Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, September 10, 2007

Menakar Hormat

Saling Hormat Agama dan Sains
Oleh ASEP BUNYAMIN

SEPANJANG sejarah manusia, pertarungan antara sains dan agama seolah tak pernah berhenti. Di satu pihak, ada kelompok saintis yang tak pernah dianggap sebagai intelektual, tetapi kerjanya yang berpijak pada dunia empiris secara nyata telah mengubah dunia seperti yang kita lihat sekarang ini. Di pihak lain ada para agamawan, kelompok yang secara tradisional menyebut dirinya sebagai kaum yang berhak berbicara semua ihwal tentang kebenaran. Kedua kelompok tersebut seolah tak pernah berhenti untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan kehidupan.

Agama dan sains adalah bagian penting dalam kehidupan sejarah manusia. Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas (agama) dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama.

Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah diurai Charles Percy Snow. Ceramahnya di Universitas Cambridge yang dibukukan dengan judul The Two Cultures menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan yang mewakili budaya literer dan kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah.

Dalam edisi kedua buku itu, C.P. Snow menyertakan satu esai penutup dan mengharapkan lahirnya budaya ketiga yang menyatukan budaya literer dan ilmiah antara agamawan dan saintis. C.P. Snow mempertanyakan identitas dari kedua budaya tersebut sehingga ia merasa perlu untuk menyatukan kedua budaya tersebut atau mungkin melahirkan budaya baru yang lebih memiliki identitas sebagai wujud pengakuan atas eksistensinya.

Saat ini, di tengah-tengah kemajuan bidang teknologi dan pengetahuan, dunia dihadapkan pada berbagai krisis yang mengancam eksistensi manusia. Bahkan jauh-jauh hari Sayyed Hosen Nasr telah mengidentifikasi krisis eksistensi tersebut sebagai ancaman yang cukup serius. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa krisis eksistensi ini disebabkan karena manusia modern mengingkari kehidupan beragama. Hingga pada akhirnya mereka arogan terhadap agama bahkan tak jarang menolak keberadaan Tuhan.

Modernisme –diakui atau tidak– telah membawa manusia kepada kemajuan yang tak terduga sebelumnya. Hal ini bisa kita rasakan dengan semakin mudahnya hidup. Kemudahan itu membuat manusia kehilangan fungsi sebagai makhluk sosial. Implikasi dari itu semua, manusia modern semakin hidup individualis dan tak peduli pada orang lain. Kenyataan seperti ini memang tak bisa dihindari. Sains telah berhasil menyulap dunia ini menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.

Kemajuan sains membawa dampak pada dikesampingkannya agama. Kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Houston Smith dalam bukunya Why Religion Matters: The Fate of The Human Spirit in an Age of Disbelief mengungkapkan kematian agama di tengah kedigdayaan sains. Menurutnya, agama semakin tidak memiliki peran strategis dalam posisi manusia modern. Ini menyebabkan krisis spiritual melanda manusia zaman ini.

Namun, di tengah krisis spiritual ini, kritik terhadap modernisme juga datang seiring semakin terasa hampanya hidup. Banyak para tokoh intelektual yang mencoba mengambil jalan tengah dengan memadukan sains dan agama. Sebutlah Fritjof Capra, seorang ahli fisika bertangan dingin yang menulis buku The Tao of Phisics mengungkap bahwa adanya paralelisme antara mistisisme timur (Konghucu, Konfusian, dan agama timur lainnya) dengan fisika baru (dalam hal ini sains modern). Paralelisme tersebut dapat menjadi penyatu manusia dalam memasuki kehadiran kemajuan teknologi ini.

Menurut Fritjof Capra, keselarasan untuk menemukan ide-ide spiritualitas (baca: agama) dengan fisika (baca: sains) sebenarnya sudah berlangsung lama. Hal itu ditandai dengan ditemukannya rumusan fisika quantum oleh Einstein yang mengawali bangkitnya sains modern pascakemelut berkepanjangan di awal abad ke-20. Albert Einstein –dengan teori relativitasnya– mengatakan bahwa tidak mungkin alam diciptakan dengan aturan yang tidak bisa diketahui. “Tuhan tidak (sedang) bermain dadu,” katanya.

Baik sains maupun agama memiliki dua wajah, intelektual dan sosial. Agama bisa didekati dengan rasional dan empiris dan tidak melulu urusan hati. Sains pun sebaliknya bisa berwajah sosial, tidak melulu urusan rasional dan empiris. Sains mungkin telah berhasil melayani kemanusiaan tetapi ia juga menimbulkan senjata pemusnah massal yang justru mengingkari kemanusiaan. Di sisi lain, agama semakin hari semakin tereduksi oleh sikap para pemeluknya. Agama terus dilembagakan. Diakui atau tidak, banyak kasus yang dilakukan para pelaku komunitas keagamaan justru menyelewengkan toleransi yang dianjurkan oleh agama yang dipeluknya.

Sudah saatnya kini kita menghilangkan dikotomi antara agama dan sains. Kita sudah lama merindukan sebuah harmoni yang par excellence antara ruh spiritualitas agama-agama dan sains. Saatnya agama dan sains menghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis, holistik, serta jauh dari sistem oposisi biner yang diagungkan para penganut positivistik. Agama yang dulu sering tidak menerima penemuan-penemuan sains karena dianggap bertentangan dengan pemahaman wahyu, kini harus bersikap lebih inklusif.

Sains yang sering dianggap bebas nilai sehingga melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama juga harus membuat ruang yang lebih lebar bagi saran-saran kaum agamawan. Dengan mempelajari secara komprehensif, kita bisa mengetahui keselarasan dalam relasi agama dan sains.

Paul Davies dalam bukunya God and The New Phyisics merekomendasikan kebangkitan relasi agama dan sains. Pertama, adanya dialog yang semakin intensif antara para ahli sains, filsafat dan teolog mengenai persoalan yang berkaitan dengan gagasan penciptaan (evolusi) –yang menjadi biang keladi perdebatan agama dan sains karena beda pandangan. Kedua, adanya minat yang besar untuk pemikiran mistik dan filsafat timur.

Akhirnya keinginan kita pun sama dengan kerinduan C.P. Snow bahwa semua itu dapat termanifestasi dalam sikap dan perilaku kaum agamawan dan saintis. Caranya, duduk bersama dalam rangka mengisi kehidupan yang lebih harmonis dan manusiawi sehingga menjadi pelopor dari lahirnya pencerahan jilid kedua yang dirindukan setiap orang. Wallahualam Bisshawab.

ASEP BUNYAMIN,Lahir di Bandung 23 April 1982. Sejak kecil hidup di desa kelahiran dan menempuh pendidikan hingga MadrasahTtsanawiyah di Cililin Bandung. Melanjutkan di MAN Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, sambil nyantri di Pesantren Cipasung hingga tahun 2000 dan melanjutkan di IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati Bandung di Fakultas Tarbiyah Jurusan Kimia. Selama kuliah aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan kini di PMII tercatat Pengurus Cabang Kabupaten Bandung Divisi Lembaga Penerbitan Pers dan Jurnalistik (LP2J) periode 2007-2008. E-mail: sayap_juang@yahoo.co.id

No comments: