Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, September 21, 2007

Tau..!!

Kau Tentu Lebih Tau
Fani Ahmad Fasani*

Kau tentu lebih tahu apa yang telah kau lakukan padaku. Aku tidak bermaksud mendukungmu untuk duduk di kursi tengah persidangan, lagipula dimanapun itu, tak pernah suatu persidangan mengutuh-genggam sebentuk keadilan. Dalam hal ini, aku tak akan pernah berbicara atas nama keadilan, ataupun sekedar upaya meraihnya.

Meskipun pada akhirnya apa yang kulakukan sekarang (dengan tulisan ini) tentu lebih otoriter daripada sebuah persidangan. Karena toh bahasa tulisan tak pernah bisa diintrupsi, kau boleh saja berhenti untuk tidak menyelesaikan membacanya dan kemudian menganggapnya bukan apa-apa, tapi entah bagaimana kepercayaanku telah terlanjur terikat-urai dengan siasat kata-kata terhadapmu. Kau berhak mengelak enteng saja.

Jauh lebih sulit menentukan sinetron mana yang harus ditonton, antara pukul 18.00-22.00 dari hari Senin-Jumat misalnya, apalagi jika terpaksa harus menentukan yang mana yang lebih omong kosong. Kali ini akupun mungkin terjebak pada logika sinetron yang bertele-tele demi terpenuhinya episode dan hasutan pasar, tapi percayalah.. ketabahanku tak akan sampai menyaingi enam jilid “tersanjung”, dan aku tak sampai hati membayangkan suatu kegagalan komunikasi seperti berikut;
“Sayangku, mimpiku tentangmu telah mengambil alih seluruh waktu tidurku, dan bayangan wajahmu telah begitu terpahami maksud anganku..”

“Lagi-lagi kau katakan hal itu, kalimat itu telah kau pakai pada duapuluh delapan episode yang lalu”.
“Kurasa aku hanya mengatakan sekali ini dan hanya padamu”.

“Baiklah, mungkin kau perlu melihat lagi cuplikan dari episode-episode yang lalu. Saat ini aku sedang tak berselera untuk mengampuni kelupaanmu”.

“Oh, maaf.. kiranya kamu tidak suka dengan kalimat favoritku”. Sudahlah, aku tak mau memperparah keadaan dengan berlarut-larut dalam hal ini. Lagipula kisahku sendiri mesti kuanggap lebih penting.

Kadang ragu rajin bertamu untuk apa yang pernah kau lakukan padaku. Suatu sikap sadar menanggapi mimpi-mimpi yang mungkin tidak terdaftar dalam salah satu dari 1.640 kali setahun. Maksudku mimpi yang mengatasi pagi, tapi akhirnya malah terbengkalai saat waktunya sarapan. Disuap terakhir kitapun teringat tentang jejak-jejak di bantal yang mesti ditafsir ulang ketika matahari bertanya tentang keteguhan harap alih-alih jenjang lapar-dahaga sewaktu. Ah, aku menyeka segala yang tersisa saat kau menunjuk di daftar sikap tentang ketabahan Will Smith yang telah sukses melewati nasib najis penjual scanner portable dengan merk The Pursuits of Happyness. Hari masih panjang katamu, tak usah berlebihan menanggapi gumam piring yang telah licin kali ini. Tak bisakah hanya tersenyum lebar seperti bayi tetapi menggigit selayak buaya? Ah, yang dapat menyaggupinya hanya Cool Hand Luke, bahkan roman Dr. T saat ditindas hujan tak dapat kusaingi. Akupun tak menduga ketika hari menjelang siang kau mengunci jendela, menjemur kasur dan cerita dari jalin mimpi itu menguap di maafmu. Aku tahu, terlalu banyak dekap yang lebih akrab untuk rasa pantasmu. Merela-paksa rencana yang pernah untuk segera hangus.

Aku tak perlu lagi berurusan dengan apa yang telah kau lakukan padaku, untuk apa mengusik arang dan abu kecuali demi menanam anggrek seperti yang ibuku lakukan. Atau kita anggap saja cerita lama itu telah terbukukan dalam kenangan, atau dalam pelajaran merawat luka? Kemudian seringkali aku terombang-ambing dalam rindu kesumat terhadapmu! Kemudian, entah dengan cara apa mesti berterima kasih padamu, karena tanpa pernah-mu tak mungkin sebundel kisah dapat menjelma. Namun sialnya aku tak mampu untuk menumpuk-ratakannya bersama kisah lain yang sebelumnya kukenali, tentang putri salju ataupun Jaka Tarub. Karena dalam bundel kisahmu, kau menanam seribu satu Syahrazad yang menumpulkan pedang penuntasan.

Mungkin aku harus mulai percaya pada “ini memang seharusnya terjadi padaku”. Bahwa yang terjadi adalah; aku hanya melakonkan suatu peran dalam narasi yang telah diatur oleh suatu pihak yang belum tentu dapat kupahami arah maksudnya. Bagaimanapun, sejengkal tabah mesti mengungguli keluasan dendam. Atau aku berjalan ke arah lain supaya berani beroposisi dengan fakta? Misalnya tentang kesediaanku menjelma apa saja dalam tutur kisah yang mana saja, suatu peran yang mampu menyaingi cerita saat ini dan mengatasi kesementaraan percaya. Aku mendamba cerita yang memberikan peluang luas untuk tindakan-tindakan keji yang mengkhianati kemestian alur. Baiklah, aku mulai dengan merampas korek api dari gadis kecil disuatu malam natal yang dingin penuh salju, membiarkannya mati lebih cepat dari dugaan cuaca, tanpa sepeluangpun khayalannya tertambat pada makanan lezat, ia tak lagi mampu mencetuskan sebayang keindahanpun tanpa korek apinya. Kalian akan setuju padaku, bahwa tak kurang menyenangkan untuk menyaksikan kematian dalam derita yang menyengat seperti ini, gadis kecil itu mampus saat titik dingin menggergaji tulang-tulang dari hidup yang tak memberikan se-lirik-belah matapun. Sebatang korek tersisa ditanganku, sebagai kenang-kenangan betapa kekejian nasib memang telah berlaku untuk orang selain aku, namun tiba-tiba seekor kera putih bermata hijau berkelebat merampas sebatang terakhir korek api itu, akupun mengejar kera sialan itu. Ia berlari gesit mulai dari buku cerita hingga Alengka. Kera itu, Hanoman yang doyan terbang dan membakar. Aku berebut sebatang korek api itu dan berusaha menyaingi kesaktian anugerah dewa-dewa.

“Untuk apa kau ambil korek apiku?”
“Agar Alengka membara!”
“Untuk apa kau bakar Alengka?” Tanyaku.
“Demi menyelamatkan Shinta!” Jawabnya tegas.
“Lalu, setelah itu?”
“Kupersembahkan Shinta untuk kembali terbakar disaksikan Rama”
“Haha.. Kalian bodoh! Untuk apa membakar terlalu banyak hal hanya demi menyelamatkan seorang sundal? Atau kalian melakukan semuanya hanya demi logika pembakaran?” Bentakku padanya. Hanoman marah terhadapku, kini aku yang dikejarnya.

“Ini kehedak dewa. Dan dewa tak akan keberatan jika sebelum kulaksanakan titahnya aku membunuh seorang tengik sepertimu dulu. Kau yang akan pertama kali kubakar!” Katanya penuh amarah. Hanoman meloncat menerkamku, akupun menghindar dan mencoba berlari. Aku merasa putus asa berada dalam pengejaran mahluk sakti dan gila akan pembakaran. Aku kemudian bersembunyi diantara tumpukan kayu dan berharap menjadi sebongkah kayu saja. Setidaknya takkan merasakan letupan di sekujur dagingku saat terbakar. Aku berusaha percaya bahwa aku memang hanya sebongkah kayu.

Aku terbangun dan merasa heran telah berada di sebuah rumah. Seorang tua tersenyum kepadaku, ia mengaku sebagai orang yang menyelamatkanku dari nasib yang membara, ia kemudian memungutku, memahatku, mengadopsiku dan memanggilku dengan sebutan Pinokio, akupun pura-pura setuju. Katanya, sebelum bentuk pahatan hidungku selesai tadi, aku keburu bangun, dan untuk menyempurnakannya aku disarankan untuk banyak berbohong. Kumulai dengan membohongi seorang gadis berkerudung merah saat kuperkenalkan diri sebagai orang yang tertunda makan siangnya, kukatakan bahwa catering langgananku adalah seorang nenek yang pelupa. Sikerudung merah itu berkata bahwa kotak yang dibawanya adalah kotak makan siang Pandora dan tak boleh dibuka kecuali olehnya. Aku memasang muka memelas dan merayu gadis itu untuk memberikan kotak yang dibawanya. Tiba-tiba seekor serigala muncul dan menghampiri si kerudung merah, serigala itu membisikan kalimat-kalimat panjang padanya.

“Demi saat-saat dimana kesejatian cinta menjadi mungkin!! Demi akhir bahagia di setiap cerita!! Aku tahu kau hanya mahluk kayu dengan jantung rapuh, dan aku punya koneksi di kerajaan rayap!!” Si kerudung merah meradang tiba-tiba.

“Ancamanmu takkan membuatku takut!” Kataku pura-pura berani.
“Selama kau menginjak tanah, kau tak akan bisa lari dari ancaman rayap. Mereka mampu melahapmu dengan cara keji dan menyakitkan!”. Sejauh ini aku tak bisa lagi melanjutkan kepura-puraan dan terpaksa bentuk hidungpun menjadi taruhan, akupun meminta maaf dan menawarkan tiga ekor babi atau tujuh liliput sebagai ganti rugi, tapi ia memintaku sepotong rusuk kiri Peter Pan yang tak terlalu bengkok, dan tulang rusuk itu harus diambil saat ia merasa bosan dan kesepian. Karena katanya, tulang rusuk seseorang yang disiksa rasa bosan bisa menjelma sesuatu yang berharga. Peter Pan lah yang paling mungkin didera rasa bosan, karena ia tak pernah tua. Menurutku, permintaannya lebih sulit dari membangun seribu candi.
Meski suatu kekejian yang pada awalnya aku rencanakan, tapi pembunuhan hanyalah bentuk kekejian yang terlalu gamblang, aku merasa berat melakukannya. Lagipula aku merasa bukan bidangku jika aku harus mencabik perut seseorang dengan pisau tajam, kemudian me-matahpaksa-kan jajaran iga-iga, kemudian menimbang yang mana yang sedikit lebih lurus dan pantas untuk dipersembahkan. Kekejian seperti itu terlalu langsung dan mudah dipahami, apalagi untuk ukuran orang sekelas Rambo. Aku membutuhkan perkakas yang luar biasa, yang tak tajam tapi bisa membuat proses ini menjadi lebih rumit dan sulit dipahami. Aku teringat tongkat ajaib milik Ibunda Peri. Aku mungkin bisa meminjam atau menyewanya untuk tugas ini. Akupun berangkat ke rumah Cinderella.

Rupanya aku datang di saat yang tak tepat, Ibunda Peri dan Cinderella sedang dalam percekcokan. Tadinya aku mengira masalahnya timbul karena sedikit perbedaan waktu masa kadaluarsa mantra-mantra, tadinya aku mengira ada sedikit perbedaan menit antara jam tangan Cinderella dan jam dinding istana. Tapi setelah kusimak pembicaraan mereka, ternyata masalahnya bukan disana. Cinderella hanya ingin seperti perempuan yang lainnya yang tak mudah didapatkan, sedikit ingin melihat laki-laki mengap-mengap mengejarnya. Bagi Cinderella, sang pangeran terlalu gampang mendapatkannya, tidak terlalu banyak menguras keringat. Rupanya Cinderella terlalu banyak terpengaruh telenovela pikirku.

Cinderella protes keras, kenapa setelah jam kerja mantra bubar, sepatu kacanya tak berubah menjadi sesuatu yang lain. Kereta kencananya kembali berubah menjadi labu setelah dentang dua belas itu, kuda-kudanya berubah menjadi tikus-tikus, pengawal menjadi kadal, tapi kenapa sepatu kacanya masih sepatu kaca hingga pangeran mudah saja mengendus siapa gerangan dirinya. Cinderella bertanya pada Ibunda Peri, dari mana sepatu kaca itu ia dapatkan. Dan di bawah sepatu itu tidak tercetak tulisan Made in manapun untuk sekedar petunjuk, supaya Pangeran tersilap bahwa itu sepatu miliknya. Para Pendekar Cibaduyut-pun tak punya petunjuk untuk hal itu. Ibunda Peri masih bungkam tentang muasal sepatu kaca itu. Ah, aku tak ingin terlalu jauh terlibat dalam sengketa yang tak jelas kumengerti ini. Lagipula hati perempuan memang sulit ditebak. Sebaiknya aku segera pergi ke Neverland, gimana nanti jadinya sesampainya aku disana. Mungkin sedikit kenekadan diperlukan kali ini.

Neverland memang tempat yang indah, sepetak tanah yang tak pernah, akupun salut karena tak ada proses administrasi firdaus yang rumit disini, hingga aku tak perlu menyamar sebagai seekor ular untuk bisa masuk. Aku akan betah berlama-lama disini jika aku tak ingat untuk tujuan apa aku kesini. Aku menuju rumah Peter, tapi yang kutemukan hanya Tinkerbell yang sedang uring-uringan durja, ketika kutanya tentang Peter ia menjawab
“nyip.. nyip.. kuing..”, baiklah sebaiknya aku langsung saja terjemahkan apa saja yang ia bilang ke dalam bahasa biasa. Katanya Peter Pan sedang tidak ada, ia sedang mengantar Wendy untuk mendaftar kontes kecantikan yang jurinya ternyata Cermin Ajaib dan memperebutkan piala Hutomo Mandala Putra. Jika saja aku kesini hanya berniat wisata, aku tentu takkan kecewa. Tapi ancaman gadis itu terngiang, lagipula sebagian besar aku kemari bukan soal itu, tetapi entah kenapa hatiku mendesir jika teringat gadis itu. Manis dan berkerudung warna merah, merah yang mempesona meski tanpa gambar lambang perkakas kerja bersilangan.

Diperjalanan aku bertemu seorang lelaki yang wajahnya mengingatkanku pada raut Oliver Twist dan kemudian ide cemerlangku muncul. Kenapa tidak kuambil saja rusuk orang ini dan bilang bahwa yang kubawa adalah rusuk Peter Pan, lagipula aku pernah disuruh ibuku untuk mencari hati babi dan yang kuserahkan justru hati anjing yang telah beristri. Aku mengendap menghampiri laki-laki itu, mendekatinya dan siap menerkam. Aku tak akan terlalu berdosa membunuh orang dengan wajah yang telah kehilangan semangat hidupnya pikirku. Laki-laki itu menatapku dengan mata yang tak akan kalian temukan pada lukisan Jeihan, ia tiba-tiba berkata,

“Sebaiknya kau segera bunuh aku, ambil seluruh tulangku yang penuh karat derita”. Kalimatnya mengandung kesinisan dalam derajat yang tak kukira.
“Apa yang telah terjadi?”. Tanyaku terpancing.

Laki-laki itu terduduk, tangannya melingkar mengikat lututnya sendiri, kemudian tertunduk dalam. Kuharap ia bukan dia, laki-laki yang akan merusak seluruh bangunan cerita ini. Yang justru membelokan cerita kearah kekecewaan, saat seorang perempuan yang mangkir dari janji untuk bertemu dengannya atau semacamnya. Sudahlah, aku harus menyelamatkan cerita ini sebelum akhirnya laki-laki dihadapanku membuatnya lebih kacau.

Laki-laki itu kemudian berjalan kearahku, ia berdiri dihadapanku dengan tatapan tidak mengarah tepat di mataku, tetapi lebih jauh keatas, mungkin memantau bagaimana rambutku dimainkan angin. Ia mencabut selembar rambutnya sendiri dari atas kening, melangkah lebih dekat kearahku dan entah kenapa tubuhku merasa lemas dan tak mampu bereaksi sepatutnya. Tangan kiri laki-laki itu memegang kepalaku, turun kearah telinga kiriku, membuka rambutku yang menghalangi telinga dengan usapan yang halus dan mengancam. Aku masih tak bisa berbuat apa-apa, aku merasakan tubuhku seperti kayu lapuk semata. Tangan laki-laki itu terangkat dan dengan segera memasukkan selembar rambut yang dipegangnya kedalam telingaku. Aku merasakan rambut itu tumbuh dengan cepat dan cermat, setajam kawat lancip menjulur menuju benakku, aku merasakan sakit sangat. Menjalar melingkar. Rambut itu telah sepenuhnya masuk dan semakin kurasakan tumbuh didalam sana. Laki-laki itu memegang kedua telingaku seolah tak mengijinkan selembar rambutnya yang sedang tumbuh dalam kepalaku itu untuk melongok keluar.

Laki-laki itu kini menatapku tajam, tersenyum dan perlahan wajahnya berubah berbulu putih, matanya perlahan hijau. Lalu aku mengenalinya.

“Aku akan membakar setiap kemungkinan bahagiamu!, menghanguskan tiap inci senyumu..” Katanya penuh ancaman. Ia menyeringai dan aku balik menghardik binatang peliharaan Walmiki itu, tapi rasa sakit dalam kepalaku menghalangiku untuk melakukannya. Aku terpejam dengan hati penuh kutuk terhadap kera putih bermata hijau dihadapanku dan badanku tanpa tenaga.

Rambut kawat dalam kepalaku bergulung-gulung, mungkin benakku sudah tercecer andai Hanoman tidak menutup kedua telingaku. Perlahan aku membuka mata, dan wajah dihadapanku kini menjadi seraut gadis berkerudung merah, ia tersenyum sinis kepadaku.
“Aku akan selalu setia untuk berusaha membuatmu menderita, membuatmu melakukan hal yang sia-sia”. Bisiknya perlahan namun yakin. Tiba-tiba hatiku diliputi dendam terhadapnya, padahal aku belum lupa bagaimana aku sempat kasmaran terhadapnya. Lalu si kerudung merah itu tersenyum lagi. Saat ia melepaskan tangannya dari telingaku ternyata tak seperti yang tadinya kukira, tak ada benak berhamburan, tapi justru rasa sakit dalam kepala semakin menjadi, selirih anginpun dapat menajamkan sakit ini. Tenaga dari tubuh lenyap tanpa sisa entah kemana. Gadis itu membungkuk dan menggapai kotak yang tergeletak di tanah. “Makan siang Pandora”, bisikku dalam hati. Sekali lagi ia menatapku sekilas kemudian membuka kotak itu perlahan. Aku bisa melihat isi kotak itu, sebuah topeng dan gadis itu melepas kerudungnya kemudian memakaikan topeng itu di wajahnya sendiri. Kali ini aku sadar, topeng itu ternyata wajah Cinderella. Kini ia berdiri di hadapanku. Sebagai Cinderella.

“Kau tahu apa yang paling aku sukai?”, gadis bertopeng Cinderella berbicara. “Aku akan sangat menikmati menyaksikan seorang pria yang menderita”. Lanjutnya kemudian, dan aku merasa muak melihat romannya yang dibuat-buat. Aku merasakan rambut yang bergulung-gulung di kepalaku telah mencapai tenggorokan, turun merayapi dada.

Gadis dihadapanku kemudian membuka topengnya, dan setelah topengnya terbuka, giliran wajahku sendiri yang muncul. Aku tersentak menatap diriku sendiri berdiri tegak dihadapanku dalam angkuh.

“Kau tak akan pernah tahu tentang apapun yang terjadi sesungguhnya” Katanya datar. Aku tak mampu berbuat apapun, aku hanya merasakan tubuhku terbungkus dari dalam secara perlahan.

Cileunyi, 15 Juni 2007

*Pemenang Lomba Cerpen se-Jawa-Bali yang diadakan oleh LPM Suma Unisba (2005).

No comments: