Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Tuesday, November 6, 2007

Dialog Post LPIK

Waktu Buka Puasa hingga Persoalan Kebenaran Agama


Di belakang blog ini telah terjadi diskusi yang cukup alot tentang Waktu Buka Puasa hingga berlanjut pada Persoalan Kebenaran Agama, antara pengasuh Blog Post LPIKAhmad Sahidin sekaligus mantan Ketum LPIK periode 2002-2003, dengan seorang aktivis gerakan petani Yayasan/LSM Amerta, Cianjur, Jawa Barat, yang juga mantan Ketum LPIK Bandung masa bakti 2004-2005, Yusep Somantri. Berikut ini kami sajikan dialog mereka. Kami harap ada respon dari pembaca. Selamat membaca!

REDAKSI

I

SALAM…..

AKU ingin curhat di sini. Jika saya ikut berpuasa dengan teman-teman, seringkali "dipaksa" membatalkan puasa jika adzan magrib telah mengalun. "Gancang buka, batalkan puasamu walaupun dengan seteguk air," katanya.

Fenomena ini yang maklum dijumpai di Indonesia. Karena mereka memandang begitu besar pahala menyegerakan berbuka dan meyakini bahwa 'agak berdosa' bila melambatkan berbuka. Mungkin karena hadits-hadits itulah penyebabnya. Tetapi bila saya tanyakan apakah mengetahui tentang ayat alquran yang menyuruh menyempurnakan puasa sampai malam dan tidak ada satupun ayat alquran yang menyuruh menyegerakan berbuka. Mereka geleng-geleng kepala tidak tahu. Walhasil hadits lebih populer walaupun agak bertentangan dengan alquran. Kadang-kadang saya berpikir memang setan berusaha untuk menghancurkan amal perbuatan kita. Bayangkan saya meyakini jam 18:25 untuk waktu berbuka tapi mereka memaksa saya untuk berbuka jam 17:55. Toh saya tidak ingin dimaksud oleh hadits dibawah ini. Saya tidak tahu apakah itulah makna hadits ini.

"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus.".

--Ahmad Sahidin


II

Salam,

Jika kita benturkan masalah buka puasa dengan commen
sense tentu saja keyakinan kita akan selalu
berbenturan bahkan dibenturkan, potensi konflik
senantiasa akan menjadi sebuah keniscayaan.

Dalam kontek masyarakat civil bukanlah ruang dialog
lebih terbuka bahkan sola keyakinan. Namun,kita
seringkali terjebak dengan benteng mind set yang
dimilki. memahami orang lain harus sama dengan kita.
itu ujian bagi orang berpuasa bagaimana menahan luapan
hasrat untuk tidak memahami orang lain lebih
rendah/bodoh daripada kita.

Ingatkah kita pada baginda Rasulluha saat ia berdakwah
lantas masyrakat sekitar mencemoohnya, lalu dengan
nada polos hammparan gunung meminta Muhammad untuk
minta ijin pada Allah untuk menghabiskan masyarakat
yang mencemooh Rasul.

Namun yang menarik jawaban Rasul tidak mengiyakan
malahan dia berdoa/menjawab. wahai gunung janganlah
kau hancurkan dan mematikan umat ini "munkin mereka
tidak tahu bahwa saya ini adalah utusan.

saya kira hadits tersebut memberikan ruang bagi kita
untuk sedikit lebih reflektif, tentang realitas
keagamaan. Sambil mengedahkan Tangan mulailah berdoa
"Tuhan berilah mereka petunjuk dari ketidaktahuannya"

---Yusep Somantri


III

HHHmmmmm...nampak sebuah kearifan...atau justru ini sebuah keterpaksaaan menerima commen sense? Hmmm kukirA tak salah bila kita bicara kebenaran..sebab ini tataran lahiriah, tataran hitam dan putih, sebuah pilihan.
justru di sinilah kita di uji, apakah kita memilih dan memilah mana yang seharusnya disingkirkan dan mana yang diambil sekaligus dihasrati-diciumi dan digauli sehingga dari sana lahirlah sebuah pencerahan: tharekat, yang membiasakan kita untuk tetap berpegang teguh segala konsekuensi atas apa yang dipilihya; inilah sebuah pilihan...
insya Allah sampai pada hakikat...

---Ahmad Sahidin


Salam,
Sebuah kearifan yang diharapakan atau kekonyolan Don
quite???, apa bedanya? keariafan bernagkat dari sebuah
keihkalasan namun kekonyolan berngakat dari semangat
populis??
Pilihan! pilihan bagi saya adalah banyaknya realitas
lantas dengan sadar kita mengambil salah satu
diantaranya, atau terkadang juga kita dipaksa untuk
dipilihakn oleh orang lain meskipun pilihan-pilihan
itu masih nampak.
Persolan kebenaran sedari dulu memang menajadi areal
perataruangan. Bahkan mereka rela mencucurkan darah
untuk mempertahankan kebenaran yang ia yakini. Lantas
betulkah kebenarah sebigitu hebatnya untuk kita bela.
metode kebenaranpun beragam, jua menghasilakan buah
yang beragam. Yang pada akhirnya relativistiklah yang
menang. Benar salah, hitam putih. Realitas yang
deterministik. rigiditas akan selalu menyapa kita jika
silogisme aristotelian menjadi bayangannya.Insya Allah
Bukankah persoalan beda buka puasa hanya persolan
fiqhiyah, hanya sebatas baju yang hendak kita pakai
menuju subtnsi hakikat?

--Yosep Somantri


IV

LUARBIASA, makin terasa tajam pisaumu menusuk. Kian membengkaklah luka-luka zaman yang kau sayatkan berkali-kali atasnama keanekaragaman. Seolah-olah jalan keluar, tapi justru malah tereperosok kembali ke "dalam" jurang yang menganga 15 abad lalu.

Aku tahu pertarungan sebuah klaim kebenaran tak pernah berakhir. Sungguh pun kita pernah terlahir di "rahim" yang sama, namun jalan makin membentang: sebuah keniscayaan untuk mengakui bahwa relativitas tak pernah laku sepanjang waktu: Sebab ia diperebutkan, dinikmati dengan tangan-tangan jahil yang luar biasa mempengaruhi benak kita dengan embel-embel modernitas, posmo, pluralitas, libralisme, fundamentalisme,etc. Semuanya itu tak lebih sebuah produk yang tak membanggakan. Harus kuakui semuanya menjerumuskanku pada ketidakpastian. SEbagai orang masih muslim dan waras dengan nalar yang cerdas, tak ada plihan selain harus memihak. SEbab itulah jatidiri, hidup dan proses menuju kesempurnaan.

Sepanjang hidup memang penuh pilihan. Aku pun terpaksa harus memilih, tapi ada yang membedakan antara aku dan mereka, cara dan hal yang dipipilihnya itulah yang menjadikan BERANI MEMILIH. ADA standar: human interested, mood, dan kecocokan atau enjoy. Artinya, seseorang yang memilih itu sadar betul dirinya memilih yang terbaik bagi dirinya.
persetan orang bilang, persetan dengan sumber yang tak jelas. Di sini aku yakin, kebenaran yang diperebutkan bukanlah "kebenaran" yang hakiki. Sebab ia diperebutkan.

"Kebenaran" hakiki justru lahir bukan dari sebuah pertarungan wacana, tapi
melalui pencerahan "fitrah ilahiyah" yang muncul dari nurani terdalamnya. Bukankah di sana ada ruh ilahi yang ditanamkan sejak "zaman purba" (istilah si IMAN BULED--untuk menyatakan waktu atau masa yang tak terbatas sebelum lahir manusia).

Artinya, kita sudah punya modal. tInggal kita gunakan modal itu hingga kita merasakan, mengalami, mengetahui, dan memahami hinnga sampai pada "kebenaran" hakiki.

BAGIKU, persoalan buka puasa bukan hnaya masalah kulit atau bungkus. Tapi justru nilai yang pantas kita gali dan kenali lebih jauh, dengan sumber-sumber yang jelas dan tak menyalahi sumber utama Islam.

Kuyakin Rasulullah Saw (bila hadir melihat fenomena dan praktik Islam masa sekarang) akan tertawa dan sedikit mengernyitkan dahinya. "Luar biasa, betapa hebatnya umatku, persoalan remeh pun dipersoalkan. Luarbiasa, titah ilahi pun disuramkan," ujar al-Musthofa Rasulullah Saw. ketika memandang sebuah catatan, "Bukankah persoalan beda buka puasa hanya persolan fiqhiyah, hanya sebatas baju yang hendak kita pakai menuju subtnsi hakikat?. Hmmmmm kalimat yang perlu dipertanyakan dan diragukan kebenarannya"

Ada nasehat dari Sunan Bonang ketika bertemu dengan Raden Said (Sunan Kalijaga)--yang ketika itu Sunan Kalijaga masih muda dan menjadi perampok, mirip Robin Hood atau Abu Dzar.

"JIka kau mencuci bajumu yang kotor dengan air kencing bagaimana?" tanya Sunan Bonang.

"Tambah kotor dan bau," jawab Sunan Kalijaga.

"Hmmmm. Jadi harus dengan yang bersih airnya ya kalau ingin bersih lagi," tanya Sunan Bonang.

Sunan kalijaga menjawab, " Benar kanjeng sunan. harus air bersih dan halal" .

Kukira cukup Ente paham dengan tamsil/metafora tersebut. Bila kurang paham juga, nanti aku kabarkan "pencerahan-religi" dari almarhum Ayatullah Murthadha Muthahhari.


--Ahmad Sahidin


V
Terima kasih atas pencerahannnya semoga kebenaran itu tidak semakin kelam dalam diri kita. Meskipun puing-puingnya berserakan disetiap umat beragama ataupun yang tdak beragama. Kebenaran Tuhan tidak sekerdil apa yang kita pikirkan, kita hanyalah buih ditengah lautan yang kerap kali terombang ambing ombak wacana dan keyakian umat beragama. Namun pada akhirnya semua buiah yang ada di lautan akan bermuara ditepian pantai atau di muara sungai. Buih tercipta dari ekstarasi mineral air laut bukan air laut itu sendiri. Saya berani memilih dan sadar meminjam bahasa pak Akhmad bahwa kebenaran yang selama ini kita yakini sama seperti buih dilautan.


Siapakah yang berhak menilai sebuah kebenaran? kitab-kitab suci agama, nalar, atau intuisi manusia? Saya percaya bahwa manusia diletakan sebagai subjek yang sadar dalam "me-Iqra" sesuatu, tidak lantas terjebak dengan rigiditas sebuah teks. Kalau anda bercerita tentang tamsil Sunan Bonang. Saya akan bercerita tentang kisah petani di desa dampingan. Sebut saja namanya Ocim selain sebagi petani ia sering didatangi penyuluh dari Dinas Pertanian. Si penyuluh menyuruh petani memakai bibit dan pupuk hasil organik namun kenyataan petani di kampungya memakai pupuk kimia. Yang unik bagi saya adalah jawaban pak Ocim "Ia menjawab bahwa apapun teknologi atau metodenya yang paling penting ialah produktivitas padi meningkat.


Jika membaca dialognya Sunan Bonang dan Kalijaga. Saya merasa menyesal kenapa Sunan Bonang begitu "bodahnya" dan saya ingin membisikan ketelinga Sunan Bonang bahwa mencuci pakaian dengan air kencing jawabannya bukan tambah kotor dan bau tapi hanya tambah bau saja. Kedua, kenyatan waktu itu untuk mendapatkan "air bersih dan halal" sangat sulit karena habis oleh keserakahan penguasa. Jika saya mengalami hal yang serupa saya tak akan mencucinya lebih baik saya berpakai kotor atau mengambil hak air bersih saya pada mereka.


Beda puasa masalah fiqhiyah dan itu hanyalah kulit dari Agama. Penulusuran otensitas sebuah teks memang perlu. Namun saya teringat pada pepatah seorang petani jika manusia dititipi uang akan berkurang sedangkan jika dititipi risalah/omongan akan bertambah. Reduksi dan penambahan sebuah teks kemungkinan besar akan berlaku disana sedikit dipengaruhi oleh ilmu heurmenetik. He..he. saat kuliah di elpik tempo doelu. Sekarang teks-teks itu hanyalah artefak-artefak saja dan kita hanya bisa menemukan puing-puingnya. Namun manusia sekarang terlalu bangga baru saja menemukan puingnya sudah merasa memilki bendanya.


Jika ente membayangkan Rasulallah masih hidup sekarang sayapun sama. Baginda Rasul akan berkomentar "wah islam itu semakin sempitnya jang, banyak orang yang mempersoalkan agama tapi ia jauh dari agamanya" . beda buka puasa, sholat saja diributin. Kemiskinan dan kebodohan ada didepan mata tak disentuh dan koruptor tungga langgag naik haji...oce ajakan si buled. Kangeneuy urang ka manehna.


---Yosep Somantri


VI

Hmmmmmm. Dahsyat dan nikmat. Sungguh ini yang kurasakan dari percikanmu. Berkali-kali aku harus menepukkan tanganku pada keningku. BUkan karena ada yang menghalangi, bukan! hanya saja aku heran dengan cara berfikir orang, ingin meraih kebenaran tak menapikkan jejakartefak kebenaran. Padahal dari sana kita tahu, dan paham agama serta nilai2 Islam yang sedang diproses dalam diri.

belajar kearifan memang tak hanya dari orang-orang cerdik pandai, bisa juga dari petani. tentu sebatas yang diketahui dalam kehidupan yang dialami dalam kesehariannya. Aku tahu itu bermanfaat. Tapi tak menjamin bermanfaat bagi yang lain, yang punya tatacara beda dan hasil yang berbeda. Persoalannya, apa dan bagaimana kita memilih di antara pilihan2 itu, yang pantas dikaji dan dikritisi ulang. Dan nantinya juga akan sampai hasil dari yang dipilihnya.

KEBENARAN dalam beragama memang tak ada kaitannya dengan persoalan FIQH. Hanya saja, bagiku, syariat atau fiqh yang rada "original" merupakan pengantar masuk pada HAKIKAT agama itu sendiri, ma`rifatullah. Tak ada jalan yang harus ditempuh seorang pelajar, kecuali memulainya dari dasar, awal. Formal atau tidak, tetap ia harus memulai dengan perkenalan materi studi awal. Maksudku: aku sih pilih memulai dari Syariat, Tarekat dan kemudian Hakikat. Karenaya, bagiku penting Fiqh dalam kehidupan. Itu yang mengantar kita pada tahap keberagamaan kita selanjutnya. Untuk itu, sebelum masuk tahap selanjutnya, kupikir diriku harus memantapkan sekaligus mendisiplinkan diri dengan aturan tersebut. Mengetahui aturan yang benar dan jelas dari sumbernya itu, yang harus kita upayakan bersikap kritis dan tidak asal-asalan.

Aku sih begitu…………
Hmmmm....Islam bagaikan air yang mengalir dari mata air yang jernih. Ia mengalir dari dataran tinggi turun ke dataran rendah. Saat mengalir itu tidak dapat disangkal bila kemudian air itu terkontaminasi dengan berbagai kotoran yang terdapat pada tiap-tiap aliran sungai. Untuk menjernihkannya perlu proses penyulingan. Maksudnya, bila kita ingin mereguk dan mengenal keaslian Islam harus men-steril-kan dahulu dari kontaminasi-kontaminasi, sejak pasca wafat Rasulullah hingga kini.

Pendek kata, kita harus menggali lewat kajian-kajian intensif, terutama dari al-Quran dan Sunnah yang shahih serta diriwayatkan dengan sanad mutawatir.
Sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW, "Sesungguhnya banyak dusta dan kebohongan dinisbatkan pada diriku" (Syekh Kulaini, Ushul Kafi, I : 62).

Sayyidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah—dalam buku Nahjul Balaghah—mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sekiranya ada suatu kabar (hadits) yang datang kepadmu, maka bandingkanlah dengan kitabullah (al-Quran). Bila itu sesuai dengan kitabullah, maka ambillah; dan bila bertentangan dengannya, buanglah."

Begitulah Nabi Muhammad SAW menentukan standar kebenaran dalam menentukan otentik dan tidaknya sebuah rujukan yang dipakai umat Islam. Tapi standar ini tidak jarang seringkali diabaikan oleh umat Islam. Buktinya, kita masih menemukan beberapa kelompok Islam yang seringkali menghardik dan menganggap dirinya paling ittiba dalam sunnah Nabi SAW.

Sedangkan yang di luar kelompoknya, kerapkali dilabeli ghair-sunnah, gahir-ittiba, dan yang paling mengerikan muncul ungkapan ahlul bid`ah dan zindik.

Dan yang mengejutkan, di antara kelompok Islam yang berbeda itu mereka saling klaim paling Islam, juga saling hujat.

Akhirnya, Islam yang agung dan luhur ini dirobek-robek umatnya sendiri—apalagi tindakan anarkis yang mengatasnamakan amar ma`ruf nahi munkar menjadikan Islam dilabeli teroris. Inilah yang menjadi pertanyaan, mengapa Islam yang rahmatan lil a`lamin menjadi la`natan a`lamin? Pertanyaan ini memang patut direnungi dan dicarikan solusinya. Juga perlu ditelusuri akar permasalahan yang melahirkan perbedaan dan perdebatan yang timbul dalam Islam ini.

Sepengetahuan saya, lahirnya mazhab-mazhab selain faktor kepentingan sosial dan politis, juga karena perbedaan dalam mengartikan nash-nash. Apalagi bila melihat hadits-hadits, yang antar muhadis saja sangat berbeda dalam menilai keotentikan sebuah hadits. Bahkan muhadis yang dianggap shahih, yaitu Bukhari dan Muslim, ternyata akhir-akhir ini oleh beberapa pakar Islam dan cendekiawan dianggap tidak valid, tidak otentik, bahkan tampak diskriminatif.

Muhammad al-Ghazali dalam buku "Sunah Nabi Saw : Menurut Ahli Fiqih dan Ahli Hadis" (PT.Lentera, 2002) menyatakan, dalam melihat Islam—terutama warisan Nabi Muhammad Saw—yaitu sunah sangat diharuskan untuk bersikap kritis dan jeli dalam memahami teks dan nilainya.

Menurutnya, setelah diteliti dalam beberapa kitab hadits seperti shahih Bukhori dan Muslim, ternyata banyak terdapat hadits-hadits atau sunah Rasuilullah yang jauh berbeda dengan perilaku dan pernyataan Rasulullah Saw yang digambarkan dalam al-Quran.

Hasilnya, ada beberapa riwayat, yang menurutnya kurang sesuai dengan sosok Rasulullah SAW. Al-Ghazali menyebutkan hadits-hadits seperti tentang mayat disiksa karena tangisan keluarganya, mendengar nyanyian adalah perbuatan jahilyah dan haram, tentang malaikat maut yang ditonjok Nabi Musa as, atau hadits mengenai Nabi kena sihir, adalah hadits-hadits yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah Nabi itu suci dan terjaga dari kesalahan dan dosa? Bukankah Nabi itu segala ucapan dan tingkah lakunya adalah perwujudan quran dan ucapannya itu berasal dari Allah (wahyu)—QS.An-Najm ayat 3-4. Juga sangat tak masuk akal bila Rasulullah SAW yang sehari-hari berada dalam kondisi bersih dan suci serta menjalankan amalan-amalan yang diperintahkan Allah SWT, bisa terkena sihir. Bukankah sihir itu akan mengena pada mereka yang jauh dari nilai-nilai ilahiyah dan dekat dengan setan? Rasulullah jauh dengan setan dan bahkan setan atau jin kafir pun takut bila jumpa dengannya.

Karena itu, menurut Al-Ghazali, sesuatu yang sudah pasti berdasarkan wahyu Allah SWT dan ternyata berbeda dengan hadits-hadits atau sunah, maka hadits dan sunah itulah yang harus disingkirkan.

Juga konsep syura yang pegang sebagai landasan yang melahirkan khalifah pasca Nabi Muhammad SAW kini mulai dipertanyakan keabsahannya. Menurut Thaha Husein, bila kaum muslimin memang benar punya sistem tertulis tentang syura, pasti kaum muslimin yang hidup di masa Utsman bin Affan akan menggunakannya. Setidaknya untuk menyimpulkan sebuah keputusan agar tidak terjadi berbagai pertentangan. Namun, bila diselidiki ternyata tak ada kejelasan sistem, tidak ada ketentuan siapa yang berhak dipilih dan siapa yang menjadi pemilih. Tidak ada aturan, batas-batas yang mengatur peserta, dan kriteria untuk mendahulukan satu pendapat di atas pendapat lainnya. Kalau syura itu pesertanya kaum muslimin secara keseluruhan, kenapa Abu Bakar dipilih hanya oleh lima orang (Umar bin Khattab, Abu Ubaidah al- Jarrah, Usaid bin Hudhayr, Bashir bin Saad, dan Salim Maula Abu Hudzaifah) dalam rapat singkat di Saqifah Bani Saidah? Bukankah kaum muslimin saat itu sudah banyak di wilayah jazirah Arab dan kenapa tidak dilibatkan? Kenapa Umar bin Khattab diangkat jadi khalifah dengan surat perintah Abu Bakar, tidak dengan syura?

Juga Utsman bin Affan dipilih hanya oleh lima dewan formatur. Apakah ini tidak mengkhianati sebagian kaum muslimin waktu itu? Apalagi bila melihat dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang malah kembali ke bentuk kerajaan dengan raja yang turun-temurun. Inilah yang dimaksudkan di awal tulisan, bahwa Islam pasca wafat Nabi mengalami kontaminasi-kontaminasi jahiliyah dan kepentingan politis.

Melihat fakta ini, sebenarnya bila merujuk kepada Nabi Muhammad SAW pasti akan bersedih. Karena dalam salahsatu hadits dikabarkan, dalam sebuah mimpi Rasulullah menemukan sekolompok kera yang bergelantungan di mimbar masjidnya. Di hadapan mimbar itu ada beberapa kaum muslimin yang mundur berangsur-angsur. Beliau terbangun dan menangkap mimpi itu sebagai tanda akan ada gelombang yang menghancurkan ajaran dan nilai-nilai Islam.

Bersamaan dengan mimpi itu, malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu, "Dan ketika Kami wahyukan kepadamu, sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan pohon kayu yang terkutuk dalam Al Quran. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka" (QS. Al-Isra [17] : 60).

Sungguh benar mimpi Rasulullah ini. Buktinya, setelah beliau wafat, lahirlah para penguasa yang menindas dan tidak melayani umat. Mereka naik ke mimbar dan berbicara tentang Islam dengan indah dan begitu memikat, tapi dibelakang itu mereka menindas kaum muslimin dengan sangat keji. Kelihatannya membela Islam, tapi sebenarnya mengoyak-ngoyak Islam. Adapun orang-orang yang mundur menjauhi mimbar itu, adalah simbol bahwa Islam kini hanya permukaan yang tampak dan tinggal namanya saja.

Ini memang sedang terjadi di dunia. Tengok bagaimana firqah satu dengan yang lain berantem, adu mulut, saling caci, dan saling maki. Kita bisa melihat bagaimana tingkah mereka, yang menerapkan bahwa yang haqiqi harus dipukul dan yang bathil dirangkul.

Inilah sebuah pengkhianatan terhadap Nabi. Kita mengaku beriman kepada Allah dan Rasululah, tapi dibalik itu kita mengecam, mengancam, mencerca, memaki dan mem-bid`ah-kan orang lain yang berbeda pemahaman dengan kita. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang membantah Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja, di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan dan bagi mereka azab yang sangat keras" (QS. Asyura [42] :16).
alghous...alghous...alghous...alghous...alghous...
kholasna minannari ya robba....kholasna minannari ya robba.... kholasna minannari ya robba.... kholasna minannari ya robba....

---Ahmad Sahidin

No comments: