirang sarebu, jadi isin. Sugan teh ongkos teu acan naek. Bade nyokel celengan artosna tos ku Aa seep.” Ceuk pamajikan bari baeud. Kuring teu kuat nahan seuri ngadanguna.

“Ih, Teteh, da artos mah teu dicandak sadayana. Aya disesakeun.”

“Disesakeun naon, dina celengan mung aya 200 perak.” Tembal pamajikan bari malik nonggongan. Kuring seuri ngabarakatak.

“Oh, saminggu nyengclengan geuning ngan aya salapan rebu dua ratus! Sugan teh sajuta nya, Teh.” Ceuk kuring bari seuri akey-akeyan. Pamajikan katempona baeud keneh, bari ngegelan biwirna nu semu beureum.

“Nya atos atuh, iraha-iraha dilebetan deui ku Aa…” cekeng teh. Kuring ngahaja heheotan, pamajikan beuki kesel ka kuring.

“Duh, hanjakal Teteh nuju baeud, nuju bendu, tadina mah bade diajak ngabaso di Mang Endun.” Ceuk kuring bari api-api rek ngaleos. Kareret pamajikan malik curinghak, tuluy nyampeurkeun kuring.

“Aa tadi janten damel di bumi Pa Haji? Langsung dipasihan artos? Sabaraha?” pamajikan merekpek nanya. Kuring teu ngajawab, kalahka ngahaja heheotan.

“Aa bade langsung ka Mang Endun, atanapi bade bobo heula?” pamajikan nanya bari semu ngagoda. Leungeunna nangkeup cangkeng.

“Bade bobo heula ah…” cekeng teh.

“Hayu atuh!”

Kuring jeung pamajikan muru kasur, goledag bareng gogoleran. Tuluy kuring sare nonggongan pamajikan, api-api kerek.

“Geuning Aa mah kalahka bade bobo kitu.”

“Ih, tadi kan Teteh ngajak bobo heula…”

“Sanes bobo kitu atuh…”

“Har, bobo kumaha deui atuh?”

Nu ditanya kalahka imut eraeun. Tuluy pamajikan nangkeup bari ngome kancing baju kuring, semu nu ogo.

“Tapi artosna mung saalit, Teh…”

“Wios…” tembal pamajikan ogo bari imut ngagelenyu.

Ah, najan ukur hasil duit saeutik, tapi karasa bagja mun pamajikan beunghar ku imut, bageur, sabar, ogo… Karasa bagja, Gusti…


Sumedang, Juli 2008

Plural

Apakah pluralisme menghalangi diskusi dan kritik?
Oleh Ulin Abshar Abdallah

JIKA anda seorang demokrat, liberal dan pluralis yang menenggang perbedaan, kenapa anda mengkritik pandangan orang-orang yang berbeda dengan anda? Kenapa anda tidak membiarkan saja pandangan itu? Jika anda mengkritik yang bersangkutan, maka anda pada akhirnya bukan sorang pluralis tulen yang toleran.

Ini komentar yang kerap saya peroleh saat saya melakukan kritik keras terhadap ideologi, doktrin dan pandangan kaum Islam fundamentalis dan radikal. Jika saya benar-benar seorang Muslim liberal yang menganjurkan penghargaan atas keragaman pendapat dalam tubuh umat Islam, kenapa saya justru mengkritik pendapat kelompok-kelompok yang berbeda dengan saya? Bukankah sikap semacam itu mengandung kontradiksi? Bukankah itu sebentuk hipokrisi dan standar-ganda?

Di permukaan, pandangan semacam ini seolah-olah benar, tetapi jika kita telaah dengan cermat, sebetulnya hanyalah akibat dari salah paham tentang makna dari pluralisme, demokrasi, liberalisme, dan konsep-konsep lain yang sepadan.

Pluralisme adalah sebuah ide yang tak bisa dipisahkan dari gagasan dasar demokrasi. Semangat pokok dalam demokrasi adalah bahwa setiap individu dan kelompok diberikan hak penuh untuk berpendapat sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, dalam setiap negara demokrasi, selalu kita jumpai jaminan atas kebebasan berpendapat.

Tak seorang pun boleh diberangus pendapatnya hanya karena pendapatnya itu berlawanan dengan seorang penguasa, entah penguasa politik atau penguasa agama. Keragaman pendapat juga harus dihormati. Tidak mungkin memaksakan pendapat yang sama kepada semua individu dan golongan. Hanya pemerintah totaliter dan otoriter saja yang memaksakan ‘monotoni’ atau kesamaan suara dan pendapat. Inilah keadaan yang pernah kita alami dulu pada zaman Orde Baru.

Tetapi, menghargai pendapat pihak lain bukan berarti menghentikan sama sekali kritik dan invesitigasi atas pendapat itu. Dalam demokrasi, selain jaminan atas kebebasan menyampaikan pendapat, juga terdapat jaminan pula untuk mengkritik pendapat tersebut. Ini yang kita lihat dalam praktek demokrasi di mana-mana: semua pihak memperoleh jaminan untuk menyampaikan pandangan, sekaligus juga mengkritik pandangan pihak lain yang berbeda. Dari sanalah lahir debat publik untuk menguji ide-ide tertentu.

Jika menghargai pendapat orang lain berarti larangan atas kritik, maka sistem demokrasi kehilangan alasan mendasar untuk ada. Demokrasi menjadi relevan justru karena memungkinkan terjadinya debat publik. Suatu masalah diselesaikan melalui apa yang disebut dengan “deliberasi publik”, bukan dengan kekerasan fisik.

Meskipun seseorang boleh mengkritik pendapat orang lain yang berbeda, tetapi ia tak bisa meniadakan hak orang lain itu. Sebagai seorang demokrat yang pluralis, saya membela hak semua orang dan golongan untuk berpendapat, tetapi saya juga memiliki hak untuk mengemukakan pandangan saya sendiri, termasuk pandangan yang mengkritik posisi pihak lain yang berbeda itu. Kritik saya atas pihak lain bukan berarti mengingkari haknya untuk ada dan untuk berpendapat.

Umat Islam, saya kira, sudah selayaknya membiasakan diri dalam kultur demokrasi semacam ini, yakni kultur di mana perbedaan dimungkinkan, perdebatan dibuka, setiap pihak diberikan kemungkinan untuk berpendapat, mengkritik dan mengkritik balik. Menyelesaikan masalah dengan kekerasan hanya akan menyemaikan kekerasan baru yang tak ada ujungnya. Jalan satu-satunya untuk mengatasi kekerasan bukan dengan kekerasan lain, tetapi dengan tukar pikiran, kritik dan kritik-balik, dialog, percakapan kritis, dst. Itulah jalan demokrasi, itulah jalan pluralisme.

Perbedaan mendasar antara seorang Muslim pluralis dengan non-pruralis adalah dalam hal berikut ini. Seorang Muslim pluralis bisa saja mengkritik pandangan individu dan kelompok lain. Dia bisa setuju dan tak setuju dengan pihak-pihak yang berbeda, tetapi dia tak akan menghalangi orang itu untuk berpendapat sesuai dengan keyakinan hatinya. Seorang pluralis membedakan dengan tegas antara hak berpendapat yang harus dijamin untuk siapapun, dan hak untuk mengkritik pendapat itu. Mengkritik suatu pendapat tidak sama dengan menghilangkan hak orang lain untuk berpendapat.

Seorang non-pluralis, pada umumnya, cenderung untuk menghilangkan hak orang lain untuk berbeda. Sorang pluralis dan non-pluralis mempunyai kesamaan dalam satu hal: dua-duanya berpendapat dan mengkritik orang lain. Tetapi mereka berpisah-jalan dalam satu hal: jika seorang pluralis berpendapat dan mengkritik seraya menghormati hak pihak lain yang dikritiknya itu, maka seorang non-pluralis berpendapat dan mengkritik seraya hendak memberangus pendapat yang berbeda, terutama pendapat yang ia anggap sesat dan belawanan dengan doktrin yang ia yakini.

Kasus kongkrit yang bisa menjadi contoh yang sangat baik adalah masalah Ahmadiyah beberapa waktu yang lalu. Sebagai seorang pluralis, saya, misalnya, membela hak-hak orang Ahmadiyah untuk melaksanakan keyakinannya, meskipun saya tak sepakat dalam beberapa hal dengan keyakinan mereka itu. Kelompok non-pluralis seperti MUI tidak saja berbeda pendapat dengan Ahmadiyah, tetapi hendak menghilangkan hak orang Ahmadiyah untuk ada dan melaksanakan keyakinannya.

Argumen yang selalu diulang-ulang oleh kalangan konservatif seperti MUI adalah bahwa masalah Ahmadiyah bukan lagi menyangkut kebebasan beragama, tetapi penghinaan dan penodaan agama. Argumen semacam ini jelas tak berdasar.

Jika keyakinan kelompok Ahmadiyah dianggap sebagai penodaan atas Islam, kenapa MUI tidak sekalian menganggap keyakinan umat Kristen sebagai penodaan pula? Bukankah dalam Quran dengan tegas dinyatakan bahwa orang-orang yang meyakini doktrin trinitas adalah kafir (QS 5:73)? Kenapa doktrin trinitas tidak dilarang sekalian oleh pemerintah melalui SKB pula? Bukankah menganggap adanya tiga Tuhan bisa dianggap sebagai penodaan dalam perspektif teologi Islam?

Jawaban yang akan dikemukakan oleh kalangan konservatif sudah bisa diduga: Kristen adalah agama lain di luar Islam, jadi mereka berhak memiliki doktrin dan keyakinan apapun, dan umat Islam tidak berhak mencampuri doktrin mereka. Sementara Ahmadiyah adalah berada dalam tubuh umat Islam sendiri, sehingga mereka harus “ditertibkan”.

Jawaban semacam ini mengandaikan seolah-olah bahwa penodaan agama diperbolehkan jika berasal dari agama lain, bukan dari agama yang sama. Secara kategoris, keyakinan golongan Ahmadiyah tentang adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad jauh lebih ringan tinimbang keyakinan tentang trinitas.

Jika keyakinan pertama dianggap sebagai penodaan atas doktrin Islam, dan karena itu harus dilarang untuk disebarkan di masyarakat seperti kita baca dalam SKB itu, maka keyakinan kedua (yakni trinitas) dengan sendirinya juga harus dianggap penodaan pula, dan harus dilarang untuk disebarkan di masyarakat. Jika sesuatu dianggap noda, ia tetap merupakan noda, tak peduli dari manapun sumbernya.

Dengan mengatakan ini, saya tidak berarti ingin menganjurkan agar Kristen dilarang di Indonesia, tetapi saya hanya mau menguji konsistensi argumen yang dikemukakan oleh MUI dan pendukung-pendukungnya.

Masalah Ahmadiyah jelas menyangkut kebebasan agama. Kebebasan beragama bukan saja sebatas “kebebasan eksternal“, yaitu orang-orang bebas memeluk agama-agama yang berbeda, tetapi juga “kebebasan internal“. Apa yang saya sebut sebagai kebebasan internal adalah seseorang bebas memeluk dan mengikuti aliran, mazhab dan kecenderungan pemikiran yang berbeda-beda yang ada dalam agama yang sama.

Selain seseorang bebas untuk memeluk Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ribuan keyakinan lokal yang bertebaran di seluruh bumi Indonesia, yang bersangkutan juga bebas memeluk aliran-aliran dan mazhab yang bermacam-macam dalam agama itu. Seorang yang memeluk Islam, dengan demikian, bebas pula memeluk aliran Sunni atau Syiah. Jika ia memeluk Sunni, ia juga bebas memeluk mazhab apapun dalam aliran Sunni, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Seorang yang memeluk mazhab-mazhab itu pun bebas pula mengitui pendekatan teoritik dan penafsiran tertentu dalam mazhab yang sama. Demikian seterusnya.

Begitu pula seseorang yang memeluk agama Kristen: ia bebas mengikuti denominasi apapun yang ada dalam agama itu, termasuk denominasi yang oleh kelompok lain dalam Kristen dianggap menyimpang dan sesat. Hal yang sama berlaku untuk agama-agama lain. Dalam setiap agama, selalu saja ada kelompok yang dianggap sesat. Itu kecenderungan yang berlaku umum di mana-mana.

Dengan demikian, keragaman bukan saja terjadi antar agama, tetapi juga intra-agama. Meskipun agama Protestan memang hanya ada satu, tetapi di sana terdapat berbagai macam sekte dan denominasi. Begitu pula hal yang sama terjadi dalam Islam. Memang Islam adalah agama yang satu, tetapi harus diakui dengan jujur di dalamnya terdapat banyak ragam aliran, mazhab, dan perspektif pemikiran. Oleh karena itu, kebebasan beragama berlaku baik antar-agama atau intra-agama.

Tugas negara buka mencampuri perbedaan itu dan ikut menyeleksi mana keyakinan yang dianggap benar dan mana yang sesat. Campur tangan semacam ini, per definisi, sudah berlawanan dengan watak negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang diikat oleh konstitusi yang menjamin hak-hak sipil, termasuk kebebasan keyakinan dan beragama.

Jika negara melarang kelompok Ahmadiyah karena ia memiliki keyakinan yang dianggap menodai ajaran Islam, bagaimana pula dengan keyakinan warga NU, misalnya, yang meyakini bahwa ziarah kubur adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Islam. Padahal keyakinan ini di mata kelompok lain dianggap sebagai syirik atau menyekutukan Tuhan — dosa terbesar dalam Islam yang tak bisa diampuni (QS 4:48). Apakah dengan demikian NU harus dilarang di Indonesia? Untung saja NU adalah ormas besar. Andaikan saja NU menjadi kelompok kecil di tengah lautan umat Islam lain yang kebetulan menganggap bahwa ziarah kubur adalah syirik, bukan mustahil ormas ini akan mengalami nasib serupa seperti Ahmadiyah.

Jika hal diteruskan, maka akan terjadi siklus pelarangan dan penyesatan yang tak ada hentinya. Akan terjadi pertengkaran dalam tubuh agama yang sama karena perbedaan doktrin dan penafsiran. Jika suatu kelompok dianggap sesat, biasanya akan diikuti dengan penghilangan hak dan penyingkiran kelompok itu. Sejarah Kristen Eropa menjelang abad reformasi di abad 16 sudah mengalami “pengalaman gelap” semacam ini. Mestinya umat Islam belajar dari sejarah persekusi agama yang berdarah-darah seperti di Eropa di masa lampau.

Jalan terbaik untuk mengatasi perbedaan ini tiada lain adalah mengubah cara pandang umat beragama. Yaitu dari cara pandang yang eksklusif menjadi pluralis.

Cara pandang pluralis tidak berarti bahwa anda harus sepakat dengan keyakinan dan mazhab pihak lain. Anda tetap bisa saja berkeyakinan bahwa kelompok tertentu sesat dalam perspektif doktrin yang anda anut; tetapi anda tetap menghargai hak kelompok yang anda anggap sesat itu untuk ada. Anda juga bisa melancarkan kritik atas doktrin kelompok tersebut, tetapi kritik anda tidak disertai dengan anjuran untuk menyingkirkan dan, apalagi, memberangus kelompok itu.

Ini adalah cara pandang seorang pluralis. Dengan kata lain, pluralisme sama sekali tidak menghentikan kritik dan diskusi. Jika saya mengkritik pendapat pihak lain, misalnya FPI, maka itu tidak berarti saya menghalangi pihak tersebut untuk ada dan menyampaikan pendapat yang berbeda.

Pandangan semacam ini, di mata saya, adalah yang paling masuk akal di tengah-tengah masyarakat yang beragam keyakinan, aliran dan mazhabnya. Mustahil kita memaksakan keseragaman pendapat dan keyakinan, baik antar atau intra-agama. Memaksakan keseragaman hanya akan berakhir pada persekusi dan pemberangunan keyakinan.

Pengalaman negeri-negeri totaliter dan otoriter di manapun sudah mengajarkan bahwa keseragaman yang dipaksakan, entah melalui kekuasaan politik, agama atau dua-duanya, hanya akan berakhir pada keruntuhan sistem itu sendiri. Setiap orang dan kelompok menginginkan kebebasan dan penghormatan atas keyakinan dan kepercayaan yang mereka peluk.

Sebagaimana air yang terus akan mencari celah untuk terus mengalir, walaupun dihambat atau terhambat oleh halangan-halangan tertentu, begitu pula manusia: ia tak bisa dihambat untuk mencapai suatu kondisi yang ia cita-citakan, yakni kondisi kebebasan. Dengan segala daya-upaya, ia akan mencoba mengatasi segala bentuk halangan yang membatasi kebebasan itu. Sejarah manusia sejak dahulu kala adalah sejarah mencari kebebasan![]

Ilusi

Ilusi Khilafah Islam
Oleh SAIDIMAN

Perdebatan seputar institusionalisasi politik Islam melalui negara yang mengemuka pada diskusi kedua Tadarrus Ramadan Jaringan Islam Liberal menjadi tema utama pada diskusi yang ketiga ini. Diskusi ini menjadi sangat menarik karena yang dibahas adalah teori Ali Abdul Raziq dalam buku al-Islam wa Ushul al-Hukm mengenai negara Islam.

Titik utama keterangan Raziq adalah bahwa Nabi Muhammad tidak datang sebagai pemangku wahyu politik yang oleh karenanya harus menyebarkan risalah negara Islam. Sebagaimana rekan-rekannya sesama nabi, Nabi Muhammad hanyalah pembawa risalah agama, tidak lebih dari itu.

Luthfi Assyaukanie yang tampil sebagai pembicara pertama mengupas isi dan latar belakang historis kelahiran buku yang sedang dikaji. Sementara pembicara kedua, Ihsan Ali-Fauzi, mencoba melakukan teoretisasi terhadap karya ini dan memberi konteks terhadap realitas dunia Islam masa kini.

Al-Islam wa Ushul al-Hukm muncul di tengah perdebatan seputar wacana khilafah menyusul dihapusnya khilafah oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1924. Banyak kalangan yang menilai bahwa kelahiran buku ini adalah bentuk dukungan teologis semata kepada keputusan Attaturk membubarkan institusi khilafah.

Kedua tokoh sezaman ini kemudian memperoleh kecaman luar biasa dari otoritas Islam di pelbagai dunia Islam. Beruntung bagi Attaturk karena ia memegang kekuasaan politik. Sementara kecaman yang diterima oleh Raziq dari otoritas dan masyarakat Islam Mesir membuat posisi-posisi sosialnya dilepas satu persatu. Raziq yang awalnya adalah salah satu ulama universitas al-Azhar dipecat dari jabatannya tersebut.

Kelahiran buku ini sebetulnya berada pada situasi dunia Islam yang sedang bergejolak. Tahun 1924, Mustafa Kemal Attaturk mengambil inisiatif menghapuskan bentuk pemerintahan khilafah Turki, satu-satunya khilafah Islam yang masih tersisa. Alasan utama Attaturk mengambil inisiatif adalah bahwa bentuk negara khilafah adalah sistem pemerintahan kuno yang tidak mampu memenuhi tantangan zaman, terutama karena Turki semakin terpuruk di bawah sistem pemerintahan ini. Butuh inovasi baru yang lebih segar dan modern, yaitu sekularisme.

Penghapusan khilafah kemudian dengan cepat memperoleh reaksi dari para pemimpin politik Islam dan terutama dari para ulama. Penghapusan ini memberi angin segar kepada komunitas-komunitas politik di luar Turki yang selama ini memang menunggu momen itu untuk mendeklarasikan diri sebagai khalifah. Dua komunitas politik yang sangat bernafsu adalah Raja Mesir, Fuad, dan Jazirah Arab.

Sebelum buku ini terbit, seorang ulama Mesir terkemuka, Rasyid Ridha, mempublikasikan sebuah tulisan di jurnal Al-Manar yang intinya memberi dukungan terhadap khilafah. Ada sementara anggapan yang mengatakan bahwa Raziq memberi jawaban balik terhadap artikel Ridha itu melalui buku Al-Islam. Di sisi lain Raziq, melalui buku ini, sebetulnya juga melakukan kritik terhadap nafsu penguasa Mesir untuk menjadi khalifah. Serangan pada dua otoritas inilah yang kemudian menempatkan Raziq pada posisi yang sangat berbahaya, yakni menghadapi otoritas agama dan politik sekaligus.

Secara teoretis, Raziq tampak meminjam paparan Ibn Khaldun mengenai pembedaan antara khilafah dan kerajaan. Khilafah adalah rezim Qur’ani yang beriorientasi ukhrawi. Di dalamnya adalah solidaritas sosial atau ashabiyyah. Sementara kerajaan hanyalah sistem politik dengan orientasi duniawi semata. Sistem politik bisa berubah dari kerajaan menjadi khilafah, demikian pula sebaliknya, ditentukan oleh seberapa besar solidaritas sosial terjalin untuk kepentingan ukhrawi. Belakangan ini, menurut Ibn Khaldun, khilafah telah turun menjadi kerajaan karena kurangnya solidaritas sosial yang beriorientasi ukhrawi. Akan tetapi kerajaan bisa bangkit lagi menjadi khilafah jika politik pemerintahan dapat diislamkan dan islamnya dapat dipolitikkan.

Bagi Raziq, selamanya yang terjadi adalah politik kekuasaan. Tidak pernah terjadi kekuasaan politik memiliki nuansa religius sekaligus. Di sini Raziq berusaha membangun teori untuk menolak definisi khilafah yang menyatakan bahwa khilafah adalah bentuk pemerintahan yang bersumber dari ilahi dan disetujui oleh ummat. Pertama-tama Raziq menantang semua pendukung khilafah untuk menunjukkan bukti doktrin Islam yang berbicara mengenai bentuk pemerintahan. Menurut Raziq, tidak ada satupun nash al-Qur’an yang menyatakan satu bentuk pemerintahan atau sistem politik Islam. Yang ada hanyalah ungkapan-ungkapan mengenai posisi Muhammad sebagai pembawa risalah. Raziq kemudian mengutip sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa Muhammad hanyalah pembawa risalah, dan tidak memiliki otoritas untuk melakukan pemaksaan. Dengan tidak adanya paksaan, maka sesungguhnya Muhammad tidak menunjukkan otoritas politik yang ada dalam doktrin agama. Kekuatan pemaksa hanya milik otoritas politik dan bukan otoritas agama.

Raziq tidak memungkiri fakta mengenai terbentuknya komunitas politik, namun semua itu hanyalah fenomena historis yang tidak diwajibkan oleh syariah. Ketika Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Apa yang disebut politik Islami tidal lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan.

Fakta ini memberi bukti bahwa Islam tidak pernah menetapkan khilafah sebagai keharusan politik, bahkan ia tidak Islami sama sekali. Raziq menulis:

“Agama Islam terbebas dari khilafah yang dikenal kaum Muslim selama ini, dan juga terbebas dari apa yang mereka bangun dalam bentuk kejayaan dan kekuatan. Khilafah bukanlah bagian dari rencana atau takdir agama tentang urusan kenegaraan. Tapi ia semata-mata adalah rancangan politik murni yang tak ada urusan sama sekali dengan agama. Agama tidak pernah mengenalnya, menolaknya, memerintahkannya, ataupun melarangnya. Tapi, ia adalah sesuatu yang ditinggalkan kepada kita agar kita menentukannya berdasarkan kaedah rasional, pengalaman, dan aturan-aturan politik. Begitu juga, pendirian lembaga militer, pembangunan kota, dan pengaturan administrasi negara tak ada kaitannya dengan agama. Tapi semua itu diserahkan pada akal dan pengalaman manusia untuk memutuskan yang terbaik.”

Untuk mendukung argumentasinya, Raziq menggunakan argumentasi historis dan kutipan sumber-sumber doktrin Islam. Secara historis bentuk kekuasaan politik dalam masyarakat Muslim terus berubah. Menurut Raziq, kekhalifahan yang pernah ada dalam Islam bukanlah doktrin melainkan fenomena sejarah semata. Pandangan ini kontan merisaukan sejumlah ulama. Rasyid Ridha menyatakan bahwa pandangan Raziq ini akan sangat menyulitkan ummat Islam yang sekarang terpecah-pecah dalam komunitas-komunitas politik kolonialisme. Sekali lagi Raziq mengemukakan bahwa untuk urusan agama sangat mungkin tercipta solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan politik.

Raziq mengutip banyak sekali nash al-Qur’an untuk mendukung argumentasinya. Ihsan Ali-Fauzi mengemukakan bahwa buku ini bisa jadi sangat menjemukan karena hampir setiap argumen selalu didasarkan pada nash al-Qur’an. Menurut Ihsan, ini juga cukup mengecewakan sebab Raziq adalah sarjana politik lulusan Oxford, namun tidak terlalu menggunakan perangkat teori politik modern untuk mendukung pendiriannya, Raziq malah kembali masuk ke dalam cara berpikir Islam tradisional. Namun begitu, lanjutnya Ihsan, ini sebetulnya adalah fenomena umum di kalangan masyarakat Islam. “Ilmu politik tidak pernah berkembang di dunia Islam,” ungkap Ihsan.

Di antara sedikit ayat al-Qur’an yang dianggap berbicara mengenai politik adalah “Yã ayyuha alladzîna ãmanû athî’û allah wa atî’û al-rasûl wa ûlî al-amr mingkum..” dan “Wa law raddûhu ilã al-rasûli wa ilã ûlî al-amr minhum la’alimahu alladzîna yastanbitûnahu minhum.” Menurut Raziq, para ulama telah melakukan manipulasi ayat sehingga ulil amr menjadi istilah yang bermakna politik. Padahal menurut al-Baydhawi itu adalah ungkapan untuk menyebut sahabat-sahabat Nabi. Al-Zamakhsyari menyebut itu sekedar istilah untuk menyebut ulama.

Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa Raziq sesungguhnya adalah peletak dasar konsep sekularisme di dunia Islam. Dalam bukunya Raziq mengutip Hobbes dan Locke, namun pengaruh terbesarnya berasal dari Ibn Khaldun. Meminjam istilah Leonard Binder, Ihsan menyebut liberalisme yang dikembangkan Raziq adalah “rejected alternative,” karena masih terobsesi dengan dasar-dasar liberalisme dalam Islam, yang tidak sesuai dengan panggilan terdekat zamannya. Namun begitu, menurut Ihsan, hanya Faraq Foudah yang berani melanjutkan pemikiran Raziq dengan menawarkan pembacaan sejarah yang lebih kritis terhadap realitas kekuasaan di dunia Islam sejak masa Khulafa al-Rasyidun.

Satu hal yang belum clear dari buku ini adalah pembedaan antara khilafah (emperium) dan negara bangsa. Hanif dan M. Dawam Rahardjo mengemukakan pertanyaan itu: apakah yang dibahas oleh Raziq adalah imperium atau sekedar negara bangsa? Tampak bahwa Raziq tidak melakukan pembedaan secara jelas mengenai dua bentuk komunitas politik tersebut. Jawaban sementara yang barangkali kurang memuaskan adalah bahwa yang dikemukakan oleh Raziq adalah semua bentuk komunitas politik.