Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, March 13, 2009

Kreatif

Mewujudkan Jabar Kreatif
Oleh IU RUSLIANA

KRISIS global terus menelan korban. Bangkrutnya beberapa korporasi, ketatnya pengucuran kredit perbankan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan yang lainnya terus terjadi. Korporasi besar yang masih bertahan tampaknya akan berhati-hati dalam berekspansi. Pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2009 adalah angka yang paling realistis.

Kini hanya ada beberapa pelaku dan sektor industri yang bisa diharapkan bakal menjadi kekuatan penggerak ekonomi, yaitu pemerintah dan partai politik. Pemerintah dengan anggaran belanja tahun 2009, seribu triliun rupiah lebih harus menjadi stimulus ekonomi. Termasuk kebijakan menggenjot kredit perumahan kelas menengah ke bawah dan kredit motor serta menurunkan harga BBM (premium dan solar) ke Rp 4.500,00 per 15 Januari 2009 adalah salah satu kebijakan penting. Demikian juga partai politik, kampanye yang besar-besaran dengan dana triliunan rupiah diyakini akan menggerakkan ekonomi nasional yang tengah terpuruk.

Harapan itu ada, namun apakah akan selamanya begini? Adakah potensi besar yang harusnya disyukuri dan menjadi penopang menuju kemandirian ekonomi? Pada konteks Jawa Barat, misalnya, beberapa industri diperkirakan segera melakukan PHK, karena dampak krisis, menyusul menurunnya order dari pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dengan jumlah pengangguran yang bakal meningkat, apakah program padat karya yang sifatnya insidental saja yang bisa diandalkan? Bukankah sebaiknya dana bantuan sosial ekonomi yang disalurkan bisa menggerakan ekonomi berbasis masyarakat lokal.

Ekonomi kreatif
Sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam dan keragaman budaya, kita harus menyadari potensi ekonomi yang berasal dari gagasan kreatif masyarakat. Masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Jawa Barat, telah menyatukan diri dengan budaya dan alam sehingga melahirkan pelbagai produk yang unik dan kreatif. Industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75% dari Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar 7,3% per tahun, melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 5,6%. (Bisnis Indonesia, 24/10/2007).

Menurut Agung Bawantara (2008), di negara maju Inggris, industri kreatif digenjot untuk menggerakkan perekonomian negara. Hebatnya, sumbangan industri kreatif di negeri ini mencapai 8,7 persen yang melampaui pendapatan Inggris dari sektor industri manufaktur. Di Korea, geliat industri kreatif mengalami pertumbuhan sekitar 20 persen per tahun dan berada pada posisi kedua setelah industri finansial.

Maka pemerintah Indonesia, dalam menunjang keajekan industri kreatif, pada 2006 meluncurkan Indonesian Design Power 2006-2010. Ini dilakukan untuk menggenjot industri kreatif sehingga mampu memberikan pendapatan negara sebesar 10 persen pada 2016. Melihat potensi negara ini, dengan kekayaan budaya dan alam, optimisme mewujudkan program itu bukan isapan jempol. Tentunya dengan memperhatikan pranata pendukung yang dapat mewujudkan cita-cita 10 persen pada tahun 2016.

Pranata yang mesti diperhatikan dalam mengembangkan industri kreatif mulai dari masyarakat lokal, institusi formal (pemerintah), lembaga pendidikan, agen, studio, toko, sampai pada keberadaan komunitas dan institusi. Aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan kreativitas, mulai dari proses sampai pemanfaatan sarana informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi kreatif, sisi teknologi, dan prospek bisnis adalah komoditas yang harus mulai digarap serius.

Jabar kreatif
Untuk konteks Jawa Barat, potensi ekonomi kreatif telah ada namun perlu kebijakan khusus untuk mengembangkannya. Misalnya, industri kreatif di Kota Bandung, sebagai kota yang dihuni 60 persen kalangan muda di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya perguruan tinggi, industri kreatif tumbuh pesat. Hal ini merupakan potensi besar bagi perkembangan industri kreatif di Jawa Barat. Apalagi sektor industri kreatif menyumbang 7,8 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jabar. (www.tempointeraktif.com).

Penting kiranya mendorong kemampuan masyarakat (individu) agar mampu berkreasi dan menjadi bagian dari sektor industri kreatif. Maka, hal yang penting diperhatikan untuk mendorong tumbuhnya budaya kreatif. Pertama, pemanfaatan internet dan saluran informasi (information tool) untuk dapat memetik dan mempelajari kreativitas dunia. Kedua, menciptakan pasar domestik dan pasar ekspor yang menyerap berbagai produk kreatif ini. Ketiga, dengan cara menggandeng komunitas kreatif.

Kita tidak bisa berharap kepada APBD dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2009 yang mencapai Rp 23,969 triliun. Itu hanya stimulus. Jawa Barat punya potensi ekonomi kreatif yang besar dan unik. Unik karena tiap daerah punya ciri khas dan terbukti menjadi penggerak ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Tahu cibuntu, tahu sumedang, ubi cilembu, tas dan sepatu Cibaduyut, kerajinan rotan Cirebon, kerajinan kulit Garut, dodol garut, factory outlet Kota Bandung, dan sederet potensi ekonomi kreatif yang tak tertandingi dan telah melakukan kegiatan ekspor. Industri ini tak pernah mati karena menjadi bagian dari budaya masyarakat. Namun, tak bisa tumbuh pesat karena belum ada sentuhan serius dari pemerintah.

Pemerintah daerah tidak perlu mencari-cari ke luar daerah apalagi ke luar negeri. Kita telah punya potensi, tinggal dikembangkan dan dikelola dengan baik. ITB, IPB, UIN Bandung, UPI, dan kampus terkemuka lain ada di Jawa Barat. Mengapa tidak, industri kreatif berbasis teknologi dikembangkan melalui kerja sama pemerintah daerah dengan kalangan akademik. Sinergi stakeholder; pemerintah, komunitas kreatif, dunia usaha, kampus, dan masyarakat lokal menjadi penting dilakukan untuk membangun industri kreatif ini.

Ke depan, konsep one village one product (OVOP) bisa dikembangkan, bukan hanya berorientasi pada pasar domestik, tapi juga pasar dunia. Ini soal political will dan merupakan bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Jika ini dikelola dengan serius dan sinergi antar-stakeholder tercipta dengan baik, bukan mustahil jika toko sepatu Cibaduyut menjamur di Eropa dan dodol garut jadi menu orang Asia. Wallahu`alam.***

Penulis, mahasiswa Program S-2 Ekonomi Keuangan Syariah Universitas Indonesia (UI) dan pengajar pada Fakultas Ushuluddin UIN Bandung.

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=59756


No comments: