Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, March 16, 2009

Abu Zayd

Pencerahan dari Abu Zayd: Hermeneutika Bukan Sebuah Teori
Oleh TOLIB ROHMATILLAH

SEKADAR berbagi pengalaman, Prof. Nasr Hamid Abu Zayd dan kami,anggota IYL 3, membuat kesepakatan untuk mendapatkan course gratis darinya selama satu tahun terakhir ini tentang berbagai isu, baik itu sosial, politik, sejarah dan tentunya keahlian beliau dalam ilmu-ilmu Al-Quran.

Pertemuan pertama membahas isu tentang Al-Quran dan gagasan-gagasan beliau selama ini. Antusiasme beliau terhdap permintaan kami dikarenakan beliau merasa punya hubungan khusus dengan kawan-kawan di Indonesia, baik yang pro maupun kontra terhadap pemikirannya. Apalagi ada kasus saat beliau di demo atau ditentang kedatangannya saat ke Indonesia karena dianggap menyebarkan pemikiran yang berbahaya dan merusak keimanan dan keyakinan umat Islam.

Dari diskusi perdana itu saya mendapatkan beberapa point yang dapat dianggap sebagai
pencerahan. Beliau menerangkan bagaimana beliau tertarik kepada bidang studi
Al-Quran. Ini dimulai sejak beliau menempa ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia mengatakan bahwa ia mulai menekuni bidang ini setelah melakukan kajian dan
penelitian tentang interpretasi Al-Quran yang dilakukan oleh kaum Mu'tazilah untuk tesis masternya (S-2) dan dilanjutkan dengan riset untuk disertasi (S-3) beliau yang juga sama, namun kali ini dari sisi sufisme. Abu Zayd mengatakan, ia menggabungkan pendekatan rasional dari teologi Mu'tazilah dan spiritualitas dari kaum sufi. Ia mengatakan bahwa hermeneutika yang menjadi metodenya dalam kajian-kajian Al-Quran dan studi Islam hadir sepanjang hidup; karena hidup tidak mungkin bisa tanpa melakukan penafsiran (hermeneutik).

Menurutnya, hermeneutik dalam bahasa Arab padanannya adalah ta'wil, yang tentunya berbeda dengan tafsir. Ta'wil adalah interpretasi yang mendalam setelah tafsir. Tafsir adalah hanya tahap awal sebelum melangkah ke ta'wil. Menurut Abu Zayd, dalam Al-Quran sendiri kata tafsir hanya disebut satu kali saja, sementara kata ta'wil itu 17 kali. Ta'wil atau hermeneutika bukanlah teori, tapi sebuah cara bagaimana membaca tanda (ayat) dan untuk mengertinya itu hanya bisa dilakukan dengan metode hermeneutika; dan itu bisa dilakukan oleh kita setiap saat.

Abu Zayd juga menerangkan mengapa ta'wil ini ditolak oleh umat Islam. Dalam sejarahnya, ta'wil atau hemeneutik ini sebenarnya diterima dengan baik oleh umat Islam, bahkan apa yang kita sebut sebagai tafsir Ath-Thabari, sebenarnya judulnya bukan tafsir tapi ta'wil; karena ia menghasilkan karyanya beberapa tahun atau abad sebelum konsep ta'wil ini secara sosio-politis menjadi jelek hingga sekarang. Ini akibat konflik politik dan pendiskreditan dalam sejarah.

Beliau menyimpulkan, hermeneutika itu bukanlah sebuah teori belaka, tapi sebuah keniscayaan; karena kita dalam melakukan seluruh kehidupan melakukan interpretasi. Pada zaman klasik dan oleh para agamawan, hermeneutika dijadikan “alat” untuk membaca teks (agama) dan pada zaman modern ini berkembang atau digunakan pula untuk menafsirkan gambar atau lukisan, karya seni, sastra, dan sebagai pelengkap untuk disiplin ilmu humaniora dan lainnya.

TOLIB ROHMATILLAH,
alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Bandung dan kini sedang menempuh program Master di Belanda, serta jamaah milis ikhwan-al-shafa


No comments: