Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, March 16, 2009

Mutasi Meme

Melacak Mutasi-Mutasi Meme
Oleh ARMAHEDI MAHZAR

Budaya manusia tampaknya merupakan sistem yang paling kompleks di jagad raya ini. Itulah sebabnya, menurut kaum humaniora, kebudayaan tak bisa dirumuskan secara tuntas dengan menggunakan sains kuantitatif belaka. Munculnya fenomenologi, hermeneutika dan pos-strukturalisme di abad lalu, misalnya, merupakan upaya untuk memahami kompleksitas budaya itu secara rasional kualitatif. Ketiga pendekatan tersebut merupakan upaya-upaya mutakhir kaum humaniora untuk merasionalkan pemahaman mereka tentang budaya.
Namun demikian, para ilmuwan tetap saja mencoba mereduksi budaya sebagai gejala biologis berupa adaptasi organisme manusia terhadap lingkungannya. Hanya saja, mereka kesulitan untuk menjelaskan mengapa manusia beradaptasi melalui pengubahan lingkungan, yang kita kenal sebagai peradaban, yang berubah semakin lama semakin dipercepat. Padahal makhluk-makhluk biologis lain menyesuaikan dirinya secara morfologis, fisiologis dan etologis. Hal itu dilakukan mereka dengan cara melalui reproduksi genetik yang sangat lambat.
Untuk menanggulangi kesulitan tersebut, maka para antropolog mencari unit kebudayaan yang dapat digunakan untuk memahami budaya manusia secara khas. Banyak pengertian telah diajukan mereka selama satu setengah abad belakangan ini. Misalnya “tema,” “konfigurasi,” “kompleks,” dan “pola” telah diajukan pada tingkat organisasi budaya. Sementara itu pada tingkat yang lebih mendasar telah diajukan “gagasan,” “kepercayaan,” “nilai-nilai,” “aturan,” “prinsip-prinsip,” “lambang,” “konsep-konsep,” dan yang lain sejenisnya.
Sementara itu, di paruh abad lalu, banyak biolog yang mencoba mereduksi unit-unit budaya itu menjadi konfigurasi dari unit-unit prilaku hewani yang disebut naluri. Pendekatan ini disebut sebagai sosiobiologi. Jika ini memang benar maka pada akhirnya unit-unit budaya ini akan dapat diterangkan sebagai konfigurasi dari unit-unit informasi pada reproduksi biologis yang disebut gene. Dengan demikian, pada akhirnya, kebudayaan dapat dikatakan sebagai fenomena permukaan bagi fenomena biologis yang lebih dalam. Kebudayaan bukan lagi merupakan karya cipta bebas umat manusia.
Namun, tidak semua biolog bersepakat dalam hal ini. Setidak-tidaknya seorang biolog Inggris yang bernama Richard Dawkins sama sekali tidak setuju. Menurut dia evolusi budaya adalah baru dalam evolusi manusia. Evolusi budaya akhirnya membebaskan diri dari determinisme biogenetika. Soalnya, pada tingkat manusia, dalam perkembangan evolusi biologis mutakhir, justru muncul satu unit transmisi budaya yang baru. Unit itu disebutnya sebagai meme.

RICHARD DAWKINS: DARI GENE KE MEME
Dalam buku Richard Dawkins The Selfish Gene,[1] Bab 11 diberinya judul Memes: the new replicators. Asal-muasal konsep meme ini sendiri, sebenarnya, terletak pada kekecewaan Dawkins pada rekan-rekannya ahli biologi yang mencoba mereduksi perilaku budaya menjadi kepentingan-kepentingan biologis organisme manusia. Bagi Dawkins, untuk mempelajari evolusi peradaban manusia, kita harus mulai dengan membuang konsep gene sebagai satu-satunya penyebab evolusi manusia. Soalnya, menurut Dawkins, evolusi budaya manusia terlalu cepat untuk diterangkan dengan konsep gene. Oleh karena itu, diperlukan konsep baru yaitu “meme” yang merupakan analogi kultural bagi “gene” yang biologis. Istilah meme itu, menurut Dawkins, sengaja dicari agar bersajak dengan kata gene.
Seperti halnya gene, menurut Dawkins, meme adalah sebuah replikator yaitu makhluk yang memperbanyak diri. Jika gene diturunkan melalui reproduksi biologis, meme diturunkan melalui proses pembelajaran budaya yaitu peniruan. Meme sebagai unit transmisi kultural, seperti gene yang merupakan unit transmisi biologis, mengalami mutasi, kombinasi dan seleksi oleh lingkungan alam. Contoh-contoh yang diberikan Dawkins sebagai meme adalah lagu, gagasan, ucapan popular, mode busana, cara-cara membuat keramik dan membuat bangunan arsitektur. Semua unsur budaya ini, menurut Dawkins, terletak dalam otak manusia, seperti halnya gen dalam sel organisme. Konon, kata Dawkins, meme itu meloncat dari satu otak ke otak manusia lain melalui proses peniruan.
Dengan menggunakan analogi budaya dan biologi, maka Dawkins kemudian bisa menerapkan teori evolusi Darwin, dalam interpretasi ultra-darwinisme yang dianutnya, ke dalam evolusi budaya manusia. Dalam paham ultra-darwinisme, unit replikasi dalam evolusi bukanlah makhluk hidup atau organisme, melainkan gene yang ada pada kromosom suatu organisme. Dalam interpretasi ultra-darwinisme ini, organisme hanyalah merupakan wahana senjata bagi gene yang bersaing memperbanyak dirinya dalam gelanggang persaingan eksistensial evolusi kehidupan. Gene itu sendiri merupakan program-program yang membangun wahana-wahana senjata itu. Jadi, ultra-darwinisme telah menggeser pusat evolusi dari organisme ke gene, seperti yang dilakukan oleh Kopernikus yang menggeser pusat jagad raya dari bumi ke matahari.
Berdasarkan analogi ultra-darwinisme ini, maka semua karya budaya manusia dari seni hingga teknologi, dari pakaian hingga organisasi sosial, sebenarnya hanyalah merupakan senjata-senjata bagi meme untuk memperbanyak dirinya bersaing dengan meme yang lain. Proses perbanyakan diri atau replikasi meme tak lain tak bukan dari imitasi alias peniruan. Seperti halnya dalam biologi tidak semua gene dapat mereplikasi secara berhasil, begitu pula tak semua meme dapat berhasil memperbanyak dirinya. Inilah yang merupakan analog bagi seleksi alami dalam tataran kebudayaan.
Sementara itu, ada beberapa jenis meme, seperti halnya ada beberapa jenis gene, yang dalam jangka pendek dapat berkembang biak secara cepat namun cepat pula lenyap sehingga tidak menyumbang banyak dalam khazanah budaya atau kolam gene. Lagu-lagu pop adalah contoh-contoh budaya yang paling kita kenal. Jenis meme yang lain seperti misalnya tatacara peribadatan dan hukum-hukum agama, sebaliknya dapat menyebar dan bertahan sampai ribuan tahun. Tampaknya meme yang bisa bertahan jangka panjang bergabung secara kolektif membentuk suatu kompleks meme yang bereplikasi secara serentak. Kompleks meme inilah yang biasanya kita kenal sehari-hari sebagai ide yang bercokol dalam otak banyak manusia. Karena itu Dawkins menyebutnya sebagai “idea-meme”
Jika sejumlah gene yang membentuk taring, cakar dan alat-alat indra bergabung bersama berevolusi dalam kolam gene karnivora, sejumlah karakteristik yang selalu muncul bersamaan juga muncul dalam kolam gen herbivora. Apakah meme tentang tuhan menjadi bersekutu dengan meme khusus yang lain agar dapat bertahan hidup bersamaan? Barangkali kita dapat menganggap sebuah organisasi gereja beserta gaya arsitekturnya, dan juga ritus-ritusnya, musiknya, serta seni dan tradisi tertulisnya yang terkait merupakan kumpulan sejumlah meme yang koadaptif dan kooperatif. Dengan kata lain sebuah kompleks meme.
Richard Dawkins dalam bukunya itu membuat hipotesa bahwa kompleks meme adaptif berevolusi serupa dengan evolusi kompleks gene yang adaptif. Mereka mirip antara satu sama lainnya, tetapi mereka bebas satu dari yang lainnya. Evolusi meme dan evolusi gene bisa saling mendukung, tetapi juga saling bersaing. Jika gene memperebutkan ruang, maka meme memperebutkan waktu. Otak manusia beserta tubuh yang dikendalikannya hanya dapat berbuat satu atau sedikit pekerjaan secara bersamaan. Jika satu meme mendominasi sebuah otak, dia hanya bisa demikian jika menyingkirkan meme yang lain. Secara lebih luas meme budaya itu bersaing berebut waktu radio dan televisi, kolom koran dan ruang rak perpustakaan.
Inilah dua kalimat terakhir buku Dawkins yang menghebohkan itu
We are built as gene machines and cultured as meme machines, but we have the power to turn against our own creators. We, alone on earth, can rebel against the tyranny of the selfish replicators.[2]
Begitulah nasib diri manusia, menurut Dawkins, terpenjara dalam dua buah mesin, mesin informasi biologis dan mesin informasi sosiologis. Tapi apakah diri itu sebenarnya? Di mana diri itu berada? Sains tak dapat menemukannya. Akan tetapi filsuf Inggris Daniell Dennett justru menemukannya dalam kumpulan meme itu sendiri. Dia mencari jawabannya pada konsep mesin informasi Dawkins dan itu tak lain adalah komputer. Menurut Dennett, diri manusia adalah komputer virtual sekuensial yang bekerja dalam komputer paralel bernama otak manusia.

DANIEL DENNETT: DARI MEME JADI MEME-PLEX
Daniel Dennett adalah seorang filosof neo-darwinisme dari Inggris yang mempopulerkan konsep meme dari Dawkins dalam kedua bukunya Consciousness Explained[3] dan Darwin's Dangerous Idea[4]. Dalam buku yang disebut pertama, dia telah mendekonstruksi konsep kesadaran tunggal manusia yaitu substansi diri atau “aku” menjadi sekedar kumpulan meme yang beredar di dalam otak manusia. Menurut Dennett, secara provokatif, manusia dalah monyet yang otaknya kejangkitan banyak meme.
Kepribadian kita dengan segala kemampuan dan keunikannya, bagi Dennett, terbentuk karena permainan antar replikator. Berbeda dengan Dawkins yang mengatakan meme itu melompat dari satu otak ke otak yang lain, maka Dennett telah membuat meme pun bergerak dan berinteraksi dalam otak manusia sendiri. Maka meme berubah dari unit budaya menjadi unit psikologis. `Aku' manusia, bagi Dennett, adalah salah satu dari banyak kompleks meme yang saling menyesuaikan.
Dalam bukunya kedua, Dennett's mengajukan sebuah menara proses pembelajaran yang disebut sebagai menara pembuatan dan pengujian. Pada dasar menara itu ada proses adaptasi Darwinian dimana makhluk-makhluk biologis itu dibuat oleh seleksi alam lalu mati. Diatasnya ada proses Skinnerian di mana makhluk-makhluk hidup dapat belajar melalui coba dan salah sehingga dia bisa mcmbuang atau meneruskan kebiasaannya hingga dia bisa terus hidup.
Di atasnya lagi terdapat proses Popperian di mana makhluk-makhluk biologis itu dapat melakukan uji coba dalam khayalannya sehingga belajarnya menjadi lebih efektif. Puncak menara adalah proses Gregorian di mana makhluk-makhluk biologis itu bisa mengajarkan kepandaiannya pada yang lain sehingga tak semua organisme harus belajar dari mula. Setiap tingkat menara itu dibangun berdasarkan proses di bawahnya. Proses pembelajaran puncak itulah yang menjadi rumah bagi meme.
Menurut Dennett, mengikuti Dawkins, meme itu semacam virus, yaitu virus pikiran. Menurut Dawkins mem budaya dapat dipandang sebagai parasit. Sebagai parasit mereka lebih mirip dengan virus yang sederhana ketimbang cacing. Pada dasarnya sebuah virus adalah sebuah untai DNA atau RNA dengan kecenderungan tertentu. Begitu juga meme adalah paket informasi yang mempunyai kecenderungan tertentu berupa semua kebiasaan dan pepakaian manusia, baik estetik maupun teknik, sebagai analog budaya bagi fenotipe organisme.
Jadi analogi dengan biologi, meme dapat dianggap sebagai parasit budaya yang menguasai organisme untuk kepentingan replikatifnya. Namun kita harus kita ingat bahwa ada tiga jenis bentuk simbiosa di mana simbiosa parasitis hanyalah salah satunya. Kedua bentuk simbiosa yang lain adalah simbiosa komensalis, di mana kehadiran simbion tamu tidak mengganggu tuan rumahnya, dan simbiosa mutualistis, di mana para simbion justru meningkatkan kebugaran baik tamu maupun tuan rumahnya. Jadi meme merupakan simbion secara umum. Dan dalam satu tuan bisa terdapat sejumlah meme membentuk kompleks mem koadaptif yang disebut Dennett sebagai meme-plex.

SUSAN BLACKMORE: DARI MEME-PLEX KE SELF-PLEX
Susan Blackmore adalah seorang psikolog, dari Universitas West of England di Bristol Inggris, yang menggunakan kata-majemuk baru dari Dawkins The Meme Machine. Dalam bukunya itu dia mencatat ada dua buah definisi meme.
First, Dawkins, who coined the term meme, described memes as units of cultural transmission which "propagate themselves in the meme pool by ... a process which, in the broad sense, can be called imitation" (Dawkins, 1976 p 192). Second, the Oxford English Dictionary defines a meme as follows: "meme (mi:m), n. Biol. (shortened from mimeme ... that which is imitated, after GENE n.). An element of a culture that may be considered to be passed on by non-genetic means, esp. imitation".[5]
Menurut Blackmore ada 3 macam jenis proses pembelajaran: individual, sosial dan kultural. Yang dimaksud dengan pembelajaran individual ialah belajar yang langsung menyesuaikan dengan lingkungan, seperti pengkondisian klasik Pavlov dan pengkondisian operan Skinner. Pembelajaran sosial adalah proses belajar yang dibantu oleh orang lain. Proses ketiga adalah proses pembelajaran kultural yang memerlukan kemampuan meniru. Ada tiga macam pembelajaran kultural: (1) yang meniru perbuatan secara langsung, (2) yang diajarkan melalui kata-kata dan (3) yang membutuhkan kerjasama antar pribadi. Pembelajaran kultural inilah yang merupakan metoda transmisi meme dari satu otak ke otak yang lain.
Tempat hunian meme adalah otak manusia. Otak manusia itu walaupun beratnya hanya 2% dari seluruh tubuh manusia, namun ia menggunakan 20% dari seluruh energi yang dimiliki tubuh. Berbeda dengan struktur DNA yang spiral sebagai penyimpan informasi genetik, di dalam otak tak terdapat molekul-molekul khusus yang menyimpan informasi. Berbagai neurolog telah sia-sia mencari struktur selular atau molekuler yang setara dengan gen dalam otak manusia. Namun, kemungkinan besar penyimpanan informasi itu dalam konfigurasi jaringan sel-sel saraf di dalam otak yang bernama neuron.
Neuron-neuron itu dalam sejarahnya dibantu oleh media penyimpanan informasi di luar tubuh manusia. Mulai dari lukisan dinding di gua, lembar-lembar papyrus, buku-buku, pita rekaman dan kini berupa disket atau CD dan DVD. Begitu juga mereka kini tidak saja dihubungkan satu sama lain dalam diri manusia, tetapi juga dengan neuron-neuron di luar diri manusia yang berjauhan melalui berbagai media telekomunikasi massa, mulai dari telegraf, telepon, mesin faksimil, radio, televisi hingga kini internet. Maka lalu lintas mem antar manusia pun semakin lama semakin cepat.
Seperti Dawkins dan Dennett, Blackmore menganggap sains, filsafat, seni dan bentuk-bentuk budaya lainnya sebagai kompleks meme atau meme-plex. Begitu juga agama. Bagi mereka agama adalah suatu meme-plex yang salah dan sains adalah meme-plex yang benar. Tampaknya mereka tak bisa menjadi Darwinian total karena masih menggunakan nilai-nilai benar atau salah untuk menilai suatu meme atau meme-plex. Padahal meme, seperti gene, tak mengenal kata benar atau salah, indah atau buruk dan baik atau buruk. Dia adalah suatu yang netral.
Memetics atau memetika bagi Blackmore adalah sebuah cabang sains untuk mempelajari kebudayaan dengan wawasan evolusi Darwin tanpa menekankan gene ataupun individu organisme. Neo-darwinisme telah memaknai evolusi biologis secara revolusioner dengan membalik cara berpikir Darwin yang menekankan individu sebagai subyek menggantikannya dengan gene, maka ultra-darwinisme para pendukung teori meme mencoba membalik studi kebudayaan dari studi kreativitas diri-pribadi manusia dengan cara menggantikannya studi tentang meme. Soalnya, bagi Blackmore, diri manusia tak lain dari kompleks meme koadaptif yang disebutnya sebagai self-plex.
Inilah dua kalimat terakhir Blackmore dalam artikelnya dalam majalah Sceptics.
In the past hundred years we have successfully thrown off the illusion that a God is needed to understand the design of our bodies. Perhaps in the next millenium we can throw off the illusion that conscious agents are needed to understand the design of our minds. [6]
Apakah harapan Blackmore akan menjadi kenyataan? Tampaknya, “meme” itu sendiri adalah sebuah meme yang seperti halnya sebuah gen terus mengalami mutasi.
Blackmore telah memutasi meme dari Dennett yang merupakan hasil mutasi meme dari Dawkins. Blackmore mencoba membuat meme menjadi konsep ilmiah setelah mengalami ideologisasi di tangan Dennett. Tapi ilmu dan ideologi adalah cabang-cabang peradaban seperti halnya juga seni. Itulah sebabnya mutasi berikutnya adalah mengangkat sejenis meme lebih tinggi dari meme yang lain. Jenis itu adalah meme yang mengatur produksi dan reproduksi meme lainnya. Jenis itu adalah VMEME singkatan dari “values meme” seperti yang diajukan oleh Don Beck dan Chris Cowan dari Amerika Serikat dalam teorinya Dinamika Spiral.

DON BECK: DARI SELF-PLEX KE V MEME
Don Beck dan Chris Cowan adalah penulis buku Spiral Dynamics: Mastering Values, Leadership, and Change. [7] Konon metodanya digunakan untuk rekonsiliasi nasional Afrika Selatan pasca apartheid. Menurut Beck, VMEME adalah komplemen bagi meme. Sebenarnya, jika meme adalah unit jiwa-jiwa individu menurut psikolog Inggris Susan Blackmore, maka bagi psikolog Amerika Serikat Mihaly Csikszentmihalyi penulis buku The Evolving Self [8], meme adalah unit informasi bagi jiwa-jiwa kolektif.
Dan bagi Don Beck, jika kolektivitas itu sangat besar, yaitu peradaban, maka unit informasi peradaban adalah VMEME. Jika mem Dawkins itu mirip partikel, maka vMEM Don Beck itu mirip sebuah gelombang. VMEME, menurut Beck, adalah prinsip-prinsip organisasi yang bertindak sebagai atraktor bagi meme. VMEME yang besar itu adalah asam amino bagi "DNA" psikososial yang merupakan gaya tarik magnetik yang menyatukan meme lain menjadi suatu paket-paket gagasan yang terpadu. Jika meme membentuk perilaku kita, maka VMEME menyandikan perintah-perintah untuk pandangan hidup kita berupa asumsi-asumsi tentang bagaimana segala sesuatu bekerja dan merupakan alasan-alasan bagi putusan-putusan yang kita ambil. VMEME membentuk sikap-sikap dasar hidup kita. Beck mencatat adanya delapan buah VMEME yang bersaing dan mendominasi sejarah peradaban manusia dan dia memberikan kode warna bagi kedelapan VMEME tersebut yaitu, beige, ungu, merah, biru, jingga, hijau, kuning dan torquoise. Menurut Beck urutan warna tersebut bersesuaian dengan urutan kronologis di mana VMEME yang dikodekan itu menjadi dominan. Lima vMEME telah mewarnai sejarah peradaban selama ini yang berujung pada peradaban industrial ilmiah korporatif yang ditandai dengan warna jingga.
Kedelapan VMEME itu bersesuaian dengan delapan keadaan eksistensial atau diri, atau self-pleks menurut terminology Blackmore, yang diajukan oleh gurunya, yaitu Clare Graves. Bagi Graves kedelapan diri itu adalah diri hewani, diri dependen, diri egosentris, diri bertujuan, diri pragmatis, diri sosiosentris, diri interdependensi dan diri eksperiensial. Kedelapan jenis self-plex itu menurut Beck bersesuaian dengan delapan struktur politik, sesuai dengan delapan VMEME, yang secara bergiliran telah dan akan mendominasi peradaban manusia yaitu: (1) keluarga, (2) paguyuban suku, (3) kerajaan kota, (4) kerajaan bangsa feodalistik dan (5) negara kebangsaan korporatif, di masa lalu, dan (6) komunitas nilai transnasional, (7) struktur sistemik global dan (8) struktur holistik planeter, di masa depan. Perkembangan ini menurut Beck bergerak secara spiral, di mana kini kita sedang menuju tingkat ketujuh sebagai pengulangan tingkat pertama yang individual pada skala peradaban global.
Belakangan, Beck bergabung dengan Ken Wilber dan sejumlah ilmuwan lainnya dalam Integral Institute[9] yang mempromosikan wawasan empat kuadran delapan jenjang versi integralisme universal Wilber.[10] Menurut Wilber, realitas itu adalah sebuah keutuhan yang berjenjang, yang disebutnya holarki, dan setiap jenjangnya, yang disebutnya holon, mempunyai empat aspek yaitu: aspek subyektif, aspek obyektif, aspek interobyektif dan aspek intersubyektif. Keempat aspek itu bersesuaian dengan jiwa, badan, masyarakat dan budaya yang masing-masingnya dipelajari oleh psikologi individual, sains natural, sosiologi sistemik dan humaniora kultural. Apa yang dipelajari oleh Beck sebenarnya hanyalah satu kuadran saja yang mencerminkan budaya yang bersifat intersubyektif, karena itu harus diintegrasikan dengan tiga kuadran lainnya secara integral.
Begitulah, wawasan gene sebagai atom-atom informasi yang memprogram proses tubuh biologis telah mengilhami lahirnya konsep ”meme” sebagai atom-atom informasi yang memprogram prilaku dan kesadaran individual manusia. Namun wawasan ”meme” akhirnya bermutasi menjadi konsep ”VMEME” sebagai atom-atom nilai yang memprogram budaya dan peradaban manusia secara kolektif.
Kalau kita menafsirkannya dengan model empat kuadran Wilber, maka dapat dikatakan bahwa meme merupakan pelengkap subyektif bagi gene yang obyektif dan vMEME itu adalah pelengkap intersubyektif bagi meme yang merupakan atom-atom subyektivitas. Maka, oleh karenanya, tak mengherankanlah jika ada orang yang bergerak untuk memutasinya dengan konsep meme yang subyektif itu menjadi meme yang interobyektif. Orang itu adalah seorang paleopsikolog dari Amerika Serikat bernama Howard Bloom.

HOWARD BLOOM: DARI VMEME KULTURAL KE MEME UNIVERSAL
Kalau VMEME itu adalah meme memprogram peradaban kolektif manusia, maka Howard Bloom menganggap bahwa bukan hanya pada masyarakat manusia meme itu bekerja. Baginya meme itu telah ada sejak organisme mempunyai neuron. Keinginan dan prilaku meniru bukan hanya ada pada manusia, namun juga pada hewan-hewan. Bahkan jika meniru adalah hal khusus dari sinkronisasi bagian-bagian yang serupa, maka meme itu mungkin bermula pada makhluk-makhluk satu sel, bahkan mungkin pada partikel-partikel elementer non-biologis di awal kelahiran jagat-raya belasan milyar tahun yang lalu. Itulah sebabnya, dia menulis buku tentang itu: The Global Brain: the Evolution of the Mass Mind from the Big Bang to the 21st Century. [11]
Dalam bukunya itu, Bloom yang mendukung darwinisme itu bahkan memperluas darwinisme menjadi sejenis super-darwinisme yang menekankan bahwa seleksi alam bukan hanya pada tataran gene ataupun organisme, tetapi juga pada kumpulan multi-organisme atau masyarakat, yang menurut dia, membentuk sebuah superorganisme. Dan menurut dia meme bagi superorganisme itu setara dengan gene bagi organisme. Bahkan, menurut dia, superorganisme itu merupakan sebuah komputer yang sangat dahsyat melebihi sebuah superkomputer buatan manusia. Itulah yang ditulisnya dalam makalah ilmiah Beyond The Supercomputer: Social Groups as Self-Invention Machines[12] yang merupakan cikal bakal bagi bukunya The Global Brain.
Yang menakjubkan, bagi Bloom, kelompok-kelompok sosial itu, bukan bermula pada tataran biologis, tetapi bermula pada kumpulan proton, yang terbentuk berdasarkan dua prinsip yang saling bertentangan yaitu produksi massa dan destruksi massa. Prinsip Destruktif yang disebut Bloom sebagai Prinsip Lucifer alias Asas Iblis merupakan pasangan komplementer bagi Prinsip Kreatif di jagad raya yang mungkin bagi sebagian orang akan disebut sebagai Prinsip Kreator alias Asas Tuhan. Evolusi jagatraya menunjukkan bahwa lahirnya kelompok-kelompok sosial yang besar bersamaan dengan matinya kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil. Ini bukan hanya berlaku pada tataran biologis, tetapi juga pada tataran pra-biologis seperti lahirnya galaksi-galaksi raksasa di mana yang besar memakan yang kecil.
Kreativitas berbasis dektruktivitas berlanjut ke tataran biologis dengan prinsip simbiosa dan kompetisi, dan seterusnya berlanjut pada tataran kultural melalui persekutuan dan peperangan antar kelompok yang terus berlanjut hingga sekarang. Tak mengherankan jika Richard Dawkins menganggap organisme sebagai wahana perang bagi gene dan organisasi sosial budaya sebagai wahana perang bagi meme, belakangan pengikut Don Beck melihat peradaban sebagai wahana perang bagi VMEME.[13] Dan kita, konon, sedang berada dalam perang besar antara peradaban Barat dengan peradaban Islam yang selalu ditutup-tutupi, artinya selalu dibantah, tetapi selalu dipertontonkan secara terbuka oleh media massa.
Dan lucunya, kita tak sadar bahwa media massa itu adalah wahana yang mengungkapkan kedua prinsip itu secara blak-blakan. Kalau dilihat pada tataran biologis, kedua prinsip universal itu tak lain dari seks dan kekerasan. Kalau dilihat pada tataran sosiologis, tak lain dari koalisi dan perang. Howard Bloom sendiri dalam bukunya yang pertama yaitu The Lucifer Principle: A Scientific Expedition into the Forces of History[14] salah satu babnya justru mewanti-wanti tentang terorisme Islam lebih setahun sebelum peristiwa runtuhnya menara kembar di kota pusat dagang buana yang dipertontonkan di layar kaca di rumah-rumah seluruh dunia sebagai bukti bagi terorisme Islam. Bahkan, bab itu sekarang juga ditayangkan di internet sebagai bagian dari Perang vMEME Global.[15]

KESIMPULAN
Tampaknya Darwinisme telah diangkat menjadi sebuah paradigma keilmuan global yang sekaligus ditawarkan sebagai supra-ideologi paradigmatik peradaban dunia melalui sebuah peperangan multi-frontal untuk merebut jiwa kita masing-masing. Mungkin saja, Charles Darwin tak pernah bermimpi bagaimana teorinya akan menjadi sedemikian luas, namun kita, di abad ke-21 ini, justru melihat bahwa ideologi Darwinisme justru di lawan oleh ideologi Anti-Darwinisme di berbagai kalangan agama seperti kaum Kreasionis di kalangan Kristen fundamentalis dan kelompok Harun Yahya di kalangan umat Islam. Mereka melawannya dengan mengatakan bahwa memang kita di abad ke-21 ini sedang menghadapi Perang Dunia Ketiga, yang tak dideklarasikan, yang bersifat aneka tataran dengan media komunikasi dan informasi modern sebagai senjata.
Namun, tentunya, tidak semua kita terpancing untuk melakukan kekerasan pikiran seperti itu, karena evolusi sebenarnya tak lain dari proses sinambung penciptaan jagad raya, yang dalam tasawuf Islam disebut sebagai tanazzul dan dalam tradisi mistik lain disebut involusi atau emanasi alias pelimpahan. Jika involusi bekerja dari atas ke bawah, atau top down, evolusi bergerak dari bawah ke atas atau bottom up. Proses evolusi adalah manifestasi proses kreatif dimana nilai-nilai transendental merasuki materi secara bertahap melalui penggabungan-penggabungan yang mencerminkan Kasih Sayang atau Cinta. Peperangan, konflik dan kompetisi hanyalah merupakan gesekan yang diperlukan untuk naik ke dunia luhur nilai-nilai.
Perkembangan sejarah sains modern menunjukkan hal itu. Mula-mula, ditemukan atom sebagai unit-unit materi. Kemudian, ditemukan pula sel sebagai unit-unit kehidupan energetik terkecil. Lalu, ditemukan gene dan meme sebagai unit-unit informasi kehidupan dan kesadaran terkecil. Selanjutnya, ditemukan pula VMEME sebagai meme nilai atau keyakinan peradaban manusia. Akhirnya ditemukanlah bahwa VMEME superorganisme peradaban ini harus diperluas meliputi MEME universal berupa prinsip-prinsip yang mendasari evolusi semesta. Asas Destruktivitas dan Asas Kreativitas, seperti yang diajukan Howard Bloom, dalam teori evolusi semestanya sebenarnya hanyalah merupakan nama lain dari KuasaNya dan CintaNya.
Sains dan teknologi adalah manifestasi dari KuasaNya dan Seni adalah manifestasi CintaNya dan KreativitasNya. Sebenarnya, kita bukan menghadapi perang meme atau VMEME yang kecil, tetapi kita sedang menghadapi perjuangan spiritual yang lebih besar di mana kehidupan harus dikuasai oleh kesadaran dan kesadaran harus dikuasai oleh keyakinan akan KuasaNya dan CintaNya. Hanya dengan demikian lah perdamaian di muka bumi dapat ditumbuhkan dan tugas seniman adalah mengekspresikan kreativitasNya melalui karya-karya ciptaannya yang mendukung proses perdamaian semesta itu. Semoga memang demikianlah adanya.

ARMAHEDI MAHZAR,
Dosen Fisika dan Filsafat ITB

[1] Richard Dawkins, The Selfish Gene, Oxford University Press (Oxford 1976)
[2] Bab 11 buku Dawkins The Selfish Gene dapat diperoleh di http://www.rubinghscience.org/memetics/dawkinsmemes.html
[3] Daniel Dennett, Consciousness Explained, Little, Brown (Boston 1991)
[4] Daniel Dennett, Darwin's Dangerous Idea, Simon & Schuster (NewYork 1995)
[5] Susan Blackmore, The Meme Machine, Oxford University Press (Oxford 1999)
[6] Susan Blackmore, The Power of the Meme Meme dalam majalah Skeptic Juni 1997, Vol 5, #2, hal 43--49
[7] Don Edward Beck, Christopher Cowan, Spiral Dynamics, Blackwell Publisher (Oxford. 1996)
[8] Mihaly Csikszentmihalyi , The Evolving Self , HarperCollins, l993
[9] http://www.integralinstitute.org
[10] http://wilber.shambala.com
[11] Howard Bloom, The Global Brain, Wiley (2000)
[12] Artikel Howard Bloom dalam Research in Biopolitics, Volume 6, 1998. Sociobiology and Biopolitics.editor Albert Somit dan Steven A Peterson. Greenwich, CT: JAI Press Inc., 1998: 43-64. dapat diperoleh di internet di http://howardbloom.net/Beyond_The_Supercomputer.htm
[13] Ray Harris, v-Memes at War di http://www.swin.edu.au/afi/Harris%20-%20memes%20at%20War.pdf
[14] Howard Bloom, The Lucifer Principle, Atlantic Monthly Press (1997)
[15] http://howardbloom.net/islam.htm

No comments: